Jumat, 19 November 2010

Last Words

Beberapa saat,sesudah saya memposting blog terakhir ( catatan-catatan penting), saya mendapat respon dari seorang kawan alm bapak melalui facebook msg, bahwa ternyata bapak pernah membuat sebuah tulisan ttg saya di sebuah milis..
Tulisan ini di buat pada 23 juli, kurang dari 2 bulan sebelum Tuhan memanggilnya untuk di rekrut menjadi 'staff' NYA di surga..

Jujur saja, saya terkejut sekaligus terharu membaca 'kata2 terakhir' beliau..
Bapak yang saya tau, adalah pribadi yang cuek. Saya sama sekali tidak pernah menyangka, bahwa bapak pernah membuat sebuah 'ulasan yg menditel' tentang saya.

Dan ini lah kata-kata terakhirnya untuk saya:



Re: sekolah anak - RE: taruhan ala lapo ini

Ketika anak lelaki saya masih duduk di bangku SD (dia bersekolah di sebuah SDBPK Penabur) kami sering bingung dibuatnya. Dia sering sekali mengalami sakitperut. Kami tidak tahu apa yang menyebabkannya. Tapi kalau melihat erangannyadan keringat yang bercucuran di wajahnya, kami bisa memahami bahwa dia sedang mengalami kesakitan yang parah. Kami membawanya ke dokter anak. Dia diberi obat tertentu. Tapi keluhan itu tetapsaja berlanjut. Kemudian kami membawanya ke spesialis penyakit dalam, dan dokter menganjurkan agar anak itu dibawa ke RSCM untuk dirontgen. Hasil rontgen tidakmemperlihatkan ada yang aneh di dalam perutnya. Dokter pun menjadi bingung. Tapi kemudian, ketika kami sedang berkonsultasi itu, seperti mendapat inspirasi dari langit, dokter berkata, "Tampaknya ini adalah gejala psikis, dan boleh jadi iniada kaitan dengan sekolah. Cobalah kalian tanya dia baik-baik, mungkin ada yangmembuatnya takut dan cemas di sekolah....."

Setiba di rumah isteri saya mencoba mengorek dari anak itu apa sebenarnya yangterjadi di sekolah. Ternyata dia tidak suka dengan guru kelasnya dan tidak suka juga dengan mata pelajaran matematika. Kami pun mencoba menenangkannya danmengatakan bahwa kami tidak menuntut dia untuk memperoleh nilai tinggi dalam matematika. Asalkan dia sudah mengerti sedikit apa yang diterangkan guru, makabagi kami itu sudah baik. Keadaan pun kembali berjalan normal selama satu tahun. Anak itu berhasil naik kekelas IV. Tapi menjelang akhir tahun pelajaran di kelas IV itu, saya dipanggil oleh guru kelasnya. Guru menyampaikan sebuah kabar yang mengejutkan. Ternyata sekolah memutuskan bahwa anak saya (bersama 10 anak lain di kelasnya) memperolehnilai matematika yang sangat jelek, dan karena itu tidak mungkin dinaikkan kekelas V. Guru menganjurkan agar saya mencari sekolah yang lain, dan untuk itu sekolah bersedia mengeluarkan "raport bayangan" yang tetap menaikkan anak saya ke kelas V, dan itu berarti tak perlu harus mengulang kelas.

Pada tahun 1980-an saya adalah orang yang sangat "idealis" dan kaku. Saya tidakpernah bisa menerima cara "tipu-tipu" seperti itu. Bagi saya, kalau anak harustinggal kelas, yah tinggal kelas. Karena itu kepada gurunya saya katakan,"Tidak. Dia tidak perlu pindah ke sekolah lain. Kalau dia memang gagal, biarlahdia mengulang....."Adik saya Ronitua Harahap yang mendengar keputusan itu berkata kepada saya, "Kau kejam. Kau korbankan anakmu demi sebuah sistem pendidikan yang nonsense..." Katasaya kepadanya, "Apa yang nonsense?" Kata dia, "Kalau di sebuah kelas yang hanyaterdiri dari 38 anak, ada 11 anak yang gagal dalam matematika dan harus tinggal kelas, maka saya pikir yang salah bukan si anak, tapi gurunya atau metode pengajarannya...." Saya pikir apa yang dikatakan adik saya itu ada benarnya juga. Tapi keputusan sudah saya ambil, dan susah untuk diubah.

Kemudian semua hal kembali berjalan normal. Anak saya berhasil menamatkan SD,kendati pun dengan nilai matematika yang "pas-pasan". Dan kami pun sudahcenderung lupa bahwa sebenarnya ada yang tidak "kompatibel" antara anak kamidengan sistem pendidikan di sekolah yang katanya elit ini. Oleh karena itu secara tak sadar kami pun memutuskan untuk kembali mendaftar di sebuah SMP yangjuga adalah milik BPK Penabur.

