Senin, 28 Desember 2015

Mulan Jameela Dan Potret Suram Masyarakat Gagal Paham



Sebagai seorang laki-laki yang hidup bersama dua orang ibu-ibu (kebetulan ibu saya sedang berlibur Jogja), tentu saja saya tidak bisa menghindar dari yang namanya infotainmen. Berita seputar selebriti adalah topik yang selalu menarik untuk dibahas oleh istri dan ibu saya. Ibu saya yang memang sangat fasih dalam melahap berita-berita seputar selebriti, seolah mendapat kawan bicara yang sepadan ketika berbincang dengan istri saya. Dan berita paling hangat minggu ini adalah peristiwa minta maaf Mulan Jameela yang marak beredar di seantero media. Saya yang tadinya tidak pernah mau tau soal urusan rumah tangga orang, perlahan mulai bisa 'menikmati' prahara ini. Tapi terus terang saya tidak sanggup menyaksikan video wawancara Mulan dan Deddy Corbuzier yang penuh dengan cengangas-cengenges dan derai air mata. Selain juga durasinya yang menurut saya terlalu lama. Saya lebih tertarik untuk menyaksikan komentar-komentar orang baik di Youtube maupun di postingan-postingan lain di dunia maya.

Mencermati drama wanita asal Malangbong ini, tiba-tiba saya teringat akan Thenzara Zaidt, atau yang lebih dikenal sebagai  Ibu Subangun, tokoh antagonis di sinetron TVRI 80an 'Keluarga Rahmat' yang pernah benar-benar ditampar orang ketika sedang berbelanja di pasar hanya karena peran antagonisnya di film itu. Sangat mungkin terjadi bahwa pada zaman itu ada sebagian orang yang begitu terpukau dalam melihat teknologi layar kaca, sehingga tidak mampu lagi membedakan antara fiksi dan realita. Dan memang sangat disayangkan bila Ibu Subangun mendapat tamparan dari orang yang logikanya telah terbutakan oleh tayangan televisi.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa salah satu imbas utama dari kemajuan teknologi adalah timbulnya perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Dan bagi sebagian orang yang tidak siap menerima percepatan teknologi dan dampak sosialnya, teknologi selalu saja dianggap sebagai kambing hitam penyebab terjadinya segala degradasi moral di masyarakat. Walau memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada begitu banyak tayangan-tayangan yang tidak mendidik yang dibuat demi mengejar rating dan iklan, yang semakin melenakan dan membutakan akal sehat pemirsanya. Tapi bagaimanapun juga, kita tidak bisa melulu menyalahkan teknologinya.

Hari ini televisi sudah bukan lagi merupakan satu-satunya media yang mampu membutakan logika dan hati nurani. Kemunculan sosial media seperti Instagram, nampaknya sudah menjadi 'sihir' tersendiri bagi banyak orang. Dan seperti halnya televisi dan sinetron di era 80-90an yang disikapi dengan berlebihan, begitu pula yang terjadi dengan Instagram. Ketika publik bisa secara langsung bertindak sebagai produsen materi dari sebuah drama kehidupan yang bisa semena-mena menampilkan berbagai hal yang terjadi dalam kehidupannya, baik itu hal yang pantas untuk di pamerkan, maupun hal pribadi remeh-temeh yang hanya menimbulkan rasa muak bagi pemirsanya.  Dan orang-orang kembali terlena dengan' realitas semu' yang ditemui dari balik layar ponselnya. Orang-orang jadi terlalu sibuk memamerkan citra diri mereka secara hiperbolis, sehingga lupa akan realita disekelilingnya. Tak hanya itu, sebagian masyarakat bahkan menjelma menjadi polisi-polisi moral yang bisa dengan membabi-buta menghakimi hal-hal yang tidak sesuai dengan jalan pikirannya walaupun itu sama sekali tidak ada kaitan dengan dirinya.

Kembali kepada cerita Mulan Jameela yang sampai hari ini masih marak berlalu lalang di berbagai media tanah air. Mulan dan para pembencinya jelas tidak mampu lagi membedakan realitas yang terjadi di dunia nyata dan di dunia maya. Media sosial yang kerap dijadikan media pelampiasan demi mengukuhkan eksistensinya di jagat hiburan, malah akhirnya menjadi bumerang bagi dirinya yang terlalu larut dalam drama yang dibuatnya sendiri. Kisah Mulan Jameela beserta ribuan polisi-polisi moral beserta 'petuah-petuah bijaknya' yang dilayangkan tak lain hanyalah potret suram kehidupan masyarakat kita hari ini yang sibuk menenggelamkan diri dalam realitas semu di berbagai sosial media. Dan saya hanya bisa berharap agar para polisi moral itu tidak buta logika dan gelap mata, supaya Mulan Jameela tidak mengalami nasib serupa seperti yang dialami Ibu Subangun.



Agan Harahap


* Sengaja menggunakan terminologi 'gagal paham' untuk mengikuti tren bahasa hari ini



Minggu, 15 November 2015

Memandang Paris Dari Linimasa



Rangkaian teror di kota Paris yang menewaskan ratusan warga sipil hari Jumat kemarin memang memilukan dan sontak menarik perhatian dunia. Berbagai linimasa di media-media sosial pun langsung dibanjiri oleh postingan-postingan seputar tragedi Paris ini. Mulai dari turut berbela sungkawa, mengecam tindakan brutal tersebut, sampai berbagai teori-teori konspirasi tentang sebab musabab terkait teror tersebut. Sebagian kawan bahkan turut menyatakan sikap simpatinya dengan menambahkan warna biru, putih dan merah (bendera Prancis) di foto profilenya. Sebagai manusia yang berhati nurani, memang sangat wajar bila kita menunjukkan rasa simpati terhadap berbagai tragedi kemanusiaan, baik itu bencana alam maupun aksi teror yang terjadi di berbagai belahan dunia. Dan tentu saja tidak ada yang salah dengan 'aksi unjuk simpati' dengan mengganti foto profilnya dengan bendera Prancis, atau mungkin dengan mengibarkan bendera Prancis di halaman rumahnya sekalipun.

