Kamis, 29 Oktober 2009

All That Glitters Is Not Gold ( welcome to Jakarta)

Malam hari di Jakarta, Dimana segala sesuatu nya sangat indah, tenang dan tenteram.
Ini adalah 'portrait gemerlap' ibukota ketika sebagian besar penduduk Jakarta sedang tidur dan beristirahat, untuk bangun pada keesokan harinya dan 'merusak' ketenteraman ini dan mengubahnya menjadi neraka lautan manusia..


Klender


Karet - Casablanca


Perempatan Senen


Jembatan Layang Coca-cola



Cempaka Mas


Cempaka Putih


Kuningan


Taman Lawang


Jembatan Galur

COKELAT ASAM PAGI INI

Pagi ini, seperti biasanya saya menggunakan jasa ojek untuk pergi ke kantor. Kali ini, saya menumpang motor Yanto. Tukang ojek langganan sekaligus pengusaha warteg ternama di seputaran Zambrud Raya.
Kami pun menempuh rute yang sama dan jarak tempuh yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya.

Atas nama cinta, sekali lagi saya harus memaklumi keadaan Jakarta yang panas, macet dan penuh dengan asap kendaraan. Setelah merayap berpanas-panas melalui perempatan Senen, ( seperti biasa) kami pun membelokkan motor, melanggar marka jalan melalui jalan kecil di sebelah gedung Kenanga untuk menghemat jarak.

Tak disangka, sekonyong-konyong sebentuk sosok cokelat dengan tampang tengil menghadang jalan kami seraya berteriak membentak untuk menghentikan kendaraan kami.
Sosok cokelat, kecil dan kurang gizi tersebut dengan garangnya memukul lampu sepeda motor Yanto dan dengan kasar mencabut paksa kunci motor kami lalu membawanya kedalam sebuah warung.
Di dalam warung sudah ada beberapa 'tangkapan' lain yang sedang menunggu untuk ditilang atau 'menjalin perdamaian' dengan sosok cokelat menggelikan itu.

Wah.. rupanya diujung jalan ada beberapa sosok cokelat2 lain yang sudah menanti kedatangan kami ( para pelanggar marka jalan). Mereka rupanya bersembunyi di sudut2 warung sambil menanti 'mangsa' yang lewat. Hmm.. cara yang kurang jantan pikir saya..

Yanto pun memarkirkan motornya, lalu dengan langkah gontai menuju ke dalam warung. Saya pun turut menemani nya.

Sosok cokelat menggelikan itu pun dengan suara keras namun kurang wibawa bertanya kepada Yanto. " SITU MAU KEMANA ?!? SITU TAU, SITU SUDAH MELANGGAR RAMBU LALU LINTAS?!? " INI DARI MANA!? MAU KEMANA ?!? APA OJEK?!? MAU NGANTER KE KANTOR?!? KANTORNYA DIMANA?!?"
Yanto yang malang hanya tergagap mendengar dan menjawab pertanyaan lebay yang dilontarkan oleh sosok cokelat nan tengil itu.

" Wah, biasa aja kalee..gak usah kasar2 gitu.. " ucap saya pelan membela Yanto.

" APA SAYA KASAR SAMA SITU ?!? " katanya membentak seraya memelototkan mata culasnya kepada saya. " KAPAN SAYA PERNAH KASAR SAMA SITU ?!!? " katanya sekali lagi.

Sebenarnya, sosok cokelat itu terlihat cukup jenaka. Dengan badan kurus dan baju yang sedikit kebesaran, ia melotot dan berteriak membentak saya. " hmm.. paling umurnya baru 25an" pikir saya. Sepersekian detik, sempat terpikirkan oleh saya, apa iya sosok cokelat itu tidak diajarkan, untuk bersopan- santun ketika berbicara kepada orang yang lebih tua darinya? Sepersekian detik,ingin rasanya saya menampar atau mengajak dia berkelahi.

"Oh..enggak mas,..silahkan dilanjutkan lagi omong2nya sama teman saya.." Ucap saya sembari menarik napas panjang, tersenyum lantas membuang ludah lalu keluar dari warung itu sebentar untuk membeli rokok ketengan.

Sambil membakar rokok, saya menyaksikan bagaimana sosok2 cokelat itu menjebak,membentak dan menghardik pengendara motor yang lain.

Yeah..bagaimanapun juga kami memang salah. Kami sudah melanggar marka jalan.Tapi apa harus begitu caranya dalam menangani pelanggar rambu ? Dengan bentakan? teriakan?

