Senin, 12 Januari 2015

Sebuah Cerita Dari India


Seorang kawan datang ke rumah bercerita panjang lebar mengenai lawatan singkatnya ke negeri India. Mulai dari ketibaannya di bandara, pengalamannya terlibat cinta lokasi dengan salah seorang figuran film action, sampai turut serta menjadi alay-alay di sebuah tayangan musik 'Dahsyat alla India'. Menjelang tengah malam, kawan tersebut berpamitan dan menyerahkan beberapa buah tangan yang dibawa dari negeri Mahabaratha itu.
Kawan saya ini memang cukup unik. Selain memang memiliki paras yang 'khas', perilakunya juga sungguh tidak terduga. Tidak heran jika begitu banyak wanita yang tergila-gila kepadanya. Selain memberikan saya miras dan beberapa obat gosok khas India untuk isteri saya, Itta, tanpa disangka-sangka kawan saya yang unik itu memberikan susu formula untuk putri saya, Merdu.
Entah bagaimana pula mengucapkan merk susu formula itu, karena merk susu formula itu dituliskan dengan aksara India yang tidak bisa dimengerti. Awalnya saya enggan menerima susu tersebut, karena memang saya tidak begitu yakin akan kemasan dan khasiatnya bagi anak saya. 
Namun setelah kawan saya menceritakan bagaimana susu formula inilah yang menjadi salah satu pemicu pertumbuhan teknologi di India, maka saya pun percaya dan dengan berat hati menerima pemberiannya itu. 

Susu cap Ganesha yang dipercaya menjadi salah satu penyebab revolusi teknologi di India.


Sampai suatu hari, ketika susu Nutrilon yang biasa dikonsumsi oleh anak kami, habis. Dan untuk membeli susu baru terasa agak sulit, karena maklum saja, sebagai keluarga yang sepenuhnya menggantungkan nasib pada dunia seni terkadang membuat kami hidup dalam ketidakpastian. Setelah menimbang, berdiskusi secara alot dengan isteri saya, akhirnya kami memutuskan untuk mencoba memberikan sedikit susu formula dari India tersebut kepada anak kami, sebagai pengganti sementara, sampai kami punya uang cukup untuk membeli susu Nutrilon andalannya itu. 

Susu itu cukup unik, dengan lambang serupa dengan logo ITB (Ganesha) yang sedang duduk di atas bunga teratai. Maka saya dan isteripun berkesimpulan bahwa memang susu formula ini ditujukan untuk perkembangan otak anak 6-18 bulan. Dan tentu saja, sebagai orang yang gagal diterima masuk FSRD ITB, maka besar harapan kami supaya Merdu dapat mewarisi kecerdasan Ganesha agar kelak dapat meneruskan cita-cita ayah dan ibunya untuk dapat masuk kampus yang ternama itu.

Di luar dugaan, Merdu yang biasanya agak sulit meminum susu formula, ternyata dengan lahap menghabiskan susu India tersebut sampai tetes penghabisan. Karena anak kami tidak menunjukkan gejala-gejala aneh yang mengkhawatirkan, maka kamipun dengan sukacita memberikannya susu formula cap Ganesha tersebut sambil tak lupa mengiringinya dengan lantunan doa-doa agar kelak Merdu dapat tumbuh cerdas, sehat dan kuat serta bisa unggul di tengah kancah persaingan global yang semakin lama semakin edan ini.
Singkat kata, setiap kali bangun tidur, sehabis makan siang dan menjelang tidur malampun selalu diawali dengan susu India. Paceklik perekonomian yang tak putus menerpa kami pun serasa tak berarti apa-apa ketika melihat Merdu semakin hari semakin menunjukkan perkembangan ke arah progres.

Sebagai pasangan yang cukup disibukkan dengan kegiatan-kegiatan di luar rumah pada siang hari, maka kami terpaksa harus mempercayakan pengurusan Merdu kepada Ibu Tujilah, pembantu yang merangkap babysitter untuk Merdu. Mendekati minggu kedua setelah mengkonsumsi susu cap Gajah tersebut, bu Tujilah menangkap keanehan yang terjadi pada tubuh anak kami. Selain memang Merdu jadi bertambah kuat, lincah dan mulai bisa berkata-kata, pada bagian ketiak anak kami ternyata ditumbuhi bulu-bulu halus. Pada awalnya kami santai saja dan tidak curiga dengan gejolak hormonal yang terjadi di tubuh Merdu. Namun setelah semakin hari bulu-bulu di bawah ketiaknya semakin tebal, maka kamipun panik dan segera membawa anak kami untuk berkonsultasi dengan dokter yang merupakan sahabat lama kami, yang baru kami ketahui, ternyata masih merupakan keturunan India.

Bulu-bulu di bawah ketiak yang semakin hari semakin tebal.

