-->
Pada era 90-an, olahraga bola basket sempat merasuki
anak-anak muda di Indonesia.
Hampir semua orang mengenakan atribut basket. Sepatu yang
terkenal pada era itu adalah Reebok Pump ( selain Nike Air Jordan, tentunya).
Tak hanya dari segi fashion, demam basket ini pun semakin
menggila dengan munculnya lagu ‘Nombok Dong’ yang dinyanyikan oleh rapper
legendaris Indonesia, Iwa K. Video klip lagu ini berisikan aksi-aksi dunk
(nombok) mutakhir yang diperagakan oleh pemain-pemain top nasional.
Sementara NBA Action yang ditayangkan pada hari Sabtu, sudah menjadi tontonan
wajib yang tak mungkin dilewatkan. Karena tayangan NBA games pada waktu itu
hanya bisa dinikmati melalui antenna parabola, maka Liga Kobatama pun menjadi
sarana pelampiasan kami. Bahkan saya dulu bisa menghafal semua starter-starter
dari seluruh tim yang berlaga di kompetisi basket nasional itu.
Selain itu, brand semacam Upper Deck, Flairs, Finest, Hoops
menjadi primadona. Yak, nama-nama tadi adalah merk kartu basket. Hampir semua
anak-anak pada era itu memiliki kartu basket. Baik itu untuk di koleksi sendiri
atau bahkan untuk diperdagangkan di tempat-tempat tertentu.
Berikut adalah sekelumit ‘kisah percintaan’ saya dan bola
basket yang telah berlangsung selama puluhan tahun sampai sekarang dan tetap
tidak akan luntur sedikitpun sampai nanti akhir menutup mata.
Berpose bersama kostum basket kebanggaan saya. PSKD 3 #14 |
Mengawali Karier
Sebagai Pemungut Bola Dari Got
Kisah ini dimulai tahun 1991 ( 23 tahun yang lalu). Saat itu
saya hanyalah seorang anak bawang di daerah Cempaka Putih Timur. Saban sore saya
selalu menyaksikan anak-anak komplek yang lebih besar bermain bola basket di
lapangan kecil yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah saya.
Selain mengamati jagoan-jagoan itu beraksi, sebagai anak
bawang, tugas saya adalah mengambil bola basket yang tercebur ke got atau masuk
ke pekarangan rumah orang. Maklum saja, lapangan yang saya maksudkan disini tak
lebih dari sebuah ring yang dipasang di pinggir jalan di depan rumah seorang
jawara basket komplek itu.
Setiap hari saya selalu saja dibuat terkesima dengan
gerakan-gerakan mereka yang begitu piawai dalam memasukkan bola ke dalam
keranjang. Karena tidak pernah diberi kesempatan untuk mencoba dan bermain,
maka saya memutuskan untuk membeli bola basket saya sendiri. Bola basket
pertama yang saya miliki itu bermerk Mikasa. Bola seharga 20 ribu rupiah itu
saya beli di toko olahraga di Pasar Cempaka Putih. Akhirnya, saya pun bisa
mencoba bermain di lapangan itu. Sepulang sekolah (pk. 1-2 siang), saya
langsung mengganti seragam dan bermain basket di lapangan itu seorang diri. Dan
pada sore harinya, saya kembali ‘dinas’ dengan
menyaksikan senior-senior itu bermain sambil meniru berbagai gaya
mereka. Saat itu saya masih duduk di kelas 5 SD. Dan SD BPK Penabur 3, sekolah
saya pada waktu itu, tidak ada pengenalan tentang basket sedikitpun dalam
kurikulum mata pelajaran olahraga. Kegiatan sebagai pemungut bola di got itu
tetap saya jalani dengan sukacita sampai saya tamat SD.
Karena mungkin memang otak saya yang kurang sesuai untuk
belajar di SDK Penabur, maka orang tua saya memutuskan untuk menyekolahkan saya
ke sekolah yang jauh lebih ‘toleran’. Sekolah itu bernama SMP 1 PSKD.
