Senin, 04 Januari 2010

Natal

Sore itu hujan gerimis turun membasahi Jakarta . Sebetulnya saya diminta tolong oleh seorang kawan untuk memotret perayaan Natal di gerejanya. Udara yang dingin membuat penyakit malas saya kambuh. Berat rasanya beranjak dari tempat tidur saya yang apek dan nyaman itu, untuk berangkat menembus hujan gerimis menuju gereja yang letaknya agak jauh di pinggiran Jakarta .
Namun, karena saya sudah berjanji dengan 'kawan-kawan seperjuangan' untuk pergi minum bir sepulangnya dari kebaktian nanti, maka dengan berat hati saya paksakan juga untuk berangkat ke gereja itu.
Sesampainya di sana , saya tidak langsung masuk. Saya menyempatkan diri dulu untuk merokok di warung. Di dekat warung, tampak beberapa angkot dan metromini yang diparkir di bahu jalan yang becek dan sedikit berlumpur.
" Bah, dasar! Hanya di malam Natal saja mereka baru menyempatkan diri ke gereja ! " Umpat saya dalam hati sembari mengingat kelakuan 'raja-raja jalanan' itu yang kerap kali kurang menyenangkan.
Setelah menghabiskan setengah batang rokok ketengan, saya pun segera masuk kedalam gereja dan mengikuti prosesi kebaktian.

Tidak jauh berbeda dari Natal-natal sebelumnya, acara kebaktian itu pun terasa lama dan membosankan. Lagi-lagi khotbahnya tidak jauh dari bintang terang,kandang domba dan pernak-perniknya yang sudah hampir 30 tahun selalu saja saya dengarkan di setiap malam Natal .
Tampak kawan saya mulai terkantuk-kantuk mendengar khotbah pendeta. Sementara pikiran saya melayang-layang akan si dia yang disana.
" .. Dan jangan kau salahkan Tuhan kalau setoran metromini mu kurang! " ujar pendeta itu dengan logat batak yang cukup kental. Dan jemaat pun tertawa terkekeh...
".. Loh kok?!? Khotbahnya malah 'nyasar' sama metromini?!?" Boleh juga pendeta ini, jarang-jarang ada pendeta yang mengaitkan khotbahnya dengan permasalahan sopir dan rakyat kecil. Apalagi di malam Natal seperti ini." ucap saya kepada teman yang mulai tersadar dari kantuknya. Sekelebat saya teringat akan sosok pendeta gemuk disana dengan jas mahal dan mobil mewahnya yang kerap kali berkhotbah di hotel-hotel berbintang tentang bisnis dan investasi.

Sesaat kemudian, pikiran saya pun kembali melayang-layang tentang perayaan Natal yang kerap ditayangkan di film-film. Natal yang putih dan bersalju dengan pohon natal dan kakek-kakek beruban yang selalu berbaju cerah sambil membawa karung berisi hadiah ( kalau tidak salah namanya santa klaus ? ). Tentang perayaan Natal yang diselingi dengan makanan-makanan enak dan anggur-anggur lucu nan menggoda.

Ah.. Sungguh berbeda dengan Natal yang selama ini saya alami.

Tidak ada salju ( tentu saja), tidak pernah ada santa klaus, makanan enakpun paling-paling hanya bakmi goreng atau fuyunghai yang sengaja dipesan di restoran cina di dekat rumah dan kue-kue pemberian saudara dan tetangga. Kado?? Ahh.. saya tidak bisa mengingat kado natal terakhir yang pernah saya dapatkan. Alih-alih mendengarkan khotbah pendeta, pikiran saya pun terus melayang-layang dan berputar-putar sambil sesekali membalas sms ucapan Natal dari handai taulan dan saudara.

Akhirnya, khotbah yang berkepanjangan itu pun usai juga. Kini tiba saatnya untuk koor/ paduan suara. Bagi saya, inilah ‘the best part’ dari setiap acara kebaktian Natal yang selalu saya nanti-nantikan.

