Jumat, 16 Mei 2014

Sing Fest #4 : Realisme Dalam Lagu Anak-Anak



Tadi sore, saya dan istri menyempatkan diri untuk menyanyikan lagu anak-anak dalam upaya menenangkan anak saya yang sedang rewel seharian karena habis diberi vaksin. Rasa-rasanya sudah hampir semua lagu anak-anak yang kami tahu, sudah kami nyanyikan. Namun Merdu, nama anak kami, masih saja rewel. Tiba-tiba saja saya teringat akan sebuah lagu anak-anak yang dulu pernah hits di masa saya masih kecil. Sebuah lagu yang berjudul 'Anak Jalanan' yang dipopulerkan oleh penyanyi cilik bernama Fadly di era awal 90-an.

"Di jalan ku dicaci dimaki, ku hanya bagai sampah kota ini.. Hujan panas kuberatap langit
Siang malam kemana ku pulang.. " dst dst.. 

Lagu itu bercerita tentang seorang anak jalanan yang hanya bisa menatap sedih ketika melihat kawan-kawannya bersekolah, karena dia harus segera berjualan koran demi untuk sesuap nasi. Saya lupa-lupa ingat dengan liriknya. Hanya beberapa lirik bridge dan reffrainnya yang masih saya ingat. Pokoknya, ini adalah sebuah lagu dengan lirik yang 'cukup berat' untuk dinyanyikan seorang anak yang masih berusia dini.
Dengan bantuan Youtube, saya berhasil menemukan lagu tersebut dan menyanyikannya dengan lantang di depan anak saya yang baru berusia 2 bulan.
 
Setelah lagu 'Anak Jalanan' itu selesai, saya pun langsung tergoda untuk memutar lagu-lagu lain sejenis yang ditawarkan oleh situs itu. Lagu dengan judul 'Selamat Tinggal Lampu Merah' yang juga dinyanyikan oleh Fadly menjadi pilihan saya.

" Di sudut jalan ini, di bawah lampu merah.. Bermandi peluh membasah tubuh, ku meringankan beban orang tuaa.." dst dst.. 

Istri saya, Itta S Mulia, yang sejak tadi diam saja melihat kelakuan suaminya, langsung menyatakan keberatannya terkait lirik yang terlalu sedih untuk dinyanyikan di depan anak kami. Tapi bagaimanapun juga, itu adalah lagu anak -anak yang saya pelajari dan saya nyanyikan sewaktu saya masih kecil dulu. Dengan balutan nuansa rock yang kental, sang penyanyi cilik mengisahkan kebulatan tekadnya untuk meninggalkan kegiatannya mencari nafkah di lampu-lampu merah demi masa depan. Walau di lagu itu tidak dijelaskan bagaimana upayanya untuk keluar dari kehidupan jalanan itu.
Merdu nampaknya makin gelisah mendengar bapak-nya bernyanyi. Rupanya lagu-lagu bertemakan realisme sosial itu tak mampu menenangkan hatinya. Saya pun keluar kamar dan menuju komputer guna meneruskan nostalgia musikalitas saya. Saya terpancing untuk membuka sebuah link video yang menampilkan Charly ST12. Ah.. Rupa-rupanya Charly pun mengalami masa anak-anak yang sama dengan saya. Di video itu tampak Charly dengan lancar menyanyikan lagu 'Selamat Tinggal Lampu Merah' dan diapun mengutarakan bahwa inilah lagu anak-anak yang menyertai pertumbuhannya masa kecilnya.

Menurut penyelidikan saya, rupa-rupanya lagu 'Anak Jalanan' dan 'Selamat Tinggal Lampu Merah' berada dalam satu album yang berjudul sama. Selain itu terdapat juga lagu 'Asongan', 'Balada Anak Desa' dan lagu-lagu lain dalam besutan nada dan lirik yang begitu menyayat-nyayat bagi seorang anak kecil.


Setelah puas bernostalgia dengan Fadly, saya pun berselancar ke era yang lebih lawas lagi. Era 80-an.
Ini adalah era-nya Julius Sitanggang. Saya memang tidak begitu akrab dengan lagu anak-anak yang dinyanyikan Julius Sitanggang karena saya baru mulai mendengarkan, menghafal dan menyukai musik anak-anak, justru di era 90an. Era dimana sang penyanyi cilik bersuara emas itu telah beranjak menjadi remaja dan mulai meniti karier dengan menyanyikan lagu-lagu cinta. Maka wajar saja, ketika menyebut nama Julius Sitanggang, yang langsung teringat oleh saya adalah lagu 'Maria'. Saya rasa, hampir semua orang pada masa itu pasti tau lirik maha sedih lagu itu :  
" Mariaa.. Akhirnya Tuhanpun memanggilmuuu.. Walau kau tlah tiadaa.. pergi untuk slamanyaa..dst dst.. "
Maaf, saya terkadang suka menjadi sentimentil kalau mendengarkan lagu Maria. Sebab saya ingat ketika pertama kali mendengar lagu Maria di radio (saya masih SD), tanpa sengaja air mata saya pun menetes tanpa sebab yang pasti. Padahal saya tidak punya satu pun kawan yang bernama Maria. Hanya karena nada dan lirik lagu yang terlalu sedih bagi saya pada waktu itu. Walaupun ketika saya mendengarkannya lagi, ada sedikit tanya yang timbul dalam hati. Kok bisa-bisanya dulu saya sampai menangis mendengar lagu Maria?

Ehemm.. Ok. Mari kita kembali ke pokok bahasan tentang 'lagu-lagu berat' anak-anak 80-90an.
Pilihan saya berikutnya jatuh pada lagu 'Doa Penyemir Sepatu'. Suara Julius Sitanggang yang begitu jernih, serta ditambah lagi dengan lirik yang membius tentang kisah seorang anak yang mencari nafkah di sebuah terminal tua dengan menggantungkan harapan pada setiap pendatang yang mau menyemirkan sepatunya. Walaupun di awal lagu sekilas terdengar mirip Ebiet G Ade, dan di bagian reffrain mirip Deddy Dores, tapi saya suka lagu ini.

"Dalam kesibukan dan bisingnya kota..Matamu sibuk mencari pendatang.
Sepasang sepatu suatu harapan bagi dirimu.. dst dst.."

Di akhir lirik lagu tersebut, terdapat kata-kata, 
" Sebait doa ku ucapkan, semoga cerah masa depan mu nanti.."
Ah.. Manis sekali. Setidaknya di lirik penghabisan itu mengajak anak-anak kita agar bisa lebih berempati terhadap orang lain.

Saya pun beralih kepada playlist berikutnya. Masih dengan suara jernih Julius Sitanggang. Lagu kedua berjudul : 'Balada Anak Nelayan'. Lagu ini bercerita tentang kehidupan keseharian anak-anak nelayan. "Seharian ini telah kulewati dengan bubu dan kail ditanganku".Saya kagum bahwa keranjang bubu pun dimasukkan kedalam lirik lagu ini. Saya teringat tahun 80-90an, ketika saya masih tinggal di Cempaka Putih, saya dan kawan-kawan membuat bubu dengan menggunakan botol bekas dan tempat cat untuk menangkap ikan di empang-empang. Dan alangkah 'cupu-nya' bila pada saat itu, kami tidak bisa merangkai kail untuk mencari belut di got. Saya rasa tidak mungkin lagi anak-anak sekarang tahu tentang keranjang bubu. Bahkan istri saya pun tidak tau keranjang bubu untuk menangkap ikan.
Ah, sungguh beruntung saya melewati masa kanak-kanak saya di era itu. Ketika kami masih bisa bermain dengan bebas di kolam dan kebun. Dan jujur saja saya terkadang iri hati dengan kawan-kawan yang melewatkan masa kecilnya di laut, desa bahkan di hutan sekalipun.

