Minggu, 19 Juli 2015

SING FEST #6: Iman, Pengharapan Dan Cuci Piring



Selain urusan ekonomi, salah satu problematika primer di keluarga kami adalah ketika pembantu tidak masuk kerja. Memang Ibu Tujilah, pembantu kami, tidak menginap seperti pembantu-pembantu pada umumnya. Rumahnya hanya sepelemparan batu dari rumah kami. Tapi libur Lebaran seperti inilah yang biasanya menimbulkan polemik tersendiri bagi saya dan Itta, isteri saya.
Belum lagi ketika Itta yang sedang hamil dan menurut anjuran dokter, agar isteri saya tidak boleh terlalu banyak bergerak karena beresiko terhadap kandungannya. Oleh sebab itu untuk saat ini, sayalah yang memegang peranan utama dalam membidani segala urusan rumah tangga.
Untungnya saya sudah terlatih bekerja membereskan rumah sejak kecil. Menyapu, mengepel, memasak dan mengurus anak, semua sanggup saya kerjakan sendiri. Namun satu hal yang paling saya tidak sukai dalam urusan rumah tangga ini adalah mencuci piring. Mungkin bagi sebagian orang, mencuci piring adalah sebuah hal yang remeh namun bagi saya mencuci piring adalah sebuah masalah tersendiri yang butuh konsentrasi dan keberanian dalam pengerjaannya. Saya sangat anti terhadap aroma-aroma minyak dan makanan yang masih menempel di piring. Apalagi, aroma sisa kuah-kuah santan yang sudah mengendap semalam yang sudah berkerak dan cukup sulit untuk dihilangkan. Oleh sebab itulah maka saya selalu saja menunda dan menumpuk piring kotor demi menghindari kegiatan mencuci piring. Ketika sebagian besar isi rumah sudah tampak rapi dan asri, Anak saya, Merdu pun sudah mandi dan duduk tenang di depan tv, namun untuk bagian bak cuci piring adalah sebuah pengecualian.

Bagaimanapun saya menghindari kegiatan mencuci piring, tapi penundaan bukanlah solusi terbaik. Hanya menumpuk masalah saja. Sementara kami harus memasak dan makan agar kehidupan terus berjalan. Akhirnya dengan berat hati saya paksakan juga untuk mencuci piring-piring bekas kuah santan hidangan Lebaran dan bubur bayi yang sudah beberapa hari teronggok di bak cuci.
Berbagai pemikiran yang berifat negatif berkelindan dengan cepat di benak saya. Mulai dari makanan sisa yang tidak dibuang di tempat sampah, bekas kulit bawang dan kentang yang menyebabkan saluran pembuangan tersumbat, bekas guntingan bumbu indomi yang mengapung berputar-putar seolah sedang menertawai nasib saya dan sejuta hal-hal negatif lainnya.
Namun lambat laun saya menyadari bahwa menggerutu bukan juga solusi jitu agar 'penderitaan' ini cepat berlalu. Sejurus saya teringat akan petuah lama yang mengatakan bahwa, apapun yang dikerjakan dengan sukacita pasti akan bebuah baik. Maka di tengah aroma santan basi dan guntingan bumbu Indomi yang menari-nari, saya mulai menghibur hati dengan bersenandung lagu-lagu rohani dari Kidung Jemaat. Ya, sebagai seorang yang dibesarkan dalam keluarga Kristen, lagu-lagu dari Kidung Jemaat cukup akrab bagi saya. Apalagi ketika sedang menghadapi situasi yang serba tidak karuan seperti ini.

