Kamis, 23 September 2010

Untuk Bapak

agan harahap

BAPAK SAYA MEMANG HEBAT

Pagi itu semuanya nampak seperti biasa. Saya duduk di depan computer, Mama sibuk membuat makanan untuk Gisella dan Karissa sementara bapak duduk di kursi. Raut muka bapak pagi itu terlihat lelah karena semalaman tidak bisa tidur karena dada nya sakit.

Sejurus kemudian, bapak berdiri dan membakar rokoknya. Sebelum lebaran kemarin, bapak memang sudah divonis dokter menderita penyakit jantung.

“ Pak, kok masih ngerokok sih?’ Tanya saya dengan nada sedikit kesal.

Bapak tidak berkata apa-apa, dia hanya membakar rokok dan menghisapnya sekali lalu dimatikan. Bapak lantas berjalan menuju kamar.

Setelah mandi dan bersiap-siap untuk berangkat, saya pun menuju ke kamar untuk berpamitan sama bapak. Tampak bapak sedang tertidur dengan posisi telungkup di atas lantai. “ Ah, mungkin bapak kepanasan sehingga tidur di lantai” pikir saya. Saya pun berpamitan kepada mama dan kedua keponakan saya, lalu berangkat dengan ojek menuju kantor.

Semuanya tampak seperti biasa-biasa saja.

Tak sampai 10 menit, telpon saya berdering. Mama menelpon sambil tersedu, memberi kabar bahwa bapak telah pergi untuk selamanya. Saya pun tertegun sejenak. Serasa tidak percaya. Saya menyuruh mas Lanteng ( tukang ojek langganan) memacu motornya untuk segera kembali ke rumah.

Setibanya di rumah, saya segera menghampiri mama yang menangis di sebelah tubuh bapak yang masih telungkup di lantai. Saya pun memegang kaki bapak, terasa dingin.. Saya balikkan tubuhnya yang besar itu supaya terlentang. Mata bapak terpejam dan wajahnya merona kebiruan. Sebuah pemandangan yang sangat teramat menyayat hati saya. Bersama tukang ojek dan beberapa orang lain, kami pindahkan tubuh bapak ke atas tempat tidur saya.

Menit-menit selanjutnya saya sudah disibukkan dengan mengurus dokumen-dokumen serta menelfon kerabat dan handai taulan. Beberapa tetangga dan saudara yang berdatangan tidak kuasa menahan airmata. Setelah berbincang dan berdoa bersama paman,mama dan riri, kami pun memutuskan untuk segera membawa jenazah bapak ke rumah duka RSPAD.

Rumah duka RSPAD, jam 04 pagi. Suasana sudah sepi . Ratusan saudara, hadai taulan serta kerabat yang datang melayat sudah pulang. Suara tangis serta lagu-lagu penghiburan yang berkumandang sejak siang tadi juga sudah tidak terdengar. Bangku-bangku sudah kami lipat dan pinggirkan. Tinggal saya, Santa dan Wahyu yang duduk-duduk di depan rumah duka itu. Sementara mama dan beberapa saudara yang lain sudah tertidur. Badan saya sudah lelah. Namun mata ini tidak dapat terpejam.

Ada sebuah perasaan berat yang berkecamuk di dada ini. Teringat saat bapak menelpon saya hari rabu sore. Kebetulan saya sedang agak sibuk mengurus visa untuk keberangkatan saya ke Korea.

“Gan, lagi dimana kau? Kalau urusan mu sudah beres, kalau bisa temanin saya lah di Cikini.“ Nada bicara bapak tenang seperti biasa. Namun sedikit ada perasaan was-was yang berkelebat di hati saya.

Tanpa banyak tanya lagi, saya langsung segera menyelesaikan urusan –urusan visa, dan langsung meluncur menuju RS. Cikini. Di taxi, saya mempersiapkan mental untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Jujur saja, sempat terbersit dalam benak saya, tubuh bapak berbaring di instalasi gawat darurat dengan masker oksigen menutupi wajahnya. Saya mencoba menenangkan diri dan berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja. Setibanya di Cikini, semua imaji-imaji yang terbentuk selama perjalanan menuju rumah sakit itu mendadak buyar. Saya menemui bapak sedang berdiri di depan loket pembayaran ditemani mas Nung (anak buahnya di Yakoma PGI).

“ Bagaimana pak ? apa kata dokter? “ Tanya saya.

“ Oh,. Dokter bilang tidak apa-apa, Ini cuma sakit biasa. Kalau sudah minum obat yang ini, dada saya sudah baik-baik saja .” Kata bapak sambil tersenyum. Dan hati saya pun sedikit lega.

