Selasa, 26 Februari 2013
Senin, 18 Februari 2013
Pendapat Saya Tentang Sejarah 65
Beberapa waktu yang lalu, tanpa sengaja saya menemukan sebuah link untuk mendowload film "Pengkhianatan G-30-S/PKI". Saya pun mendownload dan menonton lagi film ini. Dan tanpa disangka, saya sukses tertidur dengan pulas ketika menyaksikan film ini. Mungkin karena durasinya yang terlalu lama saya rasa.
Pengalaman ini tentu jauh berbeda ketika saya menonton film ini untuk pertama kalinya. Saya sampai tidak bisa tidur karena menonton film tersebut. Suasana horor dan teror di film ini jauh melebihi film-film horor alla Hollywood. Adegan bibir hitam yang tak putus merokok, adegan penculikan yang slow motion, sungguh teramat menghantui saya. Belum lagi adegan ketika penembakan Jenderal DI Panjaitan. Lagu-lagu klasik dan jerit tangis serta adegan mengusap darah di wajah merupakan hal yang sungguh mengerikan bagi saya yang masih duduk di sekolah dasar. Sedikit saja ada bunyi di luar pagar, membuat saya dengan sigap memeriksa keadaan di luar. "Yah, mana tau ada truk yang datang yang akan menculik bapak saya". Pikir saya waktu kecil dahulu.
Kemarin pagi, saya iseng kembali menonton film tersebut. Kali ini saya tidak tertidur. Dan atas nama 'nostalgia masa kecil" dan ditambah lagi karena kemarin memang saya tidak ada kegiatan, maka saya memutuskan untuk pergi ke Lubang Buaya.
Saya tidak bisa mengingat, kapan terakhir kali saya berkunjung ke Museum Kesaktian Pancasila. Entahlah. Mungkin SD atau SMP. Tapi yang jelas, pengalaman berkunjung ke lubang buaya ketika kecil, adalah sama mencekamnya ketika saya menonton film "Pengkhianatan G-30-S/PKI" di TVRI jaman dulu.
Sesampainya di Lubang Buaya, saya menjumpai banyak anak-anak sekolah yang sedang melakukan studi wisata disana. Anak-anak terlihat sibuk mencatat sambil mendengar penjelasan dari seorang guide. Dari ceritanya, seolah-olah guide itu benar-benar hadir dan menyaksikan peristiwa penyiksaan dan pembunuhan tersebut sehingga dia bisa menjelaskan setiap ditel yang terjadi pada masa itu. Sungguh berlebihan.
Sementara anak-anak mendengarkan penjelasan dari guide yang lebay itu, ibu-ibu guru nampak bergantian untuk berfoto di bawah monumen. Bahkan ibu-ibu guru tersebut meminta tolong kepada saya untuk mengambil foto mereka.
Di lokasi itu, ada sebuah bangunan yang konon dijadikan tempat "penyiksaan" bagi para jenderal. Di dalam bangunan itu terdapat manekin-manekin tentara, pemuda rakyat dan gerwani yang sedang melakukan adegan penyiksaan. Tampak disana mereka sedang menginterogasi Jend S Parman yang berdarah-darah sementara beberapa lainnya sedang menunggu untuk disiksa. Belum lagi dari speaker terdengar suara yang menceritakan kronologi pembunuhan tersebut. Beberapa siswa yang menyaksikan ini tampak begitu tegang dan serius. Berbeda dengan saya yang dalam hati sibuk mengomentari warna cat rumah yang kuning mencolok (entah kenapa saya berpikir tentang Golkar), boneka-boneka yang sudah usang dan berdebu, serta berbagai pertanyaan 'penting' lainnya.