Playlist terus berputar secara otomatis menemani saya melanjutkan tulisan ini. Lagu-lagu sejenis seperti : 'Cita-Cita Anak Petani', 'Doa Untuk Mu Kawan', dst terus mengalun pelan seraya membangkitkan memori saya pada kehidupan masa kecil saya.



Tiba-tiba terdengar lagu yang cukup familiar di telinga saya. Saya pun segera mengecek siapa yang menyanyikannya. Rupa-rupanya Janter Simorangkir lah sayang empunya suara emas itu. Lagu berjudul 'Katakan Mama' bercerita tentang kepedulian seorang anak kecil yang bertekad untuk membatu ibu nya bekerja.

"Ingin ku membantu Mamaaa.. Menyemir pun mau.. Sambil ku menjual koraann.. Sepulang sekolah..dst dst".

Dan sayapun kembali terlena dan tenggelam dalam lirik-lirik humanis yang menyayat hati tersebut.
Setelah Julius Sitanggang beranjak remaja dan menjelma menjadi penyanyi pop dewasa, Janter Simorangkir nampaknya sukses meneruskan kiprah 'senior'nya dalam menyanyikan lagu anak-anak dengan lirik yang 'berat' itu. Namun ada satu lagu dari Janter Simorangkir yang bagi saya cukup 'wow' yaitu lagu berjudul 'Kanker Ganas'. Saya tidak menemukan data apapun tentang lagu ini di internet. Hanya ada 1 link lagu ini di youtube. Walaupun kualitas rekaman digitalnya buruk sehingga liriknya tidak terdengar jelas, tapi sungguh mengejutkan bagi saya ketika ada lagu anak-anak yang berkisah tentang kanker ganas. Mungkinkah tema kanker pada waktu itu tengah menjadi momok di masyarakat kita? Karena pada era yang kurang lebih sama, seorang penyanyi senior, Tommy J Pisa menyanyikan lagu serupa dengan judul 'Akibat Kanker Ganas'. Dan rupa-rupanya di dunia film, ada pula sebuah film 'hits' yang berjudul 'Akibat Kanker Payudara' yang dibintangi Cok simbara dan Chintami Atmanegara. Tapi seorang anak kecil seperti Janter menyanyikan lagu 'Kanker Ganas' ? Entahlah..

Dan setelah Fadly, Julius Sitanggang dan Janter Simorangkir, saya pun menemukan beberapa lagu-lagu anak-anak dengan lirik-lirik yang berat namun realistis dari periode yang acak.
Ada Ben Silitonga yang memposisikan dirinya sebagai 'Aku Anak Orang Tak Punya'. Penyanyi cilik Jachri Fisher ikut mewarnai 'era kegelapan lagu anak-anak' ini dengan lagunya yang berjudul 'Tanah Merah', yang bercerita tentang kematian kedua orang tuanya. John Tanamal, muncul dengan lagu berjudul 'Katakan Papa' yang menceritakan tentang perpisahan kedua orang tuanya. 
Belum lagi Abiem Ngesti yang populer dengan lagu 'Pangeran Dangdut', tak ketinggalan menyanyikan lagu-lagu bertema 'berat' ini dengan lagunya yang berjudul 'Tirai Kehidupan'

Saya rasa, di tiap beberapa lagu yang muncul dalam satu periode, tentu punya beberapa kemiripan yang mewakili era-nya sendiri. Sehingga kita bisa menarik sebuah benang merah yang menggambarkan suatu gejolak sosial yang terjadi dalam satu periodisasi zaman. Kemiripan-kemiripan tadi tidak hanya melulu dari nada, tema atau lirik semata. Tapi bisa juga dilihat dari jenis musiknya sendiri.

Bila kita mendengarkan lagi lagu anak-anak pada era Adi Bing Slamet, Ira Maya Sofa, Cicha Koeswoyo dll. Hampir di tiap lagu pada era tersebut nuansa pop yang ceria mulai terasa. Lagu-lagu seperti 'Mak Inem Tukang Latah', 'Hely', 'Sepatu Kaca', 'Bebek-Bebek Ku' dan sebagainya, dipenuhi nuansa ceria dengan pemakaian efek sound yang jenaka pada era itu. Bahkan untuk musik dengan tempo yang lebih pelan, seperti 'Aku Sedih Duduk Sendiri', kita masih bisa mendapatkan nuansa positif yang menggambarkan keceriaan seorang anak ketika kedua orang tua yang pulang ke rumah setelah kembali dari bepergian. Entah gejolak sosial apa yang terjadi di tanah air pada waktu itu, mungkinkah pertumbuhan perekonomian serta meningkatnya daya beli di masyarakat secara tidak langsung turut berperan serta dalam warna musik anak-anak pada era itu? bisa saja.. Sebab konon, Operet Cinderella yang dibintangi oleh Ira Maya Sopha dengan Dina Mariana mendulang kesuksesan yang luar biasa dengan membludaknya penonton-penonton cilik yang harus mengeruk uang dari kantong orang tua mereka dengan jumlah  yang tidak sedikit pada waktu itu untuk bisa menyaksikan pagelaran atau membeli kasetnya.

Ciri lain yang bisa terbaca dengan cukup jelas adalah bila kita menarik mundur beberapa puluh tahun sebelum Adi Bing Slamet dkk lahir. Lagu anak-anak ciptaan Ibu Soed, Ibu dan Pak Kasur, Koesbini, sedikit-banyak kita bisa merasakan 'warna-warna patriotik' di tiap lagunya. Mungkin warna patriotik ini tidak tergambarkan melalui lirik-lirik di lagu-lagu itu. Tetapi nada dan irama lagu-lagu tersebut mengingatkan saya pada jenis musik march yang bersemangat yang biasa dipakai dalam lagu-lagu perjuangan. Coba kita perhatikan, lagu 'Menanam Jagung', 'Naik Kereta Api', 'Tik Tik Tik Bunyi Hujan' dll, tempo atau ketukan lagu-lagu tersebut mirip dengan lagu-lagu Berkibarlah Bendera Ku, Bangun Pemudi Pemuda, Maju Tak Gentar dan lainnya.
Sementara pada lagu anak-anak yang berirama lambat seperti 'Kupu-Kupu Yang Lucu', 'Oh Amelia', 'Ambilkan Bulan Bu' dll, mengingatkan saya pada lagu-lagu hymne seperti 'Indonesia Tanah Air Beta', 'Padamu Negeri' dsb.

Lalu, apa yang terjadi pada lagu anak-anak era 80-90an ? Apa yang membuat pencipta-pencipta lagu anak-anak pada masa itu malah menciptakan lagu-lagu tentang kematian, perceraian, serta berbagai kesulitan hidup untuk dibawakan oleh penyanyi-penyanyi ciliknya? 
Mungkin saja tema-tema gelap itu adalah titipan pemerintah yang pada era itu sedang gencar-gencarnya menggalakkan program Keluarga Berencana, agar para orang tua bekerja lebih keras demi kesejahteraan anaknya. Atau mungkin juga masyarakat pada era itu sudah letih dengan segala keceriaan-keceriaan semu dan ingin agar anak-anaknya lebih realistis dalam menghadapi kehidupan.
Ataukah jangan-jangan ini adalah upaya propaganda bangsa asing yang bertujuan untuk merusak generasi bangsa kita?
Entahlah, saya tidak bisa menemukan sebab musabab terciptanya lirik-lirik nan menyayat hati itu. 
Namun setidaknya saya bisa menemukan nilai-nilai positif dari lagu anak-anak yang 'realistis' itu. Dengan mendengarkan lagu 'Selamat Tinggal Lampu Merah', 'Anak Jalanan', 'Doa Penyemir Sepatu' dll atau bahkan lagu anak-anak yang berjudul 'Kanker Ganas' sekalipun, saya bisa belajar untuk lebih realistis dalam menyikapi kehidupan ini serta bisa lebih menaruh empati terhadap sesama.