Bapak mengatakan pada saya bahwa ini hanya sakit jantung ringan yang biasa. Dia menambahkan, bahwa kata dokter ini sebetulnya hanya ‘semacam warning kecil’ untuk segera minum obat untuk melegakan dadanya. Entah kenapa, saya pun tambah tenang mendengar penjelasan dari bapak. Berarti semuanya baik-baik saja. Saya pun pamit sebentar untuk merokok di luar ruangan.

“ Eh, kau jangan terlalu banyak merokok dan minum bir. Nanti kau kayak saya. “ ujar bapak ketika saya kembali nememaninya untuk mengambil obat.

“Ah, ya gak bisa dong pak. Seniman ya harus begini .. Gaya hidup kan merupakan proses dari berkarya juga. “ Ucap saya bercanda sambil tertawa.

“ Haha, iya Bang ( bapak kadang memanggil saya dengan sebutan ‘bang’). Memang orang-orang kayak kita harus begitu yaa.. “ kata bapak sambil tertawa.

Setelah mendapatkan obat, bapak dan mas Nung pun pulang dan saya kembali ke kantor. Tidak sedikitpun ada perasaan aneh yang terbesit saat itu. Semuanya nampak seperti biasa.

Kalau dipikir-pikir, sebetulnya agak janggal juga menerima telepon dari bapak pada saat itu. Kalau dia merasa bahwa semuanya hanya baik-baik saja, kenapa bapak meminta saya ke Cikini untuk menemaninya? Padahal disana sudah ada mas Nung. Bapak adalah pribadi yang tidak pernah mau merepotkan orang lain. Mas Nung yang berada di Cempaka Putih juga diminta untuk jauh-jauh menuju ke kantor bapak di Ciganjur untuk menemaninya ke rumah sakit Cikini. Saya sebagai anak laki-lakinya, sudah semestinya harus lebih bisa membaca situasi bahwa sebetulnya kondisi bapak saat itu memang tidak baik. Tapi, entah kenapa senyuman dan semua kata-kata yang terlontar dari mulut bapak saat itu, sungguh menenangkan hati saya. Sehingga membuat saya untuk tidak berpikir lebih jauh lagi.

Suara adzan subuh terdengar. Sebentar lagi pagi. Dan besok kami harus berangkat ke Pondok Rangon memakamkan bapak. Saya segera beranjak menuju kamar yang memang tersedia disana. Saya membaringkan badan ini di atas kasur, mencoba untuk tidur. Badan saya sudah sangat lelah namun pikiran saya tetap melayang-layang . Terbayang saat saya hendak berpamitan untuk pergi kerja. Entah kenapa, tidak ada perasaaan curiga yang terbersit sedikit pun ketika saya mendapati tubuh bapak yang tertidur di lantai. Saya hanya berpikir bahwa bapak mungkin kepanasan untuk tidur di kasur.

Saya juga merasa bersalah, kenapa tidak menegurnya atau mungkin sekedar menyentuhnya. Mungkin saya bisa berbuat sesuatu untuk bapak. Tapi tidak. Semua itu tidak saya lakukan karena semata-mata saya tidak ingin membangunkan bapak yang sedang tidur. Saya menghela nafas, mencoba membuang semua perasaan-perasaan yang berkecamuk. Dan sesaat kemudian saya pun tertidur.

Siang itu suasana mulai ramai. Satu persatu handai taulan yang ingin mengantarkan bapak menuju Pondok Rangon mulai berdatangan. Lagu-lagu penghiburan gereja kembali berkumandang. Riri, adik saya, berbisik kepada saya di tepi peti jenazah.

“Bang, kok hari ini gue rasanya sedih banget yah? Beda banget sama hari kemaren. “

“ Iya, gue juga ngerasa kayak gitu “ jawab saya pelan.

Hari itu memang rasanya teramat berat. Susah sekali untuk membendung sejuta perasaan yang berkecamuk di dada ini. Entah kenapa, lagu-lagu yang dinyanyikan sungguh menyayat-nyayat hati saya. Semua khotbah dan kata-kata penghiburan yang terlontar dari mulut handai taulan seolah lewat begitu saja di telinga saya.

Setelah segala prosesi yang memilukan itu selesai, kini tibalah saat nya untuk mengantar jenazah bapak menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Saya dan mama duduk di bagian depan mobil ambulans yang bergerak perlahan. Kami hanya diam dan terlarut dengan lamunan masing-masing. Sesekali suara sirene mobil ambulans dan vooriders membuyarkan lamunan kami. Tampak iring-iringan kendaraan yang begitu panjang mengiringi keberangkatan bapak menuju Pondok Rangon.