Setelah dari lokasi penyiksaan itu, saya pun melangkahkan kaki ke sumur. Sumur tersebut berada dalam sebuah bangunan semacam pendopo kecil. Dari jauh, bangunan ini terlihat cukup megah walau sedikit berlebihan dengan ukiran-ukirannya. Tapi ada satu hal yang sangat mengusik saya. Di bibir sumur, terlihat ada cat berwarna merah (artifisial). Mungkin saja pengelola gedung sengaja memberi efek darah agar suasana terasa lebih mencekam. Tapi, kenapa sampai harus berlebihan seperti itu?
Bosan dengan keadaan 'mencekam' itu, saya pun melangkahkan kaki menuju bangunan museum. Nama bangunan itu cukup provokatif "Museum Pengkhianatan PKI. (komunis). Bayangkan, (dalam tanda kurung), Komunis". Bangunan itu lumayan sepi. Anak-anak sekolah nampaknya sudah masuk ke ruang auditorium untuk 'didoktrinisasi' oleh film 'horor' itu. Bangunan itu tidak terawat dengan baik. Tapi syukurlah, pendingin ruangan bekerja dengan baik. Di dalam bangunan itu nampak diorama-diorama yang dibuat secara menditel. Cukup menarik untuk disaksikan. Diorama-diorama itu menceritakan tentang 'sepak terjang' PKI. Mulai dari pemberontakan Muso sampai penangkapan (pembunuhan) PKI di Blitar. Secara keseluruhan, menyaksikan diorama-diorama ini lumayan menjemukan. Belum lagi ditambah dengan penataan cahaya yang jelek. Tetapi kalau kita lihat secara menditel, diorama-diorama ini jelas menggambarkan teror-teror berdarah yang di sebabkan PKI pada masa itu. Penonton tak henti-hentinya disuguhi dengan berbagai adegan pembunuhan yang kejam dan berdarah-darah.
Pengalaman ini tentu jauh berbeda ketika saya menonton film ini untuk pertama kalinya. Saya sampai tidak bisa tidur karena menonton film tersebut. Suasana horor dan teror di film ini jauh melebihi film-film horor alla Hollywood. Adegan bibir hitam yang tak putus merokok, adegan penculikan yang slow motion, sungguh teramat menghantui saya. Belum lagi adegan ketika penembakan Jenderal DI Panjaitan. Lagu-lagu klasik dan jerit tangis serta adegan mengusap darah di wajah merupakan hal yang sungguh mengerikan bagi saya yang masih duduk di sekolah dasar. Sedikit saja ada bunyi di luar pagar, membuat saya dengan sigap memeriksa keadaan di luar. "Yah, mana tau ada truk yang datang yang akan menculik bapak saya". Pikir saya waktu kecil dahulu.
Kemarin pagi, saya iseng kembali menonton film tersebut. Kali ini saya tidak tertidur. Dan atas nama 'nostalgia masa kecil" dan ditambah lagi karena kemarin memang saya tidak ada kegiatan, maka saya memutuskan untuk pergi ke Lubang Buaya.
Saya tidak bisa mengingat, kapan terakhir kali saya berkunjung ke Museum Kesaktian Pancasila. Entahlah. Mungkin SD atau SMP. Tapi yang jelas, pengalaman berkunjung ke lubang buaya ketika kecil, adalah sama mencekamnya ketika saya menonton film "Pengkhianatan G-30-S/PKI" di TVRI jaman dulu.
Sesampainya di Lubang Buaya, saya menjumpai banyak anak-anak sekolah yang sedang melakukan studi wisata disana. Anak-anak terlihat sibuk mencatat sambil mendengar penjelasan dari seorang guide. Dari ceritanya, seolah-olah guide itu benar-benar hadir dan menyaksikan peristiwa penyiksaan dan pembunuhan tersebut sehingga dia bisa menjelaskan setiap ditel yang terjadi pada masa itu. Sungguh berlebihan.
Sementara anak-anak mendengarkan penjelasan dari guide yang lebay itu, ibu-ibu guru nampak bergantian untuk berfoto di bawah monumen. Bahkan ibu-ibu guru tersebut meminta tolong kepada saya untuk mengambil foto mereka.
