Rabu, 01 Juli 2015
BitterSweet
BitterSweet / ManisGetir
Exhibition about the importance of Humor / Pameran tentang Pentingnya Humor
Agan Harahap
Agus Suwage
Akiq AW
Eddi Prabandono
Eko Nugroho
indieguerillas
Nastasha Abigail
oomleo
Saleh Hussein
S. Teddy D.
Tromarama
Yudha 'Fehung'
Opening / Pembukaan:
2 July 2015, 19.30
Exhibition / Pameran:
2 July - 1 Agustus 2015, 09.00 - 17.00
Closed on Sunday & Monday
Humour is an important aspect of our daily lives. Through humour we are able to connect, to provoke, to criticize, but also to employ diplomacy and discover solutions. When something makes us laugh, it contains something that disrupts our mental patterns and conventional expectations and in turn, provokes creative thinking.
Cemeti Art House invited twelve artists whose works show diverse aspects of humour. Humour is not the theme of their work, but humour is the format or the method and an important aspect of communicating the message of their work. With this understanding, most of the works that feature in this exhibition are older works and a small number of artists created new works specifically for this exhibition.
We can find many theories about humour itself such as the relief theory, the superiority theory, etc., but humour in relation to visual language has a purpose of its own. During the New Order regime, in comics, cartoons, folk theatre, and in the shadow puppet plays, it was only through humour that critical notes or ideas towards the regime could be expressed and circulated. Sensitive issues can become communicable through sarcasm and the use of bittersweet satires, but of course they require an accute understanding of its social meaning and context. Humour is inseparable from the arts and is able to fulfill a specific role in bridging the message of a work to the public.
Minggu, 28 Juni 2015
Tentang 'Jalan Setapak' Yang Terlalu Berliku
Berbeda dengan Twitter, Facebook dan Instagram, aplikasi Path awalnya memang terasa lebih 'intim' dan 'jujur' dari kebanyakan media sosial lainnya. Sebab hanya orang-orang terpilih yang dianggap mampu menjaga relasi pertemananlah yang bisa melihat segala tindak tanduk kita di media sosial itu. Kita seolah merasa bisa membagi segala macam perasaan dan pengalaman apapun yang dirasakan untuk 'orang-orang terpilih' itu. Walau seringkali, 'kejujuran-kejujuran' yang kerap kita bagikan dan kita temui di Path, kerap cukup mengganggu ritme keseharian kita.
Namun, selain menjadi media sosial yang menyampaikan berbagai perasaan, pengalaman dan keluh kesah yang jujur, tulus apa adanya, Path perlahan menjelma menjadi sebuah media sosial yang sensitif. Pertemanan yang sejatinya terbentuk di dunia yang nyata, bisa retak atau bahkan hancur berkeping-keping karena berbagai masalah sepele. Seperti lupa 'me-love', atau salah 'menanggapi' dengan memberi emoticon yang tidak tepat dsb. Path yang mustinya sederhana dan jujur tiba-tiba terasa begitu kompleks. Dengan adanya fasilitas untuk 'menunjukkan perasaan' (smile, love, gasp dan frown), orang cenderung menjadi lebih sensitif dan mudah terpancing terkait dengan 'tanggapan perasaan' yang diterimanya.
Dimana langit dijunjung, disitu bumi dipijak. Kita tentu harus bisa pandai-pandai membawa diri sekaligus harus bisa menjaga perasaan orang lain melalui berbagai postingan dan tanggapan. Tapi tentu saja semua harus pada kadar dan takaran yang pas. Tidak perlu berlebihan.
Belum lagi bila bicara soal berbagai bentuk pencitraan diri yang kerap ditayangkan di Path. Salah menanggapi sedikit, bisa tentu berujung dengan sakit hati yang akhirnya malah merusak relasi yang sudah terjalin. Dan bagi orang yang kurang bisa berbasa-basi di media sosial seperti saya, sikap ini tentu bisa menimbulkan masalah bagi orang-orang yang terlalu perasa.
