Senin, 30 November 2009

Antara Saya Dan Ikan Buntal

Udara yang dingin dengan hujan gerimis menyambut kedatangan saya di Jakarta setelah menghabiskan weekend yang 'cukup keras' di Bandung.
Sebenarnya sore itu adalah saat yang tepat untuk memanjakan selera makan saya. Selain lamanya perjalanan karena macet di tol, ditambah lagi oleh perut yang sudah meronta-ronta minta diisi.

Saya pun memutuskan untuk tidak segera pulang kerumah. Sebab biasanya, pada hari minggu ibu saya tidak memasak makanan. Jadi saya memutuskan untuk mencari makanan dulu di sekitar Kelapa Gading. " Ah,.. sekali-sekali mau cobain makanan yang agak mahal ahh.." Ucap saya dalam hati.Kebetulan uang sisa perjalanan ke Bdg masih cukup banyak.

Setelah beberapa menit berjalan kaki menembus gerimis, saya pun tiba di sebuah restoran Korea-Jepang. Restoran yang tertutup dan terkesan misterius, segera memancing naluri kuliner saya untuk memasuki tempatnya.

Restoran mungil itu cukup bagus. Walaupun hanyalah sebuah ruko 4 lantai, namun cara mereka mendesain ruangannnya cukup apik. Di lantai bawah, saya melihat tempat masak dan meja panjang mengelilinginya tempat pengunjung bisa menyantap makanannya sambil melihat sang koki berkreasi.
Koki yang berada di balik meja itu saya rasa orang Jepang atau Korea, saya sendiri tidak tahu pasti. Dia menatap saya dengan dingin. Mungkin dia heran, sebab tidak biasa pengunjung berperawakan Ambon seperti saya berkunjung ketempat itu. Ditambah lagi dengan muka saya yang cukup kusam dan jacket yang basah akibat berjalan di bawah siraman gerimis. Karena tempat disitu penuh, maka saya ke lantai 2. Lagi-lagi saya cukup terpukau dengan desain ruanganya. Tempat makan di lantai 2 di sekat sehingga menyerupai bilik-bilik kecil. Tempat ini cocok untuk menikmati hidangan bersama keluarga ataupun kekasih pujaan hati.Ditambah lagi, dikolong meja, ada celah untuk menghangatkan kaki.

agan harahap
hehe cukup nyaman bukan??

Seorang pelayan, dengan cukup kikuk ( lagi-lagi mungkin masih terheran2 dengan penampilan saya) menyuguhkan segelas air yang berwarna kekuningan. Air jagung katanya. Rasanya cukup ajaib. Dingin, segar, agak manis dan tentu saja beraroma jagung. Saya lantas membuang jauh-jauh imajinasi tolol saya yang sempat berpikir bahwa itu adalah air bekas cucian jagung.

Photobucket
air cucian jagung

Setelah membolak-balik buku menu, pilihan saya pun jatuh pada sup ikan buntal. Tampilan visualnya di menu terlihat cukup menggiurkan. Saya pikir akan sangat pas disantap ditengah udara yang dingin ini. Sang pelayan mengantarkan hidangan pembuka berupa makanan-makanan ringan yang terdiri dari kacang panjang, asinan kubis, lobak dsb.

Photobucket
manu-menu lucu nan ajaib. Walaupun tampilannya mengingatkan saya alla Salero Bundo, namun rasanya amatlah jauh berbeza.

Diantara berbagai menu pembuka diatas, hati saya cukup tertambat pada kacang panjang. Entah bagaimana mereka memasak kacang panjang itu. Walau tampilannya sederhana, namun rasanya sangatlah enak. Aroma wijen dan bawang putih jelas mendominasi hidangan ini.

Photobucket
Kacang panjang favorit saya!

Tak berapa lama menunggu, ahirnya hidangan 'ajaib' itu pun datang juga. Ikan buntal itu hadir dalam sebuah mangkuk porsi besar. Aroma khas sup ikan santer tercium memenuhi bilik mungil itu.
Rasa hidangan itupun tak jauh beda dari sup ikan lainnya. Namun ikan buntal memang mempunyai rasa yang agak manis dan 'sesuatu' yang khas yang membedakannya dari ikan lain. Dagingnya berwarna putih dan cukup tebal.

Photobucket
Sop ikan buntal

Baru saja saya menyantap hidangan utama itu, tiba-tiba ada perasaan aneh yang merasuki saya. Sebuah perasaan yang mungkin bisa saya samakan dengan perasaan ketika saya sedang mengkonsumsi mushroom tapi minus halusinasi. Ditambah sedikit rasa pusing dan mual. " Ah.. mungkin karena memang saya lapar" pikir saya dalam hati sambil melanjutkan menyantap sop ikan buntal nan menggoda itu.
Setelah menghabiskan setengah mangkuk besar, rasa pusing dan mual semakin menjadi-jadi. Ditambah lagi dengan pipi saya yang tiba-tiba saja kebas,tebal dan sedikit mati rasa. Hati saya yang tenteram damai lantas seketika berubah jadi kacau balau. Teringat cerita2 orang tentang ikan buntal yang mengandung racun mematikan.

