Selasa, 09 Juni 2015
Jumat, 22 Mei 2015
REALITA FOTOGRAFI HARI INI
Seniman
fotografi asal Amerika Serikat, Richard Prince, sekali lagi mengulangi tindakan 'fotografis-nya' dengan mengcapture dan memamerkan 38 karya foto selfie para pengguna instagram di Gaogasian Gallery, New York.
Yang menghebohkan adalah Richard Prince sama sekali tidak meminta izin
atau persetujuan apapun dari sang pemilik foto-foto yang 'dicurinya'
itu. Yang lebih menakjubkan lagi adalah, karya tersebut terjual
dengan harga US $ 100.000 tanpa sepeserpun uang yang jatuh ke tangan sang
pengunggah foto tersebut. Perilaku fotografi yang kontroversial ini tentu saja langsung menuai
berbagai kecaman dari berbagai lapisan masyarakat.
Tak
bisa dipungkiri, Perkembangan teknologi digital tanpa disadari telah
turut andil dalam membentuk perilaku masyarakat penggunanya. Begitu
banyak nilai-nilai (yang dianggap) luhur, yang ditanamkan oleh para
pendahulu kita, kini telah berubah, bergeser atau bahkan hilang sama
sekali. Begitupun halnya dengan fotografi. Fotografi bukanlah lagi
sebuah benda dan kegiatan 'tersier' seperti dulu. Fotografer pun bukan
lagi menjadi 'profesi agung serta mulia'. Semua bisa memotret dan
fotografi sudah menjadi hal yang biasa dalam keseharian kita. Dengan
hadirnya teknologi kamera smart phone, semua orang bisa menjadi
fotografer dan berhak untuk memamerkannya di ruang-ruang pamer yang
tersedia di berbagai media sosial dengan segala bentuk konsekuensinya.
Namun,
perkembangan teknologi digital dan sosial media yang semakin hari
semakin ajaib ini terkadang tidak seiring sejalan dengan nalar,
mentalitas serta toleransi para penggunanya. Akibatnya, terjadi berbagai
polemik sosial yang tidak bisa dihindari oleh kita, para pengguna
teknologi digital itu sendiri.
Saya
teringat tentang kontroversi ceramah Rhoma Irama ketika pilgub DKI
beberapa tahun yang lalu, yang menyebutkan bahwa ibunda dari Joko Widodo
beragama Kristen. Setelah di konfirmasi di sebuah tayangan tv swasta,
dengan 'lugu-nya' Bang Rhoma berkata bahwa informasi sesat yang beliau
sebarkan diambil dari internet yang kadar kebenarannya sangat mungkin
dipertanyakan. Dan masih banyak lagi polemik-polemik sosial yang muncul justru karena 'keluguan' kita dalam menalar serta menyebarkan sebuah foto atau berita.
Richard
Prince secara sadar telah meng-capture, memamerkan dan bahkan menjual
pose-pose selfie yang diunggah di media sosial Instagram tanpa seizin
pemilik foto-foto tersebut... Eh.. Sebentar.. Pemilik? Siapa sebenarnya
pemilik foto-foto selfie itu? Bukankah foto-foto itu dapat dengan mudah
diakses siapa saja? Bukankah Richard Prince sendiri yang mengcapture
foto-foto itu dari ponsel pribadinya?
Dalam bentuk yang lugas dan banal, sekali lagi nalar dan toleransi kita dihadapkan dengan realita fotografi dalam media sosial hari ini.
Agan Harahap.