Bila sejak tadi sudah membicarakan panjang lebar tentang lagu anak-anak dari jaman ke jaman, lantas bagaimana pula dengan lagu anak-anak era 2000-an sampai sekarang? Bagaimana dengan lagu-lagu hits dari Puput Melati, Enno Lerian, Trio Kwek-Kwek, Agnes Monica, Joshua Suherman, Tasya dan ribuan lagi pendatang baru lain di blantika musik anak tanah air? Entahlah, sebab ketika mereka mulai bermunculan, saya sudah menyibukkan diri dengan menabung agar bisa membeli kaset Iwan Fals.


Agan Harahap

*Pemerhati musik anak dan bukan penggemar Papa T Bob


PS: Lalu bagaimana pendapat mu tentang lagu anak-anak masa kini? 

Tambahan : Menurut Denny Sakrie, pengamat musik, 'realisme kelam' dalam lagu anak-anak era 80-90an itu disebabkan karena dipengaruhi oleh lagu-lagu balada yang memang pada saat itu tengah booming di Tanah Air. Kemunculan 'Power Ballads' dan diikuti dengan slow rock Melayu, yang ditandai dengan hits Isabella dari Search dan Suci Dalam Debu dari /Iklim sedikit banyak juga memberi kontribusi dalam 'realisme' lagu anak-anak di era itu.






Senin, 28 April 2014

Antara Saya Dan Bola Basket




-->
Pada era 90-an, olahraga bola basket sempat merasuki anak-anak muda di Indonesia.
Hampir semua orang mengenakan atribut basket. Sepatu yang terkenal pada era itu adalah Reebok Pump ( selain Nike Air Jordan, tentunya). Tak hanya dari segi fashion, demam basket ini pun semakin menggila dengan munculnya lagu ‘Nombok Dong’ yang dinyanyikan oleh rapper legendaris Indonesia, Iwa K. Video klip lagu ini berisikan aksi-aksi dunk (nombok) mutakhir yang diperagakan oleh pemain-pemain top nasional. 
Sementara NBA Action yang ditayangkan pada hari Sabtu, sudah menjadi tontonan wajib yang tak mungkin dilewatkan. Karena tayangan NBA games pada waktu itu hanya bisa dinikmati melalui antenna parabola, maka Liga Kobatama pun menjadi sarana pelampiasan kami. Bahkan saya dulu bisa menghafal semua starter-starter dari seluruh tim yang berlaga di kompetisi basket nasional itu.
Selain itu, brand semacam Upper Deck, Flairs, Finest, Hoops menjadi primadona. Yak, nama-nama tadi adalah merk kartu basket. Hampir semua anak-anak pada era itu memiliki kartu basket. Baik itu untuk di koleksi sendiri atau bahkan untuk diperdagangkan di tempat-tempat tertentu.
Berikut adalah sekelumit ‘kisah percintaan’ saya dan bola basket yang telah berlangsung selama puluhan tahun sampai sekarang dan tetap tidak akan luntur sedikitpun sampai nanti akhir menutup mata.

Berpose bersama kostum basket kebanggaan saya. PSKD 3 #14

Mengawali Karier Sebagai Pemungut Bola Dari Got

Kisah ini dimulai tahun 1991 ( 23 tahun yang lalu). Saat itu saya hanyalah seorang anak bawang di daerah Cempaka Putih Timur. Saban sore saya selalu menyaksikan anak-anak komplek yang lebih besar bermain bola basket di lapangan kecil yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah saya.
Selain mengamati jagoan-jagoan itu beraksi, sebagai anak bawang, tugas saya adalah mengambil bola basket yang tercebur ke got atau masuk ke pekarangan rumah orang. Maklum saja, lapangan yang saya maksudkan disini tak lebih dari sebuah ring yang dipasang di pinggir jalan di depan rumah seorang jawara basket komplek itu.
Setiap hari saya selalu saja dibuat terkesima dengan gerakan-gerakan mereka yang begitu piawai dalam memasukkan bola ke dalam keranjang. Karena tidak pernah diberi kesempatan untuk mencoba dan bermain, maka saya memutuskan untuk membeli bola basket saya sendiri. Bola basket pertama yang saya miliki itu bermerk Mikasa. Bola seharga 20 ribu rupiah itu saya beli di toko olahraga di Pasar Cempaka Putih. Akhirnya, saya pun bisa mencoba bermain di lapangan itu. Sepulang sekolah (pk. 1-2 siang), saya langsung mengganti seragam dan bermain basket di lapangan itu seorang diri. Dan pada sore harinya, saya kembali ‘dinas’ dengan  menyaksikan senior-senior itu bermain sambil meniru berbagai gaya mereka. Saat itu saya masih duduk di kelas 5 SD. Dan SD BPK Penabur 3, sekolah saya pada waktu itu, tidak ada pengenalan tentang basket sedikitpun dalam kurikulum mata pelajaran olahraga. Kegiatan sebagai pemungut bola di got itu tetap saya jalani dengan sukacita sampai saya tamat SD.

Karena mungkin memang otak saya yang kurang sesuai untuk belajar di SDK Penabur, maka orang tua saya memutuskan untuk menyekolahkan saya ke sekolah yang jauh lebih ‘toleran’. Sekolah itu bernama SMP 1 PSKD.
Saya yang datang dari SD yang bergengsi, wajar saja bila sedikit shock karena kelakuan kawan-kawan sekolah yang sungguh berbeda dari apa yang selama ini saya alami. Tawuran, narkotika bahkan seks (kecuali tawuran, semuanya masih dalam kadar yang bisa ditolerir) rasanya sudah menjadi hal yang lumrah ditempat itu. Sejujurnya dalam beberapa hari pertama, saya cukup merasa tertekan dan sempat memohon kepada orang tua saya agar saya dipindahkan dari sekolah itu guna menyusul kawan-kawan intelektual saya ke SMP Penabur.

Tapi keinginan itu berubah seketika setelah hari pertama pelajaran olahraga. Yak, hari pertama pelajaran olahraga diisi dengan bermain basket 2 jam penuh. Kebetulan juga sekolah kami mempunyai lapangan yang lebih layak daripada lapangan yang selama ini saya pakai untuk berlatih di rumah.
Saya masih ingat, pada tahun ajaran pertama di SMP itu, setelah bel istirahat berbunyi, maka saya bersama Ronald Tampubolon, Joey Basiha, Rubein Novelino dan beberapa kawan lain segera bergegas ke kantin untuk memesan makanan dan langsung duduk mengambil tempat yang terbaik di sisi lapangan guna menyaksikan senior-senior itu bermain basket.
Yang membuat saya cukup bangga adalah, bahwa sekolah itu mempunyai tim basket yang cukup disegani di kejuaraan-kejuaraan SMP pada jaman itu. Senior-senior anggota tim basket sekolah menjelma menjadi selebrit-selebriti kecil. Hampir semuanya memiliki pacar yang cantik. Sehingga saya yang bertampang pas-pasan ini pun  diam-diam menyimpan ambisi besar, supaya kelak saya bisa bergabung dalam jejeran orang-orang terpandang itu. Dan sebagai langkah awal, saya pun segera mendaftar dalam kegiatan ekstrakurikuler bola basket. Lantaran bola basket, saya tidak pernah lagi berlatih sendiri siang-siang di lapangan komplek. Sepulang sekolah, saya langsung bermain basket dan baru pulang ke rumah menjelang sore hari. Otomatis, karier saya sebagai pemungut  bola yang tercebur di got selesai!

