Minggu, 12 Desember 2010
Chinesse Food 55
Chinesse Food 55
Di suatu siang, ibu saya berkata :
" Bang, pergi dulu lah kau ke 55, beli 5 nasi goreng dibungkus "
Dan seperti yang sudah-sudah, tanpa banyak bicara dan penuh suka cita,saya pun bergegas pergi ke restoran mungil yang berdiri di pasar Sumur Batu. Tidak jauh dari tempat tinggal kami.
Siang itu, si engkoh juru masak sedang duduk-duduk sendiri sambil mendengarkan instrumen musik khas China. " Nasi goreng haa? Pake babi ? " begitu tanyanya dengan logat Cina yang kental. Dan tanpa banyak cingcong dia segera membuat pesanan saya. Umur si engkoh mungkin saja sudah 60-an. Gerakannya masih gesit.
Si Engkoh dengan sigap memasak pesanan saya
Sambil menunggu pesanan saya dibuat, saya membakar rokok dan ingatan saya pun kembali kebeberapa belas tahun silam.
Itu adalah saat pertama kali almarhum ayah saya 'memperkenalkan' kami sekeluarga untuk pergi makan ke restoran itu. Waktu itu, si engkoh masih dibantu oleh kedua anaknya. Entah kemana anak-anak itu sekarang. Mungkin saja sudah menikah atau merantau pergi ketempat lain, mencari penghidupan yang lebih baik dari sekedar pembuat nasi goreng di pasar yang kumuh itu.
Tidak banyak yang berubah dari bangunan restoran itu. Dapur kecil dimana si engkoh 'mengeluarkan segala jurus-jurus maut nya' tampak masih dekil seperti dulu. Pintu kayu dengan kawat kasa penghalang nyamuk yang menjadi penambung dengan rumah kediaman si engkoh di belakang masih berdiri membisu seperti dulu. Satu hal yang pernah saya ingat, ada sebuah kalender besar bergambar harimau. Yak, kalender itu masih terpampang dengan gagahnya di dinding restoran itu. Kalender itu menunjukkan tahun 1986. Mungkin saja itu adalah tahun dimana restoran itu berdiri. Entahlah..
Pernah juga dulu, saya melihat bahwa restoran itu dijadikan tempat kongkow-kongkow ( baca : bermain judi) oleh orang-orang Cina di sekitar tempat itu. Namun nampaknya kegiatan itu sekarang sudah tidak ada lagi.
masih seperti dulu, kalender bergambar harimau itu pun masih dipajang disana.
Restoran itu cukup terkenal di daerah kami. Selain harganya yang murah, rasa masakannya pun tidak kalah dengan restoran-restoran mahal disana. Nasi campurnya dulu sempat menjadi andalan saya. Nasi putih dengan babi panggang, babi merah dan telur yang disiram dengan kuah kental. Walaupun sederhana dan murah, tapi rasanya sedap sekali. Seingat saya, untuk menu nasi campur selalu saja dikerjakan oleh si enci (istri si engkoh). Tapi saya tidak pernah melihat lagi si enci itu. Mungkin saja si enci sedang sakit, atau bahkan mungkin sudah meninggal. Saya enggan menanyakan kabarnya pada si engkoh. Pernah beberapa kali saya memesan nasi cumpur favorit itu, dan anaknya yang menggantikan si enci membuatkan saya menu itu. Namun rasanya sudah tidak sama lagi. Sejak itu saya tidak pernah lagi memesan nasi campur.
pintu dengan kawat nyamuk yang masih tetap seperti dulu
Lamunan saya terhenti. Pesanan saya sudah siap. Si engkoh membungkus nasi goreng itu dengan daun pisang. Hmm.. Saya rasa hampir tidak ada lagi restoran di Jakarta yang membungkus sajiannya dengan daun pisang.
Musik instrumen Cina itu masih terus diputar. Beberapa pembeli lain datang dan memesan menu favorit mereka, dan si engkoh kembali dengan sigap melayani semua pesanan mereka.