Sabtu, 26 September 2015
Sabtu, 12 September 2015
Noorderlicht Photo Festival @ Groningen, NL
"Well,.. I'm sorry sir. Your luggage must be somewhere around Guangzhou or Beijing. We'll promise your luggage will be at your hotel in 24 hours". Begitu ucapan mas-mas kemayu yang bertugas melayani urusan koper-koper yang tersesat seraya menutup pembicaraan.
Itulah kesan pengalaman pertama saya ketika pertama kali berkunjung ke Belanda. Maskapai Southern China nampaknya kurang sigap dan tanggap dalam menangani urusan bagasi pesawat. Setelah perjalanan yang hampir memakan waktu 24 jam, terpaksa saya harus bertahan dengan pakaian yang melekat di badan. Setelah urusan pendataan perihal koper yang hilang itu selesai, saya langsung bergegas keluar dari bandara Schipol untuk merokok.
Udara pagi itu cukup dingin menusuk tulang. Saya yang hanya berbekal selembar jacket tipis jelas cukup sulit untuk beradaptasi dengan iklim yang jauh berbeza dari negara saya. Setelah 2 batang rokok, saya pun kembali masuk ke bandara karena masih ada urusan yang belum selesai. Saya masih harus membeli tiket untuk segera menuju ke Groningen, 2 jam dari Amsterdam. Singkat kata, dengan berbekal jacket tipis dan tas kamera, akhirnya sampailah saya di kota Groningen. Kota kecil di utara Belanda tempat dilaksanakannya perhelatan akbar fotografi itu.
Sesampainya di hotel, saya langsung disambut Alexander Supartono, sang kurator yang rupaya sudah cemas menanti kedatangan saya. Dan berkat kebaikan hatinya pula, saya bisa mengganti kaus kaki yang sudah saya kenakan semenjak dari Jogja. Bayangkan saja, dari Jogja, saya ke Surabaya untuk mengambil visa, lalu langsung meneruskan perjalanan ke Jakarta dan akhirnya tiba di Belanda setelah 2x transit di China tanpa mengganti kaus kaki.
Buat saya, Groningen adalah tempat yang istimewa. Setelah pengalaman yang kurang mengenakkan perihal koper yang hilang, saya langsung disuguhi dengan pemandangan cityscape yang cantik dan wanita-wanita yang bersepeda dengan mengenakan celana pendek yang ketat. Dalam urusan celana ketat dalam berkendara, pemandangan seperti itu langsung mengingatkan saya terhadap Kemayoran. Tentu saja, Groningen tidak bisa disamakan dengan Kemayoran. Hahaha
Keesokan harinya, koper saya belum juga tiba di hotel. Alex yang baik hati pun meminjamkan t-shirtnya. Entah apa pulak kata istri saya ketika menyaksikan saya mengenakan t-shirt v-neck ketat berwarna oranye. Tapi saya tidak peduli. Setidaknya kaos cerah itu terasa lebih nyaman dikenakan di badan ketimbang kaos yang sudah 3 hari melekat di badan saya. Groningen adalah kota kecil. Sebagian besar penduduk menggunakan sepeda untuk transportasi kesehariannya. Sementra saya, dan beberapa kawan lain yang tidak kebagian pinjaman sepeda, memutuskan untuk berkeliling kota dengan berjalan kaki. Sebetulnya saya sama sekali tidak keberatan dengan jalan kaki. Tapi mengingat hanya ada sepasang kaos kaki pinjaman yang tersedia, maka ada sedikit rasa gundah yang muncul di hati saya. Belum lagi sepatu yang saya kenakan sudah mulai menganga. Ahh.. Urusan koper yang tertinggal ini lama-lama jadi menjengkelkan. Malam harinya, sebelum pulang ke hotel, bersama Papa Shabani, seorang fotografer dari Uganda kami memutuskan untuk mengunjungi Noorderzon, sebuah festival performance art yang di adakan di sebuah taman di pinggiran kota.