Kamis, 30 April 2015
Juara Dunia Dari Indonesia ( Sebuah Catatan Olahraga)
![]() |
Manny Pacquiao dan Chris John berpose di depan awak media seusai menjalani penimbangan berat badan |
![]() |
Chris John tampak tenang dan penuh rasa percaya diri dalam perjalanan menuju ring dengan diiringi lagu 'Maju Tak Gentar' |
![]() |
Penyanyi asal Filipina, Maribeth yang kini menjadi warga negara Indonesia, didaulat untuk menyanyikan Lupang Hinirang, lagu kebangsaan Filipina, sekaligus juga menyanyikan lagu Indonesia Raya. |
![]() | |
Ronde 1: Kedua petinju tampak masih saling menjajaki. Chris John sementara unggul dengan cerdik memanfaatkan tinggi badan serta jangkauan tangannya. |
![]() |
Tampak penyanyi rap 50 Cent dan petinju Floyd Mayweather Jr yang menyaksikan pertandingan dengan tegang |
![]() |
Ronde 3: Memasuki paruh terakhir ronde ketiga, sebuah straight kiri keras dari Manny Pacquiao masuk menghantam rahang dari Chris John sehingga membuatnya terjatuh dan mendapat hitungan dari wasit. |
![]() |
Dari barisan terdepan bangku VVIP, penyanyi Rihanna terlihat sedang bergurau dengan rekannya. |
![]() |
Chris John dari Indonesia berhasil merebut sabuk juara dunia dengan kemenangan TKO pada ronde ke-5. |
JUARA DUNIA DARI INDONESIA
Saya
percaya, bahwa salah satu faktor penentu kemasyhuran sebuah negara
ditentukan oleh kesuksesan negara itu dalam olahraga. Banyak
negara-negara yang walaupun jauh dari kemakmuran dan kerap dilanda
konflik, namun bisa dikenal dan disegani lantaran olahraga. Sebut saja
beberapa negara di Afrika yang kerap menyertakan timnya dalam ajang
kejuaraan dunia sepakbola, atau beberapa negara komunis yang walaupun
diembargo, namun sukses mengalahkan negara-negara adidaya dalam berbagai
cabang olahraga. Tidak
hanya tampil sebagai pemenang, namun negara yang suskses sebagai
penyelenggara ajang olahraga internasional, sudah tentu akan mendapat
predikat positif di mata dunia.
Pada
era-nya pun, Indonesia sempat disegani dalam beberapa cabang olahraga,
serta sukses menjadi tuan rumah dalam beberapa perhelatan akbar olahraga
internasional. Tapi itu dulu..
Kini,
hampir tidak pernah tersiar berita tentang prestasi olahraga yang
ditorehkan atlet-atlet kita di kancah dunia. Mungkin saja ada, tapi itu
bukan dalam cabang olahraga yang populer, sehingga nama
Indonesia yang dulu pernah disegani, perlahan tenggelam dalam
'prestasi-prestasi' lain seperti paham-paham radikal yang berujung pada
terorisme, korupsi yang tak berkesudahan, pembalakan hutan yang semena-mena, serta ratusan
lagi 'prestasi-prestasi' lain yang berhasil ditorehkan oleh negara ini
di panggung internasional.
Seorang
kenalan saya, yang juga merupakan mantan atlet nasional sempat berujar
bahwa saat ini, berita-berita tentang prestasi olahraga kita di pentas
dunia kebanyakan hanya berujung pada sakit hati dan kekecewaan akan
harapan-harapan yang digantungkan terlalu tinggi.
Tapi apakah kita harus melulu pesimis terhadap keadaan ini?
Saya
teringat akan film Cool Runnings, sebuah kisah nyata tentang perjuangan tim bobsled dari
Jamaica yang sukses meraih medali emas dalam kejuaraan bobsled
internasional pada Winter Olympic tahun 1988. Adapun bobsled adalah
salah satu cabang olahraga yang termasuk dalam nomor yang
dipertandingan dalam berbagai ajang olahraga musim dingin. Sementara Jamaica
adalah negara tropis yang sama sekali tidak mengenal salju dan musim
dingin. Sungguh sebuah prestasi yang aneh bin ajaib tapi nyata.
