Rabu, 22 Agustus 2018

Misteri Di Balik Sebuah Foto





Belum lama ini saya berkesempatan untuk berjumpa ke kediaman seorang senior mantan dedengkot punk tanah air yang kini dikenal sebagai salah satu kolektor keris. Ditemui di kediamannya dibilangan Jatinegara, beliau yang meminta agar identitasnya dirahasiakan, bercerita tentang awal pergerakan punk di Indonesia. Menurutnya, penyebaran punk di Indonesia dimulai ketika para mahasiswa Indonesia yang menempuh studi di Inggris dan Amerika pada akhir 70 dan awal 80an membawa sub kultur punk ke tanah air sehingga perlahan-lahan berhasil menularkan ‘gaya hidup’ ini kepada rekan-rekannya. 

Beliau juga menyayangkan tentang stigma negatif yang kerap disematkan pada anak-anak punk. Menurutnya orang hanya melihat tampilan luarnya saja. Ia lalu bercerita tentang pandangan punk yang mencakup kebebasan individu, anti-otoritarianisme, etika DIY, dsb. “Tapi kesemuanya itu tentu kembali pada pribadi lepas pribadi, dik. Tidak sedikit anak-anak punk yang dulu di cap urakan itu sekarang sukses jadi orang”, tambahnya seraya mengeluarkan sebuah album foto lama.

Dengan hati-hati beliau membuka tiap lembaran di album itu. Ia menunjuk beberapa foto kawan-kawannya, sesama pionir punk Indonesia, yang kini sukses menjadi pengusaha, pejabat pemerintah, bahkan tokoh agama. Menurutnya wajar jika teman-temannya tidak lagi mengenakan atribut punk mereka seperti jaman masih muda dulu. Tapi jiwa dan ideologi punk yang mereka pegang teguh sejak muda masih jelas terlihat dalam rekam jejak kehidupan mereka.


Beliau yang sejak tadi aktif bercerita, tiba-tiba terdiam. Matanya memandang lurus pada sebuah foto di album itu. “Kalo sahabat saya yang satu ini sekarang sudah jadi anak metal, dik”. Ujarnya sambil tersenyum penuh arti setelah saya menanyakan siapa orang yang ada di foto itu. 

Obrolan kami meluas ke ranah selebriti, agama, politik sampai kepada pemeran pengganti presiden dalam gelaran Asian Games yang baru lalu itu. "Ah, kalo dia masih muda kayak dulu, mungkin ga perlu pake stuntman.." Gumamnya perlahan sambil menerawang. "Loh, bapak kenal sama presiden?" Tukas saya cepat. Lagi-lagi beliau hanya tersenyum penuh arti. 
Hari menjelang sore dan saya pun mohon pamit karena saya harus mengejar kereta yang akan membawa saya pulang ke Jogja. 

Kereta bergerak perlahan meninggalkan Jakarta. Dari balik jendela, lampu-lampu di sepanjang jalan tampak bagai fragmen-fragmen terpisah yang berkelindan dengan cepat. Lagu 'Rise Above' dari Black Flag mengiringi saya menuliskan kisah ini kepada anda.

Yogyakarta, 22 Agustus 2018

Agan Harahap