Alih-alih menganjurkan agar memeriksakan anak kami ke rumah sakit atau laboratorium terdekat, dokter itu hanya menyarankan supaya kami tidak lagi memberikan susu formula dari India itu untuk dikonsumsi oleh Merdu sambil tak lupa memberi salep racikan khusus untuk meredam pertumbuhan bulu ketiak anak kami. Dokter itu mengatakan bahwa susu formula itu memang sudah sangat terkenal di India. Susu tersebut mengandung suatu zat khusus yang berguna untuk mempercepat perkembangan otak dan fisik anak. Dan bulu ketiak yang tumbuh itu disebabkan karena kandungan nutrisi pada ASI (Air Susu Ibu) yang tidak sama dengan ASI yang biasa dikonsumsi oleh bayi-bayi di India. Bahwa memang ada suatu hormon yang bisa berkembang dengan pesat apabila tidak diikuti dengan zat-zat yang terkandung dalam masakan kari. Selain itu, faktor penggunaan AC yang terlalu dingin juga menjadi pemicu gejolak hormonal yang menyebabkan bulu-bulu di bawah ketiak Merdu jadi tumbuh subur (maklum saja, cuaca Jogja yang panas memaksa kami untuk menyetel AC pada suhu terendah).

Walau agak curiga dan khawatir, dengan berat hati kami turuti juga saran dari dokter itu sambil tak lupa mengoleskan salep pemberiannya di bawah ketiak Merdu setiap sehabis mandi sambil memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa agar Merdu dijauhkan dari segala sakit penyakit. Puji Tuhan, hanya dalam waktu beberapa hari setelah mengoleskan salep itu, bulu-bulu di bawah ketiak Merdu rontok dengan sendirinya dan tidak tumbuh lagi.

Saat ini, Merdu sudah memasuki usia 9 bulan. Dia makin bertambah lincah dan kuat dan sudah mulai melangkahkan kaki sedikit-demi sedikit. Walau bila dibandingkan dengan bayi-bayi lain seusianya Merdu memang agak terlihat bongsor, namun kami sebagai orang tuanya, merasa lega dan bersyukur karena Merdu sama sekali tidak menunjukkan gejala-gejala aneh lagi akibat pemberian susu formula India itu.

Merdu mulai berlatih berjalan di usianya yang menginjak 6 bulan
Merdu saat berusia 8 bulan sudah tidak muat lagi duduk di kursi bumbo-nya.
Memasuki usia 10 bulan. Merdu sedang terlelap ditemani isteri saya, Itta, yang terlihat kelelahan sehabis menggendongnya.




Maafkan kedua orang tuamu 
kalau tak mampu beli susu.
BBM naik tinggi, susu tak terbeli
Orang pintar tarik subsidi
Mungkin bayi kurang gizi.

Cepatlah besar bidadari ku. 
Menangis yang keras janganlah ragu.
Tinjulah congkaknya dunia, buah hati ku
doa kami di nadi mu.






Minggu, 21 Desember 2014

Ready Or Not Here I Come!



-->
Sebuah tulisan dari seorang sahabat baik tentang serial foto saya terdahulu.


Apa yang dilakukan oleh Agan Harahap kali ini adalah fotografi sebenar-benarnya. Setelah beberapa seri karyanya ia bereksplorasi tanpa atau dengan sangat minim melakukan pekerjaan memotret, kali ini ia hadir dengan kamera dan lampu studio. Namun Agan tetap konsisten pada jalurnya, yang saya sebut sebagai komedi satir fotografi.
Yang dihadirkan Agan kali ini adalah hasil eksplorasinya selama menjadi fotografer di sebuah majalah musik. Selama enam tahun bekerja sebagai seorang fotografer majalah ia berkesempatan untuk memotret baik artis papan atas, papan tengah, papan bawah, maupun artis yang memaksa untuk masuk papan. Sebagai fotografer ia mempunyai kekuasaan penuh untuk mengatur bagaimana hasil foto itu nantinya. Memang disana ada peran stylist, make up artist, dan asisten fotografer. Tetapi bagian mereka adalah para model, sang selebritis. Sang fotograferlah yang berkuasa atas kamera dan hasil fotonya. Dan selama rentang waktu enam tahun, Agan seperti sudah memahami bagaimana pakem-pakem agar sebuah foto dapat dimuat dalam majalah tersebut. Dengan sendirinya timbul sebuah standarisasi bagaimana ‘seharusnya’ sebuah foto itu layak untuk diterbitkan.
Mungkin banyak orang akan bertanya-tanya, dimanakah kekuatan sebuah karya foto artis terkenal ketika semua fotografer dan media sebenarnya sudah mampu untuk membuat karya yang sejenis. Kita dapat menemukan dengan mudah foto-foto selebritis di media massa. Kita sudah tidak asing lagi dengan wajah-wajah artis, penyanyi, model terkenal itu. Lalu apa keistimewaan serial ini dibandingkan dengan karya fotografer lain?
Seri Agan kali ini bisa dibilang istimewa karena sang fotografer berani untuk publish the unpblished. Anda tidak akan menemukan foto-foto dari artis yang sama dengan keadaan yang “dicuri” Agan pada karyanya kali ini. Ya, disini Agan seakan-akan ‘mencuri’. Ia mencuri pose, mencuri momen, dan mencuri kesempatan. Foto-foto ini bukanlah suatu ketidaksengajaan. Foto-foto ini lebih merupakan ‘tembakan peringatan’ yang dilakukan oleh fotografer untuk menandai dimulainya sebuah sesi pemotretan. Ini adalah foto-foto yang menurut ‘standar’ penerbitan majalah atau media tidak layak untuk dipublikasikan.
Tidak hanya mencuri momen dan kesempatan, Agan juga mencuri mimik dan gesture dari sang selebritis. Tidak usah repot-repot untuk menginterpretasikan mimik atau gesture dalam karya ini melalui analisis semiotika ala Roland Barthes, Ferdinand de Saussure, atau para pakar semiotik media visual lainnya. Silakan Anda menjadi pakar untuk diri Anda sendiri dalam menginterpretasikan karya ini. Interpretasi saya adalah seperti yang sudah dituliskan di atas, karya foto ini adalah ‘tembakan peringatan’ dari sang fotografer kepada model atau selebritis yang sedang dibidiknya.