Sebagai penggemar fanatik olahraga tinju, saya sempat menaruh
harapan besar pada Chris John yang sempat diprediksikan akan membawa
Indonesia sejajar dengan Amerika, Russia, Cuba, Mexico, ataupun negara tetangga kita,
Filipina yang mampu menorehkan catatan sejarah dalam percaturan tinju
dunia. Saya juga pernah berharap bahwa Chris John akan mampu mengkanvaskan lawan-lawannya dari berbagai negara dan tampil sebagai juara dunia,
sehingga Indonesia mampu menjadi negara yang disegani yang tidak bisa dipandang dengan
sebelah mata. Tapi
harapan tinggal harapan, ketika kita melihat rekam jejak Chris John
yang masih jauh dari
harapan kita sebagai bangsa yang ingin diakui dalam dunia olahraga.
Terkait
dengan peristiwa eksekusi mati beberapa terpidana narkoba dari berbagai
negara yang menuai kontroversi beberapa hari yang lalu, saya sempat
terhenyak ketika mendengar pernyataan Manny Pacquiao (petinju kelas
dunia dari Filipina), yang mampu menyuarakan pendapatnya kepada Presiden
Indonesia, Joko Widodo untuk menangguhkan eksekusi mati Mary Jane,
terpidana narkoba asal Filipina.
Ahh..
Andai saja Indonesia memiliki seorang atlet yang begitu populer dan
disegani di kancah internasional, yang mampu bersuara seperti Manny
Pacquiao, bukan tidak mungkin, para TKI dan TKW kita akan mendapat
perlakuan yang lebih baik di negara-negara tempat mereka bekerja. Tentu
saja, nasib mereka tidak akan begitu memprihatinkan seperti sekarang.
Serta banyak lagi dampak positif lainnya yang akan kita terima sebagai
sebuah bangsa.
Pertandingan
tinju antara Chris John dan Manny Pacquiao jelas tidak akan pernah
terjadi dalam dunia nyata. Essay photo 'Juara Dunia Dari Indonesia' di atas adalah sebuah
mimpi dan angan-angan saya, seorang seniman yang juga penggemar olahraga
tinju, yang tidak pernah berhenti berharap bahwa suatu saat kelak, akan lahir seorang juara tinju kelas dunia asal Indonesia yang mampu memberikan 'daya tawar' lain kepada publik dunia selain citra negatif yang selama ini melulu tersemat pada bangsa kita.
Minggu, 08 Februari 2015
TOKO MEMORABILIA
Sosial media
telah memberi kontribusi besar dalam membentuk, merubah dan bahkan
menghilangkan berbagai tatanan dan sistem sosial yang selama ini berlaku
di dalam masyarakat. Sosial media juga telah membuka beragam peluang, kemungkinan
dan interaksi baru dalam transaksi ekonomi.
Facebook,
Twitter, Path, Instagram dll telah menjelma menjadi sebuah pasar yang dipenuhi
berbagai transaksi ekonomi. Beragam aneka barang dan jasa dapat dengan mudah
ditemui di berbagai media sosial itu. Mulai dari hal-hal yang lumrah seperti properti,
kendaraan, fashion, agen perjalanan wisata, umroh, dsb sampai pada hal-hal yang
tidak lumrah seperti sex, pelangsing dan penambah tinggi badan, aneka pusaka keramat
dsb.
Begitupun
juga dengan dunia periklanan. Banyak hal baru yang muncul di seputar dunia
perkilanan. Bagaimana iklan bisa dapat diterima dengan mudah dan cepat. Apapun
caranya. Berbeda dengan iklan-iklan yang ada di tv, iklan-iklan di
media sosial justru bisa menjelma menjadi teror yang kerap menghantui kita
tanpa bisa dibatasi oleh ruang dan waktu.
Toko
Memorabilia adalah respon saya dalam menyikapi berbagai modus transaksi dan
beragam ‘aksi teror’ yang terjadi di media sosial. Dengan membuka on-line shop
yang menjual berbagai aneka barang komoditi fiktif, Toko Memorabilia hadir dan turut 'meramaikan' geliat perekonomian di lini masa kita.