Setiap sehabis ujian catur wulan, sekolah kami selalu mengadakan pertandingan olahraga antar kelas. Dan tentu saja, pertandingan basket 3 on 3 menjadi ajang yang selalu disesaki penonton. Terutama wanita-wanita cantik yang ada di sekolah itu. Saya bersama kawan-kawan kelas 1A, sukses mengantarkan kelas kami maju sampai ke babak perempat final. Sebuah prestasi yang cukup membanggakan karena kelas kami adalah satu-satunya kelas 1 yang bisa menembus babak itu dengan mengalahkan kakak kelas. Seluruh siswa kelas 1 tak putus bersorak-sorai menyemangati kami ketika bertanding. Walau akhirnya perjuangan kami terhenti oleh 3 orang jagoan sekolah, namun hari itu adalah hari pertama saya merasa bangga akan prestasi basket saya.

Saya melewati tahun pertama di SMP itu dengan gilang gemilang. Selain masuk ranking 10 besar, saya pun sukses dalam olahraga bola basket. Memasuki kelas 2, saya pun akhirnya dipanggil untuk masuk dalam jejeran tim bola basket SMP kami. Walaupun saya tidak bermain di dalam pertandingan, tapi saya cukup bangga bisa berlatih bersama ‘para selebriti’ di sekolah itu.

Selain bermain di rumah dan di sekolah, saya pun kerap bermain di lapangan Don Bosco di daerah Sunter. Ronald Tampubolon, sahabat saya dari SMP ini lah yang pertama mengajak saya bermain di lapangan itu.
Itu adalah kali pertama saya untuk bermain di lapangan besar (ukuran sebenarnya). Di lapangan Don Bosco itu pulalah saya berkenalan dengan kawan-kawan baru.
Setiap hari, rasa cinta saya terhadap bola basket semakin besar. Dan hampir tidak ada hari tanpa bola basket. Baik itu panas atau hujan, saya selalu menyempatkan diri untuk berlatih. Baik itu latihan dilapangan maupun latihan fisik. Latihan fisik yang saya lakukan di rumah rupa-rupanya cukup membuat pusing kedua orang tua saya karena plafon atau langit-langit rumah penuh dengan bekas jari-jari saya. Yak, setiap hari saya selalu melatih lompatan saya dengan menyentuh plafon rumah saya. Bila hari hujan dan tidak ada waktu yang tepat untuk bermain di lapangan, saya pun melatih assit dan dribbling di garasi. Alhasil, seluruh tembok garasi penuh dengan bekas pantulan bola basket yang membuat ayah saya geleng-geleng akibat kelakuan anaknya ini.


Sepatu Basket

Seiring waktu berjalan, posisi sebagai anak bawang di komplek rumah pun sudah saya tinggalkan. Selain beberapa kawan komplek yang sudah masuk dunia kuliah, saya pun sekarang punya beberapa ‘petugas’ yang selalu memungut bola saya yang masuk ke got. Ya, saya sudah menjadi senior di komplek itu. Saya sukses meladeni pemanin-pemain dari komplek lain yang sengaja datang menantang kami. Begitupun sebaliknya.
O iya, asal tahu saja, bahwa permainan basket di komplek kami tidak menggunakan sepatu. Hanya menggunakan sandal jepit merk swallow atau bahkan dengan kaki telanjang. Maka dari itu, permainan bisa terhenti apabila ada kaki yang berdarah atau bahkan kuku yang copot karena tergesek aspal. Dan lirik lagu Nombok Dong dari Iwa K itu pun kami pelesetkan menjadi “hidup di lapangan, dengan darah bercucuran..dst dst..”

Sepatu seperti ini lah yang menjadi sepatu basket pertama saya

Saya dibesarkan dalam keluarga yang sederhana. Pada era itu, sepatu basket merupakan barang bergengsi. Seseorang akan terlihat ‘wah’ bila ia mengenakan sepatu Air Jordan, LA Gear-nya Hakeem Olajuwon, Reebok O’neal atau Adidas Kobe Bryant. Tak heran harganya pun selangit sehingga saya tidak sampai hati untuk merengek kepada orang tua saya dan untuk dibelikan sepatu basket.  Waktu itu saya hanya punya satu sepatu terkadang merk Spotec atau lebih sering mengenakan Eagle. Baik itu untuk sehari-hari bersekolah dan bermain basket.
Untuk sekedar bermain dan bertanding, saya kerap meminjam sepatu milik kawan saya. Rupa-rupanya, ayah saya diam-diam menaruh simpati terhadap anaknya yang kerap meminjam sepatu basket ketika bermain. Pada suatu hari yang berbahagia, tanpa disangka-sangka ayah mengajak saya ke Mall Kelapa Gading. Dan beliau mempersilakan saya untuk memilih sepatu basket. Dengan menimbang berbagai kemungkinan dan prihatin akan faktor ekonomi keluarga, maka pilihan saya jatuh pada sepatu basket merk nike berwarna hitam karena bisa sekaligus dipakai untuk bersekolah sehari-hari. Harga sepatu itu cukup mahal, 250 ribu rupiah. Sebuah nominal yang cukup fantastis pada era itu. Namun harga sepatu itu masih jauh lebih murah dibanding sepatu-sepatu lain yang kerap digunakan oleh pemain-pemain NBA.
Tidak ada yang special dengan sepatu basket pertama saya itu. Bentuknya sederhana, tidak ada desain yang aneh-aneh bahkan lampu yang menyala-nyala. Selang beberapa waktu kemudian, saya mendapat ‘kabar baik’ dari seorang sahabat saya. Rupa-rupanya ,Anfernee ‘Penny’ Hardaway (tandem Shaquille O’Neal dari Orlando Magic) juga mengenakan sepatu yang sama dengan yang saya pakai. Dan semenjak hari itu ,saya bangga mengenakan sepatu itu.

Sepatu Adidas Kobe Bryant


Sepatu basket lainnya yang cukup mempunyai kenangan adalah sepatu merk Adidas edisi Kobe Bryant. Sebagai penggemar basket dari kalangan menengah ke bawah, untuk menggali info seputar NBA, saya pun berlangganan tabloid Bola. Memang tidak banyak informasi yang saya dapatkan disana, tapi setidaknya ulasan-ulasan Eko Widodo, Reinhard Tawas, Ary Sudarsono atau bahkan Helmy Yahya cukup memberi informasi yang saya butuhkan.
Dari tabloid itu pula lah saya mendapatkan informasi tentang adanya bazaar barang-barang olahraga bekas atlet. Saya bersama beberapa kawan pergi menuju kantor Kompas-Gramedia di Pal Merah guna mengais rejeki. Siapa tahu ada barang memorabilia basket bekas yang bisa kami miliki disana. Siang itu rupanya bintang keberuntungan saya sedang bersinar. Dan saya pun sukses membawa pulang sepatu Adidas Kobe dengan harga yang sangat murah. Dan menurut tulisan yang tertera disana, sepatu yang saya beli itu bekas digunakan oleh Ali Budimansyah. Seorang pemain basket professional Tanah air. Sepatu itu terus saya gunakan sampai solnya lepas. Walaupun sepatu itu sudah pesiun, namun sepatu itu tetap saya simpan dan saya bawa sampai kuliah di Bandung.