"Ah.. apa iya hidup saya harus berakhir dikarenakan keracunan ikan buntal ?!?" ujar saya dalam hati. Seorang kawan memang dulu pernah meramalkan bahwa hidup saya akan berahir secara konyol dan tidak heroik.
Kalaupun saya mati hari ini, saya lebih memilih untuk meninggal di rumah di atas tempat tidur saya yang apek itu.
Tak lama, segara saya menyudahi petualangan bersama ikan buntal itu.
Setelah membayar,buru2 saya meninggalkan restoran itu dan berlari menembus hujan yg masih mengguyur untuk mencari angkot. Begitu di angkot, rasa pusing dan mual semakin menjadi-jadi. Keringat dingin pun keluar. Angkot sial yang saya naiki berjalan dengan lambat sambil sesekali 'nge-tem' untuk mencari penumpangan.
" Oh Tuhan,.. saya tahu kalau saya banyak berbuat dosa, namun kalaupun saya harus mati malam ini, izinkanlah saya mati di rumah saja. Jangan biarkan saya meninggal di dalam angkot ini " Doa saya dalam hati, seraya berusaha untuk menahan muntah di dalam angkot yang mulai dipenuhi penumpang.

Sesampainya di rumah, saya ceritakan 'pengalaman ini' kepada orang rumah. Mereka lantas menyuruh pembantu untuk pergi membeli susu. ( konon susu bisa untuk penawar racun).
Kepala saya berdenyut-denyut, pipi saya kebas dan perut saya mual. Saya pun tidak mampu memenuhi permintaan keponakan saya Gisella untuk menyanyikan lagu cicak-cicak di dinding karena badan saya lemas sekali.
Setelah meminum susu dalam jumlah yang cukup banyak, saya pun duduk di depan TV.
Hati saya agak tenang. Sebab rasa-rasanya malaikat maut sudah mulai menjauh dari saya.
Entah karena racun ikan buntal, atau memang kondisi badan saya yang memang sedang dalam keadaan yang tidak fit, Namun saya tidak mau lama-lama larut dalam kecemasan berlebihan. Dan saya pun memutuskan untuk menonton Kungfu Panda di HBO sebelum ahirnya tertidur di depan TV.

agan harahap
" Selamat menikmati "



Sekilas Tentang kan Buntal




Ikan buntal atau fugu memiliki racun di hati,telur dan pencernaannya. Racun yang bernama Tetrodotoksin (TTX) ini memiliki kekuatan 20 x lipat lebih mematikan dari sianida. Cukup 2 mmg TTX untuk membuat status kita seketika berubah menjadi almarhum/mah.
Gejala keracunan TTX ini, akan diawali oleh rasa mual, muntah2, mati rasa dalam rongga mulut, selanjutnya mucul gangguan fungsi saraf yang ditandai dengan rasa gatal di bibir, kaki dan tangan. Gejala selanjutnya adalah terjadinya kelumpuhan dan kematian akibat sulit bernafas dan serangan jantung. Gejala tersebut timbul selama 10 menit pertama hingga 30 menit dan setelah itu akan menimbulkan kematian.

Kamis, 26 November 2009

Hello Goodbye

Photobucket
I don't know why you say goodbye...

Photobucket
I say hello hello !!!

Rabu, 25 November 2009

...........

Diajak kawan untuk membantunya dalam sebuah acara model photo hunting..
Tak dapat berbuat banyak mengingat ada sekitar 50 fotografer yg berebutan untuk memotret.





SUPERHERO

For me, Nowadays, history/war is only the news on the television or newspapers or some borring lessons in a class room.
War (or History), also being modified into many cultural aspect of human being like a movie,novel, game, even art work..

Superhero is a portrait of now generation who 'enjoy' war/history as entertainment of our daily lives without care about the actual impact.
We see and we know about a history trough 'borring lessons',movie,game , etc..

Sometimes maybe we a concerned and felt pity for a moment, and then, ..we forget about it..


Stolen Art at Neuschwanstein Castle, 1945

Soldiers from the 7th US Army carry the priceless artworks down the steps of Meunschwanstein Castle where hoards of European art treasures, stolen by the Nazis, were hidden during World War II.