Menjelang acara pembukaan, koper saya belum juga tiba. Padahal pihak panitia Noorderlicht Photo Festival sudah ikut campur tangan. Namun pihak bandara melemparkan tanggung jawabnya terhadap maskapai. Entahlah. Sementara kaos pinjaman berwarna cerah itu sudah mulai mengeluarkan aroma yang kurang sedap. Begitu pula halnya dengan kaos kaki. Akhirnya, dengan berat hati saya terpaksa harus membeli baju, boxer dan kaos kaki. Mencari pakaian yang sesuai dengan budget saya, tidaklah mudah. Setelah berkeliling beberapa blok, akhirnya saya menemukan juga toko pakaian yang murah meriah. Agak kesal juga ketika harus mengeluarkan uang membeli perlengkapan yang sebetulnya tidak perlu, mengingat persediaan saya selama beberapa hari ke depan sungguh terbatas. Tapi apa boleh buat, terpaksa juga saya mengeluarkan €50 untuk perintilan-perintilan yang 'penting' itu.
Hari memang masih terang benderang, namun jam sudah menunjukkan pukul 7 malam dan acara seremonial pembukaan festival itu berlangsung dengan meriah. Berkat beberapa botol bir dan wine yang dihidangkan di acara pembukaan, saya yang tadinya cukup berkecil hati karena urusan penampilan, akhirnya bisa turut larut dalam sukacita menyambut dibukanya perhelatan akbar fotografi itu. Jujur saja, Karya-karya fotografi dokumenter yang dipamerkan disana, membuat saya terkesima dan sekaligus merasa minder. Betapa tidak, sebagian dari mereka masih menggunakan kamera film dan tanpa editing photoshop. Memang 'perbedaan kasta' seperti ini kerap saya temui dalam beberapa pagelaran fotografi sebelumnya. Tapi lagi-lagi, berkat beberapa botol bir dan wine, saya jadi tidak begitu mempedulikan lagi soal 'perbedaan kasta' itu. Malam itu kami akhiri dengan berbincang dengan sesama peserta festival di bar hotel.
Kunjungan di Amsterdam bukannya tanpa sebab. Karena saya masih harus mencari beberapa bahan untuk project kedepan yang akan saya jalankan bersama Alex. Maka hari-hari saya di kota itu disibukkan dengan berkunjung ke museum-museum dan perpustakaan-perpustakaan. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan terkait dengan kunjungan-kunjungan maha penting ini, karena project saya masih bersifat rahsia.
Untuk urusan kuliner, sebetulnya Amsterdam lebih menggoda. Namun, sebagai kota besar, harga makanan di kota ini pun bisa beberapa kali lipat ketimbang di Groningen. Bayangkan, untuk sebuah roti yang berisi dengan ikan harring, di Groningen bisa saya dapati dengan harga 3€ saja. Sementara di Amsterdam, untuk hidangan yang kurang lebih sama, saya harus merogoh 8€.
Kawasan turis di seputar Kanal ataupun di daerah dekat Rijks Musseum, banyak dipenuhi cafe-cafe dan restoran-restoran yang menghidangan berbagai macam hidangan mulai dari masakan Belanda, Mexico sampai Nepal. Saya pun tidak mau ketinggalan untuk mencicipi makanan di daerah itu. Dengan perut yang lapar sehabis berjalan kaki, saya langsung segera melangkahkan kaki ke restoran Burger King yang letaknya masih bersebelahan dengan restoran steak khas Argentina. Maklumlah, dengan kondisi yang serba nge-pas, saya harus berhemat supaya bisa membeli oleh-oleh buat anak dan istri di Indonesia.
Rumah Janneke dan Jacob yang saya tinggali berada di tengah kota Amsterdam, tidak jauh dari Central Station dan dikelilingi oleh kanal-kanal yang tampak serupa. Alhasil, saya pun terpaksa 2 kali tersesat di kawasan Keizerstracht dan Princenstracht. Namun tersesat di kawasan Central Station adalah pengalaman yang cukup berkesan untuk saya. Karena selain hujan lebat yang membuat baju dan jacket saya basah kuyup, ditambah kondisi sepatu yang sudah menganga, rupa-rupanya tempat tinggal saya bisa dikata cukup dekat dengan kawasan red light district. Selama ini saya berpikir bahwa 'lampu merah' hanyalah bahasa kiasan tertentu dalam menunjukkan lokasi prostitusi. Ternyata kawasan 'lampu merah' di Amsterdam adalah kawasan yang benar-benar dipenuhi dengan etalase-etalase dengan lampu-lampu yang berwarna merah. Alih-alih berisi dengan gadis-gadis kaukasian nan molek, saya malah melihat nenek-nenek dengan topeng dan latex khas BDSM. Takzim dan terkeseima akan pemandangan itu, namun beberapa jagoan lokal yang sudah nampak mabuk, memaksa saya menyudahi pemandangan itu dan mempercepat langkah untuk pulang. Selain red light district, Amsterdam pun terkenal akan coffee shop nya. Namun, selain saya tidak begitu suka 'hidangannya', kondisi keuangan yang semakin hari semakin memprihatinkan, membuat saya tidak bisa menikmati berbagai hidangan yang tersedia di 'warung kopi' itu. Bayangkan, untuk bisa menikmati 'hidangannya', saya harus merogoh 13 €, sementara bir sudah bisa dinikmati dengan hanya 2,5 € saja. Yaa maklumlah, dengan kondisi keuangan yang terbatas terpaksa memaksa saya untuk meredam segala keinginan-keinginan yang bergejolak dalam hati.
