Rabu, 14 Januari 2015

Membaca Orisinalitas Fotografi Dengan Hati



Suasana dari pagi ke siang ini cukup dihebohkan dengan berita beredarnya foto mesra orang yang diduga mirip dengan Abraham Samad (Ketua KPK) dengan Elvira Devinamira (Putri Indonesia 2014). Berita ini semakin gencar karena disinyalir adanya intrik politik untuk menjatuhkan kredibilitas Abraham Samad sebagai ketua KPK. 

Sebagian kawan-kawan di media sosial bersikukuh bahwa foto mesra tersebut adalah palsu, sementara sebagian lagi kawan-kawan bersikeras bahwa foto itu adalah asli, sehingga terjadi pro dan kontra di masyarakat terkait dengan keorisinalitasan foto tersebut. Sebagai orang seniman yang menggantungkan hidup dari fotografi dan perkembangan teknologinya, saya pun merasa terpancing untuk meneliti keorisinalan foto itu. Apakah foto itu adalah rekayasa atau tidak. 
Setelah menelaah berkali-kali, jujur saja, saya tidak bisa menemukan tindakan manipulasi yang dilakukan terhadap foto-foto tersebut. Bahwa media menyebutkan, ada seorang pakar photoshop yang mengatakan bahwa foto tersebut discan menggunakan scanner merk Canon dan terakhir diedit photoshop jam 3 dini hari tadi, itu bisa saja. Karena memang sebuah foto bisa dibaca data riwayatnya secara digital. Tapi apakah dengan data itu kita bisa langsung memastikan bahwa foto-foto itu melalui proses manipulasi atau tidak, entahlah. Saya tidak begitu yakin. Mungkin sang manipulator itu terlalu hebat, atau (bisa saja) saya yang terlalu bodoh. Sehingga saya sampai pada suatu kesimpulan, bahwa foto orang yang diduga Abraham Samad dan Elvira adalah bukan rekayasa.

Tapi tentu saja,  manipulasi fotografi tidak hanya sebatas urusan edit mengedit  di photoshop. Banyak faktor-faktor atau elemen-elemen lain dalam memanipulasi/ merekayasa sebuah foto. Bisa saja itu adalah orang yang kebetulan mirip dengan Abraham Samad atau Elvira, lalu dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk memperkeruh masalah dengan mendiskreditkan lembaga negara.

Keluar dari berbagai intrik politik dan masalah asli atau palsunya foto mesra tersebut, timbul pertanyaan-pertanyaan di benak saya terkait dalam menyikapi foto ini dari sisi humanis yang tentu saja tidak bisa dinilai secara teknis dan data digital. 

Kalaulah foto Abraham Samad dan Elvira Devinamira itu ternyata foto asli, lalu kenapa memangnya?
Kalaulah foto Abraham Samad dan Elvira Devinamira itu ternyata foto rekayasa, lalu kenapa juga memangnya?

Apa pentingnya kita, sampai hari ini masih sibuk meributkan foto orang yang sedang bermesraan?

Bahwa jelas, kita pasti akan memilih seorang yang berakhlak mulia dan taat beragama dalam menduduki posisi-posisi penting di pemerintahan, tapi bukankah sudah banyak tokoh-tokoh baik budi dan pakar agama beristeri banyak yang terbukti mencuri uang dan menyalahgunakan kepercayaan rakyat? Kenapa kita hari ini masih mementingkan moral dan akhlak seseorang ketimbang kinerjanya? Apakah kita merasa bahwa moral dan akhlak kita sudah sebegitu sempurnanya, sehingga kita bisa-bisanya langsung menghakimi orang lain yang 'berada di luar jalur' ?


Besar harapan saya bahwa kita bisa menyikapi fotografi (dan perkembangan teknologinya) tidak melulu dari soal teknis belaka, tapi dari berbagai sisi humanis serta pertimbangan logisnya demi terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa . 



