Senin, 15 Juni 2015

SAKSI MATA





SAKSI MATA 



Kelebat pohon dan aspal tampak begitu cepat saat kendaraan yang membawaku melaju tanpa kuketahui tujuannya. Terik matahari Bali semakin membuatku tidak berselera untuk berbasa-basi membuka obrolan dengan anak-anak lain yang juga berhimpitan dan terhuyung-huyung bersamaku. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya suara mesin yang terdengar.

"Kepanasan yah?" tanya seorang anak di sebelahku akhirnya memecah keheningan. Dengan meringis aneh, ia tampak sibuk menyeka ingusnya yang terus menerus keluar. 

Tanpa berkata-kata, aku hanya menjawabnya dengan anggukan kecil. Seraya memberi tanda bahwa aku tidak berminat melanjutkan obrolan lebih jauh. Kamipun kembali diam dan terhuyung-huyung di atas mobil itu.

Sepintas teringat saat-saat terakhir ketika petugas-petugas berseragam memaksa kami untuk keluar dari panti asuhan itu untuk segera menaiki kendaraan yang telah disediakan.

"Ayo lekas, itu satu lagi belum naik. Cepat sedikit, nanti keburu sore!" seru bapak petugas berseragam saat menaikkan kami. Sedikit terkejut, aku hanya bisa diam dan menurut. Beberapa anak lain mulai menangis, sementara satu-dua anak lain mulai bergumam khawatir.

Dan sejurus kemudian, disinilah kami saat ini, berhimpitan dan terhuyung-huyung.

---

Panti asuhan itu terletak di belakang rumah. Asri dan teduh. Terlindung dari teriknya matahari Sanur yang seakan menusuk kulit. Kami sungguh merasa beruntung, ibu asuh kami adalah seorang wanita yang penyayang. Ibu menanam pokok-pokok pisang dan beberapa pohon besar untuk melindungi kami bermain. Pepohonan itu juga memagari kami dari bagian depan rumah, mungkin karena ibu tidak mau terganggu dengan celoteh kami saat menerima tamu-tamunya. Belakangan, beberapa orang terpandang memang kerap mengunjungi ibu di rumah bagian depan.

Bukan bermaksud menyombongkan diri, aku merasa mendapat perhatian yang lebih dibandingkan anak-anak lainnya. Ibu memang lebih sering menghampiriku untuk bercerita atau sekadar mengobrol tentang berbagai hal. Dengan beberapa keistimewaan yang kuterima ini, aku merasa menjadi anak kesayangan ibu.

Berbeda dengan panti asuhan lain yang mengajarkan soal kedisiplinan dan kemandirian, di tempat ini kami merasa sangat bebas. Bermain, berceloteh, semua bebas kami lakukan. Bahkan kami nyaris tidak pernah melakukan pekerjaan berat. Ada seorang kakak perempuan yang cantik selalu siap sedia mengurusi kami. Segala keperluan sehari-hari kami diatur oleh kakak cantik itu. Mulai dari menyediakan makanan hingga membereskan kamar, kakak yang mengerjakan. Inilah yang membuatku merasa senang dan betah tinggal di panti asuhan ini.

"Gimana sih kamu? Itu belum selesai, mau dipukul lagi?" bentak ibu kepada kakak di suatu pagi. Ya, hardikan ibu kepada kakak memang seakan sudah menjadi rutinitas di pagi hari. Ibu memang sangat keras terhadap kakak. Terkadang aku risih melihat perlakuan ibu yang berlebihan itu. Hal-hal kecil yang lalai kakak lakukan bisa menjadi sebuah bencana bagi kakak. Kalau sudah begitu, kakak hanya bisa menangis sesegukan tanpa suara sambil meneruskan pekerjaannya. Aku memang tidak pernah mengenal kakak secara pribadi. Kakak memang cenderung pendiam, ia lebih banyak bersenandung sendiri saat bekerja. Walaupun demikian, aku kerap iba melihat perlakuan ibu yang tidak segan-segan memarahinya di depan kami. Aku sendiri tidak tahu, mengapa kakak mendapat perlakuan yang sangat berbeda dengan kami.

