Minggu, 06 April 2014
Rabu, 29 Januari 2014
SUPERHEROS @ Meyrin Culture Galerie, Geneva. Switzerland
Tuesday night, the opening of the exhibition SUPERHEROS , welcomed the visitors to the Forum Meyrin . The
works exhibited were designed by a dozen exhibitors: Installation
François Burland (ch) & collages , Marvellini Brothers ( i) , old
photographs retouched , Vincent Cavaroc (en ) What's your superpower ? sound
installation , Grégoire Guillemin (fr), The Secret Life Of Heroes ,
paintings, Agan Harahap ( Indonesia ), Super Hero, photomontages , David
Lloyd ( gb ), V for Vendetta , illustrations, Dulce Pinzón ( mexico ) ,
True stories superhero , photographs, Ségolène Romier (ch ) Lavomatix ,
installation and Freeka Tet (fr), Metamorph , interactive installation.Appeared in the world of American comics in the early forties, superheroes are now ubiquitous in our real world.For ten years , Hollywood devotes a growing number of (super) productions, the public response to the appeal . Therefore
, television series psycho- socio- cultural analyzes , through
derivatives and countless advertising uses superheroes remember almost
daily our good memories . They accompany generations of fans by addressing universal challenges and support contemporary causes.Through bd boards , interactive installations , works of artists and
photographers , the exhibition offers a kaleidoscopic , entertaining and
multidisciplinary portrait of the modern myths that are super heroes .The exhibition continues until 28 February 2014 at the Forum Meyrin .
All photos from Demir SONMEZ
All photos from Demir SONMEZ
Selasa, 21 Januari 2014
In Memoriam : 30 DE SOCIAL CLUB
Hari itu hujan masih turun dengan derasnya di luar. Melalui twitter saya melihat bahwa akses untuk ke apartemen saya sudah tertutup oleh banjir. Tapi saya memutuskan untuk tetap pergi ke apartemen saya sekedar untuk membereskan barang-barang saya dan isteri ke dalam kardus-kardus yang sudah saya beli hari kemarin. Saya pun memutuskan untuk pergi dengan bersepeda menuju 30 DESocial Club.
Perasaan saya menjadi sentimentil ketika saya harus memasukkan satu-persatu barang-barang saya kedalam kardus. Saya memilah-milah mana yang akan tetap menemani saya dan mana yang harus saya buang. Setiap barang punya kenangan tersendiri di hati saya, sekecil apapun itu. Tidak hanya barang-barang yang mempunyai kenangan, tempat ini, 30 DE Social Club adalah hal yang terberat yang terpaksa harus saya tinggalkan. Sambil membereskan barang-barang, saya kembali mengingat semua peristiwa yang terjadi di tempat itu.
Sebelum menjadi 30DE Social Club, tempat itu (kalau tidak salah) bernama The Awang-Awang Residence. Dulu tempat ini dihuni oleh seorang artist tato dan pasangannya. Mereka adalah pasangan yang cukup kinky. Terbukti dari sebuah borgol warna pink yang tertinggal tergantung di tembok. Sebagai bentuk penghormatan bagi mereka, maka kami memutuskan untuk tetap membiarkan borgol pink itu tetap pada tempatnya. Sampai suatu hari keika keluarga saya datang untuk berkunjung, maka terpaksa borgol itu saya sembunyikan agar mereka tidak berpikir yang aneh-aneh tentang saya.
Adapun alasan saya menamakan apartemen itu menjadi 30DE Social Club adalah karena selain memang letaknya di lantai 30 unit DE, bagi saya tempat itu sudah menjadi ajang berkumpul sahabat-sahabat dan handai taulan kami untuk bisa berbagi suka maupun duka.
