Minggu, 15 November 2015
Memandang Paris Dari Linimasa
Rangkaian teror di kota Paris yang menewaskan ratusan warga sipil hari Jumat kemarin memang memilukan dan sontak menarik perhatian dunia. Berbagai linimasa di media-media sosial pun langsung dibanjiri oleh postingan-postingan seputar tragedi Paris ini. Mulai dari turut berbela sungkawa, mengecam tindakan brutal tersebut, sampai berbagai teori-teori konspirasi tentang sebab musabab terkait teror tersebut. Sebagian kawan bahkan turut menyatakan sikap simpatinya dengan menambahkan warna biru, putih dan merah (bendera Prancis) di foto profilenya. Sebagai manusia yang berhati nurani, memang sangat wajar bila kita menunjukkan rasa simpati terhadap berbagai tragedi kemanusiaan, baik itu bencana alam maupun aksi teror yang terjadi di berbagai belahan dunia. Dan tentu saja tidak ada yang salah dengan 'aksi unjuk simpati' dengan mengganti foto profilnya dengan bendera Prancis, atau mungkin dengan mengibarkan bendera Prancis di halaman rumahnya sekalipun.
Sekilas memang saya merasa agak janggal bila teman-teman bisa dengan sebegitu bertubi-tubinya menunjukkan sikap simpatik terhadap negara nun jauh disana yang terkena 'musibah kecil' seperti itu, tapi justru malah seolah memalingkan muka terhadap berbagai musibah besar yang kerap terjadi di sekeliling kita. Tapi saya tidak akan berpanjang-lebar mengenai hal ini. Karena seperti yang sudah-sudah, berbagai aksi unjuk simpati dan empati di berbagai linimasa tentu hanya berlangsung sesaat saja. Esok hari, linimasa kita pasti akan kembali seperti biasa dengan beragam postingan 'maha penting' lainnya seputar makan apa, lagi dimana, sedang apa, sama siapa, dsb dsb.
Agan Harahap
Minggu, 08 November 2015
Logika Dan Realita Digital Dalam Masyarakat Kita Hari Ini
Perkembangan berbagai sarana teknologi digital yang terus terjadi sampai hari ini ternyata tidak sebanding dengan pertumbuhan intelektualitas, sikap, moral dan norma yang berlaku di masyarakat dalam menyikapi berbagai konsekuensi dari perkembangan teknologi hari ini.
Masih lekat dalam ingatan saya, ketika 'film dokumentasi pribadi', Bandung Lautan Asmara secara tidak sengaja tersebar ke publik luas pada awal 2000-an. Ketika hampir semua orang bertindak seolah menjadi polisi moral yang langsung menghujat kedua pasangan yang sedang dimabuk asmara itu, sehingga mereka terkucilkan dari masyarakat, bahkan konon, dari keluarga mereka sendiri.
Setelah film Bandung Lautan Asmara ini beredar, dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama, beberapa film sejenis pun kembali beredar. Baik itu di lapak-lapak vcd bajakan, maupun beredar di dunia maya. Namun efeknya tidaklah begitu menghebohkan seperti film Bandung Lautan Asmara.
Beberapa tahun kemudian, masyarakat kita kembali digemparkan oleh film dokumentasi pribadi sejenis dari seorang penyanyi pria yang menjadi pujaan jutaan wanita di negara ini dengan 2 orang selebriti wanita. Lagi-lagi masyarakat resah dan sanksi sosialpun berlaku terhadap mereka bertiga. Tak hanya itu, pihak berwajib bahkan sampai memenjarakan penyanyi pria yang malang itu. Tapi tidak seperti 2 teman wanitanya yang kariernya seolah tenggelam, penyanyi pria itu kembali dengan kegemilangan baru. (tapi tentu saja, itu adalah cerita lain).
Alih-alih memberi efek jera dan membatasi penyebaran film-film sejenis, yang terjadi malah sebaliknya. Film dan foto dokumentasi pribadi yang tersebar semakin tumbuh subur bagai jamur di musim hujan. Tak hanya masyarakat biasa, tokoh agama dan politisi pun turut terlibat dalam pembuatan dan pendistribusian film-film ini yang dapat dengan mudah diunggah dan diunduh kapanpun dan dimanapun.
Saya lantas teringat akan peristiwa 'Tata Chubby' seorang pekerja seks yang kerap menjajakan dirinya di media sosial Twitter, yang dibunuh pelanggannya belum lama ini.
Kematiannya menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Walaupun memang masih saja ada yang mencibir terkait profesi dan kematiannya, namun tidak sedikit pula yang justru berempati terhadap peristiwa ini. Begitupun juga sikap yang ditunjukkan oleh pemerintah. Alih-alih menertibkan layanan seks berbasis media sosial, aparat malah sibuk merazia tempat-tempat kos yang ditengarai dijadikan lokasi adu syahwat. Hal serupa juga terjadi di dunia pendidikan. Bukannya memberi edukasi terkait penggunaan dan dampak yang disebabkan oleh percepatan teknologi ini, pemerintah malah sibuk meningkatkan nilai-nilai moral keagamaan yang pada realitanya justru jauh kaitannya dengan fenomena ini.
Pagi tadi, saya iseng mencari kalau-kalau saja ada 'film-film dokumentasi pribadi' baru yang beredar di internet. Hasilnya, ada ratusan, atau bahkan ribuan film-film dan jutaan foto-foto sejenis yang tersebar dengan bebasnya di dunia maya. Namun anehnya, hampir tidak ada lagi pemberitaan tentang kegiatan ini di media-media masa sehingga tidak ada lagi sanksi sosial yang 'biasanya' ditimpakan masyarakat terhadap mereka. Masyarakat seolah menjadi terbiasa akan hal-hal seperti ini. Dan pihak yang berwajib pun, nampaknya seolah hilang akal dan terkesan menutup mata dalam merespon percepatan teknologi yang tidak sebanding dengan pertumbuhan intelektual dan moral yang terjadi di masyarakat kita. Artinya, tanpa disadari, setelah beberapa tahun berselang, standarisasi norma, moralitas serta intelektualitas masyarakat telah mengalami perubahan.