Agan
Harahap
*Seniman fotografi yang tinggal dan menetap di Yogya
![]() |
Selasa, 20 Januari 2015
Rabu, 14 Januari 2015
Membaca Orisinalitas Fotografi Dengan Hati
Suasana dari pagi ke siang ini
cukup dihebohkan dengan berita beredarnya foto mesra orang yang diduga
mirip dengan Abraham Samad (Ketua KPK) dengan Elvira Devinamira (Putri Indonesia
2014). Berita ini semakin gencar karena disinyalir adanya intrik politik
untuk menjatuhkan kredibilitas Abraham Samad sebagai ketua KPK.
Sebagian
kawan-kawan di media sosial bersikukuh bahwa foto mesra tersebut adalah
palsu, sementara sebagian lagi kawan-kawan bersikeras bahwa foto itu
adalah asli, sehingga terjadi pro dan kontra di
masyarakat terkait dengan keorisinalitasan foto tersebut. Sebagai orang
seniman yang menggantungkan hidup dari fotografi dan perkembangan teknologinya, saya pun merasa terpancing
untuk meneliti keorisinalan foto itu. Apakah foto itu adalah rekayasa
atau tidak.
Setelah
menelaah berkali-kali, jujur saja, saya tidak bisa menemukan tindakan
manipulasi yang dilakukan terhadap foto-foto tersebut. Bahwa media menyebutkan, ada
seorang pakar photoshop yang mengatakan bahwa foto tersebut discan
menggunakan scanner merk Canon dan terakhir diedit photoshop jam 3 dini
hari tadi, itu bisa saja. Karena memang sebuah foto bisa dibaca data riwayatnya secara digital. Tapi
apakah dengan data itu kita bisa langsung memastikan bahwa foto-foto itu melalui
proses manipulasi atau tidak, entahlah. Saya tidak begitu yakin. Mungkin
sang manipulator itu terlalu hebat, atau (bisa saja) saya yang terlalu
bodoh. Sehingga saya sampai pada suatu kesimpulan, bahwa foto orang yang diduga Abraham
Samad dan Elvira adalah bukan rekayasa.
Tapi
tentu saja, manipulasi fotografi tidak hanya sebatas urusan edit
mengedit di photoshop. Banyak faktor-faktor atau elemen-elemen lain
dalam memanipulasi/ merekayasa sebuah foto. Bisa saja itu adalah orang
yang kebetulan mirip dengan Abraham Samad atau Elvira, lalu dimanfaatkan
oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk memperkeruh
masalah dengan mendiskreditkan lembaga negara.
Keluar
dari berbagai intrik politik dan masalah asli atau palsunya foto mesra
tersebut, timbul pertanyaan-pertanyaan di benak saya terkait dalam menyikapi foto ini dari sisi humanis yang tentu saja tidak bisa dinilai secara teknis dan data digital.
Kalaulah foto Abraham Samad dan Elvira Devinamira itu ternyata foto asli, lalu kenapa memangnya?
Kalaulah foto Abraham Samad dan Elvira Devinamira itu ternyata foto rekayasa, lalu kenapa juga memangnya?
Kalaulah foto Abraham Samad dan Elvira Devinamira itu ternyata foto rekayasa, lalu kenapa juga memangnya?
Apa pentingnya kita, sampai hari ini masih sibuk meributkan foto orang yang sedang bermesraan?
Besar
harapan saya bahwa kita bisa menyikapi fotografi (dan perkembangan
teknologinya) tidak melulu dari soal teknis belaka, tapi dari berbagai
sisi humanis serta pertimbangan logisnya demi terwujudnya persatuan dan
kesatuan bangsa .