Apa yang dihasilkan dari tembakan peringatan ini ternyata luar biasa dan mencengangkan. Anda tidak akan menemukan foto-foto dengan model atau selebritis yang sama di media manapun dengan pose, mimik, gesture pada karya foto Agan. Eksklusif. Namun sekali lagi ini bukanlah ketidaksengajaan. Setidaknya dari sisi fotografer. Lihat saja bagaimana pengaturan lampu di studio maupun setting lokasi pemotretan. Contoh, pada foto Tiga Diva (Titi DJ, Ruth Sahanaya, Krisdayanti) Anda akan menemukan settingan lampu yang apik dan tertata rapi. Begitu pula dengan foto Sandi Sandoro, Giring Nidji, Sheila Marcya. Semua menunjukkan kesiapan dari sang fotografer. Agan sudah mempersiapkan semuanya. Ini bukanlah tes foto atau tes lampu. Ia tidak sedang mencari-cari settingan exposure, memilih lensa, atau mencari settingan teknis lainnya. Ia sudah siap.
Sang artis pun sebenarnya sudah siap. Tengok saja dandanan mereka. Tiga Diva (lagi-lagi) sudah siap, Ahmad Dhani dengan kostum jenderalnya. Sandi sudah siap dengan gitarnya. Stylist dan make up artist sudah melakukan pekerjaannya dengan baik. Lalu siapa yang belum siap? Tidak ada, semua sudah siap. Dan tidak ada yang salah. Ini adalah frame pertama dari sesi foto saat itu. Sebagai reaksi atas tembakan peringatan dari fotografer, mereka lantas menampilkan mimik dan gesture yang tidak biasa. Itu saja. Reaksi atas aksi tembakan peringatan Agan.


Tidak layak untuk dipublikasi di majalah tempatnya bekerja bukan berarti karya-karya foto ini adalah ‘foto gagal’. Tidak ada foto gagal dalam seri ini. Justru reaksi atas tembakan peringatan itulah keberhasilan Agan dalam memotret mereka sang selebritis. Beberapa reaksi memang terlihat lucu atau menggemaskan, ada pula artis yang ternyata menampilkan tingkah laku yang bertolak belakang dari yang biasanya ditampilkan di media massa.
Lantas apakah citra artis-artis yang ditampilkan dalam karya ini menjadi tercoreng? Menurut saya para selebritis ini tidak usah khawatir dengan citra mereka di mata publik dengan adanya karya ini. Publik sendiri sudah mengenal mereka lewat penampilan mereka di tempat-tempat umum, konser yang mereka lakukan, atau wawancara mereka di infotainment. Dengan kata lain, publik sudah cukup cerdas dengan penilaian mereka sendiri-sendiri. Agan hanya menampilkan sebagian kecil dari sisi lain mereka, para selebritis. 

Seri foto ini kembali menegaskan Agan adalah salah seorang fotografer yang pemikirannya nyeleneh, mbeling, dan jelas berbeda dari pakem fotografi seperti biasanya. Ketika fotografer lain berlomba-lomba menampilkan dan memamerkan foto-foto tokoh penting, selebritis, atau siapapun dalam keadaan terbaik sang model (settingan lampu, settingan properti, pose, busana, dan teknis lainnya), Agan justru mengajak kita untuk melihat sisi lain dari selebriti yang biasa dilihat publik.