Jadwal kepulangan saya ke Indonesia adalah jam 4 sore waktu setempat. Namun karena pasangan Janneke dan Jacop ada keperluan, maka dari jam 9 pagi, saya sudah berpamitan dan meninggalkan kawasan Keizerstracht. Dengan tas yang penuh dengan oleh-oleh dan pakaian-pakaian yang belum dipakai, saya menuju restoran terdekat sekedar untuk menikmati pagi dan wanita-wanita yang bersepeda mengenakan celana ketat seraya membuang waktu sebelum menuju Schipol.
![]() |
Rabu, 22 Juli 2015
Minggu, 19 Juli 2015
SING FEST #6: Iman, Pengharapan Dan Cuci Piring
Selain urusan ekonomi, salah satu problematika primer di keluarga kami
adalah ketika pembantu tidak masuk kerja. Memang Ibu Tujilah, pembantu
kami, tidak menginap seperti pembantu-pembantu pada umumnya. Rumahnya
hanya sepelemparan batu dari rumah kami. Tapi libur Lebaran seperti
inilah yang biasanya menimbulkan polemik tersendiri bagi saya dan Itta,
isteri saya.
Belum lagi ketika Itta yang sedang hamil dan menurut
anjuran dokter, agar isteri saya tidak boleh terlalu banyak bergerak
karena beresiko terhadap kandungannya. Oleh sebab itu untuk saat ini,
sayalah yang memegang peranan utama dalam membidani segala urusan rumah
tangga.
Untungnya saya sudah terlatih bekerja membereskan rumah
sejak kecil. Menyapu, mengepel, memasak dan mengurus anak, semua sanggup
saya kerjakan sendiri. Namun satu hal yang paling saya tidak sukai
dalam urusan rumah tangga ini adalah mencuci piring. Mungkin bagi
sebagian orang, mencuci piring adalah sebuah hal yang remeh namun bagi
saya mencuci piring adalah sebuah masalah tersendiri yang butuh konsentrasi dan keberanian dalam pengerjaannya. Saya sangat anti
terhadap aroma-aroma minyak dan makanan yang masih menempel di piring.
Apalagi, aroma sisa kuah-kuah santan yang sudah mengendap semalam yang
sudah berkerak dan cukup sulit untuk dihilangkan. Oleh sebab itulah maka
saya selalu saja menunda dan menumpuk piring kotor demi menghindari
kegiatan mencuci piring. Ketika sebagian besar isi rumah sudah tampak rapi dan
asri, Anak saya, Merdu pun sudah mandi dan duduk tenang di depan tv, namun untuk bagian bak cuci piring adalah sebuah pengecualian.
Bagaimanapun
saya menghindari kegiatan mencuci piring, tapi penundaan bukanlah
solusi terbaik. Hanya menumpuk masalah saja. Sementara kami harus
memasak dan makan agar kehidupan terus berjalan. Akhirnya dengan berat hati
saya paksakan juga untuk mencuci piring-piring bekas kuah santan
hidangan Lebaran dan bubur bayi yang sudah beberapa hari teronggok di
bak cuci.
Berbagai pemikiran yang berifat negatif berkelindan dengan cepat di benak saya. Mulai dari makanan sisa
yang tidak dibuang di tempat sampah, bekas kulit bawang dan kentang yang
menyebabkan saluran pembuangan tersumbat, bekas guntingan bumbu indomi
yang mengapung berputar-putar seolah sedang menertawai nasib saya dan
sejuta hal-hal negatif lainnya.