Sempat terlintas di benak saya, kenapa mereka sebegitu berlebihannya dalam menyikapi pelanggar2 rambu? apa iya, dengan melanggar rambu, kami sudah menurunkan harkat dan martabatnya? apakah dengan melanggar rambu, kami sudah menghina dia dan keluarganya? Kalau saja dengan melanggar rambu, lantas dia merasa terpuruk,terhina dan dipermalukan, mungkin saya bisa memaklumi tindakan kasar dan berlebihannya.
Tapi hanya dengan melanggar rambu/ marka jalan, lalu, atas nama menegakkan keadlian, lantas mereka bisa dengan angkuhnya, memukul lampu motor, membentak dan mencabut paksa kunci motor? hmm.. sungguh tindakan kasar dan berlebihan yang tidak bisa saya terima sama sekali.

Sebenarnya, saya termasuk pelanggan surat tilang. Entah itu ketika mengendarai motor, maupun mobil. Tapi, dari dulu saya memang tidak pernah mau untuk menjalin 'hubungan damai' dengan sosok cokelat2 itu.
Ada suatu perbedaan yang mencolok ketika saya ditilang dengan menggunakan motor dan menggunakan mobil.
Ketika saya ditilang sewaktu menggunakan mobil, sosok cokelat itu terlihat lebih so swit dan berwibawa. " Selamat siang pak, anda sudah melanggar rambu lalu lintas, apakah bapak tau kesalahan bapak? " katanya dengan ramah sambil tersenyum. Saya pun dengan keramah tamahan ciri khas batak-ambon langsung dengan serta merta mematuhi dan mengikuti prosedur tilang menilang. Ketika 'prosesi' penilangan selesai, sosok cokelat itu pun mengucapkan salam selamat jalan seraya berpesan agar saya tidak mengulangi kesalahan. ' Ahh.. so swit deh.. '
Sungguh berbeda perlakuan sosok kecoklatan itu ketika menilang saya yang sedang mengendarai sepeda motor. Bentakan, makian dan tindakan kasar lain, yang mungkin rasanya lebih tepat digunakan ketika sedang menangkap maling atau teroris. Bukan kepada para pelanggar rambu.

Yanto masih memelas dengan lemas di dalam warung yang gelap itu. Yanto sepertinya ingin sekali 'menjalin persahabatan yang damai' dengan sosok angkuh berwarna cokelat itu. Terlihat lembaran dua puluh ribuan terselip diantara jemarinya. " Pak,.. apa gak bisa damai aja pak ? " ucapnya santun dengan logat Solo yang cukup medok seraya menyodorkan tangan untuk mengajak bersalaman. Sosok cokelat itu hanya tersenyum sinis melihat lembaran kehijauan ditangan Yanto sembari memainkan blackberry nya.

" Wah.. hebat sekali yaa.. cokelat2 jaman sekarang.. Sudah mapan dan melek teknologi " ujar saya dalam hati.

" Nanti siangan langsung diambil aja di Kramat " katanya sinis sambil tetap mengutak-atik blekberi nya.

" HAH?!? Nanti siang ?? Langsung di Pos Kramat?? Gak pake pengadilan ?!? Lahh,.Kok bisa2nya ?!? Bukannya prosedur standarnya adalah harus menunggu beberapa hari untuk di 'proses' di pengadilan setempat? Atau mungkin sudah ada 'kebijakan' baru yang dibuat oleh kelompok kecokelatan itu ?!? " tanya saya dalam hati tanpa sudi untuk berdialog lebih lanjut dengan sosok kecokelatan itu.

Yanto hanya mengangguk lemas, sambil melangkah gontai menuju motornya, lantas kami pun meneruskan perjalanan menuju Thamrin.


Agan Harahap

Minggu, 25 Oktober 2009

Bersafari Di URBANTOPIA



Pada hari itu, sebenarnya saya agak kurang enak badan. Badan saya sedikit panas. Mungkin akibat terlalu 'keras' bekerja. Kami ( saya, mita dan doan), baru datang sekitar pukul setengah 6 dikarenakan susah mencari parkir. Kami pun sempat bingung mencari lokasi NAS diantara riuh-rendahnya acara urbanfest yang tengah berlangsung.

Sesampainya di depan NAS, saya agak malas juga untuk masuk karena pintu masuk dipenuhi oleh pengunjung pameran yang membeludak. Saya sempat berjumpa dengan kawan lama saya dari Bandung. Armand Jamparing dan Dadan. Mereka rupanya sedang 'meng-hajar' sesuatu di gelaran Urbanfest.
Pengunjung semakin memenuhi ruangan pameran." Ah,.. rupanya Mr. Fauzi Bowo sedang meninjau pameran " pikir saya.

Tak berapa lama, kami pun masuk kedalam ruang pameran. Ara dan Rangga tampak hadir diantara banyaknya pengunjung yang memadati ruang pameran itu.