Ya, sebetulnya memang jadi konyol ketika kita terlalu membawa-bawa perasaan, sesuatu yang bersifat deep dan personal di ranah media sosial. Tapi inilah kenyataannya, bahwa gesekan-gesekan atau bahkan benturan-benturan yang terjadi, disebabkan karena banyak pengguna yang terlalu larut, percaya dan terlena oleh bentuk sosialisasi di lingkaran pertemanan yang dirasa intim tersebut. Sehingga mereka tidak lagi bisa membedakan batasan-batasan antara ilusi dan kenyataan yang semakin tersamarkan oleh berbagai postingan dan tanggapan.
Bagi saya, Path adalah sebuah media sosial yang jauh lebih kompleks dan sulit dibanding dengan tampilannya yang mudah dan sederhana. Path adalah aplikasi yang jelas bersifat ekslusif, karena selain memang lingkup sosialnya yang kecil (orang-orang terpilih), Path hanya cocok bagi orang-orang yang telah 'khatam' tentang pergaulan di dunia maya.
Path hanya akan bisa berjalan dengan baik jika digunakan oleh orang-orang yang bisa dengan mudah mengenali atau bahkan tidak peduli lagi tentang batasan-batasan antara realita dan ilusi.
Nikmati saja pemandangan di jalan setapak itu. Tidak usah terlalu pedulikan berbagai tanggapan orang lain yang hanya mengganggu perjalanan wisata anda.
Agan Harahap
Senin, 15 Juni 2015
SAKSI MATA
SAKSI MATA
Kelebat pohon dan aspal tampak begitu cepat saat kendaraan yang membawaku melaju tanpa kuketahui tujuannya. Terik matahari Bali semakin membuatku tidak berselera untuk berbasa-basi membuka obrolan dengan anak-anak lain yang juga berhimpitan dan terhuyung-huyung bersamaku. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya suara mesin yang terdengar.
"Kepanasan
yah?" tanya seorang anak di sebelahku akhirnya memecah keheningan.
Dengan meringis aneh, ia tampak sibuk menyeka ingusnya yang terus
menerus keluar.
Tanpa
berkata-kata, aku hanya menjawabnya dengan anggukan kecil. Seraya
memberi tanda bahwa aku tidak berminat melanjutkan obrolan lebih jauh.
Kamipun kembali diam dan terhuyung-huyung di atas mobil itu.
Sepintas
teringat saat-saat terakhir ketika petugas-petugas berseragam memaksa
kami untuk keluar dari panti asuhan itu untuk segera menaiki kendaraan
yang telah disediakan.
"Ayo
lekas, itu satu lagi belum naik. Cepat sedikit, nanti keburu sore!"
seru bapak petugas berseragam saat menaikkan kami. Sedikit terkejut, aku
hanya bisa diam dan menurut. Beberapa anak lain mulai menangis,
sementara satu-dua anak lain mulai bergumam khawatir.
Dan sejurus kemudian, disinilah kami saat ini, berhimpitan dan terhuyung-huyung.
---
Panti
asuhan itu terletak di belakang rumah. Asri dan teduh. Terlindung dari
teriknya matahari Sanur yang seakan menusuk kulit. Kami sungguh merasa
beruntung, ibu asuh kami adalah seorang wanita yang penyayang. Ibu
menanam pokok-pokok pisang dan beberapa pohon besar untuk melindungi
kami bermain. Pepohonan itu juga memagari kami dari bagian depan rumah,
mungkin karena ibu tidak mau terganggu dengan celoteh kami saat menerima
tamu-tamunya. Belakangan, beberapa orang terpandang memang kerap
mengunjungi ibu di rumah bagian depan.
Bukan
bermaksud menyombongkan diri, aku merasa mendapat perhatian yang lebih
dibandingkan anak-anak lainnya. Ibu memang lebih sering menghampiriku
untuk bercerita atau sekadar mengobrol tentang berbagai hal. Dengan
beberapa keistimewaan yang kuterima ini, aku merasa menjadi anak
kesayangan ibu.
Berbeda
dengan panti asuhan lain yang mengajarkan soal kedisiplinan dan
kemandirian, di tempat ini kami merasa sangat bebas. Bermain,
berceloteh, semua bebas kami lakukan. Bahkan kami nyaris tidak pernah
melakukan pekerjaan berat. Ada seorang kakak perempuan yang cantik
selalu siap sedia mengurusi kami. Segala keperluan sehari-hari kami
diatur oleh kakak cantik itu. Mulai dari menyediakan makanan hingga
membereskan kamar, kakak yang mengerjakan. Inilah yang membuatku merasa
senang dan betah tinggal di panti asuhan ini.