Di lokasi itu, ada sebuah bangunan yang konon dijadikan tempat "penyiksaan" bagi para jenderal. Di dalam bangunan itu terdapat manekin-manekin tentara, pemuda rakyat dan gerwani yang sedang melakukan adegan penyiksaan. Tampak disana mereka sedang menginterogasi Jend S Parman yang berdarah-darah sementara beberapa lainnya sedang menunggu untuk disiksa. Belum lagi dari speaker terdengar suara yang menceritakan kronologi pembunuhan tersebut. Beberapa siswa yang menyaksikan ini tampak begitu tegang dan serius. Berbeda dengan saya yang dalam hati sibuk mengomentari warna cat rumah yang kuning mencolok (entah kenapa saya berpikir tentang Golkar), boneka-boneka yang sudah usang dan berdebu, serta berbagai pertanyaan 'penting' lainnya.
Adegan penyiksaan yang mencekam
Sumur dengan darah buatan dan nama museum yang sungguh provokatif
Setelah dari lokasi penyiksaan itu, saya pun melangkahkan kaki ke sumur. Sumur tersebut berada dalam sebuah bangunan semacam pendopo kecil. Dari jauh, bangunan ini terlihat cukup megah walau sedikit berlebihan dengan ukiran-ukirannya. Tapi ada satu hal yang sangat mengusik saya. Di bibir sumur, terlihat ada cat berwarna merah (artifisial). Mungkin saja pengelola gedung sengaja memberi efek darah agar suasana terasa lebih mencekam. Tapi, kenapa sampai harus berlebihan seperti itu?
Bosan dengan keadaan 'mencekam' itu, saya pun melangkahkan kaki menuju bangunan museum. Nama bangunan itu cukup provokatif "Museum Pengkhianatan PKI. (komunis). Bayangkan, (dalam tanda kurung), Komunis". Bangunan itu lumayan sepi. Anak-anak sekolah nampaknya sudah masuk ke ruang auditorium untuk 'didoktrinisasi' oleh film 'horor' itu. Bangunan itu tidak terawat dengan baik. Tapi syukurlah, pendingin ruangan bekerja dengan baik. Di dalam bangunan itu nampak diorama-diorama yang dibuat secara menditel. Cukup menarik untuk disaksikan. Diorama-diorama itu menceritakan tentang 'sepak terjang' PKI. Mulai dari pemberontakan Muso sampai penangkapan (pembunuhan) PKI di Blitar. Secara keseluruhan, menyaksikan diorama-diorama ini lumayan menjemukan. Belum lagi ditambah dengan penataan cahaya yang jelek. Tetapi kalau kita lihat secara menditel, diorama-diorama ini jelas menggambarkan teror-teror berdarah yang di sebabkan PKI pada masa itu. Penonton tak henti-hentinya disuguhi dengan berbagai adegan pembunuhan yang kejam dan berdarah-darah.
Diorama-diorama provokatif yang tak henti-hentinya mempertontonkan terror sebagai sejarah
Merasa 'kenyang' dengan teror berdarah dalam bentuk diorama ini, saya pun menelusuri jalan mengikuti tanda petunjuk untuk keluar dari bagian musem ini. Alangkah terkejutnya saya setelah menemukan dan membaca papan petunjuk yang bertuliskan "Pakaian Dan Bekas Darah". Oh no.. teror itu belum selesai nampaknya. Rupanya masih ada lagi 'darah' yang harus disaksikan dalam mempelajari sejarah negeri ini.