Saya yang datang dari SD yang bergengsi, wajar saja bila
sedikit shock karena kelakuan kawan-kawan sekolah yang sungguh berbeda dari apa
yang selama ini saya alami. Tawuran, narkotika bahkan seks (kecuali tawuran,
semuanya masih dalam kadar yang bisa ditolerir) rasanya sudah menjadi hal yang
lumrah ditempat itu. Sejujurnya dalam beberapa hari pertama, saya cukup merasa
tertekan dan sempat memohon kepada orang tua saya agar saya dipindahkan dari
sekolah itu guna menyusul kawan-kawan intelektual saya ke SMP Penabur.
Tapi keinginan itu berubah seketika setelah hari pertama
pelajaran olahraga. Yak, hari pertama pelajaran olahraga diisi dengan bermain
basket 2 jam penuh. Kebetulan juga sekolah kami mempunyai lapangan yang lebih
layak daripada lapangan yang selama ini saya pakai untuk berlatih di rumah.
Saya masih ingat, pada tahun ajaran pertama di SMP itu,
setelah bel istirahat berbunyi, maka saya bersama Ronald Tampubolon, Joey
Basiha, Rubein Novelino dan beberapa kawan lain segera bergegas ke kantin untuk
memesan makanan dan langsung duduk mengambil tempat yang terbaik di sisi
lapangan guna menyaksikan senior-senior itu bermain basket.
Yang membuat saya cukup bangga adalah, bahwa sekolah itu
mempunyai tim basket yang cukup disegani di kejuaraan-kejuaraan SMP pada jaman
itu. Senior-senior anggota tim basket sekolah menjelma menjadi
selebrit-selebriti kecil. Hampir semuanya memiliki pacar yang cantik. Sehingga
saya yang bertampang pas-pasan ini pun diam-diam menyimpan ambisi besar, supaya kelak
saya bisa bergabung dalam jejeran orang-orang terpandang itu. Dan sebagai
langkah awal, saya pun segera mendaftar dalam kegiatan ekstrakurikuler bola
basket. Lantaran bola basket, saya tidak pernah lagi berlatih sendiri
siang-siang di lapangan komplek. Sepulang sekolah, saya langsung bermain basket
dan baru pulang ke rumah menjelang sore hari. Otomatis, karier saya sebagai
pemungut bola yang tercebur di got
selesai!
Setiap sehabis ujian catur wulan, sekolah kami selalu
mengadakan pertandingan olahraga antar kelas. Dan tentu saja, pertandingan
basket 3 on 3 menjadi ajang yang selalu disesaki penonton. Terutama
wanita-wanita cantik yang ada di sekolah itu. Saya bersama kawan-kawan kelas
1A, sukses mengantarkan kelas kami maju sampai ke babak perempat final. Sebuah
prestasi yang cukup membanggakan karena kelas kami adalah satu-satunya kelas 1
yang bisa menembus babak itu dengan mengalahkan kakak kelas. Seluruh siswa
kelas 1 tak putus bersorak-sorai menyemangati kami ketika bertanding. Walau
akhirnya perjuangan kami terhenti oleh 3 orang jagoan sekolah, namun hari itu
adalah hari pertama saya merasa bangga akan prestasi basket saya.
Saya melewati tahun pertama di SMP itu dengan gilang
gemilang. Selain masuk ranking 10 besar, saya pun sukses dalam olahraga bola
basket. Memasuki kelas 2, saya pun akhirnya dipanggil untuk masuk dalam jejeran
tim bola basket SMP kami. Walaupun saya tidak bermain di dalam pertandingan,
tapi saya cukup bangga bisa berlatih bersama ‘para selebriti’ di sekolah itu.
Selain bermain di rumah dan di sekolah, saya pun kerap
bermain di lapangan Don Bosco di daerah Sunter. Ronald Tampubolon, sahabat saya
dari SMP ini lah yang pertama mengajak saya bermain di lapangan itu.
Itu adalah kali pertama saya untuk bermain di lapangan besar
(ukuran sebenarnya). Di lapangan Don Bosco itu pulalah saya berkenalan dengan
kawan-kawan baru.