Jakarta, 12 April 2012
Andries S. Pandia

Pengenalan Terhadap Satwa




Galaia Merdu Harahap
14 Maret 2014

Senin, 20 Oktober 2014

20 Oktober 2014




Saya duduk sendiri di suatu pojok sepi di seputaran Monas. Di kejauhan nampak gemerlap panggung besar dengan ribuan orang yang memadati. Selain karena badan saya sudah lelah karena dari tadi siang saya ikut menonton arak-arakan Presiden RI ke-7, Joko Widodo, saya juga baru saja mengalami suatu peristiwa yang cukup traumatis sehingga membuat saya menjadi tidak begitu antusias lagi untuk mengikuti keseluruhan acara itu. 
Di tengah keramaian arak-arakan yang mengiringi Jokowi siang tadi, iphone saya dicopet orang. Sebagaimana kebanyakan orang lain yang pernah kehilangan hp, saya pun cukup merasa gundah karena begitu banyak data-data dan foto-foto penting di hp saya. Dan tentu, butuh perjuangan tersendiri untuk bisa mendapatkan data-data itu seperti semula. Belum lagi dengan kondisi keuangan keluarga kecil kami sedang dalam posisi yang  mengkhawatirkan, sehingga untuk sekedar membeli iphone baru dalam waktu dekat ini, rasa-rasanya agak mustahil. 

Tapi di tengah kemasygulan akibat kehilangan hp, jujur saja, saya menemukan sedikit ketenangan sehingga saya bisa menulis blog ini. Di tengah 'kesunyian' seperti ini, saya seolah merasa seperti dulu, ketika sosial media belum merasuk ke dalam lini-lini kehidupan saya. Biasanya, dalam keramaian seperti ini, saya sudah disibukkan oleh berbagai mention dan postingan di berbagai jejaring sosial media yang saya ikuti. Belum lagi dengan serangkaian 'terror' dari isteri yang sedang kewalahan mengurus anak kami yang baru tumbuh gigi.  Karena kecopetan iphone, paling tidak saya bisa jadi lebih peka terhadap keadaan sekitar. Minimal dalam radius 20 meter di sekeliling saya. Saya jadi bisa melihat sepasang kekasih yang saling bercengkrama di pinggir trotoar, saya bisa melihat anak kecil yang tertidur di samping lapak ibunya yang sibuk berjualan teh botol, saya bisa melihat keluarga yang sedang bersuka ria 'piknik' ditengah hingar-bingar perayaan itu. Imaji-imaji itu berkelindan dengan cepat dan membawa pikiran saya berkelana tentang banyak hal seputar harapan-harapan akan penghidupan yang lebih layak di era pemerintahan yang baru ini. 

Hari  ini, 20 Oktober, adalah hari ulang tahun almarhum ayah saya. Kebetulan bertepatan dengan hari pelantikan Jokowi menjadi presiden yang baru. Sepintas saya terbayang akan wajahnya yang selalu terlihat antusias bila berbicara soal demokrasi serta orang-orang baik dan jujur yang mendukung kelangsungan negara ini. Dan raut wajahnya akan semerta-merta berubah bila obrolan mulai bergeser pada sistem pemerintahan yang carut marut serta politisi-politisi maling disana. Saya membayangkan, andai kata beliau masih hidup, tentu saya tidak akan sendiri duduk di tempat ini. Paling tidak ada seseorang yang bisa saya ajak berdiskusi atau hanya untuk sekedar meminta rokok ( merk rokok kami sama dan kebetulan rokok saya sudah habis). 
Saya teringat pernah suatu kali, keluarga kami sedang dalam keadaan sulit secara ekonomi. Dan dalam suatu dialog yang bersifat tertutup, saya melayangkan protes, karena saya yang waktu itu masih mura belia, punya banyak keinginan yang ternyata tidak mampu untuk dipenuhi ayah saya. 
 "Amang, (alm ayah saya selalu memanggil saya dengan sebutan amang, apalagi kalau sedang dalam posisi yang tidak menguntungkannya), apa yang kita alami sekarang masih 'ecek-ecek' dibanding dengan orang lain". Beliau lalu mencontohkan kisah-kisah para kerabat dan handai taulan yang memang nasibnya lebih 'naas' dari dari apa yang kami alami saat itu. Saat itu saya hanya bisa terdiam tanpa menanggapi setitikpun akan 'solusi'nya itu. 

Di ujung sana, para artis bersama ribuan khalayak masih berjingkrak-jingkrak larut dalam pesta kemenangan itu. Sejurus kemudian, seorang bapak-bapak yang mengenakan topi bertuliskan 'Jokowi' dan kemeja kotak-kotak lusuh dengan ditemani anak laki-lakinya, meminjam korek api yang saya letakkan tak jauh dari bungkus rokok yang sudah kosong. Setelah berhasil menyalakan rokoknya dan mengucapkan terima kasih, mereka pun beranjak bergi. 
Dari kejauhan saya pun mulai beranabel-anabel (analisa gembel) dalam benak saya. Mungkin saja bapak itu adalah seorang supir mikrolet atau tukang sapu jalanan atau  apapun yang harus bapak itu lakukan esok pagi demi kelangsungan kehidupan keluarganya di rumah, dan tentu, demi masa depan anaknya kelak.
Dan tiba-tiba saja, kehilangan iphone menjadi suatu persoalan yang terlalu ecek-ecek  dibandingkan dengan perjuangan hidup orang-orang lain di sekitar saya.