Saya berjalan memasuki sebuah ruangan yang berisi peninggalan-peninggalan para jenderal dan perwira yang terbunuh dalam peristiwa gestapu ini. Mulai dari peninggalan semasa mereka hidup, sampai kepada pakaian dan barang-barang terakhir yang mereka kenakan sewaktu menghadapi ajal. Tiap jenderal dan perwira yang terbunuh mendapat satu space khusus sebagai representasi personal mereka. Belum lagi space khusus yang diperuntukkan oleh Sukitman, seorang polisi yang menjadi saksi peristiwa pahit ini. (Untuk yang nama yang terakhir ini, saya sempat menyaksikannnya di sebuah talkshow bodoh dan alm.Sukitman tampak menangis ketika membeberkan kesaksiannya).
Ada berbagai pertanyaan yang hinggap di kepala saya ketika saya menyaksikan barang-barang dan pakaian dengan noda darah yang dipamerkan disana. Apakah pentingnya memamerkan baju-baju dengan noda darah? Apakah pentingnya memamerkan hasil visum dokter di tiap jenazah? Apakah pentingnya memamerkan foto-foto jenazah yang membusuk? Apakah dari pihak keluarga tidak ada yang protes ketika foto jenazah ayah dan suami mereka yang sudah membusuk di pamerkan?
Andai saja ayah saya seorang pahlawan sekalipun, tentu saya akan protes
ketika foto jenazah ayah saya yang membusuk dipamerkan. Karena sebagai anak, tentu saya ingin agar masyarakat mengingat hal-hal baik tentang almarhum semasa hidup.
Alangkah lebih masuk akal, apabila yang dipamerkan disana adalah bintang-bintang jasa, kiprah mereka di kemiliteran, cerita-cerita tentang almarhum dari orang-orang terdekat dan hal-hal positif lainnya. Tentu saja kita
ingin mengenang jasa-jasa baik dari mendiang. Bukannya malah mengenang
segala teror proses penyiksaan, pembunuhan dan kondisi jenazah.
Melewati ruangan 'bekas darah' tadi, ada satu ruangan kecil terakhir yang berisi tentang dokumentasi foto-foto pengangkatan jenazah dari lubang sumur itu. Walaupun masih 'bertema darah', namun di ruangan itu lebih menonjolkan sosok Mayor Jenderal (pada saat itu) Soeharto sebagai penyelamat bangsa. Saya tidak berlama-lama di ruangan itu. Saya merasa sudah cukup 'puas akan darah' siang hari itu. Dan saya segera menuju kantin terdekat untuk merokok sekedar merasionalkan pikiran.
Peningalan para jenderal |
Foto-foto jenazah yang rusak beserta visum dokter |
Beberapa Hari Kemudian..
Sebenarnya tulisan di atas adalah dibuat sekitar 4-5 hari yang lalu, namun saya belum sempat mempostingnya karena setelah tuisan awal dibuat, saya langsung sibuk membaca berbagai artikel tentang 'perbaikan sejarah' tentang seputar G30S dan PKI di berbagai website yang saya temukan. Salah satunya adalah link-link di bawah ini :
http://www.marxists.org/indonesia/index.htm
http://www.marxists.org/indonesia/indones/index.htm
http://www.analisadaily.com/news/read/2011/12/20/26995/lim_joe_thay_meluruskan_sejarah_penyiksaan_pahlawan_revolusi/#.USIsIujrZ5E
http://id.wikipedia.org/wiki/Pembantaian_di_Indonesia_1965%E2%80%931966
http://www.lensaindonesia.com/2012/07/30/inilah-detik-detik-pembantaian-massal-1965-1966.html
dan ini
http://www.marxists.org/indonesia/indones/sudisman.htm
(untuk link terakhir, saya sungguh merasa sangat tersentuh ketika membacanya).
Selain tulisan, ada ratusan video yang diunggah seputar peristiwa kelam ini
Soeharto Dalam Kenangan
Soeharto Dalam Kenangan 2
Serta beberapa ratus link sejenis lagi.