Hampir tiap kali selalu saja ada bunyi suara gitar dan lantunan lagu-lagu sumbang yang terdengar dari mulut kami yang sedang mabuk. Mungkin satu-satunya suara merdu yang terdengar hanyalah dari mulut istri saya, Itta. Maklum saja, namanya juga penyanyi. Musik dan alkohol hampir selalu saja menyemarakkan tempat itu layaknya sebuah bar atau club.
Kini semuanya harus berlalu. Atas nama masa depan yang lebih baik, maka saya dan istri memutuskan untuk pindah. Jujur saja, penghasilan saya yang tak seberapa, ditambah lagi dengan akan hadirnya buah hati kami dalam waktu dekat, membuat saya harus dengan sangat terpaksa meninggalkan tempat itu.
Segala kenangan baik yang pernah terjadi juga rasanya tidak sebanding dengan biaya listik, air serta uang kebersihan dan keamanan yang selalu mengalami kenaikan. Atas dasar itulah maka kami memutuskan untuk pindah.
Keesokan harinya, hujan masih juga turun dengan derasnya. Bersama Bang Jejen, sahabat lama keluarga kami, secara bertahap kami berdua membawa barang-barang yang telah dikarduskan itu untuk menuju truk yang sudah menunggu di lantai bawah. Selain memang kardus-kardus itu memiliki beban yang cukup berat, namun hal yang terberat bagi saya ialah ketika harus menyaksikan ruangan yang pernah menjadi tempat saya berteduh selama 3 tahun ini perlahan-lahan kosong. Ada suatu perasaan sedih yang makin lama semakin berkecamuk di dalam dada saya.
Sampai ketika 30 DE Social Club benar-benar kosong dan saya harus benar-benar pergi meninggalkan tempat itu, saya meminta waktu sebentar untuk sekedar berdiam diri dan membakar sebatang rokok sambil mengingat -ingat segala hal yang pernah terjadi di tempat ini.
Dalam keheningan tiba-tiba hp saya berbunyi. "Masih lama mas? Sebab kita harus segera berangkat!" tanya sopir truk yang sudah tidak sabar menunggu lebih lama lagi.
Saya kembali memandangi seluruh bagian ruangan, mematikan rokok, dan lantas bergegas pergi menutup dan mengunci pintu.
Terimakasih 30 DE SOCIAL CLUB, semoga kelak dikemudian hari nanti engkau bisa menjadi berkat bagi penghuni baru mu.
Hormat kami,
Agan Harahap & Ita S Mulia
Selasa, 24 Desember 2013
Selamat Natal
Salah
satu yang membedakan natal tahun ini dengan natal-natal sebelumnya
adalah makin sepinya ucapan-ucapan selamat melalui sms.
Saya
terkenang 2-3 tahun lalu ketika handphone saya belum memiliki piranti
sosial media. Bisa sampai ratusan sms natal yang masuk dan tidak
mungkin saya balas semua. Bahkan tak jarang juga ada 2-3 ucapan yang
sama (standar sms berantai). Saya pun acap kali bertanding dengan adik
saya tentang siapa yang paling banyak menerima sms selamat natal.
Sekarang
teknologi sudah semakin berkembang dan sampai saat ini, saya belum
menerima satupun ucapan natal via sms di handphone saya. Sebagai
gantinya, hampir seluruh sosial media yang saya ikuti marak dengan
puluhan bahkan ratusan notifikasi berbagai ucapan selamat hari natal
yang dengan mudah (dan tanpa biaya sms), bisa saya balas satu per satu.
Sebelum
ucapan melalui sms atau bahkan melalui piranti sosial media menjadi
trend, kartu natal dan telegram sudah tentu menjadi pilihan favorit
untuk menyampaikan ucapan sukacita ini. Saya ingat, dulu, setiap natal,
pemerintah selalu menyediakan berbagai seri telegram ucapan natal. Dan
karena ada saudara yang bekerja di kantor pos (dulu untuk mengirim
telegram, kita bisa melalui kantor pos), maka kami pun kerap mendapatkan
telegram natal dengan berbagai serialnya.
