Hujan turun dengan derasnya sambil disertai angin badai dan petir yang menyambar-nyambar, persis setelah moderator menutup acara diskusi 'Peran Seni Kontemporer Dalam Merajut Tenun Kebangsan' malam itu. Amukan semesta membuat saya dan beberapa peserta lain yang rata-rata masih kuliah terpaksa harus tertahan di bawah atap parkiran motor yang tak seberapa besar.
Seorang mahasiswa membuka percakapan demi menghangatkan suasana seraya menawarkan sebatang rokok menthol. Dan terjadilah dialog seperti yang terangkum dibawah ini:
Mahasiswa 1: Mas, jadi kalo menurut mas, karya seni yang bagus itu tuh seperti apa sih?
Saya: Karya seni yang bagus jaman now itu adalah karya seni yang sulit dipahami sama logika masyarakat umum. Semakin sulit dimengerti, artinya semakin bagus.
Mahasiswa 1: Maksudnya gimana mas?
Saya: Itulah yang namanya kesenian adiluhung. Semakin berjarak dari pemahaman orang banyak, berarti semakin ekslusif karyanya. Dangdut itu jelas bukan seni karena terlalu merakyat. Tapi kalo musik jazz itu baru seni kelas atas. Adiluhung. Ngerti dong?
Mahasiswa 1,2,3 dan 4 : (Manggut-manggut dengan ragu)
Mahasiswa 2: Kalo gitu caranya, masyarakat awam ga bisa dong menikmati karya-karya seni yang adiluhung itu?
Saya: Yaa Jelas. Sebab kepentingannya apa? Untuk makan besok aja masih mikir kok. Pake sok-sokan pengen nikmatin karya seni.
Mahasiswa 3: Tapi kan sering tuh, banyak yang bilang kalo seni itu turut berperan dalam memajukan kebudayaan. Dan (konon katanya) seiring sejalan dalam gerak nafas masyarakat dan segala problematikanya?
Saya : Ah kata siapa? Itu kan cuma slogan aja biar kelihatan lebih berbudaya dan merakyat. Aslinya ya gak gitu. Udah ketinggalan jamanlah. Semakin terlihat intelektual, semakin spesifik dan ahirnya semakin berjarak sama logika dan kepentingan publik, itulah yang bagus! Kalo buat kamu, meme-meme kacangan itu aja udah cukup kok.
Mahasiswa 1: Tapi mas..
Saya: Bagi dululah rokokmu sebatang lagi please..
Mahasiswa 1: Yahh.. Abis bang
Saya merogoh kantong celana belakang dan puji Tuhan Alhamdulillah, ternyata kebiasaan saya dalam menyimpan puntung rokok di saku celana tidak sia-sia.
Mereka masih menatap saya dengan sejuta keraguan. Sementara saya membakar rokok puntung saya yang masih menyisakan kenikmatan dalam satu tarikan terakhir dan hujan pun reda.