Setiap hari, rasa cinta saya terhadap bola basket semakin
besar. Dan hampir tidak ada hari tanpa bola basket. Baik itu panas atau hujan,
saya selalu menyempatkan diri untuk berlatih. Baik itu latihan dilapangan
maupun latihan fisik. Latihan fisik yang saya lakukan di rumah rupa-rupanya
cukup membuat pusing kedua orang tua saya karena plafon atau langit-langit
rumah penuh dengan bekas jari-jari saya. Yak, setiap hari saya selalu melatih
lompatan saya dengan menyentuh plafon rumah saya. Bila hari hujan dan tidak ada
waktu yang tepat untuk bermain di lapangan, saya pun melatih assit dan
dribbling di garasi. Alhasil, seluruh tembok garasi penuh dengan bekas pantulan
bola basket yang membuat ayah saya geleng-geleng akibat kelakuan anaknya ini.
Sepatu Basket
Seiring waktu berjalan, posisi sebagai anak bawang di komplek
rumah pun sudah saya tinggalkan. Selain beberapa kawan komplek yang sudah masuk
dunia kuliah, saya pun sekarang punya beberapa ‘petugas’ yang selalu memungut
bola saya yang masuk ke got. Ya, saya sudah menjadi senior di komplek itu. Saya
sukses meladeni pemanin-pemain dari komplek lain yang sengaja datang menantang
kami. Begitupun sebaliknya.
O iya, asal tahu saja, bahwa permainan basket di komplek
kami tidak menggunakan sepatu. Hanya menggunakan sandal jepit merk swallow atau
bahkan dengan kaki telanjang. Maka dari itu, permainan bisa terhenti apabila
ada kaki yang berdarah atau bahkan kuku yang copot karena tergesek aspal. Dan
lirik lagu Nombok Dong dari Iwa K itu pun kami pelesetkan menjadi “hidup di
lapangan, dengan darah
bercucuran..dst dst..”
Sepatu seperti ini lah yang menjadi sepatu basket pertama saya |
Saya dibesarkan dalam keluarga yang sederhana. Pada era itu,
sepatu basket merupakan barang bergengsi. Seseorang akan terlihat ‘wah’ bila ia
mengenakan sepatu Air Jordan, LA Gear-nya Hakeem Olajuwon, Reebok O’neal atau
Adidas Kobe Bryant. Tak heran harganya pun selangit sehingga saya tidak sampai
hati untuk merengek kepada orang tua saya dan untuk dibelikan sepatu
basket. Waktu itu saya hanya punya satu
sepatu terkadang merk Spotec atau lebih sering mengenakan Eagle. Baik itu untuk
sehari-hari bersekolah dan bermain basket.
Untuk sekedar bermain dan bertanding, saya kerap meminjam
sepatu milik kawan saya. Rupa-rupanya, ayah saya diam-diam menaruh simpati
terhadap anaknya yang kerap meminjam sepatu basket ketika bermain. Pada suatu
hari yang berbahagia, tanpa disangka-sangka ayah mengajak saya ke Mall Kelapa
Gading. Dan beliau mempersilakan saya untuk memilih sepatu basket. Dengan
menimbang berbagai kemungkinan dan prihatin akan faktor ekonomi keluarga, maka
pilihan saya jatuh pada sepatu basket merk nike berwarna hitam karena bisa
sekaligus dipakai untuk bersekolah sehari-hari. Harga sepatu itu cukup mahal,
250 ribu rupiah. Sebuah nominal yang cukup fantastis pada era itu. Namun harga
sepatu itu masih jauh lebih murah dibanding sepatu-sepatu lain yang kerap digunakan
oleh pemain-pemain NBA.
