Senin, 25 April 2011

Interstellar by The Howler Terror Club

THTC

"Eh Gan, Gw minta drawing loe dong buat THTC, tp sori pisan , deadline nya mepet euy.." ujar Panji di sebuah acara minum bir di sebuah bar di Bandung. Setelah beberapa saat bergelut dengan kertas dan komputer, ini lah yang bisa saya hasilkan:
agan harahap
Photo : Andy Warhol
Model : JM Basquiat
Scratch : Agan Harahap

Minggu, 17 April 2011

Catatan Dari Kelas Tribun


agan harahap

ME AS A BOXING FAN

Saya adalah seorang penggemar olahraga tinju yang cukup fanatik. Dan semenjak kecil, saya hampir tidak pernah melewatkan pertandingan-pertandingan yang disiarkan di televisi. Mulai dari petinju lawas yang mungkin kurang dikenal oleh orang seusia saya sekarang seperti Thomas Hearns, Marvin Hagler, Chavez, Roberto Duran, Larry Holmes, Frank Bruno dsb, kesemuanya adalah nama-nama yang akrab di kuping saya semenjak kecil. Belum lagi nama-nama legendaris seperti Moh Ali, George Foreman, Hollyfield, Mike Tyson, De La Hoya, Manny Pacquiao, Klitschko brothers dsb yang hampir setiap berita mengenai mereka tidak pernah saya lewatkan. Dan belakangan ini, youtube adalah sarana utama utama saya untuk melampiaskan kegemaran saya akan olahraga ini.

agan harahap

Kali pertama saya menyaksikan tinju secara langsung, adalah ketika saya masih duduk di bangku SMA. Pertandingan kelas amatir yang memperebutkan piala walikota Jakarta Pusat di sebuah gelanggang olahraga kecil di bilangan Cempaka Putih. Saya sungguh antusias mengikuti pertarungan demi pertarungan. Dan saya masih ingat, beberapa petinju favorit saya seperti La Paene Massara, Hermensen Balo dan Hendrik Simangunsong, adalah nama-nama yang akhirnya turut serta dalam squad timnas Indonesia dalam memperebutkan medali di Olimpiade Atlanta.
Saking tergila-gilanya akan olahraga tinju, pernah suatu ketika, saya dan seorang kawan pernah mencoba untuk bergabung di sasana Benteng ASMI yang kebetulan tidak jauh dari tempat tinggal kami. Namun karena suatu dan lain hal, maka kami mengurungkan niat 'suci' kami untuk menjadi seorang petinju.
Selain mengikuti via televisi, saya juga adalah pelanggan setia tabloid Bola. Dan setelah membaca ulasan NBA, maka bacaan selanjutnya yang menjadi santapan saya adalah artikel tentang tinju. Tak ketinggalan, petinju-petinju lokal seperti Anis Roga, Albert Papilaya, Suwito Lagola, Rahman Kili-Kili, Moh Alfaridzi dsb pun tak luput dari perhatian saya yang masih anak-anak.

Kemarin malam, adalah kali kedua saya menyaksikan pertandingan tinju secara langsung. Pertandingan tinju yang bertajuk " The Moment of Truth " yang menampilkan partai puncak antara Chris John dan Daud Yordan, sudah seminggu ini lumayan menyita perhatian saya. Akibat antusiasme saya pada pertandingan ini, maka kekasih hati saya pun sampai merasa ditelantarkan :p

Akibat keinginan yang menggebu untuk menyaksikan sebuah pertandingan tinju skala besar secara langsung, maka selepas kebaktian di gereja pukul 1 siang, saya pun memacu sepeda motor saya menuju PRJ Kemayoran untuk membeli tiket supaya tidak kehabisan. Kondisi keuangan yang cukup memprihatinkan serta harga tiket yang cukup mahal, tidak menjadi alasan untuk membatalkan niat saya menonton pertandingan ini.
Bersama seorang kawan yang juga penggemar tinju, kami berdua menuju lokasi pertandingan. Kami lantas memilih duduk di tdekat operator monitor tv yang menurut kami adalah tempat paling nyaman untuk menyaksikan laga itu secara langsung.
Partai-partai pembuka mulai digelar. Tidak ada yang menarik dari partai-partai awal ini. Namun dikarenakan antusiasme melihat tinju secara langsung, dan ditambah lagi sudah banyak uang yang keluar untuk membeli tiket, serta waktu yang sudah kami korbankan demi melihat pertandingan ini, maka kami pun mau tak mau enjoy saja dalam menyaksikan tiap laga yang berlangsung.