Ketika sedang berdiri-diri di halaman SMP itu, menunggu isteri saya mengurusi pendaftaran, tiba-tiba datanglah sebuah pikiran di kepala saya: "Apakah untuk 3tahun mendatang saya masih juga akan menyiksa anak saya yang tidak terlalu suka dengan matematika ini di sekolah elit yang sangat kompetitif ini?"Saya masuk ke kantor sekolah dan memberi isyarat memanggil isteri saya. "Mana berkas-berkasnya?" tanya saya. "Sudah masuk," kata isteri saya. "Cabut kembali!"kata saya. Isteri saya terbingung-bingung. Lalu dalam perjalanan pulang saya jelaskan apa yang menjadi pemikiran saya itu.

Kami memutuskan untuk memasukkan anak kami di SMP PSKD, sebuah sekolah yangtentu kalah hebat bila dibandingkan dengan BPK Penabur. Tapi setelah anak saya bersekolah di PSKD, kami melihat perubahan yang sangat besar pada dirinya. Diaterlihat lebih rileks, lebih percaya diri dan penuh humor. (Dia punya bakatmeniru-niru gaya dan suara gurunya, dan itu selalu membuat saya tertawa terbahak-bahak). Nilai-nilainya memang tidak istimewa. Tapi bagi saya itu tidak persoalan. Bagi saya yang penting ialah bahwa anak itu sehat secara jasmani dan rohani.

Sejak kecil anak saya berbakat dalam melukis. Lukisan-lukisannya selalu "hidup".Dan ketika di SMP bakat itu semakin terlihat. Dia pandai membuat sketsa wajahorang. (Dan dia paling suka "menjahili" ibunya dengan membuat sketsa lucu ibunya dalam berbagai peristiwa). Saya pikir anak ini akan lebih cocok untuk menjadiseniman, daripada menjadi dokter, insinyur dsb. Ketika masih di SMP ia pernahmengatakan, "Kalau boleh, sih, saya mau jadi fotografer kayak orang di National Geographic itu. Enak sekali kelihatannya. Buka baju sambil mengambil foto dipadang rumput di Afrika..." Dan atas keinginan yang seperti itu tentu saja saya berkata, "Ya, tentu saja. Siapa yang larang...?"

Setelah menyelesaikan pendidkannya di SMA PSKD (bagian sosial budaya) diamengambil sekolah tinggi senirupa. Tadinya dia melamar untuk mengambil jurusan seni rupa ITB. Tapi tak diterima. Akhirnya dia masuk ke Sekolah Tinggi Desain Indonesia (milik gereja Baptis) di Jalan Wastukencana Bandung.Semasa kuliah di Bandung, bakatnya untuk menjadi seniman seni rupa semakinberkembang. Kalau saya berkunjung ke tempat kos-nya, kamar itu selalu penuh dengan berbagai lukisan, buku-buku tentang lukisan dan teknik melukis, dan katalog dari berbagai pameran.Suatu kali secara tak sengaja saya melihat beberapa foto hasil karyanya ditempat tidur. Ternyata dia juga menggemari fotografi. Tapi karena tidak memiliki kamera, dia hanya bisa meminjam milik temannya. Ketika saya menceritakan perkembangan ini kepada isteri saya, tentu saja dia jadi jatuh hati. Diamerelakan tabungannya yang tak seberapa itu untuk dibelikan sebuah kamera yangmerek dan modelnya merupakan pilihan anak itu.

Anak saya menyelesaikan pendidikannya di Bandung selama kurang dari 5 tahun. Kemudian ia kembali ke Jakarta. Mula-mula ia melamar di sebuah perusahaanpenerbitan buku yang memasang iklan di suratkabar untuk mencari seorangfotografer. Tapi ia urung masuk karena merasa tak enak hati. "Boss-nya, yang mewawancarai gue, rupanya kawan Bapak. Katanya, Bapak Lu juga penerbit. Ngapain Lu musti kerja sama gue...."

Akhirnya dia diterima di sebuah studio foto terkenal. Tapi dia tak lama bekerjadi situ. "Darah" senimannya semakin kenal. "Capek gue. Kerja gue memoles-molesfoto orang yang tak tahu apa-apa sehingga jadi kelihatan seperti orang yang tahumain piano, suka membaca buku, sayang sama keluarga......" Dari sana dia pindah menjadi fotografer di sebuah majalah musik. Disamping melakukan tugasnya memotret para artis dan musisi (tugas ini selalu membuat saya deg-degan karena selalu dilakukan pada malam hari di bar dan kafe) maka dia juga terus mengembangkan minatnya dalam fotogarfi. Dia terutama mengembangkan apa yang disebut sebagai "digital art".