"Gimana
sih kamu? Itu belum selesai, mau dipukul lagi?" bentak ibu kepada kakak
di suatu pagi. Ya, hardikan ibu kepada kakak memang seakan sudah
menjadi rutinitas di pagi hari. Ibu memang sangat keras terhadap kakak.
Terkadang aku risih melihat perlakuan ibu yang berlebihan itu. Hal-hal
kecil yang lalai kakak lakukan bisa menjadi sebuah bencana bagi kakak.
Kalau sudah begitu, kakak hanya bisa menangis sesegukan tanpa suara
sambil meneruskan pekerjaannya. Aku memang tidak pernah mengenal kakak
secara pribadi. Kakak memang cenderung pendiam, ia lebih banyak
bersenandung sendiri saat bekerja. Walaupun demikian, aku kerap iba
melihat perlakuan ibu yang tidak segan-segan memarahinya di depan kami.
Aku sendiri tidak tahu, mengapa kakak mendapat perlakuan yang sangat
berbeda dengan kami.
---
Anak di sebelahku masih sibuk mengelap ingusnya. Semakin lama terhuyung-huyung dan berhimpitan di mobil ini. Aku merasa mual.
---
Bau
busuk yang datang dari tumpukan sampah di sebelah kamarku semakin
menyengat. Awalnya memang tidak terlalu mengganggu, karena biasanya
sampah akan segera dibakar atau dibuang. Namun entah mengapa, kali ini
dibiarkan begitu saja. Sudah beberapa hari ini kakak cantik yang biasa
mengurusi kami tidak terlihat. Aku ingat terakhir kali aku melihatnya,
ia pergi bersama salah satu pengurus rumah yang lain. Sementara ibu,
yang sangat menyayangi kami, memang cukup cekatan mengurusi rumah. Namun
seiring faktor usianya yang semakin bertambah, kekuatannya pun
berkurang.
Semakin
hari bau busuk itu semakin menyengat. Aku dan beberapa anak lain sudah
mencoba protes tentang hal ini. Kami menjadi tidak leluasa bermain
dengan bau ini. Makan pun menjadi tidak selera. Walaupun beberapa hari
lalu ada beberapa orang yang berseragam turut membantu membersihkan
rumah, namun tumpukan sampah di sebelah kamarku tetap tidak tersentuh.
Hingga
seminggu yang lalu, saat aku bermain dengan teman-temanku yang lain,
orang-orang berseragam kembali datang. Kali ini mereka datang lebih
banyak lagi, dan gundukan sampah bau yang menyengat itupun tidak luput
diangkut. Ah, akhirnya. Mungkin ibu juga sudah sedemikan terganggu
dengan baunya sehingga harus membayar orang lebih banyak untuk mengurusi
sampah.
Namun
dengan hilangnya gundukan sampah itu, aku merasakan sedikit keanehan.
Rumah semakin sepi. Kakak cantik tidak kunjung pulang. Ibu pun tidak
tampak. "Oh, mungkin ibu sedang ke Bekasi," aku mencoba untuk berpikir
positif. Ibu memang kerap bercerita tentang Bekasi. Terkadang ia
terlihat riang saat bercerita tentang itu. Ya, mungkin ia sedang ke
Bekasi.
---
Tidak
berselang lama, keanehan lain pun terjadi. Pagi ini rumah kembali ramai
dengan orang-orang berseragam. Kali ini bukan untuk membersihkan
sampah, melainkan untuk membawa kami pergi. Dengan bingung kami dipaksa
naik ke mobil ini.
Saat
keluar dari panti, aku semakin bingung dengan banyaknya orang
berkerumun. Semakin banyak pertanyaan yang tidak bisa kujawab. Karangan
bunga. Lilin. Mainan. Kertas dengan berbagai tulisan. Ada apa ini?
Sekilas ada foto kakak cantik itu diantara tumpukan bunga dan lilin.
Apakah ada hubungannya dengan kepergian kakak? Dimana ibu?
Kami
semua terdiam saat mobil melintas pelan keluar dari pagar. Beberapa
orang yang berkerumun terlihat sedih, beberapa bahkan berdoa di depan
foto kakak. Akupun mencoba merasionalisasi keadaan ini. Berbagai ingatan
akan ibu, kakak dan panti asuhan itu berkelebat di pikiranku. Namun
dengan cepat menghilang. Aku terhenyak saat menyadari apa yang
sesungguhnya telah terjadi.