Saya
juga teringat, dulu, kurang-lebih seminggu setiap menjelang natal,
rumah kami selalu dibanjiri oleh kartu natal dari handai taulan dan
sanak famili. Salah satu kebiasaan di rumah kami yang cukup menarik, setiap hari natal
ibu selalu menggantung puluhan kartu natal dan telegram di jendela
rumah sebagai bagian dari dekorasi natal di rumah kami. Dekorasi itu
tetap bertahan sampai beberapa hari setelah tahun baru. Dan saya selalu
saja malas ketika harus membereskan ratusan kartu natal yang menggantung
di jendela itu.
Bicara
soal sms natal, saya selalu punya sms ucapan natal andalan yang setiap
tahun selalu saya kirimkan untuk membalas semua sms-sms natal yang
standard template itu.
(
hampir selama 4-5 tahun, ucapan natal via sms saya selalu sama). Sms
natal itu saya kutip dari sajak berjudul 'Natal' karya Sitor
Situmorang. Ucapan
itu tanpa sengaja saya ketemukan di buku kumpulan puisi Sitor
Situmorang kepunyaan alm. Bapak saya. Saya merasa ucapan natal itu cukup
gagah dan cocok untuk saya sebab saya kurang suka ucapan-ucapan natal
yang mengandung sinterklas, salju-salju dan unsur-unsur natal klise
lainnya yang tidak cocok untuk negara tropis kita.
Sampai
kemarin siang saya mencoba mengingat-ingat puisi itu secara lengkap
namun sulit rasanya. Karena puisi itu cukup panjang. Saya sudah coba
search di google, tapi tidak saya temukan. Lantas saya membongkar gudang
dan peti-peti berisi buku-buku saya, namun buku itu tidak kunjung saya
temukan juga. Entah dimana buku itu sekarang. Tapi kalau tidak salah,
kira-kira beginilah bunyi sms ucapan Natal saya selama bertahun-tahun
silam:
Tiap kelahiran adalah revolusi.
Tiap kelahiran dunia menjadi baru.
Kristus, jendral pemberontak segala zaman,
dilahirkan untuk memperbaharui dunia.
Menyambut Kristus, kita menyambut revolusi.
Menyambut Kristus, kita membangun dunia baru.
Pagi ini saya bangun. Dan seperti pagi-pagi yang lain, hal pertama yang saya lakukan adalah membuka handphone dan melihat notifikasi sambil merokok. Memang saya akui, bahwa saya sudah tidak pernah lagi berdoa setiap kali bangun tidur kecuali ada hal-hal khusus yang meresahkan hati saya. Pagi ini, ada sekitar 70-an notifikasi di path, 200-an notifikasi di instagram dan sekitar 30-an notifikasi di twitter di tambah belasan email ucapan selamat natal. Tanpa satu-pun sms natal apalagi kartu natal atau bahkan telegram.
Ucapan
selamat Natal sudah termodifikasi dengan sendirinya sesuai dengan
perkembangan jaman. Natal kali ini dipenuhi oleh ratusan notifikasi.
Entah bagaimana pula bentuk ucapan selamat natal di tahun-tahun
mendatang.
Namun apapun bentuk modifikasinya kelak, tapi kiranya damai dan sukacita natal selalu tetap dan tidak berubah di hati kita sekalian.
Selamat Natal!
* Agan Harahap yang tidak begitu suka dengan Santa Claus
Senin, 09 Desember 2013
Aku Berfoto, Maka Aku Ada
A: "Ih.. Narsis banget seh
loch?!? dikit-dikit poto selfie.."
B: "Ihhhh..Biarin ajah
keleuss.. Mau guwe aplot di path nech!"
A: "Eh, Tag guwe juga
keleuss..?!? "
B: "Okeh say.."
*Percakapan antara 2 karyawati di
atas berlangsung di sebuah warung Indomie tadi pagi.