Agan Harahap

* Seniman fotografi tinggal dan menetap di Yogyakarta 



Oiya, nganu..  : 

Yang sabar yaa masnya.. Badai pasti akan berlalu.. *Pijet dulu ah biar gak tegang.


Senin, 12 Januari 2015

Sebuah Cerita Dari India


Seorang kawan datang ke rumah bercerita panjang lebar mengenai lawatan singkatnya ke negeri India. Mulai dari ketibaannya di bandara, pengalamannya terlibat cinta lokasi dengan salah seorang figuran film action, sampai turut serta menjadi alay-alay di sebuah tayangan musik 'Dahsyat alla India'. Menjelang tengah malam, kawan tersebut berpamitan dan menyerahkan beberapa buah tangan yang dibawa dari negeri Mahabaratha itu.
Kawan saya ini memang cukup unik. Selain memang memiliki paras yang 'khas', perilakunya juga sungguh tidak terduga. Tidak heran jika begitu banyak wanita yang tergila-gila kepadanya. Selain memberikan saya miras dan beberapa obat gosok khas India untuk isteri saya, Itta, tanpa disangka-sangka kawan saya yang unik itu memberikan susu formula untuk putri saya, Merdu.
Entah bagaimana pula mengucapkan merk susu formula itu, karena merk susu formula itu dituliskan dengan aksara India yang tidak bisa dimengerti. Awalnya saya enggan menerima susu tersebut, karena memang saya tidak begitu yakin akan kemasan dan khasiatnya bagi anak saya. 
Namun setelah kawan saya menceritakan bagaimana susu formula inilah yang menjadi salah satu pemicu pertumbuhan teknologi di India, maka saya pun percaya dan dengan berat hati menerima pemberiannya itu. 

Susu cap Ganesha yang dipercaya menjadi salah satu penyebab revolusi teknologi di India.


Sampai suatu hari, ketika susu Nutrilon yang biasa dikonsumsi oleh anak kami, habis. Dan untuk membeli susu baru terasa agak sulit, karena maklum saja, sebagai keluarga yang sepenuhnya menggantungkan nasib pada dunia seni terkadang membuat kami hidup dalam ketidakpastian. Setelah menimbang, berdiskusi secara alot dengan isteri saya, akhirnya kami memutuskan untuk mencoba memberikan sedikit susu formula dari India tersebut kepada anak kami, sebagai pengganti sementara, sampai kami punya uang cukup untuk membeli susu Nutrilon andalannya itu. 

Susu itu cukup unik, dengan lambang serupa dengan logo ITB (Ganesha) yang sedang duduk di atas bunga teratai. Maka saya dan isteripun berkesimpulan bahwa memang susu formula ini ditujukan untuk perkembangan otak anak 6-18 bulan. Dan tentu saja, sebagai orang yang gagal diterima masuk FSRD ITB, maka besar harapan kami supaya Merdu dapat mewarisi kecerdasan Ganesha agar kelak dapat meneruskan cita-cita ayah dan ibunya untuk dapat masuk kampus yang ternama itu.

Di luar dugaan, Merdu yang biasanya agak sulit meminum susu formula, ternyata dengan lahap menghabiskan susu India tersebut sampai tetes penghabisan. Karena anak kami tidak menunjukkan gejala-gejala aneh yang mengkhawatirkan, maka kamipun dengan sukacita memberikannya susu formula cap Ganesha tersebut sambil tak lupa mengiringinya dengan lantunan doa-doa agar kelak Merdu dapat tumbuh cerdas, sehat dan kuat serta bisa unggul di tengah kancah persaingan global yang semakin lama semakin edan ini.
Singkat kata, setiap kali bangun tidur, sehabis makan siang dan menjelang tidur malampun selalu diawali dengan susu India. Paceklik perekonomian yang tak putus menerpa kami pun serasa tak berarti apa-apa ketika melihat Merdu semakin hari semakin menunjukkan perkembangan ke arah progres.

