Kamis, 18 Februari 2021

MEMANDANG GUNUNG GEDE DARI GUNUNG SAHARI






Sejak kemarin cukup banyak netizen yang memention saya perihal polemik foto 'Gunung Gede'. Ya, ketika Ari Wibisono, seorang fotografer yang mengklaim bahwa fotonya yang memperlihatkan kemegahan Gunung Gede- Pangrango yang diambil dari Kemayoran adalah asli bukan tempelan. 

Jujur saja, selama bertahun- tahun tinggal di apartemen Mediterania Kemayoran, saya tidak pernah melihat pemandangan yang semenakjubkan seperti yang dihadirkan dalam foto itu. Atau sekian puluh tahun silam, ketika udara Jakarta jauh lebih bersih ketimbang masa PSBB ini sekalipun, kita tidak pernah melihat pemandangan gunung Gede- Pangrango yang sebegitu wow-nya. Namun permasalahan mulai muncul ketika sang fotografer mengklaim bahwa pemandangan yang wow itu bisa terjadi karena kualitas udara kota Jakarta yang bersih. Dan kemudian foto tersebut direpost oleh berbagai akun pemerintah DKI dengan jargon kualitas udara Jakarta yang bersih (walaupun gak bersih- bersih amat). Dan gong-nya adalah ketika bang Arbain Rambey, seorang fotografer kawakan tanah air, berkomentar bahwa foto itu adalah tempelan. Dan 'debat ilmiah' pun dimulai.

Sebagai orang yang (mungkin bisa dibilang) cukup lama bermain- main di wilayah digital imaging dan sosial media, saya jadi sedikit bernostalgia akan 'debat ilmiah' antar netizen seperti ini. Dulu, bang Arbain Rambey pun pernah meminta pendapat saya perihal foto Abraham Samad (mantan ketua KPK), yang sedang 'akrab' dengan Putri Indonesia. Dan jawaban 'polos' saya yang mengatakan bahwa foto itu adalah asli pun menuai pro dan kontra di antara netizen pada waktu itu. Dan seperti yang kita pahami bersama, selalu saja ada oknum- oknum yang berupaya menggiringnya ke ranah politik. Setelah membaca berbagai tanggapan perihal pendapat saya tentang keaslian foto tersebut, akhirnya saya pun sampai pada satu kesimpulan tentang bagaimana kita bisa memahami, dan (pada akhirnya) bisa 'ikhlas' menerima kemajuan teknologi digital yang berkembang sedemikian pesatnya sampai pada hari ini. 

Kembali kepada polemik foto gunung tadi. Menurut hemat saya, segala 'debat ilmiah' yang terjadi soal  keaslian foto tersebut menjadi tidak penting lagi. Keaslian yang seperti apa? Manipulasi yang seperti apa yang dimaksud? Apa parameter dalam menentukan sebuah foto asli atau tidak? 
Tentu saja manipulasi fotografi itu tidak melulu soal tempel- menempel di Photoshop atau aneka software sejenis. Manipulasi foto tidak selalu se-njelimet itu. Manipulasi bisa saja dilakukan dari angle, momentum, narasi atau bahkan sampai teknik adjustment foto itu sendiri.

Kalaulah sampai hari ini kita masih meyakini bahwa fotografi merupakan representasi dari realitas, mungkin upaya sang fotografer 'memunculkan' gunung Gede- Pangrango di fotonya adalah jauh dari kenyataan. Namun, kenyataan seperti apa yang ingin dicapai dan disampaikan? Karena bukan tidak mungkin, dengan segala percepatan perkembangan teknologi digital yang terjadi dewasa ini, fotografi ternyata mampu memunculkan 'realitas baru' yang selama ini jauh di luar pemahaman nalar dan logika kita. 

Entah perdebatan macam apa yang akan terjadi bila teknologi USG hari ini yang mampu memperlihatkan bentuk wajah bayi yang masih ada di dalam kandungan terjadi di era tahun 70 - 80an. Atau bukan tidak mungkin juga, bahwa dengan teknologi digital hari ini, goal legendaris 'tangan tuhan' Diego Maradona dianulir. Atau bagaimana NASA mampu memotret permukaan planet Mars, dan 'keajaiban- keajaiban' lain yang selama ini tak pernah terbayangkan oleh kita. 

Kecanggihan teknologi digital dengan caranya sendiri telah membuka berbagai tingkat cakrawala baru kita dalam memahami realita yang ada dalam kehidupan ini. Realita baru yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus kita terima walaupun itu bertentangan dengan hati nurani, akal, norma, budaya yang berlaku atau bahkan agama sekalipun. 


(Tiba- tiba saya teringat soal pembahasan manipulasi foto secara digital dalam perpektif agama tertentu yang mengkatakan bahwasannya merubah foto adalah haram hukumnya !!)



Agan Harahap
Pengrajin foto yang tinggal di Jogja