Agan Harahap
* Seniman fotografi tinggal dan menetap di Yogyakarta
Oiya, nganu.. :
Senin, 12 Januari 2015
Sebuah Cerita Dari India
Seorang kawan datang ke rumah bercerita panjang lebar mengenai lawatan singkatnya ke negeri India. Mulai dari ketibaannya di bandara, pengalamannya terlibat cinta lokasi dengan salah seorang figuran film action, sampai turut serta menjadi alay-alay di sebuah tayangan musik 'Dahsyat alla India'. Menjelang tengah malam, kawan tersebut berpamitan dan menyerahkan beberapa buah tangan yang dibawa dari negeri Mahabaratha itu.
Kawan saya ini memang cukup unik. Selain memang memiliki paras yang 'khas', perilakunya juga sungguh tidak terduga. Tidak heran jika begitu banyak wanita yang tergila-gila kepadanya. Selain memberikan saya miras dan beberapa obat gosok khas India untuk isteri saya, Itta, tanpa disangka-sangka kawan saya yang unik itu memberikan susu formula untuk putri saya, Merdu.
Entah bagaimana pula mengucapkan merk susu formula itu, karena merk susu formula itu dituliskan dengan aksara India yang tidak bisa dimengerti. Awalnya saya enggan menerima susu tersebut, karena memang saya tidak begitu yakin akan kemasan dan khasiatnya bagi anak saya.
Namun setelah kawan saya menceritakan bagaimana susu formula inilah yang menjadi salah satu pemicu pertumbuhan teknologi di India, maka saya pun percaya dan dengan berat hati menerima pemberiannya itu.
![]() |
Susu cap Ganesha yang dipercaya menjadi salah satu penyebab revolusi teknologi di India. |
Sampai suatu hari, ketika susu Nutrilon yang biasa dikonsumsi oleh anak kami, habis. Dan untuk membeli susu baru terasa agak sulit, karena maklum saja, sebagai keluarga yang sepenuhnya menggantungkan nasib pada dunia seni terkadang membuat kami hidup dalam ketidakpastian. Setelah menimbang, berdiskusi secara alot dengan isteri saya, akhirnya kami memutuskan untuk mencoba memberikan sedikit susu formula dari India tersebut kepada anak kami, sebagai pengganti sementara, sampai kami punya uang cukup untuk membeli susu Nutrilon andalannya itu.
Susu itu cukup unik, dengan lambang serupa dengan logo ITB (Ganesha)
yang sedang duduk di atas bunga teratai. Maka saya dan isteripun
berkesimpulan bahwa memang susu formula ini ditujukan untuk perkembangan
otak anak 6-18 bulan. Dan tentu saja, sebagai orang yang
gagal diterima masuk FSRD ITB, maka besar harapan kami supaya Merdu dapat
mewarisi kecerdasan Ganesha agar kelak dapat meneruskan cita-cita
ayah dan ibunya untuk dapat masuk kampus yang ternama itu.
Di luar dugaan, Merdu yang biasanya agak sulit meminum susu formula, ternyata dengan lahap menghabiskan susu India tersebut sampai tetes penghabisan. Karena anak kami tidak menunjukkan gejala-gejala aneh yang mengkhawatirkan, maka kamipun dengan sukacita memberikannya susu formula cap Ganesha tersebut sambil tak lupa mengiringinya dengan lantunan doa-doa agar kelak Merdu dapat tumbuh cerdas, sehat dan kuat serta bisa unggul di tengah kancah persaingan global yang semakin lama semakin edan ini.
Singkat kata, setiap kali bangun tidur, sehabis makan siang dan menjelang tidur malampun selalu diawali dengan susu India. Paceklik perekonomian yang tak putus menerpa kami pun serasa tak berarti apa-apa ketika melihat Merdu semakin hari semakin menunjukkan perkembangan ke arah progres.
