Selain urusan ekonomi, salah satu problematika primer di keluarga kami
adalah ketika pembantu tidak masuk kerja. Memang Ibu Tujilah, pembantu
kami, tidak menginap seperti pembantu-pembantu pada umumnya. Rumahnya
hanya sepelemparan batu dari rumah kami. Tapi libur Lebaran seperti
inilah yang biasanya menimbulkan polemik tersendiri bagi saya dan Itta,
isteri saya.
Belum lagi ketika Itta yang sedang hamil dan menurut
anjuran dokter, agar isteri saya tidak boleh terlalu banyak bergerak
karena beresiko terhadap kandungannya. Oleh sebab itu untuk saat ini,
sayalah yang memegang peranan utama dalam membidani segala urusan rumah
tangga.
Untungnya saya sudah terlatih bekerja membereskan rumah
sejak kecil. Menyapu, mengepel, memasak dan mengurus anak, semua sanggup
saya kerjakan sendiri. Namun satu hal yang paling saya tidak sukai
dalam urusan rumah tangga ini adalah mencuci piring. Mungkin bagi
sebagian orang, mencuci piring adalah sebuah hal yang remeh namun bagi
saya mencuci piring adalah sebuah masalah tersendiri yang butuh konsentrasi dan keberanian dalam pengerjaannya. Saya sangat anti
terhadap aroma-aroma minyak dan makanan yang masih menempel di piring.
Apalagi, aroma sisa kuah-kuah santan yang sudah mengendap semalam yang
sudah berkerak dan cukup sulit untuk dihilangkan. Oleh sebab itulah maka
saya selalu saja menunda dan menumpuk piring kotor demi menghindari
kegiatan mencuci piring. Ketika sebagian besar isi rumah sudah tampak rapi dan
asri, Anak saya, Merdu pun sudah mandi dan duduk tenang di depan tv, namun untuk bagian bak cuci piring adalah sebuah pengecualian.
Bagaimanapun
saya menghindari kegiatan mencuci piring, tapi penundaan bukanlah
solusi terbaik. Hanya menumpuk masalah saja. Sementara kami harus
memasak dan makan agar kehidupan terus berjalan. Akhirnya dengan berat hati
saya paksakan juga untuk mencuci piring-piring bekas kuah santan
hidangan Lebaran dan bubur bayi yang sudah beberapa hari teronggok di
bak cuci.
Berbagai pemikiran yang berifat negatif berkelindan dengan cepat di benak saya. Mulai dari makanan sisa
yang tidak dibuang di tempat sampah, bekas kulit bawang dan kentang yang
menyebabkan saluran pembuangan tersumbat, bekas guntingan bumbu indomi
yang mengapung berputar-putar seolah sedang menertawai nasib saya dan
sejuta hal-hal negatif lainnya.
Namun lambat laun
saya menyadari bahwa menggerutu bukan juga solusi jitu agar
'penderitaan' ini cepat berlalu. Sejurus saya teringat akan petuah lama
yang mengatakan bahwa, apapun yang dikerjakan dengan sukacita pasti akan
bebuah baik. Maka di tengah aroma santan basi dan guntingan bumbu
Indomi yang menari-nari, saya mulai menghibur hati dengan bersenandung
lagu-lagu rohani dari Kidung Jemaat. Ya, sebagai seorang yang dibesarkan dalam keluarga Kristen, lagu-lagu dari Kidung Jemaat cukup akrab bagi saya. Apalagi ketika sedang menghadapi situasi yang serba tidak karuan seperti ini.
Lagu
'Janji Yang Manis' mengawali perjuangan saya ketika tiba-tiba saya
berpikir entah bagaimana nasib kami kalau pembantu kami, Bu Tujilah,
memutuskan untuk tidak bekerja lagi. Dan janjinya yang mengatakan bahwa
dia akan kembali bekerja hari Selasa nanti ternyata tidak ditepati. Ketika
saya melihat air kotor yang hampir meluap karena kulit bawang dan bubur
sisa yang menyumbat saluran pembuangan, lagu 'Makin Dekat Tuhan' terlantun begitu saja dari mulut saya. Mungkin air yang meluap
itu mengingatkan saya pada adegan film Titanic ketika kapal hampir
tenggelam. "Tiap langkahku, ku tahu Tuhan yang pimpin, ke tempat
tinggi ku dihantarnyaaa.. Hingga sekali nanti aku tibaa.. Di rumah Bapa
sorga yang bakaa.." Reffrain dari lagu 'Tiap Langkah Ku' saya
senandungkan ketika berjuang membersihkan kerak-kerak santan
yang menempel di panci. Piring, gelas dan panci kotor itu
semakin berkurang namun itu tidak menggembirakan hati saya karena sabun
cair untuk mencuci piring sudah hampir habis. Saya pun mulai
mencampurnya dengan air sambil berharap agar piring dan gelas sisa ini
bisa selesai sebelum sabunnya habis. Dengan penuh keyakinan saya tetap
menggosok dan mencuci piring-piring berminyak itu sambil bergumam lagu
'Ya Tuhan Tiap Jam'.
Akhirnya setelah beberapa lagu, maka
kegiatan mencuci piring itupun selesai juga. Saya membersihkan semua
bekas nasi dan bubur yang menggendap di dasar bak cuci agar tidak
tersumbat dan memasukkannya ke kantong plastik dan membuangnya tempat sampah. . "Sampai bertemuu.. Bertemuu.. Tuhan Allah beserta engkauu.. " Dan saya berjalan menuju
tempat sampah dengan senyum kemenangan.
Sing Fest adalah kumpulan pemikiran saya tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan musik.
Berikut adalah tautan tentang edisi-edisi Sing Fest yang silam :