Rabu, 04 Mei 2011

Holy (a portrait)

agan harahap

Saya dibesarkan dalam keluarga Kristen yang taat. Ketika kecil, orang tua saya selalu mengajarkan untuk selalu bersikap hormat dan hikmad ketika beribadah. Sering kali saya mendapat tatapan mata dingin atau cubitan ketika tertawa atau mengobrol dalam prosesi ibadah di gereja. Bahkan tak jarang saya mendapat ‘pengadilan’ di rumah akibat ulah saya yang dipandang kurang hormat dalam menjalani ibadah. Segala sesuatu yang berhubungan dengan ‘ke-Tuhanan’ dipandang sakral dan pantang untuk dijadikan bahan permainan.

Begitu pula yang terjadi di bangku sekolah. Guru agama adalah salah satu guru yang paling ‘killer’ semasa saya bersekolah. Sering kali dia memukul dengan penggaris atau penghapus papan tulis apabila kami salah melafalkan ayat-ayat atau keliru dalam menafsirkan isi Alkitab.

Sekian puluh tahun dibesarkan dalam kultur Kristen ‘garis keras’, alih-alih menjadi seorang Kristen radikal, saya justru semakin ‘santai’ dalam menghadapi, menyikapi dan menjalani agama. Banyaknya sarana informasi, hiburan, pergaulan bahkan percintaan membentuk saya menjadi seorang ‘Kristen yang berbahagia’. Seiring dengan berjalannya waktu, saya banyak menemukan handai taulan yang ‘sepandangan’ dengan saya dalam beragama. Kami tidak lagi sama dengan orang-orang tua disana yang menempatkan agama di atas segala-galanya. Bius dari gaya hidup budaya kekinian nampaknya lebih menarik daripada larut dalam dogma-dogma ‘agama tangan besi’ yang rasa-rasanya tidak relevan lagi untuk dijalani dalam masa kini.

Karya ini merupakan aksi unjuk sikap saya sebagai orang yang menganut agama (Kristen) dengan ‘santai dan humanis’. Saya tidak lagi mempermasalahkan asal-usul dan bentuk rupa Yesus sebagai sesuatu yang sakral. Apakah benar wajah Yesus itu berjanggut dan berambut panjang, atau berkulit hitam dan berambut kribo, atau bahkan mungkin botak,kelimis dan bermata sipit. Bagi saya, alangkah jauh lebih elok apabila saya belajar untuk mengimani agama saya secara personal dan belajar untuk hidup rukun dengan sesama ketimbang mempermasalahkan ‘hal-hal kecil’ yang bisa berakibat fatal bagi kadar keimanan saya dan hubungannya dengan khalayak.

agan harahap


*Dan ketika tiap-tiap individu bisa memandang agama sebagai suatu bentuk yang ‘humanis dan cair’, saya yakin ketegangan-ketegangan dan gesekan-gesekan yang mengakibatkan diskriminasi bahkan perang antar agama tidak akan terjadi lagi di kehidupan-kehidupan mendatang.