Laga yang sesungguhnya pun terjadi, adu jotos khas masyarakat kita.


BOXING AND ENTERTAIMENT


Banyak hal yang menarik ketika menyaksikan sebuah pertandingan tinju. Promotor tinju semacam Don King, Bob Arum sampai Oscar De La Hoya, kesemuanya bisa terbilang sukses dalam memadukan kekerasan otot dan darah dengan unsur hiburan. Dengan berbagai tingkah polah kemunculan petinju ke dalam arena yang diiringi dengan musik dan percikan kembang api yang sungguh memukau perhatian penonton.


Ring girl yang selalu saja berhasil meredakan (atau bahkan menambah?) ketegangan.

Saya teringat ketika Naseem 'The Prince" Hamed ketika memasuki arena pertandingan dengan diangkat di atas tandu layaknya seorang pangeran. Atau ketika serombongan troubadour yang menyanyikan lagu-lagu khas Amerika Latin dalam menyambut seorang Julio Caesar Chavez. Atau beberapa rapper yang mengiringi kemunculan seorang Roy Jones Jr di atas ring.
Yeah.. Unsur sentimen kedaerahan, patriotisme,nasionalisme bahkan keagamaan pun dapat dihadirkan atas nama entertainmen demi memperoleh rating tv dan laba yang maksimal.

Belum lagi intrik-intrik di luar ring yang sengaja dimunculkan untuk menambah 'panasnya suasana duel'.
Saya teringat ketika Mohammad Ali dengan boneka gorilla nya mengolok-olok Sonny Liston sebelum bertanding di Thailand. Hollyfield- Tyson yang sekonyong-konyong berkembang menjadi 'semacam perang agama' , bahkan sampai dengan sesumbar tiap-tiap petinju ketika konferensi pers digelar. Ya. Kesemuanya itu adalah unsur hiburan yang sukses dipadukan dengan gelaran tinju profesional.

Bagaimana dengan pertandingan semalam? Banyak sekali 'nilai minus' yang saya lontarkan terhadap promotor dan penyelenggara. Mulai dari MC perempuan berpenampilan gothic yang kerap kali salah melafalkan kalimat-kalimat dalam bahasa Inggris, suasana galla dinner di pinggir ring tinju yang terkesan 'apeu', Henry Lamiri yang memainkan biola di jeda pertandingan (wtf ?!?) , sampai 'adu lawak' konyol antar selebriti yang digelar atas nama entertaimen ?!?
Saya sempat berpikir, mungkin akan lebih menarik jika panitia bisa membuat pertandingan tinju antar para tokoh politik antara Ruhut Sitompul dan Roy Suryo atau Tiffatul Sembiring melawan habib Rizieq ?!? Tentu saja pertandingan itu akan jauh lebih menarik ketimbang kita menyaksikan pria-pria pesolek yang berpura-pura macho saling memukul layaknya banci yang sedang saling mencakar di atas ring.
Belum lagi jeda antara tiap partai yang terlalu lama. Kami, penonton yang berada di PRJ, sama sekali tidak tahu akan adanya keberadaan Briptu Norman atau Iwa K yang menurut laporan langsung dari kekasih hati saya via bbm, turut serta hadir dan memberikan hiburan-hiburan kepada para penonton.
Kami, penonton yang harus merogoh kocek demi menyaksikan pagelaran itu secara langsung, ditelantarkan dengan hanya melihat ring tinju gelap dengan MC bodoh yang sesekali hanya tersenyum getir akibat diteriaki penonton se PRJ.


MC yang hanya mampu mesem-mesem ketika diteriaki penonton

Apabila saya menyaksikan pertandingan tinju internasional yang disiarkan secara langsung di televisi, nampaknya tidak ada jeda yang terlalu lama. Dari partai -partai tambahan sampai pada partai puncak, semuanya mampu berjalan dengan baik sehingga penonton yang membeli tiket dan penonton yang hanya mampu menyaksikan di televisi, semuanya mendapatkan kepuasan. Promotor disini hanya menuruti keinginan stasiun tv yang dapat semena-mena menunda animo penonton yang menggebu-gebu demi commercial break dan lantas menelantarkan penonton di venue yang hanya mampu dengan sabar menanti dimulainya pertandingan. Nampaknya para promotor tinju di negara ini kedepannya harus banyak belajar dengan lebih baik lagi untuk menebus 'dosa-dosa' mereka semalam.