Setelah 5 hari membaca, meneliti, berpikir dan berdiskusi, sejujurnya saya merasa sedih dan kehilangan. Sedih bahwa bangsa kita harus kehilangan orang-orang hebat seperti Soekarno, Amir Sjarifoeddin Harahap, Dipa Nusantara Aidit, Njoto, Sudisman, Tan Malaka, dan jutaan lagi orang-orang pintar nasionalis dan berpikiran maju yang dengan sengaja dihilangkan demi sebuah 'bentuk penjajahan baru' yang dampaknya saat ini ( atau entah sampai kapan), harus kita tanggung bersama (hutang luar negeri, ekonomi carut-marut, 'pemerkosaan' terhadap hasil bumi ibu pertiwi, ketergantungan pada modal asing, dsb dsb).
Maka dapat saya simpulkan, apa yang terjadi pada 47 tahun yang lalu adalah sebuah pemutar balikkan fakta dan kekejian luar biasa yang dilakukan oleh rezim yang berkuasa selama 32 tahun itu. Sebuah rezim tirani tamak yang hanya mementingkan kesejahteraan golongannya sendiri tanpa mempedulikan kepentingan bangsa.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa sejarah adalah berasal dari pihak pemenang. Dan bila kita menilik dari bentuk-bentuk provokasi di film, di museum Lubang Buaya serta pada pelajaran-pelajaran yang kita serap selama ini, nyatalah sudah bahwa kesemuanya itu hanyalah sebuah sinetron fiksi dari episode panjang yang disusun dengan begitu rapi dan cermat sehingga kita otomatis berpikir bahwa sang pemenang telah berhasil membela kebenaran dan (kesaktian?) pancasila, serta menumpas golongan antagonis. Dan museum yang saya kunjung beberapa hari kemarin, tak lebih hanya sebagai salah satu 'pelengkap penderita' atau 'unsur pendukung' dari sinetron fiksi 'kejar tayang' selama ini.
Bicara tentang sistem pendidikan (doktrinisasi usia dini), beberapa waktu belakangan ini tersiar kabar bahwa di beberapa daerah telah terjadi pembakaran buku-buku pelajaran sejarah yang tidak mencantumkan PKI di peristiwa G30S. Ini sebagai bukti bahwa dogma atau doktrin palsu yang ditanamkan oleh orde baru benar-benar luar biasa menancap, bertumbuh dan berakar sampai saat ini.
Entah karena doktrin yang begitu mengakar atau karena ada motif lain yang sengaja membiarkan sejarah palsu itu tetap berlangsung hanya demi menutupi dosa-dosa masalalu yang telah mereka perbuat (pelanggaran HAM berat)? Entahlah..
Saya rasa, sudah menjadi kewajiban bagi saya dan kita sekalian untuk mengkaji ulang dan meluruskan sejarah kelam yang pernah terjadi di bumi Indonesia ini.
Penutup:
Saya kembali mengenang 5 hari yang lalu, ketika saya mengunjungi museum itu. Ketika anak-anak sekolah bersemangat untuk menelan bulat-bulat apa yang dikatakan si guide yang berapi-api itu, ketika mereka melihat segala bentuk 'provokasi artifisial' itu (Entah ada berapa ribu atau juta lagi anak-anak Indonesia yang harus percaya dengan monumen dan museum yang penuh drama itu).
Semoga kelak (saya rasa tidak akan lama lagi), bahwa kita (sebagai bangsa) mampu untuk berani membuat satu 'pelurusan sejarah' sehingga tidak akan ada lagi cerita simpang-siur serta stigma negatif terhadap saudara-saudara kita yang ber-afiliasi dengan PKI beserta anak cucu mereka.
Dan ketika keponakan-keponakan saya (Gisella dan Karissa), kelak sudah cukup umur untuk berpikir logis, maka saya, sebagai pamannya (atau kalian), jelas harus bertanggung jawab untuk menjelaskan tentang bahwa adanya argumen-argumen (link2 tadi di atas), yang secara otomatis menghadirkan 'perbandingan terbalik akan situasi nasional pada saat itu' yang kelak akan menentukan sikap keberpihakan politik kalian tentang pergolakan bangsa kita pada masa itu pada generasi-generasi di bawah kita, dan seterusnya. Bahwa apa yang mereka dengar dari guru di sekolah, bukanlah sebuah kebenaran mutlak yang harus mereka percaya dan 'terapkan' dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air mereka kelak.
