Minggu, 21 Desember 2014

Ready Or Not Here I Come!



-->
Sebuah tulisan dari seorang sahabat baik tentang serial foto saya terdahulu.


Apa yang dilakukan oleh Agan Harahap kali ini adalah fotografi sebenar-benarnya. Setelah beberapa seri karyanya ia bereksplorasi tanpa atau dengan sangat minim melakukan pekerjaan memotret, kali ini ia hadir dengan kamera dan lampu studio. Namun Agan tetap konsisten pada jalurnya, yang saya sebut sebagai komedi satir fotografi.
Yang dihadirkan Agan kali ini adalah hasil eksplorasinya selama menjadi fotografer di sebuah majalah musik. Selama enam tahun bekerja sebagai seorang fotografer majalah ia berkesempatan untuk memotret baik artis papan atas, papan tengah, papan bawah, maupun artis yang memaksa untuk masuk papan. Sebagai fotografer ia mempunyai kekuasaan penuh untuk mengatur bagaimana hasil foto itu nantinya. Memang disana ada peran stylist, make up artist, dan asisten fotografer. Tetapi bagian mereka adalah para model, sang selebritis. Sang fotograferlah yang berkuasa atas kamera dan hasil fotonya. Dan selama rentang waktu enam tahun, Agan seperti sudah memahami bagaimana pakem-pakem agar sebuah foto dapat dimuat dalam majalah tersebut. Dengan sendirinya timbul sebuah standarisasi bagaimana ‘seharusnya’ sebuah foto itu layak untuk diterbitkan.
Mungkin banyak orang akan bertanya-tanya, dimanakah kekuatan sebuah karya foto artis terkenal ketika semua fotografer dan media sebenarnya sudah mampu untuk membuat karya yang sejenis. Kita dapat menemukan dengan mudah foto-foto selebritis di media massa. Kita sudah tidak asing lagi dengan wajah-wajah artis, penyanyi, model terkenal itu. Lalu apa keistimewaan serial ini dibandingkan dengan karya fotografer lain?
Seri Agan kali ini bisa dibilang istimewa karena sang fotografer berani untuk publish the unpblished. Anda tidak akan menemukan foto-foto dari artis yang sama dengan keadaan yang “dicuri” Agan pada karyanya kali ini. Ya, disini Agan seakan-akan ‘mencuri’. Ia mencuri pose, mencuri momen, dan mencuri kesempatan. Foto-foto ini bukanlah suatu ketidaksengajaan. Foto-foto ini lebih merupakan ‘tembakan peringatan’ yang dilakukan oleh fotografer untuk menandai dimulainya sebuah sesi pemotretan. Ini adalah foto-foto yang menurut ‘standar’ penerbitan majalah atau media tidak layak untuk dipublikasikan.
Tidak hanya mencuri momen dan kesempatan, Agan juga mencuri mimik dan gesture dari sang selebritis. Tidak usah repot-repot untuk menginterpretasikan mimik atau gesture dalam karya ini melalui analisis semiotika ala Roland Barthes, Ferdinand de Saussure, atau para pakar semiotik media visual lainnya. Silakan Anda menjadi pakar untuk diri Anda sendiri dalam menginterpretasikan karya ini. Interpretasi saya adalah seperti yang sudah dituliskan di atas, karya foto ini adalah ‘tembakan peringatan’ dari sang fotografer kepada model atau selebritis yang sedang dibidiknya.

Apa yang dihasilkan dari tembakan peringatan ini ternyata luar biasa dan mencengangkan. Anda tidak akan menemukan foto-foto dengan model atau selebritis yang sama di media manapun dengan pose, mimik, gesture pada karya foto Agan. Eksklusif. Namun sekali lagi ini bukanlah ketidaksengajaan. Setidaknya dari sisi fotografer. Lihat saja bagaimana pengaturan lampu di studio maupun setting lokasi pemotretan. Contoh, pada foto Tiga Diva (Titi DJ, Ruth Sahanaya, Krisdayanti) Anda akan menemukan settingan lampu yang apik dan tertata rapi. Begitu pula dengan foto Sandi Sandoro, Giring Nidji, Sheila Marcya. Semua menunjukkan kesiapan dari sang fotografer. Agan sudah mempersiapkan semuanya. Ini bukanlah tes foto atau tes lampu. Ia tidak sedang mencari-cari settingan exposure, memilih lensa, atau mencari settingan teknis lainnya. Ia sudah siap.
Sang artis pun sebenarnya sudah siap. Tengok saja dandanan mereka. Tiga Diva (lagi-lagi) sudah siap, Ahmad Dhani dengan kostum jenderalnya. Sandi sudah siap dengan gitarnya. Stylist dan make up artist sudah melakukan pekerjaannya dengan baik. Lalu siapa yang belum siap? Tidak ada, semua sudah siap. Dan tidak ada yang salah. Ini adalah frame pertama dari sesi foto saat itu. Sebagai reaksi atas tembakan peringatan dari fotografer, mereka lantas menampilkan mimik dan gesture yang tidak biasa. Itu saja. Reaksi atas aksi tembakan peringatan Agan.


Tidak layak untuk dipublikasi di majalah tempatnya bekerja bukan berarti karya-karya foto ini adalah ‘foto gagal’. Tidak ada foto gagal dalam seri ini. Justru reaksi atas tembakan peringatan itulah keberhasilan Agan dalam memotret mereka sang selebritis. Beberapa reaksi memang terlihat lucu atau menggemaskan, ada pula artis yang ternyata menampilkan tingkah laku yang bertolak belakang dari yang biasanya ditampilkan di media massa.
Lantas apakah citra artis-artis yang ditampilkan dalam karya ini menjadi tercoreng? Menurut saya para selebritis ini tidak usah khawatir dengan citra mereka di mata publik dengan adanya karya ini. Publik sendiri sudah mengenal mereka lewat penampilan mereka di tempat-tempat umum, konser yang mereka lakukan, atau wawancara mereka di infotainment. Dengan kata lain, publik sudah cukup cerdas dengan penilaian mereka sendiri-sendiri. Agan hanya menampilkan sebagian kecil dari sisi lain mereka, para selebritis. 

Seri foto ini kembali menegaskan Agan adalah salah seorang fotografer yang pemikirannya nyeleneh, mbeling, dan jelas berbeda dari pakem fotografi seperti biasanya. Ketika fotografer lain berlomba-lomba menampilkan dan memamerkan foto-foto tokoh penting, selebritis, atau siapapun dalam keadaan terbaik sang model (settingan lampu, settingan properti, pose, busana, dan teknis lainnya), Agan justru mengajak kita untuk melihat sisi lain dari selebriti yang biasa dilihat publik.

Jakarta, 12 April 2012
Andries S. Pandia