"The Moment of Truth" ("Saat Kejujuran"?!?).

mot

Dari awal pertandingan ini mulai di iklankan di berbagai media, sebagai seorang penggemar dan pemerhati tinju, saya sudah membaca situasi bahwa ini hanyalah sebuah 'hiburan rakyat'. Bukan sebagai suatu yang harus benar-benar dipertaruhkan. Apalagi Daud Yordan bukanlah lawan yang sepadan bagi seorang Chris John. Daud adalah penantang urutan ke-5 dari sang pemegang sabuk. Jauh dibawah Celestino Caballero, Eduardo Escobedo, Matt Remillard dan Rafael Guzman.

Chris "The Dragon" John, adalah petinju nomor 1 Tanah Air yang memegang gelar juara tinju kelas bulu versi badan tinju WBA, sudah menjadi semacam 'superhero' bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Belum lagi rekor bertandingnya yang tak terkalahkan makin membuat namanya semakin harum.
Tapi menurut saya, tidak pernah ada petinju hebat kelas dunia yang tidak pernah kalah dalam bertanding. Untuk menyandang predikat 'legenda', seoang petinju harus terlebih dulu mengalami kekalahan, lantas bangkit kembali untuk merebut dan mempertahankan gelar juaranya.
Bagaimana dengan Chris John? Menurut pemikiran saya yang boleh dibilang sarkastis, petinju asal Banjarnegara ini bisa dibilang sudah terlalu mapan dan nyaman sebagai juara di kelasnya.
Terlebih lagi keterlibatannya dengan banyak pihak sebagai seorang 'superstar'. Chris John adalah pusat perputaran pundi-pundi rupiah dalam dunia industri komersial tanah air.
Apabila Daud Yordan mampu memenangi pertandingan ini, maka efek kekalahan Chris John pun sudah jelas akan berpengaruh pada banyak pihak belum lagi 'rasa percaya diri bangsa' yang akan hilang seiring dengan kekalahan Chris John.
Chris John yang jelas unggul dalam segala lini, jelas tidak boleh kalah. Terlebih oleh petinju 'kemarin sore' sekelas Daud Yordan.

Daud "Cino" Yordan, yang belakangan mengganti nama julukannya dengan 'The Stones' (mungkin saja untuk mengurangi 'efek rasial' dari bangsa ini), adalah petinju no-2 Indonesia yang tepat berada di bawah bayang-bayang Chris John. Walaupun sedemikian kuatnya keinginan untuk meraih posisi teratas dalam peta tinju tanah air, tetap saja dia belum punya daya jual komersil yang sepadan jika dibandingkan Chris John. Terlebih jika mengingat usianya yang masih belia, dan kiprah dunianya yang belum terlalu membanggakan, tentu saja Daud harus 'mengalah' pada seniornya dalam pertandingan ini.




Tidak ada sesuatu yang istimewa dalam pertandingan tadi malam, Chris John yang unggul dari segala lini lagi-lagi tidak mampu mengkanvaskan lawannya. Tidak seperti sesumbarnya pada preskon tempo hari.
Daya tahan fisiknya memang tidak bisa dipungkiri. Ia tetap terlihat bersemangat sampai akhir pertandingan. Namun apabila melihat pukulan-pukulannya yang masuk, tak lebih hanya untuk menambah angka (Apabila kita melihat kebelakang, 5 pertarungan terakhir Chris John dimenangkannya dengan menang angka). Saya setuju dengan pendapat Syamsul Anwar Harahap yang mengatakan, bahwa Chris John memang tidak memiliki killing punch. Dan ini adalah hal yang cukup fatal sebagai seorang petinju.
Di lain pihak, Daud Yordan terlihat canggung dalam menghadapi seniornya. Menurut pengamatan saya, dia hanya unggul di satu ronde (8). Ketika kombinasi jab, hook dan uppercut nya cukup membuat Chris John tertegun sejenak. Selebihnya dia hanya mampu bertinju dibawah bayang-bayang dominasi "Sang Naga".

Kemenangan angka mutlak yang diberikan oleh 3 hakim, adalah keputusan yang tepat.
Baik itu berdasarkan hasil tanding ataupun berdasarkan 'karier ekonomis' kedua petinju.
Buat saya pribadi, baik Chris John ataupun Daud Yordan tidak ada yang memenangkan pertandingan malam itu. Gelar hanyalah tinggalah gelar. Cepat atau lambat, Chris John pasti akan melepaskannya. Dan jalan seorang Daud Yordan masih panjang. Asalkan dia bisa menambah prestasinya dikancah dunia, tentu Daud Yordan akan menjadi the next commodity and 'a hero' bagi negara ini.
Dan sebagaimana pertandingan tinju yang lain, yang menjadi pemenang utamanya adalah adalah (lagi-lagi) promotor dan penyelenggara.