Monas, 20 Oktober 2014, 21.05 WIB


Agan Harahap



Senin, 25 Agustus 2014

Sepenggal Cerita Dari Jalan Pondasi



Barbershop tua yang berada di Jl. Pondasi dekat Pasar Ampera, Pulomas

Aroma wewangian pria merk 'Brut' cukup santer memenuhi ruangan itu. Seorang bapak yang sudah tua duduk terkantuk-kantuk di meja kasir dan musik boleros dari Trio Los Panchos lamat-lamat terdengar dari kaset tape tua di pojok ruangan. Sore itu 4 kursi di barbershop Pondasi sudah terisi penuh. Sambil menunggu giliran, ayah saya bercerita tentang 'sejarah' barbershop.  "Dulu, tukang pangkas dipercaya bisa menyembuhkan luka seperti bisul dan koreng dengan memotongnya dengan pisau cukurnya yang maha tajam itu. Maka dari itu, upayakanlah agar tidak terlalu banyak bergerak, supaya pisau itu tidak melukai mu". Ujar ayah saya menjelaskan. Saya cukup tercekat mendengarkan penjelasan dari ayah saya tadi. Entah benar atau tidak cerita ayah saya tadi, tapi cerita itu langsung membuat saya bertekad untuk berusaha untuk duduk diam dan tenang ketika prosesi pangkas itu berlangsung. Saya tidak mau kehilangan nyawa di tempat  itu.
"Silakan dik" ujar seorang tukang pangkas yang berkepala plontos sambil menyeringai dengan ramah seraya mempersiapkan papan kecil yang diletakkannya di antara pegangan kursi supaya saya bisa duduk cukup tinggi dan agar lebih nyaman ketika rambut saya dipotongnya.
"Kress.. Kress.." Dan sedikit demi sedikit rambut ikal saya yang tebal itu jatuh kelantai. Sampai pada akhirnya, tukang pangkas itu mengoleskan sabun dingin di sekujur pipi dan punuk leher saya. Ya Tuhan, ini adalah saat yang mendebarkan, ketika tukang pangkas itu akan memainkan pisau cukurnya untuk membabat habis rambut-rambut tipis yang tidak mungkin terpotong oleh gunting. Tukang pangkas itu nampaknya bisa merasakan ketegangan saya. Dia pun mulai mencairkan keadaan dengan bertanya seputar studi di sekolah sambil mengasah pisaunya diselembar kulit yang menjuntai di samping kursi. Mengingat cerita ayah saya sewaktu menunggu giliran tadi, sayapun diam membatu tak bergerak sedikitpun. Pisau yang dingin terasa dibelakang leher saya. "Kreettt... Kreett.." Suaranya begitu mencekam seolah-olah siap mencabut nyawa saya setiap saat. Namun hal itu tak pernah terjadi. Setelah rambut selesai dipotong, saya bahkan merasa lebih hidup, seolah baru dilahirkan kembali.
Beres giliran saya, ayah gantian menempati kursi yang saya duduki tadi. Tentu saja, dengan badan yang tinggi besar itu, ia tidak memerlukan kayu untuk menambah ketinggian posisi duduknya. Ayah saya adalah pelanggan setia barber shop itu semenjak dia masih menumpang tinggal di rumah opung saya di Jalan Mutiara. Jauh sebelum saya 'diciptakan' atau bahkan di 'rencanakan'.
Sebagai orang yang sudah lama kenal, mereka langsung terlibat dalam pembicaraan yang cukup akrab. Pembicaraan mereka cukup ringan namun terus mengalir. Tukang pangkas itu bercerita bahwa kalau setelah barbershop itu tutup, maka ia harus menumpang omprengan untuk pulang ke daerah Bogor. Tapi saya tidak tertarik untuk mendengarkan pembicaraan mereka. 
Saya lebih tertarik untuk mencermati suasana tempat itu. Di atas meja kasir, terdapat kepala rusa yang diawetkan. Di bawahnya terdapat lukisan repro tentang suasana barbershop alla Eropa. Di kursi tunggu, terdapat majalah-majalah lama namun saya pun tidak tertarik untuk membukanya. Di belakang barbershop itu ada sebuah pintu alla saloon cowboy yang menghubungkan tempat itu ke rumah belakang yang tampak gelap. Bosan dengan ruangan itu, saya pun berjalan keluar. Di sebelah barberhop itu, terdapat toko penyewaan video dan laser disc. Dan poster film yang tertempel di kaca etalasenya adalah film "Akibat Kanker Payudara" yang dibintangi oleh Cok Simbara dan Chintami Atmanegara. Saya cukup lama memperhatikan poster itu seraya membayangkan payudara montok Chintami Atmanegara. Maklum saja, waktu itu saya belum mengerti ganasnya penyakit kanker sehingga kata 'payudara' lebih mendominasi imajinasi saya. Tidak banyak hal yang bisa saya nikmati di luar. Saya kembali masuk ke dalam barbershop itu. Rupa-rupanya ayah saya telah selesai memotong rambutnya dan kini beliau sedang menikmati pijitan tukang pangkas yang berkepala plontos tadi. Saya terus mengamat-amati tiap sudut dari ruangan barershop itu sambil perlahan menikmati lantunan suara merdu dari Trio Los Panchos.