Namun lambat laun
saya menyadari bahwa menggerutu bukan juga solusi jitu agar
'penderitaan' ini cepat berlalu. Sejurus saya teringat akan petuah lama
yang mengatakan bahwa, apapun yang dikerjakan dengan sukacita pasti akan
bebuah baik. Maka di tengah aroma santan basi dan guntingan bumbu
Indomi yang menari-nari, saya mulai menghibur hati dengan bersenandung
lagu-lagu rohani dari Kidung Jemaat. Ya, sebagai seorang yang dibesarkan dalam keluarga Kristen, lagu-lagu dari Kidung Jemaat cukup akrab bagi saya. Apalagi ketika sedang menghadapi situasi yang serba tidak karuan seperti ini.
Lagu
'Janji Yang Manis' mengawali perjuangan saya ketika tiba-tiba saya
berpikir entah bagaimana nasib kami kalau pembantu kami, Bu Tujilah,
memutuskan untuk tidak bekerja lagi. Dan janjinya yang mengatakan bahwa
dia akan kembali bekerja hari Selasa nanti ternyata tidak ditepati. Ketika
saya melihat air kotor yang hampir meluap karena kulit bawang dan bubur
sisa yang menyumbat saluran pembuangan, lagu 'Makin Dekat Tuhan' terlantun begitu saja dari mulut saya. Mungkin air yang meluap
itu mengingatkan saya pada adegan film Titanic ketika kapal hampir
tenggelam. "Tiap langkahku, ku tahu Tuhan yang pimpin, ke tempat
tinggi ku dihantarnyaaa.. Hingga sekali nanti aku tibaa.. Di rumah Bapa
sorga yang bakaa.." Reffrain dari lagu 'Tiap Langkah Ku' saya
senandungkan ketika berjuang membersihkan kerak-kerak santan
yang menempel di panci. Piring, gelas dan panci kotor itu
semakin berkurang namun itu tidak menggembirakan hati saya karena sabun
cair untuk mencuci piring sudah hampir habis. Saya pun mulai
mencampurnya dengan air sambil berharap agar piring dan gelas sisa ini
bisa selesai sebelum sabunnya habis. Dengan penuh keyakinan saya tetap
menggosok dan mencuci piring-piring berminyak itu sambil bergumam lagu
'Ya Tuhan Tiap Jam'.
Akhirnya setelah beberapa lagu, maka
kegiatan mencuci piring itupun selesai juga. Saya membersihkan semua
bekas nasi dan bubur yang menggendap di dasar bak cuci agar tidak
tersumbat dan memasukkannya ke kantong plastik dan membuangnya tempat sampah. . "Sampai bertemuu.. Bertemuu.. Tuhan Allah beserta engkauu.. " Dan saya berjalan menuju
tempat sampah dengan senyum kemenangan.
Sing Fest adalah kumpulan pemikiran saya tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan musik.
Berikut adalah tautan tentang edisi-edisi Sing Fest yang silam :
Jumat, 10 Juli 2015
BitterSweet : Manny Pacquiao @ Cemeti Art House
Sudah dari beberapa hari kemarin, kedatangan Manny Pacquiao ke Indonesia ramai dibicarakan oleh berbagai media. Adapun tujuan utama Pacman ke Indonesia adalah dalam rangka syuting sebuah produk jamu kesehatan dan sekaligus juga demi menepati janjinya untuk memberi dukungan moral secara langsung terhadap terpidana mati kasus narkoba, Mary Jane Veloso.
Sebagai salah seorang penggemar, hati saya pun cukup berbunga-bunga perihal kedatangannya ke Yogyakarta. Namun saya tidak pernah bermimpi untuk bisa bertemu atau sekedar berfoto bersama dan dipamerkan kepada handai taulan dan saudara. Sebab, mau bagaimanapun juga jujurnya foto saya, pasti tetap akan dibilang bahwa itu adalah hasil rekayasa. Yah, mungkin memang sudah beginilah nasib saya. Jujur salah, bohong malah lebih salah.
Siang itu saya jalani seperti biasa. Seusai bermain dengan Merdu, saya lantas terlarut dengan acara dialog tentang psikologi anak di TVRI. Karena tayangan itu begitu menarik, maka beberapa sms dan whatsapp yang masuk saya acuhkan. Iphone yang biasanya selalu berada dalam genggaman, kali ini saya letakkan begitu saja di lantai karena memang sedang di cas.