Beberapa handai taulan yang hadir di malam yang berbahagia itu :

Mita, saya, Doan dan Ara


Mita, Ara dan Rangga

Menurut kurator pameran, Rifky Effendy dan Julian Sihombing,

Kehidupan budaya urban dengan imajinasi global menjadi salah satu arus utama dalam tiap kajian budaya saat ini. Walaupun tak semua pengamat budaya berpendapat bahwa globalisasi menciptakan wajah budaya yang seragam. Namun globalisasi menyisakan pertanyaan-pertanyaan pada nilai-nilai lokal kehidupan sebuah bangsa. Interaksi budaya dalam suatu wilayah sudah pasti bersinggungan dengan nilai-nilai yang telah ada sebelumnya dalam suatu masyarakat, terutama di perkotaan atau lebih tepat dengan sebutan metropolitan. Maka pameran Urbantopia juga diharapkan memberikan gambaran besar bagaimana wajah masyarakat perkotaan di era global, mencakup realita, imajinasi, bahkan impian-impian atau utopia-nya.

Karya2 saya yang ditampilkan:




Beberapa karya yang dipamerkan di NAS :


Jim Allen Abel - Indonesia Uniform


Wimo Ambala Bayang - Spring Time In The Park


Davy Linggar - Thinking Home


Oscar Motulloh - No Title


Hengki Koentjoro dan Ahmad Deny Salman

Ada juga beberapa karya lain yang tidak sempat saya foto karena kondisi badan yang tidak fit, ditambah perut saya yang sudah meronta-ronta minta diisi. Mungkin besok atau lusa saya akan kembali ke NAS untuk melihat-lihat.

Menjelang malam, saya,Mita, Doan,Ygksm serta Laras terpaksa meninggalkan pagelaran tersebut karena lapar..

Kamis, 22 Oktober 2009

morning in my room


just me and my guitar with a pack of cigaretes

Senin, 19 Oktober 2009

SPICE MAGZ






photo : me
stylist : dita
model : saz,junot n pevl











Ted Baker for Trax Magz









Ted Baker @ Optik Tunggal

Photographer : Agan Harahap
Stylist : Agan Harahap

Jumat, 16 Oktober 2009

Pameran Fotografi Kontemporer "URBANTOPIA"


URBANTOPIA

North Art Space
Pasar Seni Jaya Ancol

24 Oktober – 15 November 2009


Pameran dibuka oleh Dr.Ir. Ing, Fauzi Bowo ( Gubernur DKI Jakarta )
Hari Sabtu 24 Oktober 2009 Jam 17.00

Kurator : Rifky Effendy, Julian Sihombing (redaktur foto KOMPAS)

Fotografer:
Agan Harahap
Ahmad Deny Salman
Davy Linggar
Hengki Koentjoro
Imelda Mandala
Jay Subijakto
Jim Allen Abel
John Suryaatmadja
Kemal Jufri
Oscar Motuloh
Sutrisno
Wimo Ambala Bayang


Kehidupan budaya urban dengan imajinasi global menjadi salah satu arus utama dalam tiap kajian budaya saat ini. Walaupun tak semua pengamat budaya berpendapat bahwa globalisasi menciptakan wajah budaya yang seragam. Namun globalisasi menyisakan pertanyaan-pertanyaan pada nilai-nilai lokal kehidupan sebuah bangsa. Interaksi budaya dalam suatu wilayah sudah pasti bersinggungan dengan nilai-nilai yang telah ada sebelumnya dalam suatu masyarakat, terutama di perkotaan atau lebih tepat dengan sebutan metropolitan. Maka pameran Urbantopia juga diharapkan memberikan gambaran besar bagaimana wajah masyarakat perkotaan di era global, mencakup realita, imajinasi, bahkan impian-impian atau utopia-nya.

Lewat karya-karya fotografi (dan foto-media), oleh dua-belas fotografer, kita disuguhkan bagaimana cara pandang mereka melihat masyarakat dan budaya urban saat ini, dengan pengamatan cermat terhadap fakta sekaligus dengan penuh imajinatif dan juga olahan artistik yang lanjut. Para praktisi fotografi ini menghadirkan beragam subyek dan bentuk yang beragam dan beberapa lebih cenderung melampaui berbagai aliran yang konvensional. Apakah itu foto-jurnalistik, salon, fashion, periklanan dan lain sebagainya. Tapi hal ini juga sekaligus menunjukan gambaran bagaimana fotografi kontemporer ingin menembus batas antara yang bukan seni dan yang seni, menghampiri suatu pendekatan terhadap konsepsi – konsepsi estetika yang mutakhir.