Sesungguhnya, sudah lebih dari 10x saya memutar video di atas. Dan sampai malam ini, saya masih saja terkesima dengan nuansa intim di video itu. Duduk bersama, bermain gitar dan bernyanyi membagi suara dengan penuh harmoni sambil diselingi tuak dan rokok. Buat saya, hal lain yang menambah keistimewaan video di atas adalah ketika 3 orang yang (kemungkinan besar) beretnis Batak tersebut menyanyikan lagu dari daerah Minang. Ya, memang itu bukanlah hal yang baru. Tapi entah kenapa, ketika kita bisa memainkan lagu 'di luar pakem', rasanya sungguh istimewa sekali.
Video di atas mengingatkan saya akan sebuah momentum kehidupan ketika saya, Andies dan Itta mencoba menyanyiakan lagu "你怎麼說" yang dipopulerkan oleh Teresa Teng. Dalam beberapa kali percobaan, selalu saja lagu itu gagal dibawakan karena satu dan lain hal yang tiba-tiba membuat kami terpingkal, sehingga lagu itu tidak pernah selesai. Namun setelah kami menemukan 'selahnya', rasa-rasanya kami seolah terbius dalam suasana tertentu yang menembus sukma walaupun kami tidak mengerti sepatah katapun dari lirik lagu itu.
Memutuskan untuk pindah kota, tentu saja bukan hal yang mudah. Ada berbagai hal-hal baru yang harus dihadapi sekaligus juga harus beberbesar hati meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama demi menyesuaikan diri terhadap sistem sosial yang berlaku di lingkungan baru. Dan salah satu hal yang jarang saya temui di kota ini (Jogja) adalah ketika pada sahabat dan handai taulan berkumpul, bermain gitar dan bernyanyi bersama. Mungkin karena perbedaan kultural, atau suasana yang kurang kondusif, sehingga saya jarang menemukan momen ketika para sahabat duduk berkumpul dan bernyanyi membagi suara bersama.
Kebiasaan duduk, bermain gitar sambil bernyanyi berbagi suara sudah sering saya lakukan. Apalagi ketika masa kuliah dulu di Bandung belasan tahun silam. Mungkin atas kesamaan nasib (anak rantau ditambah jomblo menahun), maka saya dan kawan-kawan kuliah saya secara tanpa sengaja membentuk grup vokal di sebuah warung di pinggir jalan Wastu Kencana. Adapun lagu-lagu yang kami nyanyikan biasanya seputar tembang kenangan ataupun lagu-lagu baru yang kebetulan saja sesuai dengan suasana hati kami pada saat itu.
Dan dalam bernyanyi, kami sangat menghargai perbedaan dan permakluman yang ada. Perbedaan yang saya maksudkan disini adalah ketika kawan saya menyanyikan sebuah lagu yang hanya diketahui dirinya sendiri. Sebagai contoh, ketika kawan saya, Markus, menyanyikan sebuah lagu sedih ( saya lupa judulnya), namun menurutnya, itu adalah semacam lagu wajib yang harus dinyanyikannya ketika masih tinggal di panti asuhan Katolik di Malang dulu. Atau ketika kawan saya, Yoppie Liliweri menyanyikan sebuah lagu daerah Kupang, yang notabene tidak ada seorangpun diantara kami yang mengerti, tapi karena kami menganggap bahwa lagu itu mempunyai arti yang mendalam baginya, maka kami mencoba mengiringinya bernyanyi sebisa kami. Bagi saya, yang biasanya terposisikan sebagai penggenjreng gitar, ada sebuah perasaan yang tidak tergantikan bila saya bisa menyesuaikan keselarasan vokal dan chord gitar, sehingga menghasilkan nada yang pas dan enak didengar.
Kebiasaan-kebiasaan ini, bernyanyi sambil menghargai berbagai perbedaan dengan mudah saya dapati ketika saya memutuskan untuk menetap di Jakarta. Sahabat-sahabat saya, Andries Sembiring, Joey Christian, Willy Jonathan dan istri saya Itta. S. Mulia, kami biasa berkumpul di apartemen saya dan bernyanyi bersama. Walau memang diantara kami cuma Itta yang memiliki kualitas vokal di atas rata-rata, namun dengan berbagai substansi yang tersedia pada waktu itu, saya rasa vokal grup kami tidak kalah dengan vokal grup-vokal grup Batak di pakter-pakter tuak di sana.