Sebagai pasangan yang cukup disibukkan dengan kegiatan-kegiatan di luar rumah pada siang hari, maka kami terpaksa harus mempercayakan pengurusan Merdu kepada Ibu Tujilah, pembantu yang merangkap babysitter untuk Merdu. Mendekati minggu kedua setelah mengkonsumsi susu cap Gajah tersebut, bu Tujilah menangkap keanehan yang terjadi pada tubuh anak kami. Selain memang Merdu jadi bertambah kuat, lincah dan mulai bisa berkata-kata, pada bagian ketiak anak kami ternyata ditumbuhi bulu-bulu halus. Pada awalnya kami santai saja dan tidak curiga dengan gejolak hormonal yang terjadi di tubuh Merdu. Namun setelah semakin hari bulu-bulu di bawah ketiaknya semakin tebal, maka kamipun panik dan segera membawa anak kami untuk berkonsultasi dengan dokter yang merupakan sahabat lama kami, yang baru kami ketahui, ternyata masih merupakan keturunan India.
![]() |
Bulu-bulu di bawah ketiak yang semakin hari semakin tebal. |
Alih-alih menganjurkan agar memeriksakan anak kami ke rumah sakit atau laboratorium terdekat, dokter itu hanya menyarankan supaya kami tidak lagi memberikan susu formula dari India itu untuk dikonsumsi oleh Merdu sambil tak lupa memberi salep racikan khusus untuk meredam pertumbuhan bulu ketiak anak kami. Dokter itu mengatakan bahwa susu formula itu memang sudah sangat terkenal di India. Susu tersebut mengandung suatu zat khusus yang berguna untuk mempercepat perkembangan otak dan fisik anak. Dan bulu ketiak yang tumbuh itu disebabkan karena kandungan nutrisi pada ASI (Air Susu Ibu) yang tidak sama dengan ASI yang biasa dikonsumsi oleh bayi-bayi di India. Bahwa memang ada suatu hormon yang bisa berkembang dengan pesat apabila tidak diikuti dengan zat-zat yang terkandung dalam masakan kari. Selain itu, faktor penggunaan AC yang terlalu dingin juga menjadi pemicu gejolak hormonal yang menyebabkan bulu-bulu di bawah ketiak Merdu jadi tumbuh subur (maklum saja, cuaca Jogja yang panas memaksa kami untuk menyetel AC pada suhu terendah).
Walau agak curiga dan khawatir, dengan berat hati kami turuti juga saran dari dokter itu sambil tak lupa mengoleskan salep pemberiannya di bawah ketiak Merdu setiap sehabis mandi sambil memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa agar Merdu dijauhkan dari segala sakit penyakit. Puji Tuhan, hanya dalam waktu beberapa hari setelah mengoleskan salep itu, bulu-bulu di bawah ketiak Merdu rontok dengan sendirinya dan tidak tumbuh lagi.
Saat ini, Merdu sudah memasuki usia 9 bulan. Dia makin bertambah lincah dan kuat dan sudah mulai melangkahkan kaki sedikit-demi sedikit. Walau bila dibandingkan dengan bayi-bayi lain seusianya Merdu memang agak terlihat bongsor, namun kami sebagai orang tuanya, merasa lega dan bersyukur karena Merdu sama sekali tidak menunjukkan gejala-gejala aneh lagi akibat pemberian susu formula India itu.
![]() |
Merdu mulai berlatih berjalan di usianya yang menginjak 6 bulan |
![]() |
Memasuki usia 10 bulan. Merdu sedang terlelap ditemani isteri saya, Itta, yang terlihat kelelahan sehabis menggendongnya. |
Maafkan kedua orang tuamu
kalau tak mampu beli susu.
BBM naik tinggi, susu tak terbeli
BBM naik tinggi, susu tak terbeli
Orang pintar tarik subsidi
Mungkin bayi kurang gizi.
Mungkin bayi kurang gizi.
Cepatlah besar bidadari ku.
Menangis yang keras janganlah ragu.
Tinjulah congkaknya dunia, buah hati ku
doa kami di nadi mu.
Langganan:
Postingan (Atom)