Pertemanan, Kacamata Dan Kartu Basket

Saya juga mempunyai sahabat yang bernama Yohanes Basiha Siagian atau akrab dipanggil dengan nama Joey. 
Joey merupakan perpaduan yang unik antara ayah Batak dan ibu dari Amerika. Sedikit berbeda dari kawan-kawan yang lain, Joey memiliki ‘akses’ yang lebih terhadap dunia basket karena memang dia berasal dari keluarga yang berkecukupan. Saya bersama Parulian Sitanggang, kawan kami yang lain, kerap bermain bahkan sampai menginap di rumahnya di Jalan Lamandau Blok M. Sebuah jarak yang cukup jauh dari Cempaka Putih mengingat usia saya yang masih belia pada saat itu.
Selain bisa bermain basket sepuasnya, karena Joey memang memiliki lapangan basket pribadi di belakang rumahnya, saya pun kerap membaca berbagai majalah basket terbitan luar negeri seperti majalah SLAM, Sports Illustrated, Becket dsb. 

Basketball Google yang masih saya simpan sampai hari ini

Kartu-kartu basket yang masih tersimpan rapih dalam album khusus
Pada saat itu penggunaan google (kacamata minus yang didesain khusus untuk basket) menjadi cita-cita yang mustahil yang hanya bisa diimpikan oleh saya yang berkacamata minus ini. Karena ‘akses lebih’ dari Joey Basiha inilah, saya bisa tampil bak  James Worthy, Horace Grant atau Kareem Abdul Jabar dengan menggunakan kacamata khusus basket ini.
Selain itu, Joey juga sukses meracuni saya dengan hobi baru. Yakni, mengumpulkan kartu basket. Setelah berkenalan dengan kartu basket, maka trayek saya menjadi lebih jauh lagi. Selain ke Senen (sekolah kami) dan ke jalan Lamandau, saya kerap pergi ke Mall Citra Land untuk membeli kartu basket.
Kartu-kartu basket itu saya dapatkan dari menyisihkan uang jajan dan transport saya. Sehingga, setiap hari sabtu, sepulang sekolah saya pasti berburu sebungkus kartu basket. Merk-merk seperti Upper Deck, Flairs, Tops, Finest, Hoops  dsb pun jadi akrab bagi saya. Pada waktu itu, memiliki kartu basket dengan gambar pemain basket terkenal bisa menghasilkan pendapatan tersendiri. Saya kerap beberapa kali menjual koleksi kartu-kartu saya dengan beberapa kawan. Dan uang hasil penjualan kartu itu saya tabung supaya bisa membeli kartu yang lain lagi. Jumlah koleksi kartu basket yang saya miliki mencapai jumlah ratusan. Dan seiring berjalannya waktu saya pun kerap menyortir kartu-kartu tersebut sehingga lambat-laun jumlahnya berkurang. Sampai hari ini, saya masih menyimpan satu album yang penuh berisi dengan kartu-kartu bergambar pemain NBA idola saya.

Pembicaraan saya dan Joey hampir tidak pernah lepas dari dunia basket. Bahkan kami sempat berangan-angan memiliki sekolah dengan system draft pick seperti di Amerika yang bisa memuluskan pemainnya sampai ke liga NBA. Namun hayalan tinggalah hayalan. Saya kini banting stir menjadi seorang seniman. Sebuah profesi yang kontras dari dunia olahraga. Sementara Joey Basiha menempuh jalan yang sangat jauh berbeda dengan saya. Beliau kini sukses menjadi kepala sekolah yang menyediakan pendidikan gratis bagi siswa-siswi di seluruh Indonesia yang berprestasi dalam bidang basket.


Cita-Cita Saya Pada Waktu Itu: Tampil Di Liga Kobatama

Menurut orang tua saya, sekolah ini merupakan SMA yang terbaik dari SMA-SMA PSKD lainnya. Maka saya pun melanjutkan jenjang pendidikan saya disana. Beberapa kawan seperti Rubein, Joey, Cyrus, Meiske dan beberapa kakak-kakak dari SMP 1 PSKD pun bersekolah di sekolah ini sehingga saya tidak begitu merasa asing dengan suasana baru di bangku SMA.
Beberapa kawan yang setiap hari bermain basket di lapangan Don Bosco Sunter pun menjadi pemain inti sekolah kami. Oleh sebab itu, karier basket saya di sekolah ini bisa dikata cukup cemerlang. Karena kemampuan saya sudah diketahui oleh beberapa senior, maka saya langsung ditarik sebagai pemain inti sekolah kami. Sebuah posisi yang cukup membanggakan bagi seorang siswa kelas 1 seperti saya.

Waktu itu ada seorang siswa kelas 2 yang berbadan besar, bertampang seram, berkulit hitam dan konon katanya, dia tidak beragama. Orang itu bernama Erwin Manik. Sebagai siswa kelas 2, dia sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya pada guru. Apalagi senior-seniornya kelas 3. Terkadang bahkan ia berlaku seolah-olah sebagai yang empunya sekolah. Bagi kami, siswa baru di sekolah itu, Erwin menjadi sosok yang cukup ditakuti.  Namun tak hanya dikenal akan keberingasannya di sekolah, Erwin merupakan siswa yang paling jago dalam bermain basket. Erwin pun mempunyai kawan-kawan yang bernama Petrus Panjaitan dan Julifin Sianturi. Sosok dan kelakuan mereka sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Erwin. Namun karena saya sudah terlebih dahulu kenal dengan mereka di lapangan Don Bosco, maka saya pun merasa sedikit ‘aman’ dari kedigdayaan begundal- begundal sekolah ini dengan kawan-kawannya. Tapi terkadang saya pun tidak luput dari ulahnya. Beberapa kali dia meneriakkan nama saya dari lapangan untuk sekedar bermain basket satu lawan satu. Saya yang sedang makan di kantin atau sedang bercengkrama dengan kawan-kawan, terpaksa harus turun dan meladeni tatangannya. Dalam setiap kompetisi antar SMA, Erwin Manik selalu tampil dengan totalitas penuh.  Tak hanya dalam mencetak skor, Erwin bahkan kerap beradu jotos dengan pemain lawan yang tidak bisa menerima kelakuan Erwin acap kali bermain kotor atau memaki-maki dalam bahasa Batak. 
  
Tim basket sekolah kami tidak pernah punya pelatih basket. Semua anggota tim berlatih sendiri secara otodidak baik itu di sekolah maupun di lingkungannya masing-masing. Pada kelas 2, beberapa kawan mengambil inisiatif untuk mendatangkan seorang pelatih basket guna membidani tim kami. Pelatih kami bernama : Opung Radja Simanungkalit. Pada saat itu, Opung merupakan pemain basket senior di liga Kobatama dan beliau adalah salah satu playmaker di club ASPAC. Klub nomor 1 di liga itu. Opung tidak lama melatih kami. Karena memang sekolah kami tidak mengalokasikan dana untuk membayar pelatih. Tapi dengan hadirnya Opung, saya dan kawan-kawan bisa menyaksikan Liga Kobatama secara gratis.