---

Anak di sebelahku masih sibuk mengelap ingusnya. Semakin lama terhuyung-huyung dan berhimpitan di mobil ini. Aku merasa mual. 

---

Bau busuk yang datang dari tumpukan sampah di sebelah kamarku semakin menyengat. Awalnya memang tidak terlalu mengganggu, karena biasanya sampah akan segera dibakar atau dibuang. Namun entah mengapa, kali ini dibiarkan begitu saja. Sudah beberapa hari ini kakak cantik yang biasa mengurusi kami tidak terlihat. Aku ingat terakhir kali aku melihatnya, ia pergi bersama salah satu pengurus rumah yang lain. Sementara ibu, yang sangat menyayangi kami, memang cukup cekatan mengurusi rumah. Namun seiring faktor usianya yang semakin bertambah, kekuatannya pun berkurang. 

Semakin hari bau busuk itu semakin menyengat. Aku dan beberapa anak lain sudah mencoba protes tentang hal ini. Kami menjadi tidak leluasa bermain dengan bau ini. Makan pun menjadi tidak selera. Walaupun beberapa hari lalu ada beberapa orang yang berseragam turut membantu membersihkan rumah, namun tumpukan sampah di sebelah kamarku tetap tidak tersentuh. 

Hingga seminggu yang lalu, saat aku bermain dengan teman-temanku yang lain, orang-orang berseragam kembali datang. Kali ini mereka datang lebih banyak lagi, dan gundukan sampah bau yang menyengat itupun tidak luput diangkut. Ah, akhirnya. Mungkin ibu juga sudah sedemikan terganggu dengan baunya sehingga harus membayar orang lebih banyak untuk mengurusi sampah.

Namun dengan hilangnya gundukan sampah itu, aku merasakan sedikit keanehan. Rumah semakin sepi. Kakak cantik tidak kunjung pulang. Ibu pun tidak tampak. "Oh, mungkin ibu sedang ke Bekasi," aku mencoba untuk berpikir positif. Ibu memang kerap bercerita tentang Bekasi. Terkadang ia terlihat riang saat bercerita tentang itu. Ya, mungkin ia sedang ke Bekasi.

---

Tidak berselang lama, keanehan lain pun terjadi. Pagi ini rumah kembali ramai dengan orang-orang berseragam. Kali ini bukan untuk membersihkan sampah, melainkan untuk membawa kami pergi. Dengan bingung kami dipaksa naik ke mobil ini.

Saat keluar dari panti, aku semakin bingung dengan banyaknya orang berkerumun. Semakin banyak pertanyaan yang tidak bisa kujawab. Karangan bunga. Lilin. Mainan. Kertas dengan berbagai tulisan. Ada apa ini? Sekilas ada foto kakak cantik itu diantara tumpukan bunga dan lilin. Apakah ada hubungannya dengan kepergian kakak? Dimana ibu?

Kami semua terdiam saat mobil melintas pelan keluar dari pagar. Beberapa orang yang berkerumun terlihat sedih, beberapa bahkan berdoa di depan foto kakak. Akupun mencoba merasionalisasi keadaan ini. Berbagai ingatan akan ibu, kakak dan panti asuhan itu berkelebat di pikiranku. Namun dengan cepat menghilang. Aku terhenyak saat menyadari apa yang sesungguhnya telah terjadi.

Sekuat tenaga aku mencoba berteriak. "Aku tahu! Aku tahu!" Namun anak-anak lain memarahiku. "Aku tahu! Aku tahu! Dengarkan aku!" Aku terus berteriak dan mulai menangis. Namun tidak ada yang peduli. Orang-orang berseragam, kerumunan di depan pagar, mereka tetap diam.

---

Mobil membelok perlahan. Aku semakin mual. Saat mobil berhenti aku tak kuasa berdiri. Dengan lemah aku mengangkat kepala, "Rumah Pemotongan Hewan Denpasar Bali".



Pengarang: Agan Harahap
Editor: Andries S Pandia