Lagu 'Janji Yang Manis' mengawali perjuangan saya ketika tiba-tiba saya berpikir entah bagaimana nasib kami kalau pembantu kami, Bu Tujilah, memutuskan untuk tidak bekerja lagi. Dan janjinya yang mengatakan bahwa  dia akan kembali bekerja hari Selasa nanti ternyata tidak ditepati. Ketika saya melihat air kotor yang hampir meluap karena kulit bawang dan bubur sisa yang menyumbat saluran pembuangan, lagu 'Makin Dekat Tuhan' terlantun begitu saja dari mulut saya. Mungkin air yang meluap itu mengingatkan saya pada adegan film Titanic ketika kapal hampir tenggelam. "Tiap langkahku, ku tahu Tuhan yang pimpin, ke tempat tinggi ku dihantarnyaaa.. Hingga sekali nanti aku tibaa.. Di rumah Bapa sorga yang bakaa.." Reffrain dari lagu 'Tiap Langkah Ku' saya senandungkan ketika berjuang membersihkan kerak-kerak santan yang menempel di panci. Piring, gelas dan panci kotor itu semakin berkurang namun itu tidak menggembirakan hati saya karena sabun cair untuk mencuci piring sudah hampir habis. Saya pun mulai mencampurnya dengan air sambil berharap agar piring dan gelas sisa ini bisa selesai sebelum sabunnya habis. Dengan penuh keyakinan saya tetap menggosok dan mencuci piring-piring berminyak itu sambil bergumam lagu 'Ya Tuhan Tiap Jam'.

Akhirnya setelah beberapa lagu, maka kegiatan mencuci piring itupun selesai juga. Saya membersihkan semua bekas nasi dan bubur yang menggendap di dasar bak cuci agar tidak tersumbat dan memasukkannya ke kantong plastik dan membuangnya tempat sampah. . "Sampai bertemuu.. Bertemuu.. Tuhan Allah beserta engkauu.. " Dan saya berjalan menuju tempat sampah dengan senyum kemenangan.



Sing Fest adalah kumpulan pemikiran saya tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan musik. 
Berikut adalah tautan tentang edisi-edisi Sing Fest yang silam : 



Jumat, 10 Juli 2015

BitterSweet : Manny Pacquiao @ Cemeti Art House



Sudah dari beberapa hari kemarin, kedatangan Manny Pacquiao ke Indonesia ramai dibicarakan oleh berbagai media. Adapun tujuan utama Pacman ke Indonesia adalah dalam rangka syuting sebuah produk jamu kesehatan dan sekaligus juga demi menepati janjinya untuk memberi dukungan moral secara langsung terhadap terpidana mati kasus narkoba, Mary Jane Veloso.
Sebagai salah seorang penggemar,  hati saya pun cukup berbunga-bunga perihal kedatangannya ke Yogyakarta. Namun saya tidak pernah bermimpi untuk bisa bertemu atau sekedar berfoto bersama dan dipamerkan kepada handai taulan dan saudara. Sebab, mau bagaimanapun juga jujurnya foto saya, pasti tetap akan dibilang bahwa itu adalah hasil rekayasa. Yah, mungkin memang sudah beginilah nasib saya. Jujur salah, bohong malah lebih salah. 

Siang itu saya jalani seperti biasa. Seusai bermain dengan Merdu, saya lantas terlarut dengan acara dialog tentang psikologi anak di TVRI. Karena tayangan itu begitu menarik, maka beberapa sms dan whatsapp yang masuk saya acuhkan. Iphone yang biasanya selalu berada dalam genggaman, kali ini saya letakkan begitu saja di lantai karena memang sedang di cas. 
Satu jam berlalu dan acara dialog itu pun usai. Anak saya yang baru berusia 1,5 tahun itupun nampak rewel ingin digendong. Mungkin karena dia tidak suka tontonan bapaknya. Memang sudah menjadi kebiasaannya untuk menonton Disney Junior atau Baby First sebelum dia tidur siang. Tapi apa boleh buat, karena tv berlangganan itu belum dibayar, jadilah kami sekeluarga hanya bisa menikmati TVRI saja. Menjelang lewat tengah hari, Merdupun tertidur di dalam gendongan saya. Seusai menaruhnya di tempat tidur, saya pun kembali ke ruang tv untuk membaca pesan-pesan yang masuk sejak tadi ke iphone saya. 