Selain tergabung dengan tim basket SMA, saya juga tergabung dengan beberapa tim lain di luar sekolah. Saya bermain untuk 2 tim gereja. GKI Kwitang dan HKBP Soeprapto. Selain itu saya juga cukup sering bermain sebagai pemain cabutan dari beberapa tim lain yang membutuhkan tenaga saya. Asal transportasi dan konsumsi tercukupi, saya pasti akan mencurahkan segenap kemampuan saya demi kemenangan tim tersebut.
Pada tahun 1998, saya sempat bergabung dengan tim Pelita Jaya Junior. Kiprah saya di club itu terhenti karena pecah kerusuhan Mei 98. Yang berujung pada keluarnya ‘fatwa’ dari orang tua saya untuk pergi ke daerah Senayan.









Tahun-tahun berganti. dan kami sudah menjelma menjadi pemain utama di tim sekolah. Namun tim basket kami sudah tidak sekuat dulu lagi. Bersama sahabat-sahabat saya seperti Rubein Novelino, Ronald Menrofa dan Jemmy Syukur, kami juga kerap mengikuti berbagai pertandingan basket yang pada masa itu menjadi trend di kalangan anak sebaya saya. 
Adidas Street Ball di Sarinah, menjadi awal kecanduan saya dalam mengikuti berbagai pertandingan. Rasanya hampir tidak ada pertandingan basket 3 on 3 yang tidak saya ikuti. Dan asal tau saja, nama tim saya sejak dulu adalah ‘Tequilla’ hehehe. Nama yang cukup seksi dan 'akrab' dengan keseharian saya saat ini.
Walaupun jarang menang, namun akses saya dalam dunia basket, perlahan semakin terbuka. Dari pertandingan-pertandingan itulah saya mulai mengenal nama-nama ‘bintang’ basket seperti Nyong, Agus Sigar, Teguh, Batam, Andre Tamara, Dimas ‘Mbot, Marcel, dan lain-lain.

Pada masa itu itu, hampir dalam tiap pertandingan 3on3 selalu ada ‘calo’ yang memasangkan berbagai pemain yang dianggap layak untuk digabungkan dalam satu tim. Biasanya tim bayaran ini memakai nama Borobudur. Dan dalam tiap pertandingan selalu saja ada tim yang benama Borobudur 1, Borobudur 2,3,4 dst. Saya pun pernah ditarik menjadi pemain Borobudur ini namun kalah ketika berhadapan dengan tim Borobudur lainnya. Rata-rata eks pemain Borobudur itu kini berkiprah di liga mahaiswa atau bahkan Kobatama (kini IBL).
Dulu, selain kompetisi 3on3 marak digelar, ada pula pertandingan 1on1. Karena saya memiliki postur yang cukup tinggi, maka saya pun kerap menjuarai beberapa pertandingan satu lawan satu ini.
Kecintaan saya terhadap bola basket pun semakin menjadi-jadi. Namun kali ini, urusan fashion dan kartu basket tidak lagi menjadi prioritas saya. Saya lebih berfokus untuk meningkatkan permainan agar kelak bisa mendapatkan beasiswa dari salah satu universitas dan setelah itu bisa bermain di liga mahasiswa dan akhirnya bisa bermain dan bekerja sebagai pemain basket professional di Liga Kobatama.


Antara Senirupa Dan Bola Basket

Memasuki tahun akhir saya di SMA, karier saya semakin cemerlang. Beberapa tawaran dari kampus-kampus pun berdatangan. Singkat kata, masa depan saya di dunia basket terasa dekat di depan mata. Tapi entah kenapa semua universitas yang menawarkan diri untuk merekrut saya dalam tim basketnya semuanya universitas ekonomi dan manajemen. Sementara saya sama sekali tidak pernah menaruh minat sedikitpun terhadap bidang-bidang tersebut.
Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, akhirnya saya menyerahkan keputusan ke tangan ayah saya. Beliau berpendapat bahwa dunia olahraga bukan lah bidang yang sesuai untuk masa depan saya. Ditambah lagi saya sama sekali tidak memiliki mentalitas seorang atlet yang disiplin dan taat akan peraturan.



Akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan saya di bidang seni rupa yang notabene sangat bertolak belakang dengan dunia olahraga, khususnya bola basket. Karena letak kampus yang berada di Kota Kembang, maka secara otomatis, kegiatan bermain basket semakin jarang karena selain mulai disibukkan dengan tugas-tugas kuliah yang terkadang menyita waktu sampai larut malam, jumlah lapangan di kota itu juga terbatas. Tidak sebanyak di Jakarta. Daya fisik saya juga perlahan-lahan menurun karena kebiasaan merokok dan begadang. Pernah suatu kali saya mendaftar di Club basket bernama Laconix , yang terletak di GOR Padjajaran. Sekedar mencoba untuk sekiranya masih bisa mengukir prestasi di basket. Tapi rupa-rupanya keadaan sudah tidak sama seperti masa SMA. Setiap selesai latihan, saya kerap tidak enak badan karena terlalu kelelahan. Tak sadar akan kondisi fisik yang sudah tak mumpuni, ‘side job’ sebagai pemain cabutan pun beberpa kali tetap saya lakukan. Walau di tiap pertandingan nafas selalu tersenggal-senggal, namun lumayan lah untuk sekedar menghemat uang makan siang.
Tapi tidak bisa dipungkiri, kehidupan baru di dunia perkuliahan lebih menggoda saya untuk terlibat dan larut di bidang kesenian sehingga karier basket saya pun perlahan-lahan meredup dan akhirnya selesai.

Saat ini saya tinggal di Jogjakarta bersama anak dan istri saya. Jauh dari hiruk pikuk dan gegap gempita basket. Anak-anak tetangga saya sudah tidak ada lagi yang bermain basket. Semua sibuk dengan futsal, sepakbola dan sebagainya. Entahlah. Mungkin dari tiap beberapa generasi punya euforia-nya sendiri. Tapi bagaimanapun sibuknya saya sehingga tidak ada waktu untuk sekedar bermain basket, namun kecintaan saya terhadap bola basket tidak pernah padam. Sampai saat ini saya masih menyempatkan diri untuk membuka youtube dan kembali terpukau oleh aksi-aksi para pemain NBA yang sudah tidak saya kenali lagi sambil mengenang berbagai kisah cinta saya terhadap bola basket yang pernah saya jalani dulu.

" Tinggi semakin makin tinggi kau melompat. Cepat semakin makin cepat kau melesat.
Masukkan bola sekarang ke dalam keranjang.. Dong nombok dong nombok dong.. "


Dalam sebuah sesi latihan semasa SMA
























Rabu, 29 Januari 2014

SUPERHEROS @ Meyrin Culture Galerie, Geneva. Switzerland


Tuesday night, the opening of the exhibition SUPERHEROS , welcomed the visitors to the Forum Meyrin . The works exhibited were designed by a dozen exhibitors: Installation François Burland (ch) & collages , Marvellini Brothers ( i) , old photographs retouched , Vincent Cavaroc (en ) What's your superpower ? sound installation , Grégoire Guillemin (fr), The Secret Life Of Heroes , paintings, Agan Harahap ( Indonesia ), Super Hero, photomontages , David Lloyd ( gb ), V for Vendetta , illustrations, Dulce Pinzón ( mexico ) , True stories superhero , photographs, Ségolène Romier (ch ) Lavomatix , installation and Freeka Tet (fr), Metamorph , interactive installation.Appeared in the world of American comics in the early forties, superheroes are now ubiquitous in our real world.For ten years , Hollywood devotes a growing number of (super) productions, the public response to the appeal . Therefore , television series psycho- socio- cultural analyzes , through derivatives and countless advertising uses superheroes remember almost daily our good memories . They accompany generations of fans by addressing universal challenges and support contemporary causes.Through bd boards , interactive installations , works of artists and photographers , the exhibition offers a kaleidoscopic , entertaining and multidisciplinary portrait of the modern myths that are super heroes .The exhibition continues until 28 February 2014 at the Forum Meyrin .