Cerita di atas, adalah sepenggal memori yang masih melekat di benak saya akan tempat pangkas rambut (barbershop) di jalan Pondasi Kampung Ambon, Pulomas. Memori ketika saya masih duduk di Sekolah Dasar. Lebih dari 25 tahun yang lalu.



Minggu yang lalu, sewaktu berlibur ke Jakarta, saya menyempatkan diri berkunjung ke tempat itu untuk memangkas rambut yang sudah mulai meng-kribo. Barbershop Pondasi cukup ramai pengunjung. Dan sambil mengantri, saya pun melayangkan ingatan saya ke beberapa puluh tahun lalu.
Rupanya barbershop itu sudah bergeser 1 toko ke sebelah pojok. Barbershop itu kini berdiri di tempat yang dulunya adalah garasi mobil. Sementara bangunan lama sudah berubah menjadi warung pecel lele.  Interior barbershop itu tidak banyak berubah. Meja dan kaca utama tampak mengkilap sepertinya memang masih baru dan tentu saja, suara merdu Trio Los Panchos itu sudah tidak terdengar lagi. Berganti dengan suara cempreng penyiar Gen FM yang mencoba melucu dengan lawakan-lawakan menghujat fisik khas jaman sekarang. Selebihnya interior barbershop itu masih terlihat sama seperti dulu. Kepala rusa awetan itu masih tergantung dengan gagah di atas meja kasir. Dan lukisan repro suasana baerbershop alla eropa masih tergantung di bawahnya.
Tapi tukang pangkas yang berkepala plontos dulu sudah tidak ada. Begitupun juga dengan bapak yang selalu terkantuk-kantuk di balik meja kasir. Hampir semua personel barbershop itu adalah anak-anak muda yang usianya rata-rata di bawah saya. Kecuali seorang bapak berbadan bungkuk dengan rambut yang sebagian besar sudah memutih. Ya, saya ingat bapak ini. Dulu bapak ini adalah 'junior' yang kerap menyapu membersihkan sisa-sisa rambut yang berceceran di lantai. Giliran saya tiba. Dan bapak itu tersenyum ramah mempersilakan saya untuk duduk di kursi. Tentu saja, saya tidak lagi duduk di atas papan kayu.
Saya sengaja untuk tidak bertanya apapun kepada bapak tua itu. Saya masih 'memegang teguh' cerita ayah saya dulu, bahwasannya kita harus duduk diam ketika sedang dipangkas supaya tidak terjadi suatu hal yang tidak diinginkan. Saya hanya duduk dengan diam sambil terus mengingat-ingat keadaan barbershop itu puluhan tahun yang lalu. Rupanya saya adalah 'pasien' terakhir untuk saat itu. Sebentar lagi azan Maghrib akan berkumandang sehingga wajar saja kalau barbershop itu sepi. Setelah membayar di kasir, saya mencoba berbincang dengan bapak bungkuk tadi tentang tempat itu. Tak disangka, walaupun bapak itu tidak mengenali saya, namun beliau masih ingat bahwa ada seorang laki-laki gondrong dan brewokan yang sampai empat tahun yang lalu, hampir sebulan sekali selalu mengunjungi tempat itu. Ya, dia masih ingat dengan almarhum bapak saya. Beliau kaget dan mengucapkan belasungkawanya setelah tahu bahwa pelanggan setianya kini telah tiada. Dia pun bercerita bahwa tukang pangkas berkepala botak dan kasir yang biasa duduk terkantuk-antuk itupun juga kini telah meninggal dunia. Cukup lama kami berbincang-bincang. Dia tampak tersenyum senang ketika saya bisa dengan fasih menceritakan apa yang masih saya ingat terhadap tempat itu. 

Hari sudah mulai gelap. Satu demi satu pengunjung mulai berdatangan memenuhi barbershop itu. Bapak bungkuk itu pamit karena harus kembali menunaikan tugasnya. Saya masih berdiri merokok di depan sambil memandang takzim ke arah barbershop itu. Mengingat umurnya yang sudah melampaui 2 generasi, saya yakin bahwa ada puluhan atau bahkan ratusan orang lain yang juga punya kenangan tersendiri terhadap tempat itu. Sebuah pesan dari istri masuk menanyakan keberadaan saya. Waktunya untuk pulang dan menyudahi segala cerita sentimentil ini. Saya mengayuh sepeda menuju ke rumah. Angin malam yang dingin bertiup perlahan menyebarkan semilir wangi  aroma 'Brut' di kepala saya.





Jumat, 01 Agustus 2014

Nenek Moyang Ku Bukan Orang Pelaut


Pantai Parangendog

Saya adalah pehobi mancing yang cukup fanatik. Walaupun memang sering kali tidak ditakdirkan untuk mendapat ikan, namun saya selalu antusias dengan dunia pemancingan. Setelah merencanakan dengan seksama, saya dan Pungki, seorang seniman fotografi yang juga hobi memancing memutuskan untuk menjajal pantai pasir Parangendog, sebelah barat pantai Parangtritis.
Ini adalah kali pertama saya menjajal dunia perikanan Jogja. Dengan penuh semangat dan antusiasme tinggi, kami berdua menyusuri Jalan Parangtritis dengan menggunakan sepeda motor.