Kali ini paduan suara mempersembahkan sesuatu yang ‘spesial’ karena pada malam Natal ini, mereka secara khusus mempersembahkan puji-pujian dengan diiringi dengan gondang, suling dan kecapi khas batak. Anak-anak, bapak-bapak dan ibu-ibu dengan merdu dan lantang menyanyikan lagu ‘Arbab’ (sebuah lagu rohani dari daerah tapanuli). Saya tertegun dan kagum akan kedigdayaan mereka berolah vokal dan bermusik. Pada bagian-bagian tertentu, peniup suling tampil ke depan dan memainkan serulingnya dengan sangat memukau. Walaupun saya tidak mengerti sepatah kata pun tentang isi lagu itu, namun dengan penampilan dan suara yang membahana, mereka sukses membuat bulu kuduk saya berdiri.

Setelah persembahan, doa syafaat yang nyaris membuat saya tertidur dan prosesi-prosesi lainnya, akhirnya kebaktian Natal itu selesai juga. Pendeta dan para penatua mengucapkan selamat hari Natal , dan suasana yang hikmad tadi pun berubah menjadi ceria. Hati saya pun turut bergembira karena sebentar lagi saya akan menikmati bir dingin yang menyegarkan bersama kawan-kawan saya.

Karena masih harus basa-basi dan bersalam-salaman mengucapkan selamat Natal kepada kawan-kawan di gereja, maka perjalanan saya menuju ‘kenikmatan itu’ menjadi sedikit tertunda.

“ Gan, masih lama gak? Kl gak, kt duluan neh. Loe nyusul aje yee ? “ Sms seorang kawan yang sudah tidak sabar menunggu saya ‘menjalin tali silaturahmi’. Maklumlah, pada jamannya dulu, saya sempat aktif berkegiatan di gereja itu. Tidak enak rasanya kalau langsung pergi tanpa sedikit bertutur sapa.

Setelah acara salam-salaman yang cukup membuang waktu, saya langsung bergegas menuju parkiran untuk mengambil motor dan segera menyusul kawan-kawan saya yang sudah mulai ‘mereguk kenikmatan di dalam gelas’.

Sembari memanaskan motor, Tiba-tiba pandangan saya tertumbuk kepada rombongan koor tadi yang sibuk menaikkan gondang dan perkakas musik lainnya ke dalam mentromini dan angkot. Di belakang kemudi, sang pemain suling baru saja menyulut puntung rokok yang dikeluarkannya dari saku jas. Seraya sesekali bercengkrama dengan rombongan koor lainnya.

Pemain gondang menggulung celananya untuk memudahkannya mengangkut gondang-gondang itu melewati jalan yang becek. Ibu-ibu dengan kebaya dan konde yang besar-besar itu pun mengangkat rok/kainnya agar tidak kotor terkena lumpur, lantas masuk kedalam metromini. Anak-anak dimarahi agar tidak berlari-lari di jalan yang basah supaya tidak mengotori baju mereka yang mungkin saja baru dibelikan ayah mereka dengan susah payah di Matahari/Robinson.

Agak lama saya perhatikan pemandangan itu sampai akhirnya angkot-angkot dan metromini itu berlalu dari hadapan saya.

Sepanjang perjalanan menuju bar, pikiran saya kembali berputar-putar akan pemandangan yang baru saja saya lihat tadi. Mungkin saja, selepas Natal , sang istri akan kembali merepet tentang biaya makan dan kebutuhan sehari-hari. Mungkin saja selepas Natal , si bapak kembali bersusah-payah mengejar setorannya di jalan. Dan sejuta kemungkinan- kemungkinan lain yang terus berkecamuk di dalam pikiran saya. Namun intinya, mereka terlihat begitu bersemangat dan bersukacita walaupun bisa saja banyak ‘pengorbanan’ yang harus dilakukan demi menyambut hari yang bahagia ini.

Lantas, bagaimana dengan saya?!? hidup saya masih bisa dibilang jauh lebih enak dan lebih nyaman ketimbang mereka. Sementara mereka berjuang untuk hidup setiap hari, mempersiapkan segala sesuatunya sebaik mungkin untuk menyambut Natal, Saya hanya bermalas-malasan untuk sekedar beribadah di gereja.

Ahh.. perasaan malu dan bersalah pelan-pelan mulai berkecamuk di dada ini.

HP berdering, sms dari kawan saya masuk : “ Gan, lama bgt seh ?!? jadi nyusul gak ?!? “

Setelah lampu merah, Saya segera memutar balik kendaraan menuju rumah.