All photos from Demir SONMEZ





 

Selasa, 21 Januari 2014

In Memoriam : 30 DE SOCIAL CLUB



Hari itu hujan masih turun dengan derasnya di luar. Melalui twitter saya melihat bahwa akses untuk ke apartemen saya sudah tertutup oleh banjir. Tapi saya memutuskan untuk tetap pergi ke apartemen saya sekedar untuk membereskan barang-barang saya dan isteri ke dalam kardus-kardus yang sudah saya beli hari kemarin. Saya pun memutuskan untuk pergi dengan bersepeda menuju 30 DESocial Club. 

Perasaan saya menjadi sentimentil ketika saya harus memasukkan satu-persatu barang-barang saya kedalam kardus. Saya memilah-milah mana yang akan tetap menemani saya dan mana yang harus saya buang. Setiap barang punya kenangan tersendiri di hati saya, sekecil apapun itu. Tidak hanya barang-barang yang mempunyai kenangan, tempat ini, 30 DE Social Club adalah hal yang terberat yang terpaksa harus saya tinggalkan.  Sambil membereskan barang-barang, saya kembali mengingat semua peristiwa yang terjadi di tempat itu.

Sebelum menjadi 30DE Social Club, tempat itu (kalau tidak salah) bernama The Awang-Awang Residence.  Dulu tempat ini dihuni oleh seorang artist tato dan pasangannya. Mereka adalah pasangan yang cukup kinky. Terbukti dari sebuah borgol warna pink yang tertinggal tergantung di tembok. Sebagai bentuk penghormatan bagi mereka, maka kami memutuskan untuk tetap membiarkan borgol pink itu tetap pada tempatnya. Sampai suatu hari keika keluarga saya datang untuk berkunjung, maka terpaksa borgol itu saya sembunyikan agar mereka tidak berpikir yang aneh-aneh tentang saya.

Adapun alasan saya menamakan apartemen itu menjadi 30DE Social Club adalah karena selain memang letaknya di lantai 30 unit DE, bagi saya tempat itu sudah menjadi ajang berkumpul sahabat-sahabat dan handai taulan kami untuk bisa berbagi suka maupun duka. 
Hampir tiap kali selalu saja ada bunyi suara gitar dan lantunan lagu-lagu sumbang yang terdengar dari mulut kami yang sedang mabuk. Mungkin satu-satunya suara merdu yang terdengar hanyalah dari mulut istri saya, Itta. Maklum saja, namanya juga penyanyi. Musik dan alkohol hampir selalu saja menyemarakkan tempat itu layaknya sebuah bar atau club.  

Kini semuanya harus berlalu. Atas nama masa depan yang lebih baik, maka saya dan istri memutuskan untuk pindah. Jujur saja, penghasilan saya yang tak seberapa, ditambah lagi dengan akan hadirnya buah hati kami dalam waktu dekat, membuat saya harus dengan sangat terpaksa meninggalkan tempat itu. 
Segala kenangan baik yang pernah terjadi juga rasanya tidak sebanding dengan biaya listik, air serta uang kebersihan dan keamanan yang selalu mengalami kenaikan. Atas dasar itulah maka kami memutuskan untuk pindah. 

Keesokan harinya, hujan masih juga turun dengan derasnya. Bersama Bang Jejen, sahabat lama keluarga kami, secara bertahap kami berdua membawa barang-barang yang telah dikarduskan itu untuk menuju truk yang sudah menunggu di lantai bawah. Selain memang kardus-kardus itu memiliki beban yang cukup berat, namun hal yang terberat bagi saya ialah ketika harus menyaksikan ruangan yang pernah menjadi tempat saya berteduh selama 3 tahun ini perlahan-lahan kosong.  Ada suatu perasaan sedih yang makin lama semakin berkecamuk di dalam dada saya. 

Sampai ketika 30 DE Social Club benar-benar kosong dan saya harus benar-benar pergi meninggalkan tempat itu, saya meminta waktu sebentar untuk sekedar berdiam diri dan membakar sebatang rokok sambil mengingat -ingat segala hal yang pernah terjadi di tempat ini. 
Dalam keheningan tiba-tiba hp saya berbunyi. "Masih lama mas? Sebab kita harus segera berangkat!" tanya sopir truk yang sudah tidak sabar menunggu lebih lama lagi.
Saya kembali memandangi seluruh bagian ruangan, mematikan rokok, dan lantas bergegas pergi menutup dan mengunci pintu.  












Terimakasih 30 DE SOCIAL CLUB, semoga kelak dikemudian hari nanti engkau bisa menjadi berkat bagi penghuni baru mu.



Hormat kami,



Agan Harahap & Ita S Mulia










Selasa, 24 Desember 2013

Selamat Natal





Salah satu yang membedakan natal tahun ini dengan natal-natal sebelumnya adalah makin sepinya ucapan-ucapan selamat melalui sms.  

Saya terkenang 2-3 tahun lalu ketika handphone saya belum memiliki piranti sosial media. Bisa sampai ratusan  sms natal yang masuk dan tidak mungkin saya balas semua. Bahkan tak jarang juga ada 2-3 ucapan yang sama (standar sms berantai). Saya pun acap kali bertanding dengan adik saya tentang siapa yang paling banyak menerima sms selamat natal. 

Sekarang teknologi sudah semakin berkembang dan sampai saat ini, saya belum menerima satupun ucapan natal via sms di handphone saya. Sebagai gantinya, hampir seluruh sosial media yang saya ikuti marak dengan puluhan bahkan ratusan notifikasi berbagai ucapan selamat hari natal yang dengan mudah (dan tanpa biaya sms), bisa saya balas satu per satu.

Sebelum ucapan melalui sms atau bahkan melalui piranti sosial media menjadi trend, kartu natal dan telegram sudah tentu menjadi pilihan favorit untuk menyampaikan ucapan sukacita ini. Saya ingat, dulu, setiap natal, pemerintah selalu menyediakan berbagai seri telegram ucapan natal. Dan karena ada saudara yang bekerja di kantor pos (dulu untuk mengirim telegram, kita bisa melalui kantor pos), maka kami pun kerap mendapatkan telegram natal dengan berbagai serialnya.
Saya juga teringat, dulu, kurang-lebih seminggu setiap menjelang natal, rumah kami selalu dibanjiri oleh kartu natal dari handai taulan dan sanak famili. Salah satu kebiasaan di rumah kami yang cukup menarik, setiap hari natal ibu selalu menggantung puluhan kartu natal dan telegram di jendela rumah sebagai bagian dari dekorasi natal di rumah kami. Dekorasi itu tetap bertahan sampai beberapa hari setelah tahun baru. Dan saya selalu saja malas ketika harus membereskan ratusan kartu natal yang menggantung di jendela itu.