Satu jam berlalu dan acara dialog itu pun usai. Anak saya yang baru berusia 1,5 tahun itupun nampak rewel ingin digendong. Mungkin karena dia tidak suka tontonan bapaknya. Memang sudah menjadi kebiasaannya untuk menonton Disney Junior atau Baby First sebelum dia tidur siang. Tapi apa boleh buat, karena tv berlangganan itu belum dibayar, jadilah kami sekeluarga hanya bisa menikmati TVRI saja. Menjelang lewat tengah hari, Merdupun tertidur di dalam gendongan saya. Seusai menaruhnya di tempat tidur, saya pun kembali ke ruang tv untuk membaca pesan-pesan yang masuk sejak tadi ke iphone saya.
Salah satu pesan whatsapp berbunyi : " Agan, kamu bisa ke Cemeti sekarang? Penting!" Pesan tersebut dikirim oleh Agni, seorang staff galeri Cemeti sekitar satu jam yang lalu. Adapun pada tanggal 2 kemarin, saya baru mengikuti pameran bersama yang berjudul BitterSweet yang diikuti oleh 12 perupa dari Jakarta, Bandung dan Yogya. Dan kebetulan, dalam pameran itu saya menyertakan serial saya yang berjudul Juara Dunia Dari Indonesia. Yang menggambarkan pertandingan tinju antara Chris John melawan Manny Pacquiao. Sambil menyalakan puntung Djarum Super yang baru dibakar setengah, saya pun menanyakan ada apa kepada Agni. Mungkin saja ada kurator atau kolektor yang meminta untuk bertemu dengan seniman, ujar saya dalam hati. Tapi Agni tidak membalas whatsapp saya.
Sejurus kemudian saya pun larut dalam berbagai berita di Twitter dan Path seraya menikmati puntung rokok itu dengan seksama. Maklum saja udara siang yang panas membuat saya agak malas untuk ke warung. 'Ting!' Agni pun membalas whatsapp saya dengan pesan gambar yang jelas membuat saya terkesirap. Di foto itu terlihat Manny Pacquiao yang sedang berpose di depan karya saya yang sedang dipamerkan. Sontak saya pun menelpon Agni untuk menanyakan apakah saya masih sempat untuk menyusul idola saya itu ke Cemeti.
Namun mujur tak dapat diraih, malang pun tak dapat ditolak. Manny Pacquiao sudah beranjak dari galeri karena memang jadwal acaranya yang cukup padat. Menurut Agni, Pacquiao hanya kebetulan singgah karena ingin mencicipi makan khas Yogyakarta di sebuah restoran di daerah Tirtodipuran yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari Cemeti. Kebetulan juga managemen hotel T yang memfasilitasi semua kebutuhan akomodasi dan transpotasi Pacman memang sudah menjalin kerjasama dengan galeri Cemeti dalam mempromosikan seni-seni terbaru tanah air. Maka atas alasan itu pulalah mereka sekalian lewat dan berkunjung.
Walau memang Manny sudah tidak berada di galeri Cemeti, namun dengan sejuta penyesalan di dalam dada, saya memutuskan juga untuk pergi kesana. Beberapa staff galeri masih terlihat antusias akibat kedatangan 'tamu agung' itu. Mereka sibuk memposting hasil selfie mereka dengan superstar yang terkenal ramah itu di berbagai jejaring sosial. Rasa kecewa yang bercampur dengan sesal membuat saya tidak bisa berlama-lama di tempat itu. Dengan langkah gontai sayapun menuju angkringan terdekat untuk membeli rokok ketengan.
Yogyakarta, 10 Juli 2015
Rabu, 01 Juli 2015
BitterSweet
BitterSweet / ManisGetir
Exhibition about the importance of Humor / Pameran tentang Pentingnya Humor
Agan Harahap
Agus Suwage
Akiq AW
Eddi Prabandono
Eko Nugroho
indieguerillas
Nastasha Abigail
oomleo
Saleh Hussein
S. Teddy D.
Tromarama
Yudha 'Fehung'
Opening / Pembukaan:
2 July 2015, 19.30
Exhibition / Pameran:
2 July - 1 Agustus 2015, 09.00 - 17.00
Closed on Sunday & Monday
Humour is an important aspect of our daily lives. Through humour we are able to connect, to provoke, to criticize, but also to employ diplomacy and discover solutions. When something makes us laugh, it contains something that disrupts our mental patterns and conventional expectations and in turn, provokes creative thinking.
Cemeti Art House invited twelve artists whose works show diverse aspects of humour. Humour is not the theme of their work, but humour is the format or the method and an important aspect of communicating the message of their work. With this understanding, most of the works that feature in this exhibition are older works and a small number of artists created new works specifically for this exhibition.