Sebagai pasangan yang cukup disibukkan dengan kegiatan-kegiatan di luar rumah pada siang hari, maka kami terpaksa harus mempercayakan pengurusan Merdu kepada Ibu Tujilah, pembantu yang merangkap babysitter untuk Merdu. Mendekati minggu kedua setelah mengkonsumsi susu cap Gajah tersebut, bu Tujilah menangkap keanehan yang terjadi pada tubuh anak kami. Selain memang Merdu jadi bertambah kuat, lincah dan mulai bisa berkata-kata, pada bagian ketiak anak kami ternyata ditumbuhi bulu-bulu halus. Pada awalnya kami santai saja dan tidak curiga dengan gejolak hormonal yang terjadi di tubuh Merdu. Namun setelah semakin hari bulu-bulu di bawah ketiaknya semakin tebal, maka kamipun panik dan segera membawa anak kami untuk berkonsultasi dengan dokter yang merupakan sahabat lama kami, yang baru kami ketahui, ternyata masih merupakan keturunan India.

Bulu-bulu di bawah ketiak yang semakin hari semakin tebal.

Alih-alih menganjurkan agar memeriksakan anak kami ke rumah sakit atau laboratorium terdekat, dokter itu hanya menyarankan supaya kami tidak lagi memberikan susu formula dari India itu untuk dikonsumsi oleh Merdu sambil tak lupa memberi salep racikan khusus untuk meredam pertumbuhan bulu ketiak anak kami. Dokter itu mengatakan bahwa susu formula itu memang sudah sangat terkenal di India. Susu tersebut mengandung suatu zat khusus yang berguna untuk mempercepat perkembangan otak dan fisik anak. Dan bulu ketiak yang tumbuh itu disebabkan karena kandungan nutrisi pada ASI (Air Susu Ibu) yang tidak sama dengan ASI yang biasa dikonsumsi oleh bayi-bayi di India. Bahwa memang ada suatu hormon yang bisa berkembang dengan pesat apabila tidak diikuti dengan zat-zat yang terkandung dalam masakan kari. Selain itu, faktor penggunaan AC yang terlalu dingin juga menjadi pemicu gejolak hormonal yang menyebabkan bulu-bulu di bawah ketiak Merdu jadi tumbuh subur (maklum saja, cuaca Jogja yang panas memaksa kami untuk menyetel AC pada suhu terendah).

Walau agak curiga dan khawatir, dengan berat hati kami turuti juga saran dari dokter itu sambil tak lupa mengoleskan salep pemberiannya di bawah ketiak Merdu setiap sehabis mandi sambil memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa agar Merdu dijauhkan dari segala sakit penyakit. Puji Tuhan, hanya dalam waktu beberapa hari setelah mengoleskan salep itu, bulu-bulu di bawah ketiak Merdu rontok dengan sendirinya dan tidak tumbuh lagi.

Saat ini, Merdu sudah memasuki usia 9 bulan. Dia makin bertambah lincah dan kuat dan sudah mulai melangkahkan kaki sedikit-demi sedikit. Walau bila dibandingkan dengan bayi-bayi lain seusianya Merdu memang agak terlihat bongsor, namun kami sebagai orang tuanya, merasa lega dan bersyukur karena Merdu sama sekali tidak menunjukkan gejala-gejala aneh lagi akibat pemberian susu formula India itu.

Merdu mulai berlatih berjalan di usianya yang menginjak 6 bulan
Merdu saat berusia 8 bulan sudah tidak muat lagi duduk di kursi bumbo-nya.
Memasuki usia 10 bulan. Merdu sedang terlelap ditemani isteri saya, Itta, yang terlihat kelelahan sehabis menggendongnya.




Maafkan kedua orang tuamu 
kalau tak mampu beli susu.
BBM naik tinggi, susu tak terbeli
Orang pintar tarik subsidi
Mungkin bayi kurang gizi.

Cepatlah besar bidadari ku. 
Menangis yang keras janganlah ragu.
Tinjulah congkaknya dunia, buah hati ku
doa kami di nadi mu.