Tidak ada yang special dengan sepatu basket pertama saya
itu. Bentuknya sederhana, tidak ada desain yang aneh-aneh bahkan lampu yang
menyala-nyala. Selang beberapa waktu kemudian, saya mendapat ‘kabar baik’ dari
seorang sahabat saya. Rupa-rupanya ,Anfernee ‘Penny’ Hardaway (tandem Shaquille
O’Neal dari Orlando Magic) juga mengenakan sepatu yang sama dengan yang saya
pakai. Dan semenjak hari itu ,saya bangga mengenakan sepatu itu.
Sepatu Adidas Kobe Bryant |
Sepatu basket lainnya yang cukup mempunyai kenangan adalah
sepatu merk Adidas edisi Kobe Bryant. Sebagai penggemar basket dari kalangan
menengah ke bawah, untuk menggali info seputar NBA, saya pun berlangganan
tabloid Bola. Memang tidak banyak informasi yang saya dapatkan disana, tapi
setidaknya ulasan-ulasan Eko Widodo, Reinhard Tawas, Ary Sudarsono atau bahkan
Helmy Yahya cukup memberi informasi yang saya butuhkan.
Dari tabloid itu pula lah saya mendapatkan informasi tentang
adanya bazaar barang-barang olahraga bekas atlet. Saya bersama beberapa kawan
pergi menuju kantor Kompas-Gramedia di Pal Merah guna mengais rejeki. Siapa
tahu ada barang memorabilia basket bekas yang bisa kami miliki disana. Siang
itu rupanya bintang keberuntungan saya sedang bersinar. Dan saya pun sukses
membawa pulang sepatu Adidas Kobe dengan harga yang sangat murah. Dan menurut
tulisan yang tertera disana, sepatu yang saya beli itu bekas digunakan oleh Ali
Budimansyah. Seorang pemain basket professional Tanah air. Sepatu itu terus
saya gunakan sampai solnya lepas. Walaupun sepatu itu sudah pesiun, namun
sepatu itu tetap saya simpan dan saya bawa sampai kuliah di Bandung.
Pertemanan, Kacamata
Dan Kartu Basket
Saya juga mempunyai sahabat yang bernama Yohanes Basiha Siagian atau akrab dipanggil dengan nama Joey.
Joey merupakan
perpaduan yang unik antara ayah Batak dan ibu dari Amerika. Sedikit berbeda
dari kawan-kawan yang lain, Joey memiliki ‘akses’ yang lebih terhadap dunia
basket karena memang dia berasal dari keluarga yang berkecukupan. Saya bersama
Parulian Sitanggang, kawan kami yang lain, kerap bermain bahkan sampai menginap di
rumahnya di Jalan Lamandau Blok M. Sebuah jarak yang cukup jauh dari Cempaka
Putih mengingat usia saya yang masih belia pada saat itu.
Selain bisa bermain basket sepuasnya, karena Joey memang
memiliki lapangan basket pribadi di belakang rumahnya, saya pun kerap membaca berbagai
majalah basket terbitan luar negeri seperti majalah SLAM, Sports Illustrated,
Becket dsb.
Basketball Google yang masih saya simpan sampai hari ini |
Kartu-kartu basket yang masih tersimpan rapih dalam album khusus |
Pada saat itu penggunaan google (kacamata minus yang
didesain khusus untuk basket) menjadi cita-cita yang mustahil yang hanya bisa
diimpikan oleh saya yang berkacamata minus ini. Karena ‘akses lebih’ dari Joey
Basiha inilah, saya bisa tampil bak
James Worthy, Horace Grant atau Kareem Abdul Jabar dengan menggunakan
kacamata khusus basket ini.
Selain itu, Joey juga sukses meracuni saya dengan hobi baru.
Yakni, mengumpulkan kartu basket. Setelah berkenalan dengan kartu basket, maka
trayek saya menjadi lebih jauh lagi. Selain ke Senen (sekolah kami) dan ke jalan
Lamandau, saya kerap pergi ke Mall Citra Land untuk membeli kartu basket.