Sewaktu masih berdomisili di Jakarta, saya, Andries, Willy, Joey dan Andre kerap kali pergi memancing di kepulauan seribu. Dan selalunya kami memakai teknik mancing dasaran. Kami memang tidak begitu serius menekuni hobi memancing dan lebih memprioritaskan persediaan bir yang dibawa ketimbang umpan dan joran. Tapi kami sangat menikmati nuansa perpaduan antara sentakan ikan, alkohol dan hebusan kencang angin laut yang memang tiada duanya. Namun kali ini suasananya sungguh berbeda. Saya sama sekali tidak mempersiapkan 'amunisi' apapun untuk bergembira ria di pantai. Yak. Kali ini saya bertekad untuk serius untuk menangkap ikan.

Sesampainya di lokasi, tampak begitu banyak turis lokal yang sedang menikmati keindahan dan mistisme laut selatan itu. Adapun teknik memancing yang kami terapkan siang itu adalah mancing pasiran. Bagi saya, ini adalah teknik yang cukup sulit mengingat bahwa ketahanan fisik, penguasaan teknik dan pengalaman memegang peranan penting dalam menerapkan teknik mancing jenis ini. Sementara saya, sama sekali tidak punya pengalaman dalam mancing pasiran. Ditambah lagi dengan  fisik saya yang sudah tidak bisa lagi dibilang muda.

Angin keras menerpa wajah saya, antusiasme saya memuncak untuk segera menangkap ikan. Umpan sudah siap dan kami langsung berlari menerjang ombak dan dengan sekuat tenaga melemparkan umpan sejauh mungkin. Semenit, dua menit, tiga menit dan 'drttt.. drttt..'
Tali senar menegang, terasa ada yang menarik di bawah sana, langsung saja saya menggulung reel dengan penuh semangat. Rupa-rupanya yang saya kira tarikan ikan tadi hanyalah timah pemberat yang tertarik arus. Sementara umpan masih dalam keadaan utuh. Setelah menunggu momen yang tepat, saya pun kembali mencambukkan joran sekuat tenaga ke tengah laut. ( Untuk memancing di pantai pasir seperti ini, memang dibutuhkan joran yang panjang dan lentur untuk mencapai jarak lempar yang maksmimal). Semenit, dua menit, lima menit, sepuluh menit saya menunggu namun tidak ada sentakan sama sekali. Beberapa getaran kecil saya acuhkan karena saya tidak mau tertipu untuk yang kedua kalinya oleh timah pemberat yang tergulung arus. Bosan dengan keadaan statis itu,  saya menggulung reel untuk memeriksa keadaan umpan. Ternyata umpan sudah ludes dimakan ikan. Artinya memang ada ikan di pantai itu. Walau memang belum menyangkut di kail, namun setidaknya umpan dimakan. Dan itu menumbuhkan semangat dan harapan besar di dalam hati.

Dengan semangat tinggi tanpa kenal lelah, saya kembali melemparkan umpan sekuat tenaga ke tengah lautan yang menggelora. Semenit, dua menit, sepuluh menit, dan saya kembali menggulung reel dengan hasil yang masih sama. Nol. Kejadian itu terus berulang berkali-kali. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 6 sore. Itu artinya saya sudah 3 jam lebih terendam di tengah hempasan ombak. Harapan hanya tinggal harapan. Saya memutuskan untuk beristirahat sejenak untuk sekedar merokok dan melemaskan badan yang sudah mulai kejang. Beberapa anak kecil yang sedang bermain pasir menghampiri dan dengan ramah bertanya pada saya, 'Sudah dapat berapa oom?' 'Kenapa mancing disini oom?, kan disini gak ada ikannya oom'. Pertanyaan- pertanyaan yang cukup menampar hati, mengingat perolehan buruan yang masih nihil. Saya tidak mau berlama-lama mendengar celoteh anak-anak yang nampaknya sangat berpengalaman itu. Saya memutuskan untuk kembali memancing ke tengah. Semenit, sepuluh menit, dua puluh menit, saya sengaja tidak menarik reel karena dari kejauhan saya melihat bahwa sekelompok anak-anak tadi masih bermain di tempat tadi dan saya tidak ingin terlibat dalam dialog-dialog yang hanya menyakitkan hati.

Pungki masih memancing
Di tengah rasa dingin dan pegal yang mendera, serta sambil terus berharap akan adanya seekor ikan yang tulus ikhlas memakan umpan, saya mencoba merenungkan dan menganalisa sebab-musabab tidak adanya ikan yang mau menyangkut di kail saya. Semua teori analisa seputar perpancingan berkelindan dengan cepat di benak saya. Mulai dari teori-teori ilmiah seputar perubahan iklim, arah arus, teknik yang salah, sampai kepada teori-teori imajinatif yang tidak masuk akal. Apakah karena kepergian saya ini tidak direstui 100% oleh anak-istri di rumah, apakah karena sebelum memancing tadi saya bersalaman dengan orang yang menularkan kesialannya pada saya, dan belasan anabel-anabel (analisa gembel) lainnya.