Kalau tadi adalah pemaparan singkat dari 'ranah esek-esek'. Lantas bagaimana halnya di ranah lain?
Saya teringat akan kasus Prita Mulyasari, yang dikenakan sanksi akibat melayangkan pendapatnya di email dan akhirnya tersebar di media terkait dengan buruknya pelayanan sebuah instansi kesehatan swasta. Akibatnya, Prita harus berurusan dengan hukum dan sempat menghuni lapas wanita di Tangerang selama beberapa waktu. Namun setelah berbagai peninjauan hukum dilakukan, akhirnya Prita dibebaskan dari segala tuntutan.
Belum lagi bila kita bicara soal kasus Florence Sihombing, yang dianggap menghina masyarakat Yogyakarta dari statusnya di media sosial Path. Walaupun memang Florence bersalah, namun harusnya, sang pengedar/penyebar status yang dilayangkan Florence tersebut juga sepatutnya dikenakan hukuman karena provokasi. Ya, Path adalah sebuah media sosial yang sifatnya semi privat. Artinya, hanya orang-orang pilihan tertentu yang mampu melihat, menanggapi dan menyebarkan status/foto/video/dll dari oknum yang bersangkutan. Lantas bagaimana konsekuensinya? Florence menerima sanksi sosial yang dikenakan masyarakat terhadapnya. Bagi saya, Florence dan penyebar statusnya adalah bagian dari generasi yang gamang dan gagap dalam memperlakukan teknologi. Mereka tidak bisa membedakan mana yang pantas dituliskan dan disebarkan di media sosial, dan mana yang hanya sebaiknya dimaklumi dan disimpan di dalam hati saja.
Lalu bagaimana lagi dengan berbagai status, artikel, foto/video hujatan dan fitnahan sejenis yang terus terjadi dan berkembang sampai hari ini? Cuitan Jonru, Trio Macan dan berbagai artikel, foto, video dari kelompok radikal yang isinya kerap menghasut dan menghujat pemerintah dan golongan agama dan etnis tertentu, yang jelas-jelas (kalau ditinjau dengan logika) justru lebih membahayakan ketimbang 'hal remeh-temeh' dari Prita dan Florence, malah justru didiamkan. Lagi-lagi masyarakat kita menjadi 'terbiasa' dengan hal-hal seperti ini dan (seperti yang sudah-sudah) pemerintah nampaknya belum dapat menemukan 'formula yang tepat' untuk membentuk landasan hukum yang jelas untuk bertindak.
Demikian pula halnya yang terjadi dalam fotografi hari ini. Transisi fotografi dari era film ke era digital ternyata tidak melulu memberi dampak pada berkembangan teknis semata. Tapi lebih jauh daripada itu, fotografi digital bahkan telah berkontribusi dalam merubah logika, sistem, serta berbagai tatanan sosial dan moral yang selama ini berlaku dalam kehidupan kita. Terlebih lagi bila kita bicara dalam keterkaitannya dengan sosial media.
Saya teringat tentang cerita Agus Mulyadi, seorang pegawai warnet asal Magelang yang terpaksa sempat menerima sanksi sosial karena menjual jasa edit foto bersama personel JKT48 seharga 20 ribu rupiah per foto. Lagi-lagi masyarakat menjelma menjadi polisi moral yang sibuk berteriak-teriak di lini masa soal pelanggaran hak cipta dalam fotografi yang dilakukan oleh Agus Mulyadi. Mustinya, yang berhak marah dalam kasus Agus ini adalah para editor foto (digital imaging artist) yang dengan segala keahlian dan waktunya yang bernilai belasan atau puluhan juta ini, 'dilecehkan' begitu saja oleh Agus dengan seharga 20ribu Rupiah. Hahaha tapi itu soal lain..
Menurut saya, apa yang dilakukan oleh Agus Mulyadi adalah sebuah terobosan kreatif dalam menyikapi tuntutan ekonomi di tengah maraknya percepatan teknologi digital hari ini. Namun lagi-lagi, masyarakat kita nampaknya cenderung lebih senang menghakimi seorang maling sendal di mesjid-mesjid, ketimbang menghakimi para koruptor 'yang mulia' penghancur bangsa di sana.
Dan tentu saja, masih terlalu dini apa bila kita mau bicara soal hukum/ ganjaran yang pantas bagi oknum (yang katanya) melanggar hak cipta fotografi dalam kaitannya dengan distribusinya di dunia maya, selama hal-hal mendasar seperti yang sudah saya paparkan di atas belum mampu dibenahi secara norma sosial, hukum dan perundang-undangan.
Secara logika, mustinya tidak akan ada undang-undang atau hukum yang bisa diberlakukan selama teknologi digital dan peranti distribusinya masih terus berkembang. Atau dengan kata lain, dalam menyikapi perkembangan fotografi dan video digital dan distribusinya di berbagai sosial media yang terus berkembang sampai hari ini, kita tentu saja tidak bisa lagi semena-mena dalam menggunakan logika, hukum atau bahkan memberikan sanksi sosial dengan menggunakan standarisasi hukum dan moral yang lama. Intelektualitas, pemahaman serta perilaku masyarakat serta hukum dan perundang-undangan yang berlaku hari ini, seharusnya bisa terus berkembang seiring sejalan dengan percepatan teknologi digital yang tidak pernah akan berhenti berinovasi.
Agan Harahap