Sekuat
tenaga aku mencoba berteriak. "Aku tahu! Aku tahu!" Namun anak-anak
lain memarahiku. "Aku tahu! Aku tahu! Dengarkan aku!" Aku terus
berteriak dan mulai menangis. Namun tidak ada yang peduli. Orang-orang
berseragam, kerumunan di depan pagar, mereka tetap diam.
---
Mobil
membelok perlahan. Aku semakin mual. Saat mobil berhenti aku tak kuasa
berdiri. Dengan lemah aku mengangkat kepala, "Rumah Pemotongan Hewan Denpasar Bali".
Pengarang: Agan Harahap
Editor: Andries S Pandia
Selasa, 09 Juni 2015
Jumat, 22 Mei 2015
REALITA FOTOGRAFI HARI INI
Seniman
fotografi asal Amerika Serikat, Richard Prince, sekali lagi mengulangi tindakan 'fotografis-nya' dengan mengcapture dan memamerkan 38 karya foto selfie para pengguna instagram di Gaogasian Gallery, New York.
Yang menghebohkan adalah Richard Prince sama sekali tidak meminta izin
atau persetujuan apapun dari sang pemilik foto-foto yang 'dicurinya'
itu. Yang lebih menakjubkan lagi adalah, karya tersebut terjual
dengan harga US $ 100.000 tanpa sepeserpun uang yang jatuh ke tangan sang
pengunggah foto tersebut. Perilaku fotografi yang kontroversial ini tentu saja langsung menuai
berbagai kecaman dari berbagai lapisan masyarakat.
Tak
bisa dipungkiri, Perkembangan teknologi digital tanpa disadari telah
turut andil dalam membentuk perilaku masyarakat penggunanya. Begitu
banyak nilai-nilai (yang dianggap) luhur, yang ditanamkan oleh para
pendahulu kita, kini telah berubah, bergeser atau bahkan hilang sama
sekali. Begitupun halnya dengan fotografi. Fotografi bukanlah lagi
sebuah benda dan kegiatan 'tersier' seperti dulu. Fotografer pun bukan
lagi menjadi 'profesi agung serta mulia'. Semua bisa memotret dan
fotografi sudah menjadi hal yang biasa dalam keseharian kita. Dengan
hadirnya teknologi kamera smart phone, semua orang bisa menjadi
fotografer dan berhak untuk memamerkannya di ruang-ruang pamer yang
tersedia di berbagai media sosial dengan segala bentuk konsekuensinya.
Namun,
perkembangan teknologi digital dan sosial media yang semakin hari
semakin ajaib ini terkadang tidak seiring sejalan dengan nalar,
mentalitas serta toleransi para penggunanya. Akibatnya, terjadi berbagai
polemik sosial yang tidak bisa dihindari oleh kita, para pengguna
teknologi digital itu sendiri.
Saya
teringat tentang kontroversi ceramah Rhoma Irama ketika pilgub DKI
beberapa tahun yang lalu, yang menyebutkan bahwa ibunda dari Joko Widodo
beragama Kristen. Setelah di konfirmasi di sebuah tayangan tv swasta,
dengan 'lugu-nya' Bang Rhoma berkata bahwa informasi sesat yang beliau
sebarkan diambil dari internet yang kadar kebenarannya sangat mungkin
dipertanyakan. Dan masih banyak lagi polemik-polemik sosial yang muncul justru karena 'keluguan' kita dalam menalar serta menyebarkan sebuah foto atau berita.
Richard
Prince secara sadar telah meng-capture, memamerkan dan bahkan menjual
pose-pose selfie yang diunggah di media sosial Instagram tanpa seizin
pemilik foto-foto tersebut... Eh.. Sebentar.. Pemilik? Siapa sebenarnya
pemilik foto-foto selfie itu? Bukankah foto-foto itu dapat dengan mudah
diakses siapa saja? Bukankah Richard Prince sendiri yang mengcapture
foto-foto itu dari ponsel pribadinya?
Dalam bentuk yang lugas dan banal, sekali lagi nalar dan toleransi kita dihadapkan dengan realita fotografi dalam media sosial hari ini.