Dan berkat pengalaman saya di Bandung, maka perbedaan-perbedaan yang ada di antara kami dapat dengan mudah terselesaikan. Saya yang sebelumnya tidak tahu akan lagu-lagu dari daerah Manado, setelah sekian lama bernyanyi bersama Joey Christian, lama-lama bisa dengan lihai memainkan chord-chord lagu semacam 'Balada Pelaut', 'Polo Pakita', dsb. Atau kami kerap kali harus memaklumi lagu-lagu reggae mainstream yang menjadi favorit Willy. Begitupun juga dengan Itta, istri saya, setelah beberapa kali mencoba akhirnya saya bisa memainkan chord gitar sebuah lagu kenangan bagi Itta, yaitu sebuah lagu pembuka untuk suatu acara radio di Bandung sana, yang pamannya adalah penyiar utama di radio tersebut.
Malam ini, setelah anak saya, Merdu dan Damir tidur, seperti biasa saya menyibukkan diri dengan berselancar di dunia maya. Lagi-lagi saya menjelajah jauh ke tanah nenek moyang saya di Sumatra Utara sana. Maklum saja, sebagai orang Batak yang lahir di Ibu Kota dan kini menetap di Jogja, saya selalu saja punya ketertarikan yang besar terhadap budaya dari tanah leluhur saya. Sejujurnya, saya sama sekali tidak mengeti sepatah katapun bahasa Batak. Apalagi bahasa Minang. Dan seperti biasanya, saya membiarkan rasa sok tahu saya mengalahkan segalanya. Saya bisa dengan bebas berasumsi dan mengartikan lagu-lagu ini sesuai dengan suasana hati saya.
Entah kenapa, sejak lama saya percaya bahwa orang Batak dan Padang mempunyai kedekatan tertentu walaupun berbeda secara kultural dan teritorial (tentu saja saya tidak akan berbicara panjang lebar tentang hikayat Perang Bonjol dan Tuanku Tambusai yang berekspansi sampai ke tanah Tapanuli). Tapi karena letak geografis yang bersebelahan dan jalur transportasi darat yang menyatukan segalanya, maka sangat mungkin bila terjalin ikatan-ikatan tertentu akan kedua etnis ini. Saya teringat akan lagu-lagu Padang yang dibawakan dengan seksama oleh Eddy Silitonga, Trio Ambisi, maupun penyanyi-penyanyi Batak lainnya. Atau sebaliknya, ketika seorang Edi Cotok berkisah tentang perangai orang Batak.
Saya pun memiliki sebuah kedekatan tertentu dengan orang-orang beretnis Minang ini. Adapun salah seorang anggota vokal grup kami semasa di Bandung dulu bernama Doni Jukatri, asli Bukit Tinggi. Pernah dalam suatu masa perkuliahan dulu, saya terlibat perkelahian fisik satu lawan satu dengannya karena memperebutkan sebongkah tanah liat untuk keperluan tugas nirmana trimatra. Namun seiring berjalannya waktu, persahabatan kami tetap terjalin sampai hari ini. Salah satu dosen favorit saya, Amrizal Salayan, yang menyaksikan perkelahian saya dengan si Juki itu pun beretnis Minang. Bahkan sampai hari ini, saya cukup terlibat baik secara profesi maupun emosional dengan uda-uda ini.
Kembali pada segi musikalitas. Walaupun saya tidak mengerti lirik lagu 'Pulanglah Uda', yang dipopulerkan oleh Ria Amelia ini, tapi atas berbagai alasan dan pertimbangan yang telah saya jabarkan di atas tadi, secara otomatis sayapun terlarut dalam suasana di video tersebut sembari membayangkan saya sedang berada di lapo itu dan turut bernyanyi bersama mereka. Namun keceriaan malam ini serta tulisan yang penuh drama sentimentil ini terpaksa harus berakhir karena anak saya tiba-tiba terbangun. Mungkin karena mendengar suara sumbang bapaknya yang bernyanyi terlalu keras sehingga mengganggu mimpi indah mereka.
Jogja, 19 Januari 2016
Agan Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar