Senin, 20 Oktober 2014

20 Oktober 2014




Saya duduk sendiri di suatu pojok sepi di seputaran Monas. Di kejauhan nampak gemerlap panggung besar dengan ribuan orang yang memadati. Selain karena badan saya sudah lelah karena dari tadi siang saya ikut menonton arak-arakan Presiden RI ke-7, Joko Widodo, saya juga baru saja mengalami suatu peristiwa yang cukup traumatis sehingga membuat saya menjadi tidak begitu antusias lagi untuk mengikuti keseluruhan acara itu. 
Di tengah keramaian arak-arakan yang mengiringi Jokowi siang tadi, iphone saya dicopet orang. Sebagaimana kebanyakan orang lain yang pernah kehilangan hp, saya pun cukup merasa gundah karena begitu banyak data-data dan foto-foto penting di hp saya. Dan tentu, butuh perjuangan tersendiri untuk bisa mendapatkan data-data itu seperti semula. Belum lagi dengan kondisi keuangan keluarga kecil kami sedang dalam posisi yang  mengkhawatirkan, sehingga untuk sekedar membeli iphone baru dalam waktu dekat ini, rasa-rasanya agak mustahil. 

Tapi di tengah kemasygulan akibat kehilangan hp, jujur saja, saya menemukan sedikit ketenangan sehingga saya bisa menulis blog ini. Di tengah 'kesunyian' seperti ini, saya seolah merasa seperti dulu, ketika sosial media belum merasuk ke dalam lini-lini kehidupan saya. Biasanya, dalam keramaian seperti ini, saya sudah disibukkan oleh berbagai mention dan postingan di berbagai jejaring sosial media yang saya ikuti. Belum lagi dengan serangkaian 'terror' dari isteri yang sedang kewalahan mengurus anak kami yang baru tumbuh gigi.  Karena kecopetan iphone, paling tidak saya bisa jadi lebih peka terhadap keadaan sekitar. Minimal dalam radius 20 meter di sekeliling saya. Saya jadi bisa melihat sepasang kekasih yang saling bercengkrama di pinggir trotoar, saya bisa melihat anak kecil yang tertidur di samping lapak ibunya yang sibuk berjualan teh botol, saya bisa melihat keluarga yang sedang bersuka ria 'piknik' ditengah hingar-bingar perayaan itu. Imaji-imaji itu berkelindan dengan cepat dan membawa pikiran saya berkelana tentang banyak hal seputar harapan-harapan akan penghidupan yang lebih layak di era pemerintahan yang baru ini. 

Hari  ini, 20 Oktober, adalah hari ulang tahun almarhum ayah saya. Kebetulan bertepatan dengan hari pelantikan Jokowi menjadi presiden yang baru. Sepintas saya terbayang akan wajahnya yang selalu terlihat antusias bila berbicara soal demokrasi serta orang-orang baik dan jujur yang mendukung kelangsungan negara ini. Dan raut wajahnya akan semerta-merta berubah bila obrolan mulai bergeser pada sistem pemerintahan yang carut marut serta politisi-politisi maling disana. Saya membayangkan, andai kata beliau masih hidup, tentu saya tidak akan sendiri duduk di tempat ini. Paling tidak ada seseorang yang bisa saya ajak berdiskusi atau hanya untuk sekedar meminta rokok ( merk rokok kami sama dan kebetulan rokok saya sudah habis). 
Saya teringat pernah suatu kali, keluarga kami sedang dalam keadaan sulit secara ekonomi. Dan dalam suatu dialog yang bersifat tertutup, saya melayangkan protes, karena saya yang waktu itu masih mura belia, punya banyak keinginan yang ternyata tidak mampu untuk dipenuhi ayah saya. 
 "Amang, (alm ayah saya selalu memanggil saya dengan sebutan amang, apalagi kalau sedang dalam posisi yang tidak menguntungkannya), apa yang kita alami sekarang masih 'ecek-ecek' dibanding dengan orang lain". Beliau lalu mencontohkan kisah-kisah para kerabat dan handai taulan yang memang nasibnya lebih 'naas' dari dari apa yang kami alami saat itu. Saat itu saya hanya bisa terdiam tanpa menanggapi setitikpun akan 'solusi'nya itu. 

Di ujung sana, para artis bersama ribuan khalayak masih berjingkrak-jingkrak larut dalam pesta kemenangan itu. Sejurus kemudian, seorang bapak-bapak yang mengenakan topi bertuliskan 'Jokowi' dan kemeja kotak-kotak lusuh dengan ditemani anak laki-lakinya, meminjam korek api yang saya letakkan tak jauh dari bungkus rokok yang sudah kosong. Setelah berhasil menyalakan rokoknya dan mengucapkan terima kasih, mereka pun beranjak bergi. 
Dari kejauhan saya pun mulai beranabel-anabel (analisa gembel) dalam benak saya. Mungkin saja bapak itu adalah seorang supir mikrolet atau tukang sapu jalanan atau  apapun yang harus bapak itu lakukan esok pagi demi kelangsungan kehidupan keluarganya di rumah, dan tentu, demi masa depan anaknya kelak.
Dan tiba-tiba saja, kehilangan iphone menjadi suatu persoalan yang terlalu ecek-ecek  dibandingkan dengan perjuangan hidup orang-orang lain di sekitar saya.


Monas, 20 Oktober 2014, 21.05 WIB


Agan Harahap