Agan Harahap.
Kamis, 30 April 2015
Juara Dunia Dari Indonesia ( Sebuah Catatan Olahraga)
![]() |
Manny Pacquiao dan Chris John berpose di depan awak media seusai menjalani penimbangan berat badan |
![]() |
Chris John tampak tenang dan penuh rasa percaya diri dalam perjalanan menuju ring dengan diiringi lagu 'Maju Tak Gentar' |
![]() |
Penyanyi asal Filipina, Maribeth yang kini menjadi warga negara Indonesia, didaulat untuk menyanyikan Lupang Hinirang, lagu kebangsaan Filipina, sekaligus juga menyanyikan lagu Indonesia Raya. |
![]() | |
Ronde 1: Kedua petinju tampak masih saling menjajaki. Chris John sementara unggul dengan cerdik memanfaatkan tinggi badan serta jangkauan tangannya. |
![]() |
Tampak penyanyi rap 50 Cent dan petinju Floyd Mayweather Jr yang menyaksikan pertandingan dengan tegang |
![]() |
Ronde 3: Memasuki paruh terakhir ronde ketiga, sebuah straight kiri keras dari Manny Pacquiao masuk menghantam rahang dari Chris John sehingga membuatnya terjatuh dan mendapat hitungan dari wasit. |
![]() |
Dari barisan terdepan bangku VVIP, penyanyi Rihanna terlihat sedang bergurau dengan rekannya. |
![]() |
Chris John dari Indonesia berhasil merebut sabuk juara dunia dengan kemenangan TKO pada ronde ke-5. |
JUARA DUNIA DARI INDONESIA
Saya
percaya, bahwa salah satu faktor penentu kemasyhuran sebuah negara
ditentukan oleh kesuksesan negara itu dalam olahraga. Banyak
negara-negara yang walaupun jauh dari kemakmuran dan kerap dilanda
konflik, namun bisa dikenal dan disegani lantaran olahraga. Sebut saja
beberapa negara di Afrika yang kerap menyertakan timnya dalam ajang
kejuaraan dunia sepakbola, atau beberapa negara komunis yang walaupun
diembargo, namun sukses mengalahkan negara-negara adidaya dalam berbagai
cabang olahraga. Tidak
hanya tampil sebagai pemenang, namun negara yang suskses sebagai
penyelenggara ajang olahraga internasional, sudah tentu akan mendapat
predikat positif di mata dunia.
Pada
era-nya pun, Indonesia sempat disegani dalam beberapa cabang olahraga,
serta sukses menjadi tuan rumah dalam beberapa perhelatan akbar olahraga
internasional. Tapi itu dulu..
Kini,
hampir tidak pernah tersiar berita tentang prestasi olahraga yang
ditorehkan atlet-atlet kita di kancah dunia. Mungkin saja ada, tapi itu
bukan dalam cabang olahraga yang populer, sehingga nama
Indonesia yang dulu pernah disegani, perlahan tenggelam dalam
'prestasi-prestasi' lain seperti paham-paham radikal yang berujung pada
terorisme, korupsi yang tak berkesudahan, pembalakan hutan yang semena-mena, serta ratusan
lagi 'prestasi-prestasi' lain yang berhasil ditorehkan oleh negara ini
di panggung internasional.
Seorang
kenalan saya, yang juga merupakan mantan atlet nasional sempat berujar
bahwa saat ini, berita-berita tentang prestasi olahraga kita di pentas
dunia kebanyakan hanya berujung pada sakit hati dan kekecewaan akan
harapan-harapan yang digantungkan terlalu tinggi.
Tapi apakah kita harus melulu pesimis terhadap keadaan ini?
Saya
teringat akan film Cool Runnings, sebuah kisah nyata tentang perjuangan tim bobsled dari
Jamaica yang sukses meraih medali emas dalam kejuaraan bobsled
internasional pada Winter Olympic tahun 1988. Adapun bobsled adalah
salah satu cabang olahraga yang termasuk dalam nomor yang
dipertandingan dalam berbagai ajang olahraga musim dingin. Sementara Jamaica
adalah negara tropis yang sama sekali tidak mengenal salju dan musim
dingin. Sungguh sebuah prestasi yang aneh bin ajaib tapi nyata.