Soldats américains se livrant à des combats de rue, avenue de Paris, Cherbourg-Normandy 1944



Curtis Bay
Navy Coast Guard, in October 1943



Following the unconditional surrender of the Wehrmacht which went into effect on 8 May 1945, some Wehrmacht units remained active, either independently (e.g. in Norway), or under Allied command as police forces.[7] By the end of August 1945, these units had been dissolved, and a year later on 20 August 1946, the Allied Control Council declared the Wehrmacht as officially abolished



Fidel Castro - MATS Terminal Washington 1959



Conference of the Big Three at Yalta makes final plans for the defeat of Germany. Here the "Big Three" sit on the patio together, Prime Minister Winston S. Churchill, President Franklin D. Roosevelt, and Premier Josef Stalin. February 1945.



Afghan resistance fighters returning to a village destroyed by Soviet forces, 1986



He gives the order of the Day : 'Full victory-nothing else !' to paratroopers in England, just before they board their airplanes to participate in the first assault in the invasion of the continent of Europe.

Greenham Common Airfield in England about on June 5, 1944.


Superhistory.


by : Yesaya Sandang

Sejarah, konon ditulis oleh pihak yang menang. Oleh karenanya sejarah bisa jadi sepihak bahkan semena-mena. Jean Francois Lyotard (1924-1998) salah seorang pemikir postmodern mencoba keluar dari pandang tersebut dengan memandang sejarah sebagai kesatuan yang saling tergantung, atau sebagai serangkaian peristiwa aksidental yang mungkin saja memiliki konsekuensi-konsekuensi yang tidak diharapkan. Artinya, sejarah disini merupakan suatu jalinan cerita-cerita yang seharusnya diproduksi oleh banyak pihak, bukan pihak yang menang saja. Lebih jauh ia berpendapat bahwa kita tidak dapat lagi mengandalkan narasi besar ataupun cerita-cerita yang bertujuan untuk mengungkapkan kedalaman makna dan tujuan dari sejarah dunia secara sepihak. Dalam masyarakat dan budaya kontemporer, masyarakat post-industri, dan budaya postmodern, pertanyaan legitimasi pengetahuan (sejarah) dirumuskan dengan model yang berbeda. Narasi besar (grand narative) telah kehilangan kredibilitasnya, apapun model unifikasi yang digunakannya (Lyotard, 1984).

Salah satu narasi yang mengiringi sejarah umat manusia adalah perang. Perang adalah antitesa dari perdamaian. Perdamaian hanyalah perang yang tertunda, demikian ujar Machiavelli. Perang selalu sarat dengan perayaan akan kematian, ia selalu meminta korban tanpa pandang bulu. Tak ada yang baik dari perang karena ia hanya hanya berujung pada kehancuran. Namun toh perang selalu hadir menghiasai perjalanan sejarah umat manusia. Disini fotografi hadir sebagai salah satu media yang mengabadikan momen-momen dalam peperangan. Secara monumental, Robert Capa adalah salah satu sosok yang menjadikan fotografi sebagai penanda perang. Dalam esainya yang berjudul The Great War Photographs: Constructing Myths of History and Photojournalism, Michael Griffin mengutarakan bahwa gambaran dalam salah satu foto Robert Capa yang terkenal dengan judul The Death of Loyalist Militiaman sebagai ”non-specific encapsulation of an idea that transcends the moment or specific instance of the subject of the photo”. Dengan kata lain foto tersebut mampu keluar melampaui dari momen atau kejadian spesifik dari subjek foto itu sendiri. Menyaksikan foto ini membawa kita pada keheningan sesaat karena terhentak oleh sebuah gambaran kematian yang seketika.

Namun, dewasa ini liputan perang bukan hanya soal foto. Liputan media lainnya yang kian canggih mampu menghadirkan nuansa perang hingga ke ruang keluarga kita dalam bentuk yang terdistorsi. Perang kemudian hanya merupakan jalinan cerita tak bertepi, menggugah namun sekaligus hampa. Bagi generasi muda dewasa ini perang bahkan telah menjadi objek permainan menarik. Tengok saja permainan komputer semisal Call of Duty, Medal of Honor, dan masih banyak lainnnya. Narasi perang dijadikan media untuk meleburkan diri dalam suasana bermain-main. Unsur sejarah yang dikemas dalam permainan tersebut tak dapat dipungkiri adalah sejarah versi pemenang. Asumsinya, mana ada orang yang mau main jika ia jadi yang kalah. Menang dengan embel-embel kepahlawanan adalah misi sakral yang harus dicapai.

Dalam peperangan selalu dikisahkan tentang tokoh-tokoh yang memiliki peranan penting. Tokoh tersebut diberi kriteria pahlawan, entah karena keberaniannya atau keteguhan dalam mengemban tugas. Dalam kosakata umumnya, pahlawan memang orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, seorang pejuang yang gagah berani. Dari sana kata kepahlawanan dijelaskan sebagai perihal sifat pahlawan (seperti; keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, dan kekesatriaan).