Tiba-tiba saja saya teringat akan sebuah lagu yang kerap dinyanyikan oleh almarhum ayah saya ketika sedang bercanda dengan cucu-cucuya, Gisella dan Karissa. Sebuah lagu yang dulu juga sering dinyanyikan ketika sedang bercanda dengan saya dan adik saya.
Lagu itu merupakan 'plesetan' dari lagu 'Nenek Moyangku Orang Pelaut'. Adapun judul dan lirik lagu itu digubah menjadi : ' Nenek Moyangku Orang Benggali'.
Begini liriknya :

Nenek moyang ku orang Benggali
Rambutnya panjang bertali-tali
Pergi ke ladang, mencari ubi
Di tengah jalan, di sodok babi.

Walaupun nenek moyang saya bukan orang Benggali, namun terdapat kesamaan antara orang Benggali di lagu itu dan nenek moyang saya. Mereka adalah sama-sama masyarakat agraris yang pola hidupnya bergantung dari hasil ladang dan hutan yang sama sekali jauh dari kehidupan maritim. Dan saya percaya, bahwa bakat atau talenta yang dimiliki seseorang adalah bawaan keturunan. Baik itu dari ayahnya, kakeknya atau nenek moyangnya. Ayah saya adalah seorang penulis yang membuka usaha penerbitan buku. Sementara Opung saya adalah seorang pegawai kantor pekebunan di Medan. Dan konon, nenek moyang saya pun berprofesi sebagai petani karet dan penyadap kemenyan di rimba Tapanuli sana. Mereka bukan nelayan, pelaut ataupun marinir. Jadi memang 'udah dari sono-nya' saya jauh dari kehidupan maritim dan tidak punya bakat memancing.

Dan sebagai seorang Kristen, saya percaya akan kekuatan doa. Saya percaya, bahwa dalam berusaha untuk mencapai sebuah tujuan, kita harus bertekun, bergiat dan tak lupa untuk membawanya dalam doa. Lantas saya berpikir, apakah karena saya tidak berdoa sebelum pergi? ataukah karena sebelum melempar umpan tadi saya tidak berdoa? Baiklah. Walaupun saya tidak dilahirkan dengan bakat sebagai seorang nelayan, tapi sebelum nanti melemparkan umpan lagi ke tengah laut, saya akan berdoa. Burung pipit yang kecil saja dikasihi-Nya, bagaimana mungkin Tuhan tidak mengasihi saya? Kiranya kehendakNya-lah saja yang akan terjadi atas ikan yang akan tertangkap nanti.

Saya juga teringat semacam ungkapan yang saya ciptakan sewaktu saya masih aktif di kumpulan Mahasiswa Pencinta Alam, "Manusia sudah ditakdirkan untuk hidup di kota. Bukan di gunung dan hutan. Karena manusia diciptakan Tuhan tidak dilengkapi dengan badan yang dipenuhi bulu-bulu tebal. Ungkapan itu tercipta ketika saya sedang kedinginan di puncak Gunung Gede dalam keadaan basah kuyup karena kehujanan. Saya percaya akan suratan takdir yang menentukan jalan hidup seseorang. Dan mungkin saja, salah satu faktor penyebab tidak ada seekorpun ikanpun mau yang menyambar umpan saya, adalah karena takdir Illahi. Tapi bagaimanapun juga, takdir itu adalah rahasia Tuhan. Hidup, mati, karir, jodoh dan ikan-pun, itu ada di dalam tangan Tuhan. Biarlah saya pasrahkan semuanya kepada Yang Di Atas. Mukjizat itu nyata. Saya percaya, Tuhan akan sudi berbaik hati memberikan seekor ikan untuk saya.

Sunset di Parangendog

Langit mulai berpendar redup kemerahan, sebentar lagi gelap. Angin keras menerpa dan membelai wajah saya. Tiba-tiba saja saya merasa bersemangat dan ceria lagi. Rasanya sama seperti pertama kali melemparkan kail  siang tadi. Saya merasa 'feeling so good banget'. Sambil menggumamkan lagu-lagu rohani dari Kidung Jemaat, saya menggulung reel. 50 meter, 40 meter, 30 meter dan stop. Senar pancing meregang dengan kencang. Reel tidak mau digulung lagi. Kail saya tersangkut karang. Segala lantunan lagu dan doa yang saya kumandangkan tadi, saya hentikan. Keceriaan dan adrenalin yang sempat memuncak tadi seketika sirna. Saya memutuskan tali, menggulung benang yang tersisa dan kembali ke pantai sambil bersiul menyanyikan lagu 'Nenek Moyangku Orang Benggali'.


Parangendog, 2 Agustus 2014.


Agan Harahap