Sebagai penggemar fanatik olahraga tinju, saya sempat menaruh
harapan besar pada Chris John yang sempat diprediksikan akan membawa
Indonesia sejajar dengan Amerika, Russia, Cuba, Mexico, ataupun negara tetangga kita,
Filipina yang mampu menorehkan catatan sejarah dalam percaturan tinju
dunia. Saya juga pernah berharap bahwa Chris John akan mampu mengkanvaskan lawan-lawannya dari berbagai negara dan tampil sebagai juara dunia,
sehingga Indonesia mampu menjadi negara yang disegani yang tidak bisa dipandang dengan
sebelah mata. Tapi
harapan tinggal harapan, ketika kita melihat rekam jejak Chris John
yang masih jauh dari
harapan kita sebagai bangsa yang ingin diakui dalam dunia olahraga.
Terkait
dengan peristiwa eksekusi mati beberapa terpidana narkoba dari berbagai
negara yang menuai kontroversi beberapa hari yang lalu, saya sempat
terhenyak ketika mendengar pernyataan Manny Pacquiao (petinju kelas
dunia dari Filipina), yang mampu menyuarakan pendapatnya kepada Presiden
Indonesia, Joko Widodo untuk menangguhkan eksekusi mati Mary Jane,
terpidana narkoba asal Filipina.
Ahh..
Andai saja Indonesia memiliki seorang atlet yang begitu populer dan
disegani di kancah internasional, yang mampu bersuara seperti Manny
Pacquiao, bukan tidak mungkin, para TKI dan TKW kita akan mendapat
perlakuan yang lebih baik di negara-negara tempat mereka bekerja. Tentu
saja, nasib mereka tidak akan begitu memprihatinkan seperti sekarang.
Serta banyak lagi dampak positif lainnya yang akan kita terima sebagai
sebuah bangsa.
Pertandingan
tinju antara Chris John dan Manny Pacquiao jelas tidak akan pernah
terjadi dalam dunia nyata. Essay photo 'Juara Dunia Dari Indonesia' di atas adalah sebuah
mimpi dan angan-angan saya, seorang seniman yang juga penggemar olahraga
tinju, yang tidak pernah berhenti berharap bahwa suatu saat kelak, akan lahir seorang juara tinju kelas dunia asal Indonesia yang mampu memberikan 'daya tawar' lain kepada publik dunia selain citra negatif yang selama ini melulu tersemat pada bangsa kita.
Minggu, 08 Februari 2015
TOKO MEMORABILIA
Sosial media
telah memberi kontribusi besar dalam membentuk, merubah dan bahkan
menghilangkan berbagai tatanan dan sistem sosial yang selama ini berlaku
di dalam masyarakat. Sosial media juga telah membuka beragam peluang, kemungkinan
dan interaksi baru dalam transaksi ekonomi.
Facebook,
Twitter, Path, Instagram dll telah menjelma menjadi sebuah pasar yang dipenuhi
berbagai transaksi ekonomi. Beragam aneka barang dan jasa dapat dengan mudah
ditemui di berbagai media sosial itu. Mulai dari hal-hal yang lumrah seperti properti,
kendaraan, fashion, agen perjalanan wisata, umroh, dsb sampai pada hal-hal yang
tidak lumrah seperti sex, pelangsing dan penambah tinggi badan, aneka pusaka keramat
dsb.
Begitupun
juga dengan dunia periklanan. Banyak hal baru yang muncul di seputar dunia
perkilanan. Bagaimana iklan bisa dapat diterima dengan mudah dan cepat. Apapun
caranya. Berbeda dengan iklan-iklan yang ada di tv, iklan-iklan di
media sosial justru bisa menjelma menjadi teror yang kerap menghantui kita
tanpa bisa dibatasi oleh ruang dan waktu.
Toko
Memorabilia adalah respon saya dalam menyikapi berbagai modus transaksi dan
beragam ‘aksi teror’ yang terjadi di media sosial. Dengan membuka on-line shop
yang menjual berbagai aneka barang komoditi fiktif, Toko Memorabilia hadir dan turut 'meramaikan' geliat perekonomian di lini masa kita.
Agan
Harahap
*Seniman fotografi yang tinggal dan menetap di Yogya
![]() |
Langganan:
Postingan (Atom)