Biarkanlah monumen itu tetap berdiri, sebagai pengingat bahwa terhitung dari 30 September 1965, pernah terjadi suatu 'pemutar balikkan fakta' yang telah mengakibatkan hilangnya ratusan ribu bahkan jutaan nyawa rakyat patrotik bangsa Indonesia karena sebuah kemunafikkan dan keserakahan rezim yang telah membuat bangsa kita terpuruk dalam kebutaan sejarah dan terbuai dengan 'euforia entah' sampai hari ini.
Biarkanlah telunjuk Jend Achmad Yani di monumen itu tetap mengarah ke dalam lubang itu, sehinga dapat kita artikan secara berbeda. Bahwa: "Disanalah tempat kami meregang nyawa atas tindakan 'artifisial/manipulatif' yang membuat bangsa kita salah kaprah dalam memandang sejarah seperti sekarang.."
Agan Harahap
Sebenarnya tulisan di atas adalah dibuat sekitar 4-5 hari yang lalu, namun saya belum sempat mempostingnya karena setelah tuisan awal dibuat, saya langsung sibuk membaca berbagai artikel tentang 'perbaikan sejarah' tentang seputar G30S dan PKI di berbagai website yang saya temukan. Salah satunya adalah link-link di bawah ini :
http://www.marxists.org/indonesia/index.htm
http://www.marxists.org/indonesia/indones/index.htm
http://www.analisadaily.com/news/read/2011/12/20/26995/lim_joe_thay_meluruskan_sejarah_penyiksaan_pahlawan_revolusi/#.USIsIujrZ5E
http://id.wikipedia.org/wiki/Pembantaian_di_Indonesia_1965%E2%80%931966
http://www.lensaindonesia.com/2012/07/30/inilah-detik-detik-pembantaian-massal-1965-1966.html
dan ini
http://www.marxists.org/indonesia/indones/sudisman.htm
(untuk link terakhir, saya sungguh merasa sangat tersentuh ketika membacanya).
Selain tulisan, ada ratusan video yang diunggah seputar peristiwa kelam ini
Soeharto Dalam Kenangan
Soeharto Dalam Kenangan 2
Serta beberapa ratus link sejenis lagi.
Setelah 5 hari membaca, meneliti, berpikir dan berdiskusi, sejujurnya saya merasa sedih dan kehilangan. Sedih bahwa bangsa kita harus kehilangan orang-orang hebat seperti Soekarno, Amir Sjarifoeddin Harahap, Dipa Nusantara Aidit, Njoto, Sudisman, Tan Malaka, dan jutaan lagi orang-orang pintar nasionalis dan berpikiran maju yang dengan sengaja dihilangkan demi sebuah 'bentuk penjajahan baru' yang dampaknya saat ini ( atau entah sampai kapan), harus kita tanggung bersama (hutang luar negeri, ekonomi carut-marut, 'pemerkosaan' terhadap hasil bumi ibu pertiwi, ketergantungan pada modal asing, dsb dsb).
Maka dapat saya simpulkan, apa yang terjadi pada 47 tahun yang lalu adalah sebuah pemutar balikkan fakta dan kekejian luar biasa yang dilakukan oleh rezim yang berkuasa selama 32 tahun itu. Sebuah rezim tirani tamak yang hanya mementingkan kesejahteraan golongannya sendiri tanpa mempedulikan kepentingan bangsa.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa sejarah adalah berasal dari pihak pemenang. Dan bila kita menilik dari bentuk-bentuk provokasi di film, di museum Lubang Buaya serta pada pelajaran-pelajaran yang kita serap selama ini, nyatalah sudah bahwa kesemuanya itu hanyalah sebuah sinetron fiksi dari episode panjang yang disusun dengan begitu rapi dan cermat sehingga kita otomatis berpikir bahwa sang pemenang telah berhasil membela kebenaran dan (kesaktian?) pancasila, serta menumpas golongan antagonis. Dan museum yang saya kunjung beberapa hari kemarin, tak lebih hanya sebagai salah satu 'pelengkap penderita' atau 'unsur pendukung' dari sinetron fiksi 'kejar tayang' selama ini.