Kartu-kartu basket itu saya dapatkan dari menyisihkan uang
jajan dan transport saya. Sehingga, setiap hari sabtu, sepulang sekolah saya
pasti berburu sebungkus kartu basket. Merk-merk seperti Upper Deck, Flairs,
Tops, Finest, Hoops dsb pun jadi akrab
bagi saya. Pada waktu itu, memiliki kartu basket dengan gambar pemain basket
terkenal bisa menghasilkan pendapatan tersendiri. Saya kerap beberapa kali
menjual koleksi kartu-kartu saya dengan beberapa kawan. Dan uang hasil
penjualan kartu itu saya tabung supaya bisa membeli kartu yang lain lagi. Jumlah
koleksi kartu basket yang saya miliki mencapai jumlah ratusan. Dan seiring
berjalannya waktu saya pun kerap menyortir kartu-kartu tersebut sehingga
lambat-laun jumlahnya berkurang. Sampai hari ini, saya masih menyimpan satu
album yang penuh berisi dengan kartu-kartu bergambar pemain NBA idola saya.
Pembicaraan saya dan Joey hampir tidak pernah lepas dari
dunia basket. Bahkan kami sempat berangan-angan memiliki sekolah dengan system
draft pick seperti di Amerika yang bisa memuluskan pemainnya sampai ke liga
NBA. Namun hayalan tinggalah hayalan. Saya kini banting stir menjadi seorang
seniman. Sebuah profesi yang kontras dari dunia olahraga. Sementara Joey Basiha
menempuh jalan yang sangat jauh berbeda dengan saya. Beliau kini sukses menjadi
kepala sekolah yang menyediakan pendidikan gratis bagi siswa-siswi di seluruh
Indonesia yang berprestasi dalam bidang basket.
Cita-Cita Saya Pada Waktu Itu:
Tampil Di Liga Kobatama
Menurut orang tua saya, sekolah ini merupakan SMA yang
terbaik dari SMA-SMA PSKD lainnya. Maka saya pun melanjutkan jenjang pendidikan
saya disana. Beberapa kawan seperti Rubein, Joey, Cyrus, Meiske dan beberapa
kakak-kakak dari SMP 1 PSKD pun bersekolah di sekolah ini sehingga saya tidak
begitu merasa asing dengan suasana baru di bangku SMA.
Beberapa kawan yang setiap hari bermain basket di lapangan
Don Bosco Sunter pun menjadi pemain inti sekolah kami. Oleh sebab itu, karier
basket saya di sekolah ini bisa dikata cukup cemerlang. Karena kemampuan saya
sudah diketahui oleh beberapa senior, maka saya langsung ditarik sebagai pemain
inti sekolah kami. Sebuah posisi yang cukup membanggakan bagi seorang siswa
kelas 1 seperti saya.
Waktu itu ada seorang siswa kelas 2 yang berbadan besar,
bertampang seram, berkulit hitam dan konon katanya, dia tidak beragama. Orang
itu bernama Erwin Manik. Sebagai siswa kelas 2, dia sama sekali tidak
menunjukkan ketakutannya pada guru. Apalagi senior-seniornya kelas 3. Terkadang
bahkan ia berlaku seolah-olah sebagai yang empunya sekolah. Bagi kami, siswa
baru di sekolah itu, Erwin menjadi sosok yang cukup ditakuti. Namun tak hanya dikenal akan keberingasannya
di sekolah, Erwin merupakan siswa yang paling jago dalam bermain basket. Erwin
pun mempunyai kawan-kawan yang bernama Petrus Panjaitan dan Julifin Sianturi.
Sosok dan kelakuan mereka sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Erwin. Namun
karena saya sudah terlebih dahulu kenal dengan mereka di lapangan Don Bosco,
maka saya pun merasa sedikit ‘aman’ dari kedigdayaan begundal- begundal sekolah
ini dengan kawan-kawannya. Tapi terkadang saya pun tidak luput dari ulahnya.
Beberapa kali dia meneriakkan nama saya dari lapangan untuk sekedar bermain
basket satu lawan satu. Saya yang sedang makan di kantin atau sedang
bercengkrama dengan kawan-kawan, terpaksa harus turun dan meladeni tatangannya. Dalam setiap kompetisi antar SMA, Erwin Manik selalu tampil
dengan totalitas penuh. Tak hanya dalam
mencetak skor, Erwin bahkan kerap beradu jotos dengan pemain lawan yang tidak
bisa menerima kelakuan Erwin acap kali bermain kotor atau memaki-maki dalam
bahasa Batak.