Bicara soal sms natal, saya selalu punya sms ucapan natal andalan yang setiap tahun selalu saya kirimkan untuk membalas semua sms-sms natal yang standard template itu. 
( hampir selama 4-5 tahun, ucapan natal via sms saya selalu sama). Sms natal itu saya kutip dari sajak berjudul 'Natal' karya Sitor Situmorang. Ucapan itu tanpa sengaja saya ketemukan di buku kumpulan puisi Sitor Situmorang kepunyaan alm. Bapak saya. Saya merasa ucapan natal itu cukup gagah dan cocok untuk saya sebab saya kurang suka ucapan-ucapan natal yang mengandung sinterklas, salju-salju dan unsur-unsur natal klise lainnya yang tidak cocok untuk negara tropis kita. 
Sampai kemarin siang saya mencoba mengingat-ingat puisi itu secara lengkap  namun sulit rasanya. Karena puisi itu cukup panjang. Saya sudah coba search di google, tapi tidak saya temukan. Lantas saya membongkar gudang dan peti-peti berisi buku-buku saya, namun buku itu tidak kunjung saya temukan juga. Entah dimana buku itu sekarang. Tapi kalau tidak salah, kira-kira beginilah bunyi sms ucapan Natal saya selama bertahun-tahun silam:

Tiap kelahiran adalah revolusi.
Tiap kelahiran dunia menjadi baru.
Kristus, jendral pemberontak segala zaman,
dilahirkan untuk memperbaharui dunia.

Menyambut Kristus, kita menyambut revolusi.
Menyambut Kristus, kita membangun dunia baru.


Pagi ini saya bangun. Dan seperti pagi-pagi yang lain, hal pertama yang saya lakukan adalah membuka handphone dan melihat notifikasi sambil merokok. Memang saya akui, bahwa saya sudah tidak pernah lagi berdoa setiap kali bangun tidur kecuali ada hal-hal khusus yang meresahkan hati saya. Pagi ini, ada sekitar 70-an notifikasi di path, 200-an notifikasi di instagram dan sekitar 30-an notifikasi di twitter di tambah belasan email ucapan selamat natal. Tanpa satu-pun sms natal apalagi kartu natal atau bahkan telegram. 

Ucapan selamat Natal sudah termodifikasi dengan sendirinya sesuai dengan perkembangan jaman. Natal kali ini dipenuhi oleh ratusan notifikasi. Entah bagaimana pula bentuk ucapan selamat natal di tahun-tahun mendatang. 
Namun apapun bentuk modifikasinya kelak, tapi kiranya damai dan sukacita natal selalu tetap dan tidak berubah di hati kita sekalian. 

Selamat Natal! 

* Agan Harahap yang tidak begitu suka dengan Santa Claus

Senin, 09 Desember 2013

Aku Berfoto, Maka Aku Ada






A: "Ih.. Narsis banget seh loch?!? dikit-dikit poto selfie.."
B: "Ihhhh..Biarin ajah keleuss.. Mau guwe aplot di path nech!"
A: "Eh, Tag guwe juga keleuss..?!? " 
B: "Okeh say.."
*Percakapan antara 2 karyawati di atas berlangsung di sebuah warung Indomie tadi pagi.

Dewasa ini, ketika teknologi komunikasi sudah sedemikian canggihnya, cukup sering kita mendengar istilah-istilah seperti narsisme, selfie, tongsis dan segala hal yang berhubungan dengan ke-egoan kita. Dan perilaku selfportrait menjadi sesuatu fenomena yang semakin sering terjadi di sekeliling medan sosial kita. 
Teknologi komunikasi pun semakin ramah untuk ekonomi masyarakat kita yang (konon katanya) sedang dalam kondisi prihatin. Berbagai perusahaan handphone dan provider berlomba-lomba untuk menawarkan berbagai kemudahan (atau kerumitan) ini kepada kita denga harga yang semakin lama semakin terjangkau. Sekarang, kita dapat dengan mudahnya memberi tahu posisi keberadaan kita sekaligus menginformasikan hidangan apa yang sedang kita nikmati dan berbagai 'hal-hal penting' lainnya. Pendek kata, hampir tidak ada ruang privasi lagi antara kita dan medan sosial di sekeliling kita. 
Pada dasarnya, bercermin atau melihat diri sendiri merupakan 'perilaku purba' manusia. Tak bisa dipungkiri bahwa kita senang melihat diri kita berada dalam berbagai media baik itu lukisan, foto atau bahkan hanya sekedar terlihat numpang lewat dalam  liputan televisi.
Sampai pada (kurang-lebih) satu dekade lalu, sebelum teknologi kamera digital mulai menjamur, istilah self portrait hanya dimiliki oleh kaum fotografer atau seniman. Karena hanya dengan skill tertentu-lah seseorang bisa menghasilkan potret dirinya baik itu dengan media lukisan maupun fotografi. Dan ketika mereka  (kaum seniman) menggunakan dirinya sebagai salah satu media untuk representasi dari pemikiran-pemikirannya, maka self-portrait menjadi lekat hubungannya dengan karya-karya seni.
Lantas, bagaimana dengan selfie? Fenomena selfie mulai muncul seiring sejalan dengan perkembangan teknologi komunikasi yang mulai merasuki hampir di segala lini kehidupan sosial kita. Istilah selfie merupakan pengembangan dari self portrait walau pada prakteknya adalah sama. Saat ini  semua orang bisa memotret dan fotografi sudah tidak lagi dimiliki oleh kalangan fotografer saja.  Fotografi sudah menjangkau hampir semua lapisan masyarakat. Dan ketika semua orang bisa memotret, tentu 'perilaku purba' yang saya jabarkan di atas tadi akan muncul dan mewabah dengan sendirinya. 
Selfie adalah tindakan memotret diri sendiri tanpa tendensius apapun ke arah seni. Baik itu sekedar mendokumentasikan raut wajah, hidangan yang sedang disantap, kebersamaan dengan handai taulan, maupun sebagai ajang eksistensi di berbagai lokasi. Perilaku dan fenomena selfie muncul sebagai konsekuensi dari berbagai kemajuan teknologi yang tumbuh dengan pesat. Walau terkadang berbagai kemajuan teknologi ini tidak bertumbuh seiring sejalan dengan pola pikir dan mentalitas sebagian orang. 

Dan sudah barang tentu, bahwa tidak ada yang salah sama sekali dengan perilaku selfie ini. Hidup adalah pilihan. Dan kini, semuanya kembali kepada diri kita sendiri. Tinggal darimana dan bagaimana cara kita menyikapi fenomena selfie ini. 

Agan Harahap


Tulisan di atas dibuat untuk merespon sebuah acara pameran bertema 'selfie' yang telah berlangsung di Galeri Cemara 6 beberapa waktu yang lalu. Saya bersama dengan Narpati Awangga ( Oom Leo) dan Jimi Multhazam bertindak sebagai narasumber dalam acara talkshow dan workshop yang diadakan guna menyikapi dan mensiasati fenomena selfie yang mewabah dewasa ini.
Jimi Multhazam mencoba merespon tema selfie ini dengan kemampuannya dalam drawing dan melukis. Sementara OomLeo menggunakan teknik pixel art untuk menghasilkan sebuah bentuk selfie yang kreatif dan berseni. Saya sendiri, memperkenalkan teknik montase digital dengan photoshop.
Adapun pameran, talkshow dan workshop tersebut merupakan hasil kerjsama yang solid antara kami sebagai seniman dengan Sampoerna A yang memang kerap mendukung berbagai perhelatan kreatif seperti ini


Beberapa karya dari peserta pameran yang didisplay di dalam ruang galeri

Suasana Talkshow yang berlangsung pada siang hari yang berbahagia itu
Oom Leo, Jimi Multhazam, saya dan Saleh Husein