Dewasa ini, ketika teknologi
komunikasi sudah sedemikian canggihnya, cukup sering kita mendengar
istilah-istilah seperti narsisme, selfie, tongsis dan segala hal yang
berhubungan dengan ke-egoan kita. Dan perilaku selfportrait menjadi sesuatu fenomena
yang semakin sering terjadi di sekeliling medan sosial kita.
Teknologi komunikasi pun semakin
ramah untuk ekonomi masyarakat kita yang (konon katanya) sedang dalam kondisi
prihatin. Berbagai perusahaan handphone dan provider berlomba-lomba untuk menawarkan
berbagai kemudahan (atau kerumitan) ini kepada kita denga harga yang semakin
lama semakin terjangkau. Sekarang, kita dapat dengan mudahnya memberi tahu
posisi keberadaan kita sekaligus menginformasikan hidangan apa yang sedang kita
nikmati dan berbagai 'hal-hal penting' lainnya. Pendek kata, hampir tidak ada
ruang privasi lagi antara kita dan medan sosial di sekeliling kita.
Pada dasarnya, bercermin atau
melihat diri sendiri merupakan 'perilaku purba' manusia. Tak bisa dipungkiri
bahwa kita senang melihat diri kita berada dalam berbagai media baik itu
lukisan, foto atau bahkan hanya sekedar terlihat numpang lewat dalam
liputan televisi.
Sampai pada (kurang-lebih) satu
dekade lalu, sebelum teknologi kamera digital mulai menjamur, istilah self
portrait hanya dimiliki oleh kaum fotografer atau seniman. Karena hanya dengan
skill tertentu-lah seseorang bisa menghasilkan potret dirinya baik itu dengan
media lukisan maupun fotografi. Dan ketika mereka (kaum seniman)
menggunakan dirinya sebagai salah satu media untuk representasi dari
pemikiran-pemikirannya, maka self-portrait menjadi lekat hubungannya dengan
karya-karya seni.
Lantas, bagaimana dengan selfie?
Fenomena selfie mulai muncul seiring sejalan dengan perkembangan teknologi
komunikasi yang mulai merasuki hampir di segala lini kehidupan sosial kita.
Istilah selfie merupakan pengembangan dari self portrait walau pada prakteknya
adalah sama. Saat ini semua orang bisa memotret dan fotografi sudah
tidak lagi dimiliki oleh kalangan fotografer saja. Fotografi sudah
menjangkau hampir semua lapisan masyarakat. Dan ketika semua orang bisa
memotret, tentu 'perilaku purba' yang saya jabarkan di atas tadi akan muncul
dan mewabah dengan sendirinya.
Selfie adalah tindakan memotret diri
sendiri tanpa tendensius apapun ke arah seni. Baik itu sekedar
mendokumentasikan raut wajah, hidangan yang sedang disantap, kebersamaan dengan
handai taulan, maupun sebagai ajang eksistensi di berbagai
lokasi. Perilaku dan fenomena selfie muncul sebagai konsekuensi dari berbagai
kemajuan teknologi yang tumbuh dengan pesat. Walau terkadang berbagai kemajuan
teknologi ini tidak bertumbuh seiring sejalan dengan pola pikir dan mentalitas
sebagian orang.
Dan
sudah barang tentu, bahwa tidak ada yang salah sama sekali dengan perilaku selfie
ini. Hidup adalah pilihan. Dan kini, semuanya kembali kepada diri kita sendiri.
Tinggal darimana dan bagaimana cara kita menyikapi fenomena selfie
ini.
Agan Harahap
Tulisan di atas dibuat untuk
merespon sebuah acara pameran bertema 'selfie' yang telah berlangsung di Galeri
Cemara 6 beberapa waktu yang lalu. Saya bersama dengan Narpati Awangga ( Oom
Leo) dan Jimi Multhazam bertindak sebagai narasumber dalam acara talkshow dan
workshop yang diadakan guna menyikapi dan mensiasati fenomena selfie yang
mewabah dewasa ini.