Secara perlahan-lahan anak saya membangun karirnya sebagai seniman "digital art". Dia sudah berpameran di beberapa galeri di Jakarta, Bandung dan Jogja. Diajuga sudah diundang menghadiri festival para seniman digital di Portugal. Saya dengar dalam waktu dekat ini dia akan berpameran di Korea Selatan. Namanya pun beberapa kali telah masuk dalam pemberitaan media asing. Beberapa waktu yanglalu dia pulang membawa klipping koran The Guardian-London yang mengulas tentangkaryanya. Dan tentu saja dalam hati saya bangga akan pencapaian itu.Beberapa waktu yang lalu saya mengantarnya untuk mengurusi penjualan fotonya disebuah galeri. Saya terkejut. Ternyata uang yang diperolehnya lumayan besarjuga. Karena itu saya selalu berkata kepadanya, "Jangan boros-boros. Hemat.Kalau memang kau punya uang, simpankan ke Mamak. Dan jangan kuatir, Bapak pastitak akan berani mengutak-ngatiknya...." :-)

Saya selalu "pusing" melihat karyanya. Oleh karena itu sebenarnya saya masih berharap dia juga mengembangkan kemampuan melukisnya. Tapi karena saya sudah ketinggalan jauh dengan dunia yang digelutinya, maka saya hanya bisa memberi saran sambil lalu. Saya sering dimarahinya karena mengatakan, "Sebenarnya apasih maksud foto ini...?"

Itulah sedikit cerita tentang pengalaman saya menyaksikan perjalanan hidup anak saya yang bodoh dalam matematika itu. Perjalanannya tentu masih panjang. Dan selama saya--bapaknya--masih ada di dunia ini maka tentu saja--walau pun diasudah dewasa--saya tak akan bisa lepas dari rasa takut, gembira, bangga, sedihdsb.

Mula Harahap
Fri Jul 23, 2010 9:03

Kamis, 18 November 2010

Catatan- Catatan Penting



Sewaktu sekolah dulu, saya bukanlah anak yang menonjol. Nilai saya pun biasa-biasa saja. Selalu saja ada rasa takut yang menghinggapi saya ketika hari kenaikan kelas.
( Saya akui, bahwa pada kelas 4 SD, saya memang pernah tidak naik kelas).
Saya hanya akan baru serius belajar di mata pelajaran yang saya sukai saja.
Sementara pelajaran-pelajaran yang membosankan seperti hitung-menghitung, pendidikan moral, bahasa, keagamaan dan teori-teori lain membuat saya merasa bosan dan mengantuk.
Demi mengatasi rasa 'negatif' itu, saya selalu 'menghiasi' segala macam buku catatan atau pelajaran dengan gambar-gambar atau tulisan-tulisan yang ide-ide nya melintas begitu saja di kepala ini.
Kebiasaan ini terus berlangsung sampai sekarang. Ketika saya sedang berada dalam posisi 'terdesak' dan menjemukan, selalu saja saya mencari pulpen dan kertas lantas mulai menggambar dan menulis, sekedar membahagiakan hati saya sendiri.

Beberapa hari yang lalu, tanpa sengaja saya menemukan beberapa buku catatan-catatan yang pernah saya gunakan sewaktu masih duduk menuntut ilmu dulu.
Membuka kembali buku-buku tersebut, membuat saya tersenyum-senyum geli sendiri.
Geli melihat kelakuan saya dulu yang bisa dibilang 'menyia-nyiakan' uang orang tua demi memenuhi kewajiban mereka atas pendidikan saya.
Serta geli melihat apa yang pernah saya 'torehkan' di buku-buku itu. Banyak hal yang telah terjadi, baik itu membanggakan atau bahkan lebih sering memalukan.
Selain 'dihiasi' oleh gambar-gambar dan tulisan-tulisan, buku-buku itu pun saya 'hiasi' dengan stiker. Stiker-stiker dengan nasihat-nasihat yang 'penting dan berguna'.
Stiker-stiker ini saya dapatkan dari buku TTS. Adapun niat saya mengumpulkan stiker-stiker ini lebih dikarenakan oleh sampul buku TTS yang memajang foto-foto syur wanita dengan pakaian minim.
Ini adalah sedikit dari sekian banyaknya dokumen-dokumen 'penting' yang masih bisa diketemukan dan diselamatkan.

Ini adalah dokumentasi 'penting' dari sejarah hidup saya.

Selamat menikmati :





agan harahap









day 1

day 2

day 3


Beberapa catatan-catatan :