Kembali kepada judul pertandingan " The Moment of Truth", apakah anda percaya bahwa masih ada kejujuran dalam setiap pertandingan tinju?


agan harahap


*Agan Harahap melaporkan dari bangku tribun JI EXPO Kemayoran

Rabu, 06 April 2011

HAPPY RELIGION

agan harahap

Banyaknya ‘peristiwa-peristiwa keagamaan’ yang terjadi di Indonesia ( tragedi Ahmadiyah, penutupan paksa gereja, fenomena FPI, kerusuhan Ambon, Poso dsb), bagi saya adalah dampak dimana agama, pada era modern seperti sekarang, disikapi dengan terlalu ‘text book’, berat, kaku dan berlebihan sehingga terjadilah berbagai gesekan dan ketegangan dalam kehidupan beragama di Indonesia. Belum lagi masalah keterbatasan sarana informasi dan paham ‘ke-dulu-an’ yang mengakar kuat, menambah pelik permasalahn beragama yang terjadi di negara ini.

Sebaliknya, di negara-negara maju, agama tidak lagi ditempatkan di atas segala-galanya. Agama tidak lagi menjadi suatu bentukan kaku yang sakral. Agama sudah ‘bertransformasi’ dan ‘diaplikasikan’ kedalam banyak ragam bentuk dan rupanya dalam kehidupan humanis sehari-hari. Sebagai contoh, kita bisa melihat berbagai produk Hollywood yang menggunakan agama sebagai komoditas dengan berbagai cara demi mengeruk keuntungan. Mulai dari The Passion Of The Christ besutan Mel Gibson yang menyayat-nyayat, The Davinci Code yang fenomenal sehingga mempertanyakan keabsahan Yesus sebagai yang di-tuhan-kan, sampai Bruce Almighty, dengan Morgan Freeman yang berperan sebagai tuhan dan aksi parody Jim Carey yang sukses membuat saya terbahak-bahak dsb.

Saya tidak berkata bahwa ‘sistem keagamaan’ di negara-negara maju itu adalah yang benar dan negara-negara ‘kaku’ seperti Indonesia adalah salah. Akan tetapi, menurut hemat saya, adalah sangat wajar apabila kita memandang agama sebagai ‘bentuk yang lebih manusiawi’.

Berdasarkan perenungan saya di atas, maka tercipta lah karya “Happy Religion” ini.



Bentuk asli wajah Kristus telah jadi perdebatan dari masa ke masa sampai saat ini. Kain kafan dari Turin (yang diyakini sebagai kafan penutup ‘jenazah’ Yesus setelah peristiwa penyaliban), secara ‘ajaib’ telah menggambarkan citra imaji Yesus seperti yang sekarang kita kenal dengan rambut gondrong dan wajah yang berjanggut. Begitu banyak perdebatan, teori serta percobaan-percobaan ilmiah yang telah dilakukan untuk membuktikan keabsahan dari imaji Yesus yang terbentuk pada kain Turin tersebut.

Karya ini merupakan aksi unjuk sikap saya sebagai orang yang menganut agama (Kristen) dengan ‘santai dan humanis’. Saya tidak lagi mempermasalahkan asal-usul dan bentuk rupa Yesus sebagai sesuatu yang sakral. Apakah benar wajah Yesus itu berjanggut dan berambut panjang, atau berkulit hitam dan berambut kribo, atau bahkan mungkin botak,kelimis dan bermata sipit. Bagi saya, alangkah jauh lebih elok apabila saya belajar untuk mengimani agama saya secara personal dan belajar untuk hidup rukun dengan sesama ketimbang mempermasalahkan ‘hal-hal kecil’ yang bisa berakibat fatal bagi kadar keimanan saya dan hubungannya dengan khalayak.

Melalui karya-karya Caravaggio yang didominasi tema-tema keagamaan ( Kristen), serta gaya yang amat ‘fotografis’, membuat saya dengan latar belakang sebagai fotografer dan digital imaging, ‘menemukan kesesuaian’ secara teknis untuk ‘meminjam’ karyanya dan mengaplikasikannya kedalam serial Happy Religion ini.

Menurut saya, ketika tiap-tiap individu bisa memandang agama sebagai suatu bentuk yang ‘humanis dan cair’, saya yakin ketegangan-ketegangan dan gesekan-gesekan yang mengakibatkan perpecahan dan diskrimanasi atas nama agama tidak akan terjadi lagi di kehidupan-kehidupan mendatang.


Agan Harahap