Jimi Multhazam mencoba merespon
tema selfie ini dengan kemampuannya dalam drawing dan melukis. Sementara OomLeo
menggunakan teknik pixel art untuk menghasilkan sebuah bentuk selfie yang
kreatif dan berseni. Saya sendiri, memperkenalkan teknik montase digital dengan
photoshop.
Adapun pameran, talkshow dan
workshop tersebut merupakan hasil kerjsama yang solid antara kami sebagai
seniman dengan Sampoerna A yang memang kerap mendukung berbagai perhelatan
kreatif seperti ini
Beberapa karya dari peserta pameran yang didisplay di dalam ruang galeri |
Suasana Talkshow yang berlangsung pada siang hari yang berbahagia itu |
Oom Leo, Jimi Multhazam, saya dan Saleh Husein |
Minggu, 08 Desember 2013
Sejarah_X
-->
*Sejarah _X adalah sebuah kelompok studi yang mengkhususkan diri untuk meneliti, mempelajari serta mendata kisah-kisah yang tidak tercatat dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sejarah_X juga menghimpun serta merangkum penggalan-penggalan kisah kehidupan dari saksi-saksi pelaku sejarah itu sendiri.
Buku ini adalah 'tribute' bagi seorang
saksi sejarah yang bernama Amrizal Chaniago. Lahir di Bukit Tinggi, Sumatera
Barat pada tahun 1935, Amrizal sejak kecil sudah memiliki ketertarikan dan
bakat pada dunia seni dan fotografi. Walau memang fotografi pada jaman itu
tidak semarak seperti sekarang. Fotografi masih merupakan barang mewah yang
hanya mampu dimiliki oleh kaum borjuis pada masa itu. Berbekal doa restu dan
rahmat Illahi, serta teguh berpegang pada ajaran adat dan agama, Amrizal akhirnya
memberanikan diri untuk merantau mengadu nasib ke Ibu Kota untuk memulai hidup
baru dan berkarir dan sebagai fotografer. Berawal dari pekerjaannya di sebuah
studio foto di bilangan Jakarta Barat, akhirnya Amrizal Chaniago mampu menjadi salah
satu fotografer kepresidenan Republik Indonesia.
Tidak hanya menjadi fotografer di lingkungan
istana negara saja, Amrizal pun berkelana melintasi samudera dan benua demi
mendokumentasikan segala kegiatan kepresidenan dan kenegaraan yang ditugaskan
kepadanya.
Buku ini merangkum sekelumit kisah
'sepak-terjang' Amrizal Chaniago dalam memulai kariernya, sampai menjadi saksi
dari berbagai peristiwa, skandal dan konspirasi-konspirasi yang terjadi di
penghujung masa pemerintahan Orde Lama.
Pada Jakarta Biennale 2013 kali ini, Sejarah_X menghadirkan kembali beberapa koleksi foto Amrizal Chaniago yang dibuatnya dari tahun 1959-1964. Dalam kesempatan yang sama, Sejarah_X sekaligus juga mengadakan launching serta pembagian buku Membidik Sejarah secara cuma-cuma bagi para hadirin yang datang pada malam yang berbahagia itu.
Kiranya buku serta pameran ini dapat menjadi sumbangsih yang
berarti bagi sejarah Indonesia pada umumnya dan menjadi pedoman bagi penggiat
fotografi pada khususnya.
*Sejarah _X adalah sebuah kelompok studi yang mengkhususkan diri untuk meneliti, mempelajari serta mendata kisah-kisah yang tidak tercatat dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sejarah_X juga menghimpun serta merangkum penggalan-penggalan kisah kehidupan dari saksi-saksi pelaku sejarah itu sendiri.
Langganan:
Postingan (Atom)