Seniman
 fotografi asal Amerika Serikat, Richard Prince, sekali lagi mengulangi tindakan 'fotografis-nya' dengan mengcapture dan memamerkan 38 karya foto selfie para pengguna instagram di Gaogasian Gallery,  New York. 
Yang menghebohkan adalah Richard Prince sama sekali tidak meminta izin 
atau persetujuan apapun dari sang pemilik foto-foto yang 'dicurinya' 
itu. Yang lebih menakjubkan lagi adalah, karya tersebut terjual 
dengan harga US $ 100.000 tanpa sepeserpun uang yang jatuh ke tangan sang 
pengunggah foto tersebut. Perilaku fotografi yang kontroversial ini tentu saja langsung menuai 
berbagai kecaman dari berbagai lapisan masyarakat.
Tak
 bisa dipungkiri, Perkembangan teknologi digital tanpa disadari telah 
turut andil dalam membentuk perilaku masyarakat penggunanya. Begitu 
banyak nilai-nilai (yang dianggap) luhur, yang ditanamkan oleh para 
pendahulu kita, kini telah berubah, bergeser atau bahkan hilang sama 
sekali. Begitupun halnya dengan fotografi. Fotografi bukanlah lagi 
sebuah benda dan kegiatan 'tersier' seperti dulu. Fotografer pun bukan 
lagi menjadi 'profesi agung serta mulia'. Semua bisa memotret dan 
fotografi sudah menjadi hal yang biasa dalam keseharian kita. Dengan 
hadirnya teknologi kamera smart phone, semua orang bisa menjadi 
fotografer dan berhak untuk memamerkannya di ruang-ruang pamer yang 
tersedia di berbagai media sosial dengan segala bentuk konsekuensinya.
Namun,
 perkembangan teknologi digital dan sosial media yang semakin hari 
semakin ajaib ini terkadang tidak seiring sejalan dengan nalar, 
mentalitas serta toleransi para penggunanya. Akibatnya, terjadi berbagai
 polemik sosial yang tidak bisa dihindari oleh kita, para pengguna 
teknologi digital itu sendiri. 
Saya
 teringat tentang kontroversi ceramah Rhoma Irama ketika pilgub DKI 
beberapa tahun yang lalu, yang menyebutkan bahwa ibunda dari Joko Widodo
 beragama Kristen. Setelah di konfirmasi di sebuah tayangan tv swasta, 
dengan 'lugu-nya' Bang Rhoma berkata bahwa informasi sesat yang beliau 
sebarkan diambil dari internet yang kadar kebenarannya sangat mungkin 
dipertanyakan. Dan masih banyak lagi  polemik-polemik sosial yang muncul justru karena 'keluguan' kita dalam menalar serta menyebarkan sebuah foto atau berita. 
Richard
 Prince secara sadar telah meng-capture, memamerkan dan bahkan menjual 
pose-pose selfie yang diunggah di media sosial Instagram tanpa seizin 
pemilik foto-foto tersebut... Eh.. Sebentar.. Pemilik? Siapa sebenarnya 
pemilik foto-foto selfie itu? Bukankah foto-foto itu dapat dengan mudah 
diakses siapa saja? Bukankah Richard Prince sendiri yang mengcapture 
foto-foto itu dari ponsel pribadinya? 
Dalam bentuk yang lugas dan banal, sekali lagi nalar dan toleransi kita dihadapkan dengan realita fotografi dalam media sosial hari ini. 
Agan Harahap. 