Salah satu pesan whatsapp berbunyi : " Agan, kamu bisa ke Cemeti sekarang? Penting!" Pesan tersebut dikirim oleh Agni, seorang staff galeri Cemeti sekitar satu jam yang lalu. Adapun pada tanggal 2 kemarin, saya baru mengikuti pameran bersama yang berjudul BitterSweet yang diikuti oleh 12 perupa dari Jakarta, Bandung dan Yogya. Dan kebetulan, dalam pameran itu saya menyertakan serial saya yang berjudul Juara Dunia Dari Indonesia. Yang menggambarkan pertandingan tinju antara Chris John melawan Manny Pacquiao. Sambil menyalakan puntung Djarum Super yang baru dibakar setengah, saya pun menanyakan ada apa kepada Agni. Mungkin saja ada kurator atau kolektor yang meminta untuk bertemu dengan seniman, ujar saya dalam hati. Tapi Agni tidak membalas whatsapp saya. 

Sejurus kemudian saya pun larut dalam berbagai berita di Twitter dan Path seraya menikmati puntung rokok itu dengan seksama. Maklum saja udara siang yang panas membuat saya agak malas untuk ke warung. 'Ting!' Agni pun membalas whatsapp saya dengan pesan gambar yang jelas membuat saya terkesirap. Di foto itu terlihat Manny Pacquiao yang sedang berpose di depan karya saya yang sedang dipamerkan. Sontak saya pun menelpon Agni untuk menanyakan apakah saya masih sempat untuk menyusul idola saya itu ke Cemeti. 

Namun mujur tak dapat diraih, malang pun tak dapat ditolak. Manny Pacquiao sudah beranjak dari galeri karena memang jadwal acaranya yang cukup padat. Menurut Agni, Pacquiao hanya kebetulan singgah karena ingin mencicipi makan khas Yogyakarta di sebuah restoran di daerah Tirtodipuran yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari Cemeti. Kebetulan juga managemen hotel T yang memfasilitasi semua kebutuhan akomodasi dan transpotasi Pacman memang sudah menjalin kerjasama dengan galeri Cemeti dalam mempromosikan seni-seni terbaru tanah air. Maka atas alasan itu pulalah mereka sekalian lewat dan berkunjung.

Walau memang Manny sudah tidak berada di galeri Cemeti, namun dengan sejuta penyesalan di dalam dada, saya memutuskan juga untuk pergi kesana. Beberapa staff galeri masih terlihat antusias akibat kedatangan 'tamu agung' itu. Mereka sibuk memposting hasil selfie mereka dengan superstar yang terkenal ramah itu di berbagai jejaring sosial. Rasa kecewa yang bercampur dengan sesal membuat saya tidak bisa berlama-lama di tempat itu. Dengan langkah gontai sayapun menuju angkringan terdekat untuk membeli rokok ketengan. 


Yogyakarta, 10 Juli 2015



Rabu, 01 Juli 2015

BitterSweet


BitterSweet / ManisGetir
Exhibition about the importance of Humor / Pameran tentang Pentingnya Humor

Agan Harahap
Agus Suwage
Akiq AW
Eddi Prabandono
Eko Nugroho
indieguerillas
Nastasha Abigail
oomleo
Saleh Hussein
S. Teddy D.
Tromarama
Yudha 'Fehung'

Opening / Pembukaan:
2 July 2015, 19.30

Exhibition / Pameran:
2 July - 1 Agustus 2015, 09.00 - 17.00
Closed on Sunday & Monday


Humour is an important aspect of our daily lives. Through humour we are able to connect, to provoke, to criticize, but also to employ diplomacy and discover solutions. When something makes us laugh, it contains something that disrupts our mental patterns and conventional expectations and in turn, provokes creative thinking.
Cemeti Art House invited twelve artists whose works show diverse aspects of humour. Humour is not the theme of their work, but humour is the format or the method and an important aspect of communicating the message of their work. With this understanding, most of the works that feature in this exhibition are older works and a small number of artists created new works specifically for this exhibition.
We can find many theories about humour itself such as the relief theory, the superiority theory, etc., but humour in relation to visual language has a purpose of its own. During the New Order regime, in comics, cartoons, folk theatre, and in the shadow puppet plays, it was only through humour that critical notes or ideas towards the regime could be expressed and circulated. Sensitive issues can become communicable through sarcasm and the use of bittersweet satires, but of course they require an accute understanding of its social meaning and context. Humour is inseparable from the arts and is able to fulfill a specific role in bridging the message of a work to the public.