Tim basket sekolah kami tidak pernah punya pelatih basket.
Semua anggota tim berlatih sendiri secara otodidak baik itu di sekolah maupun
di lingkungannya masing-masing. Pada kelas 2, beberapa kawan mengambil
inisiatif untuk mendatangkan seorang pelatih basket guna membidani tim kami.
Pelatih kami bernama : Opung Radja Simanungkalit. Pada saat itu, Opung
merupakan pemain basket senior di liga Kobatama dan beliau adalah salah satu
playmaker di club ASPAC. Klub nomor 1 di liga itu. Opung tidak lama melatih
kami. Karena memang sekolah kami tidak mengalokasikan dana untuk membayar
pelatih. Tapi dengan hadirnya Opung, saya dan kawan-kawan bisa menyaksikan Liga
Kobatama secara gratis.
Selain tergabung dengan tim basket SMA, saya juga tergabung
dengan beberapa tim lain di luar sekolah. Saya bermain untuk 2 tim gereja. GKI
Kwitang dan HKBP Soeprapto. Selain itu saya juga cukup sering bermain sebagai pemain cabutan
dari beberapa tim lain yang membutuhkan tenaga saya. Asal transportasi dan
konsumsi tercukupi, saya pasti akan mencurahkan segenap kemampuan saya demi
kemenangan tim tersebut.
Pada tahun 1998, saya sempat bergabung dengan tim Pelita
Jaya Junior. Kiprah saya di club itu terhenti karena pecah kerusuhan Mei 98.
Yang berujung pada keluarnya ‘fatwa’ dari orang tua saya untuk pergi ke daerah
Senayan.
Tahun-tahun berganti. dan kami sudah menjelma menjadi pemain utama di tim sekolah. Namun tim basket kami sudah tidak sekuat dulu lagi. Bersama sahabat-sahabat saya seperti Rubein Novelino, Ronald Menrofa dan Jemmy Syukur, kami juga kerap mengikuti berbagai pertandingan basket yang
pada masa itu menjadi trend di kalangan anak sebaya saya.
Adidas Street Ball
di Sarinah, menjadi awal kecanduan saya dalam mengikuti berbagai pertandingan. Rasanya
hampir tidak ada pertandingan basket 3 on 3 yang tidak saya ikuti. Dan asal tau
saja, nama tim saya sejak dulu adalah ‘Tequilla’ hehehe. Nama yang cukup seksi
dan 'akrab' dengan keseharian saya saat ini.
Walaupun jarang menang, namun akses saya dalam dunia basket, perlahan semakin terbuka. Dari pertandingan-pertandingan itulah saya
mulai mengenal nama-nama ‘bintang’ basket seperti Nyong, Agus Sigar, Teguh, Batam,
Andre Tamara, Dimas ‘Mbot, Marcel, dan lain-lain.
Pada masa itu itu, hampir dalam tiap pertandingan 3on3
selalu ada ‘calo’ yang memasangkan berbagai pemain yang dianggap layak untuk
digabungkan dalam satu tim. Biasanya tim bayaran ini memakai nama Borobudur.
Dan dalam tiap pertandingan selalu saja ada tim yang benama Borobudur 1, Borobudur
2,3,4 dst. Saya pun pernah ditarik menjadi pemain Borobudur ini namun kalah
ketika berhadapan dengan tim Borobudur lainnya. Rata-rata eks pemain Borobudur
itu kini berkiprah di liga mahaiswa atau bahkan Kobatama (kini IBL).
Dulu, selain kompetisi 3on3 marak digelar, ada pula
pertandingan 1on1. Karena saya memiliki postur yang cukup tinggi, maka saya pun
kerap menjuarai beberapa pertandingan satu lawan satu ini.