Dalam ruang imanjinasi yang tidak mengandalkan narasi besar, cara pandang terhadap sejarah bisa saja mengalami pergeseran. Termasuk cara pandang terhadap pahlawan. Agan disini bisa jadi terinpirasi dari model-model petualangan imajiner yang lekat dengan kehidupan generasinya. Sejarah yang disikapi dengan santai. Dan dalam kesantaiannya tersebut, Agan kemudian mengolah tangkapan sejarah dalam fotografi kedalam ruang imajinasinya dengan gaya satire yang unik. Ia menggeser pemaknaan fotografi perang kedalam versinya.

Namun uniknya, dalam karya Agan kali ini ia memilih untuk memasukan tokoh-tokoh “superhero” yang umum dikenal melalui komik-komik DC dan Marvel. Judul besar karya-karyanya memang SUPERHERO. Namun, apa maksudnya ketika ia menyajikan kehadapan kita secara berhadap-hadapan antara narasi sejarah dan sosok superhero? Mungkinkah Agan sementara hendak menyindir kita bahwa kita sementara hidup dalam narasi komikal? Atau bahwa sejatinya serorang pahlawan hanya ada dalam dunia komikal? Atau beginilah caranya memandang sosok pahlawan, yakni secara komikal? Entah lah. Walau demikian, dunia komikal memang memiliki daya tariknya sendiri. Kisah seru dalam jalinan aksi lengkap dengan bumbu-bumbu romantika adalah daya tarik utamanya. Dalam dunia komikal sosok superhero adalah tokoh dengan kemampuan yang tidak dimiliki manusia pada umumnya, entah itu bawaan, ataupun diciptakan. Batman misalnya berbeda dengan Superman yang memiliki kemampuan bawaan khusus. Batman hanya mengandalkan olah raganya disertai alat-alat canggih yang ia miliki. Namun toh keduanya sama-sama memiliki seperangkat kekuataan yang tidak dimiliki orang kebanyakan. Tokoh-tokoh ini dengan latar belakangnya masing-masing menjadi sosok pembela kebenaran dan kebajikan demi kepentingan orang banyak.

Lantas apa jadinya jika Batman ternyata turut andil dalam revolusi Sosialis Kuba yang dipimpin oleh Fidel Castro. Atau dalam medan tempur Cherbourg-Normandy bersama-sama dengan pasukan sekutu ada Spiderman dengan gayanya yang khas. Dan ada pula Batman ditengah-tengah Company E, 2502nd PIR (U.S. 101st Airborne Division). Ini semua pertama-tama membuat saya tertawa. Lucu memang, namun kemudian saya tertegun sejenak dengan suatu pertanyaan yang mengganggu. Dengan cara semacam inikah kita memahami narasi sejarah perang? Bukan tidak mungkin kisah sejarah yang mulai dipreteli unifikasi narasinya atas nama narasi kecil, dan dikemas dalam bentuk bermain-main akan menimbulkan problem dikemudian hari, di generasi yang akan datang. Dari sini entah mengapa tiba-tiba saya malah berpikir, bagaimana jika suatu waktu kelak, perang tak lebih sekedar simulasi dalam satu ruangan dengan banyak layar dan tombol. Dan orang-orang yang mengoperasikan sementara melakoninnya seakan-akan mereka sedang “bermain”. Ia tak lagi hadir dalam kehidupan kita. Terdengar janggal mungkin, namun yang janggal inilah yang saya tangkap sementara disasar oleh Agan. Bahwa kian lama perang kian kehilangan nuasa krisisnya. Ia hanya berita di televisi, foto-foto di medan perang yang dihargai sebagai foto tahun ini secara berkala. Perang di modifikasi kedalam bentuk simulasi permainan tanpa perduli dengan dampak yang sebenarnya dapat terjadi. Dan kepahlawanan kemudian hanya fiksi, layaknya dalam dunia komik dan permainan.

Setelah banyak bereksperimen di wilayah surealis, saya mengira Agan sekarang mulai lebih konsern masuk pada dimensi yang lebih bernuansa satire. Kesan dangkalnya memang hanya sekedar lelucon, buat lucu-lucuan. Namun, kalau mau dimaknai lebih dalam, kita dapat menemukan keprihatinan yang tidak main-main. Revolusi digital hari-hari ini dipakai Agan untuk melakukan perlawanan terhadap revolusi itu sendiri. Sebuah revolusi superhistory.

History is the present. That's why every generation writes it anew. But what most people think of as history is its end product, myth.

-E.L.Doctorow-



http://www.trendhunter.com/trends/super-hero-photgraphy

http://www.formatmag.com/news/agan-harahap-super-hero-photography/

http://www.hanshaupt.com/2009/10/16/heroes-and-villains-escaping-reality/