Bicara tentang sistem pendidikan (doktrinisasi usia dini), beberapa waktu belakangan ini tersiar kabar bahwa di beberapa daerah telah terjadi pembakaran buku-buku pelajaran sejarah yang tidak mencantumkan PKI di peristiwa G30S. Ini sebagai bukti bahwa dogma atau doktrin palsu yang ditanamkan oleh orde baru benar-benar luar biasa menancap, bertumbuh dan berakar sampai saat ini.
Entah karena doktrin yang begitu mengakar atau karena ada motif lain yang sengaja membiarkan sejarah palsu itu tetap berlangsung hanya demi menutupi dosa-dosa masalalu yang telah mereka perbuat (pelanggaran HAM berat)? Entahlah..
Saya rasa, sudah menjadi kewajiban bagi saya dan kita sekalian untuk mengkaji ulang dan meluruskan sejarah kelam yang pernah terjadi di bumi Indonesia ini.
Penutup:
Saya kembali mengenang 5 hari yang lalu, ketika saya mengunjungi museum itu. Ketika anak-anak sekolah bersemangat untuk menelan bulat-bulat apa yang dikatakan si guide yang berapi-api itu, ketika mereka melihat segala bentuk 'provokasi artifisial' itu (Entah ada berapa ribu atau juta lagi anak-anak Indonesia yang harus percaya dengan monumen dan museum yang penuh drama itu).
Semoga kelak (saya rasa tidak akan lama lagi), bahwa kita (sebagai bangsa) mampu untuk berani membuat satu 'pelurusan sejarah' sehingga tidak akan ada lagi cerita simpang-siur serta stigma negatif terhadap saudara-saudara kita yang ber-afiliasi dengan PKI beserta anak cucu mereka.
Dan ketika keponakan-keponakan saya (Gisella dan Karissa), kelak sudah cukup umur untuk berpikir logis, maka saya, sebagai pamannya (atau kalian), jelas harus bertanggung jawab untuk menjelaskan tentang bahwa adanya argumen-argumen (link2 tadi di atas), yang secara otomatis menghadirkan 'perbandingan terbalik akan situasi nasional pada saat itu' yang kelak akan menentukan sikap keberpihakan politik kalian tentang pergolakan bangsa kita pada masa itu pada generasi-generasi di bawah kita, dan seterusnya. Bahwa apa yang mereka dengar dari guru di sekolah, bukanlah sebuah kebenaran mutlak yang harus mereka percaya dan 'terapkan' dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air mereka kelak.
Biarkanlah monumen itu tetap berdiri, sebagai pengingat bahwa terhitung dari 30 September 1965, pernah terjadi suatu 'pemutar balikkan fakta' yang telah mengakibatkan hilangnya ratusan ribu bahkan jutaan nyawa rakyat patrotik bangsa Indonesia karena sebuah kemunafikkan dan keserakahan rezim yang telah membuat bangsa kita terpuruk dalam kebutaan sejarah dan terbuai dengan 'euforia entah' sampai hari ini.
Biarkanlah telunjuk Jend Achmad Yani di monumen itu tetap mengarah ke dalam lubang itu, sehinga dapat kita artikan secara berbeda. Bahwa: "Disanalah tempat kami meregang nyawa atas tindakan 'artifisial/manipulatif' yang membuat bangsa kita salah kaprah dalam memandang sejarah seperti sekarang.."
Agan Harahap