Kecintaan saya terhadap bola basket pun semakin
menjadi-jadi. Namun kali ini, urusan fashion dan kartu basket tidak lagi
menjadi prioritas saya. Saya lebih berfokus untuk meningkatkan permainan agar
kelak bisa mendapatkan beasiswa dari salah satu universitas dan setelah itu
bisa bermain di liga mahasiswa dan akhirnya bisa bermain dan bekerja sebagai
pemain basket professional di Liga Kobatama.
Antara Senirupa Dan Bola Basket
Memasuki tahun akhir saya di SMA, karier saya semakin
cemerlang. Beberapa tawaran dari kampus-kampus pun berdatangan. Singkat kata,
masa depan saya di dunia basket terasa dekat di depan mata. Tapi entah kenapa
semua universitas yang menawarkan diri untuk merekrut saya dalam tim basketnya
semuanya universitas ekonomi dan manajemen. Sementara saya sama sekali tidak
pernah menaruh minat sedikitpun terhadap bidang-bidang tersebut.
Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, akhirnya saya
menyerahkan keputusan ke tangan ayah saya. Beliau berpendapat bahwa dunia
olahraga bukan lah bidang yang sesuai untuk masa depan saya. Ditambah lagi saya
sama sekali tidak memiliki mentalitas seorang atlet yang disiplin dan taat akan
peraturan.
Akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan saya
di bidang seni rupa yang notabene sangat bertolak belakang dengan dunia
olahraga, khususnya bola basket. Karena letak kampus yang berada di Kota Kembang,
maka secara otomatis, kegiatan bermain basket semakin jarang karena selain
mulai disibukkan dengan tugas-tugas kuliah yang terkadang menyita waktu sampai
larut malam, jumlah lapangan di kota itu juga terbatas. Tidak sebanyak di Jakarta. Daya fisik saya juga
perlahan-lahan menurun karena kebiasaan merokok dan begadang. Pernah suatu kali
saya mendaftar di Club basket bernama Laconix , yang terletak di GOR
Padjajaran. Sekedar mencoba untuk sekiranya masih bisa mengukir prestasi di
basket. Tapi rupa-rupanya keadaan sudah tidak sama seperti masa SMA. Setiap
selesai latihan, saya kerap tidak enak badan karena terlalu kelelahan. Tak
sadar akan kondisi fisik yang sudah tak mumpuni, ‘side job’ sebagai pemain
cabutan pun beberpa kali tetap saya lakukan. Walau di tiap pertandingan nafas selalu tersenggal-senggal, namun lumayan lah untuk sekedar menghemat
uang makan siang.
Tapi tidak bisa dipungkiri, kehidupan baru di dunia
perkuliahan lebih menggoda saya untuk terlibat dan larut di bidang kesenian
sehingga karier basket saya pun perlahan-lahan meredup dan akhirnya selesai.
Saat ini saya tinggal di Jogjakarta bersama anak dan istri saya. Jauh dari hiruk pikuk dan gegap gempita basket. Anak-anak tetangga saya sudah tidak ada lagi yang bermain basket. Semua sibuk dengan futsal, sepakbola dan sebagainya. Entahlah. Mungkin dari tiap beberapa generasi punya euforia-nya sendiri. Tapi bagaimanapun sibuknya saya sehingga tidak ada waktu
untuk sekedar bermain basket, namun kecintaan saya terhadap bola basket tidak
pernah padam. Sampai saat ini saya masih menyempatkan diri untuk membuka
youtube dan kembali terpukau oleh aksi-aksi para pemain NBA yang sudah tidak
saya kenali lagi sambil mengenang berbagai kisah cinta saya terhadap bola
basket yang pernah saya jalani dulu.
" Tinggi semakin makin tinggi kau melompat. Cepat semakin makin cepat kau melesat.
Masukkan bola sekarang ke dalam keranjang.. Dong nombok dong nombok dong.. "
Masukkan bola sekarang ke dalam keranjang.. Dong nombok dong nombok dong.. "
Dalam sebuah sesi latihan semasa SMA |