We can find many theories about humour itself such as the relief theory, the superiority theory, etc., but humour in relation to visual language has a purpose of its own. During the New Order regime, in comics, cartoons, folk theatre, and in the shadow puppet plays, it was only through humour that critical notes or ideas towards the regime could be expressed and circulated. Sensitive issues can become communicable through sarcasm and the use of bittersweet satires, but of course they require an accute understanding of its social meaning and context. Humour is inseparable from the arts and is able to fulfill a specific role in bridging the message of a work to the public.
Minggu, 28 Juni 2015
Tentang 'Jalan Setapak' Yang Terlalu Berliku
Berbeda dengan Twitter, Facebook dan Instagram, aplikasi Path awalnya memang terasa lebih 'intim' dan 'jujur' dari kebanyakan media sosial lainnya. Sebab hanya orang-orang terpilih yang dianggap mampu menjaga relasi pertemananlah yang bisa melihat segala tindak tanduk kita di media sosial itu. Kita seolah merasa bisa membagi segala macam perasaan dan pengalaman apapun yang dirasakan untuk 'orang-orang terpilih' itu. Walau seringkali, 'kejujuran-kejujuran' yang kerap kita bagikan dan kita temui di Path, kerap cukup mengganggu ritme keseharian kita.
Namun, selain menjadi media sosial yang menyampaikan berbagai perasaan, pengalaman dan keluh kesah yang jujur, tulus apa adanya, Path perlahan menjelma menjadi sebuah media sosial yang sensitif. Pertemanan yang sejatinya terbentuk di dunia yang nyata, bisa retak atau bahkan hancur berkeping-keping karena berbagai masalah sepele. Seperti lupa 'me-love', atau salah 'menanggapi' dengan memberi emoticon yang tidak tepat dsb. Path yang mustinya sederhana dan jujur tiba-tiba terasa begitu kompleks. Dengan adanya fasilitas untuk 'menunjukkan perasaan' (smile, love, gasp dan frown), orang cenderung menjadi lebih sensitif dan mudah terpancing terkait dengan 'tanggapan perasaan' yang diterimanya.
Dimana langit dijunjung, disitu bumi dipijak. Kita tentu harus bisa pandai-pandai membawa diri sekaligus harus bisa menjaga perasaan orang lain melalui berbagai postingan dan tanggapan. Tapi tentu saja semua harus pada kadar dan takaran yang pas. Tidak perlu berlebihan.
Belum lagi bila bicara soal berbagai bentuk pencitraan diri yang kerap ditayangkan di Path. Salah menanggapi sedikit, bisa tentu berujung dengan sakit hati yang akhirnya malah merusak relasi yang sudah terjalin. Dan bagi orang yang kurang bisa berbasa-basi di media sosial seperti saya, sikap ini tentu bisa menimbulkan masalah bagi orang-orang yang terlalu perasa.
Ya, sebetulnya memang jadi konyol ketika kita terlalu membawa-bawa perasaan, sesuatu yang bersifat deep dan personal di ranah media sosial. Tapi inilah kenyataannya, bahwa gesekan-gesekan atau bahkan benturan-benturan yang terjadi, disebabkan karena banyak pengguna yang terlalu larut, percaya dan terlena oleh bentuk sosialisasi di lingkaran pertemanan yang dirasa intim tersebut. Sehingga mereka tidak lagi bisa membedakan batasan-batasan antara ilusi dan kenyataan yang semakin tersamarkan oleh berbagai postingan dan tanggapan.
Bagi saya, Path adalah sebuah media sosial yang jauh lebih kompleks dan sulit dibanding dengan tampilannya yang mudah dan sederhana. Path adalah aplikasi yang jelas bersifat ekslusif, karena selain memang lingkup sosialnya yang kecil (orang-orang terpilih), Path hanya cocok bagi orang-orang yang telah 'khatam' tentang pergaulan di dunia maya.
Path hanya akan bisa berjalan dengan baik jika digunakan oleh orang-orang yang bisa dengan mudah mengenali atau bahkan tidak peduli lagi tentang batasan-batasan antara realita dan ilusi.
Nikmati saja pemandangan di jalan setapak itu. Tidak usah terlalu pedulikan berbagai tanggapan orang lain yang hanya mengganggu perjalanan wisata anda.
Agan Harahap
Langganan:
Postingan (Atom)