Setibanya di kuburan, perasaan berat di dada ini semakin menjadi-jadi. Yak! Inilah saatnya kami akan benar-benar melepas kepergian bapak untuk selama-lamanya. Jenazah bapak sudah diturunkan kedalam liang lahat. Sebelum tanah merah menutupi peti itu, kenangan-kenangan bersama bapak kembali berkelebatan dalam benak saya. Sesungguhnya saya tidak suka melihat laki-laki yang mengumbar air mata di hadapan orang banyak. Buat saya, laki-laki seperti itu adalah sosok lemah yang tidak dapat menahan perasaannya. Namun, kali itu saya tidak dapat lagi menahan perasaan saya. Yak! Saya lemah! Saya sangat merasa kehilangan sosok ramah yang penuh canda ( walau harus saya akui bahwa candaannya itu terkadang terlalu lawas dan kurang lucu). Tidak ada lagi sosok yang sibuk menulis di depan laptopnya sambil merokok . Tidak ada lagi pandangan sinis darinya ketika saya pulang terhuyung sambil mabuk. Tidak ada bapak lagi.

Di rumah. Ketika suasana sudah sepi , saya duduk di depan laptop bapak. Saya buka blognya , dan saya baca tulisan-tulisannya ( suatu hal yang tidak pernah saya lakukan ketika bapak masih hidup). Saya buka account facebook bapak, dan saya tersenyum bangga melihat begitu banyaknya ucapan-ucapan yang ditulis oleh kawan-kawannya di wall bapak. Bapak saya ternyata memang benar-benar hebat! ujar saya dalam hati. *(" Ibu Guru, Bapak Saya Hebat Lho!" http://mulaharahap.wordpress.com/2010/07/24/ibu-guru-bapak-saya-hebat-lho/)

Saya terkenang, pernah suatu kali kami iseng ‘men-search’ nama kami sendiri di google. Kami ‘bertanding’ adu banyak jumlah nama yang tertera di google. Dan tentu saja bapaklah yang keluar sebagai pemenang. Namun bapak dengan tersenyum berkilah serta merendah,

“ Ah, .. kita kan beda.. Saya berkarya dengan huruf sementara kau dengan gambar. Tulisan kan lebih gampang di copy-paste” ujarnya sambil tertawa.

Bapak adalah teladan yang sukar tertandingi. Bapak adalah sosok yang selalu mencoba untuk membahagiakan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Ucapan dan tindakannya mampu menenangkan hati kami yang sedang risau.

Keesokan harinya, kami sekeluarga kembali ke Pondok Rangon, tampak oleh kami bunga-bunga yang kami letakkan di atas makam bapak kemarin sudah habis dimakan kambing. Yeah! Itulah bapak saya! Dia telah ‘membahagiakan kawan-kawan’ barunya disana. Dan sekali lagi saya tersenyum bangga melihat pemandangan itu. :-)

Agan Harahap




















7 komentar:

  1. turut berduka cita, lae. saya pengagum karya2 kalian berdua. esp amang mula, walo cuma lewat internet dan walau cuma sekali beliau komen di status saya :D. 'be gentle, feeling is everywhere' akan saya ingat selalu. -erwin-

    BalasHapus
  2. RIP untuk bokapnya bang agan.. Jesus bless the family..

    BalasHapus
  3. Saya sebagai seorang sahabat sangat berduka. Armyin Mulauli telah menyelesaikan tugasnya dengan sempurna. ( K. Elisnar Sianipar-alumni SMA N I Medan,angkt 71)

    BalasHapus
  4. speechless bacanya.. :(

    BalasHapus
  5. Saya menangis ketika membaca tulisan anda tentang Bang Mula, ya, saya juga lemah!

    Bagi saya dia seorang inspirasi, mentor dan guru dalam dunia penulisan. Dua tahun lalu di Yakoma PGI, dia bercerita tentang mimpi-nya memunculkan banyak penulis-penulis muda Kristen untuk berkontribusi bagi Gereja & Indonesia. Saya kehilangan seperti anda, tapi mimpinya terus hidup di hati kami komunitas WWW (working with words).

    Semoga anda bangga, menjadi putra seorang Mula Harahap!

    Salam,

    Pandia

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  7. Mohon maaf yang sedalam-dalamnya. Tiga tahun kepergian bang Mula, hari ini baru saya tahu. Maklum saya di Gereja Kristen Sulawesi Tengah - Tentena. Dan juga teman2 tdk prnh memberitahukan termasuk si Nung. Jasa bang Mula yang tdk mgkn saya lupa adalah ketika Pelatihan Media di Parapat, saya ketinggalan pesawat di Soeta, dari pagi sampai malam, bang Mula menunggu saya di Polonia dan akhirnya kami tiba di Parapat pukul 04.00 wib. Maaf bang, aku tak tahu kepergianmu ke pangkuan Bapa di Sorga.

    BalasHapus