Sekilas memang saya merasa agak janggal bila teman-teman bisa dengan sebegitu bertubi-tubinya menunjukkan sikap simpatik terhadap negara nun jauh disana yang terkena 'musibah kecil' seperti itu, tapi justru malah seolah memalingkan muka terhadap berbagai musibah besar yang kerap terjadi di sekeliling kita. Tapi saya tidak akan berpanjang-lebar mengenai hal ini. Karena seperti yang sudah-sudah, berbagai aksi unjuk simpati dan empati di berbagai linimasa tentu hanya berlangsung sesaat saja. Esok hari, linimasa kita pasti akan kembali seperti biasa dengan beragam postingan 'maha penting' lainnya seputar makan apa, lagi dimana, sedang apa, sama siapa, dsb dsb.


Agan Harahap

Minggu, 08 November 2015

Logika Dan Realita Digital Dalam Masyarakat Kita Hari Ini




Perkembangan berbagai sarana teknologi digital yang terus terjadi sampai hari ini ternyata tidak sebanding dengan pertumbuhan intelektualitas, sikap, moral dan norma yang berlaku di masyarakat dalam menyikapi berbagai konsekuensi dari perkembangan teknologi hari ini.

Masih lekat dalam ingatan saya, ketika 'film dokumentasi pribadi', Bandung Lautan Asmara secara tidak sengaja tersebar ke publik luas pada awal 2000-an. Ketika hampir semua orang bertindak seolah menjadi polisi moral yang langsung menghujat kedua pasangan yang sedang dimabuk asmara itu, sehingga mereka terkucilkan dari masyarakat, bahkan konon, dari keluarga mereka sendiri.
Setelah film Bandung Lautan Asmara ini beredar, dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama, beberapa film sejenis pun kembali beredar. Baik itu di lapak-lapak vcd bajakan, maupun beredar di dunia maya. Namun efeknya tidaklah begitu menghebohkan seperti film Bandung Lautan Asmara.

Beberapa tahun kemudian, masyarakat kita kembali digemparkan oleh film dokumentasi pribadi sejenis dari seorang penyanyi pria yang menjadi pujaan jutaan wanita di negara ini dengan 2 orang selebriti wanita. Lagi-lagi masyarakat resah dan sanksi sosialpun berlaku terhadap mereka bertiga. Tak hanya itu, pihak berwajib bahkan sampai memenjarakan penyanyi pria yang malang itu. Tapi tidak seperti 2 teman wanitanya yang kariernya seolah tenggelam, penyanyi pria itu kembali dengan kegemilangan baru. (tapi tentu saja, itu adalah cerita lain).

Alih-alih memberi efek jera dan membatasi penyebaran film-film sejenis,  yang terjadi malah sebaliknya. Film dan foto dokumentasi pribadi yang tersebar semakin tumbuh subur bagai jamur di musim hujan. Tak hanya masyarakat biasa, tokoh agama dan politisi pun turut terlibat dalam pembuatan dan pendistribusian film-film ini yang dapat dengan mudah diunggah dan diunduh kapanpun dan dimanapun.

Saya lantas teringat akan peristiwa 'Tata Chubby' seorang pekerja seks yang kerap menjajakan dirinya di media sosial Twitter, yang dibunuh pelanggannya belum lama ini.
Kematiannya menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Walaupun memang masih saja ada yang mencibir terkait profesi dan kematiannya, namun tidak sedikit pula yang justru berempati terhadap peristiwa ini. Begitupun juga sikap yang ditunjukkan oleh pemerintah. Alih-alih menertibkan layanan seks berbasis media sosial, aparat malah sibuk merazia tempat-tempat kos yang ditengarai dijadikan lokasi adu syahwat. Hal serupa juga terjadi di dunia pendidikan. Bukannya memberi edukasi terkait penggunaan dan dampak yang disebabkan oleh percepatan teknologi ini, pemerintah malah sibuk meningkatkan nilai-nilai moral keagamaan yang pada realitanya justru jauh kaitannya dengan fenomena ini.

Pagi tadi, saya iseng mencari kalau-kalau saja ada 'film-film dokumentasi pribadi' baru yang beredar di internet. Hasilnya, ada ratusan, atau bahkan ribuan film-film dan jutaan foto-foto sejenis yang tersebar dengan bebasnya di dunia maya. Namun anehnya, hampir tidak ada lagi pemberitaan tentang kegiatan ini di media-media masa sehingga tidak ada lagi sanksi sosial yang 'biasanya' ditimpakan masyarakat terhadap mereka. Masyarakat seolah menjadi terbiasa akan hal-hal seperti ini. Dan pihak yang berwajib pun, nampaknya seolah hilang akal dan terkesan menutup mata dalam merespon percepatan teknologi yang tidak sebanding dengan pertumbuhan intelektual dan moral yang terjadi di masyarakat kita. Artinya, tanpa disadari, setelah beberapa tahun berselang, standarisasi norma, moralitas serta intelektualitas masyarakat telah mengalami perubahan.

Kalau tadi adalah pemaparan singkat dari 'ranah esek-esek'. Lantas bagaimana halnya di ranah lain?

Saya teringat akan kasus Prita Mulyasari, yang dikenakan sanksi akibat melayangkan pendapatnya di email dan akhirnya tersebar di media terkait dengan buruknya pelayanan sebuah instansi kesehatan swasta. Akibatnya, Prita harus berurusan dengan hukum dan sempat menghuni lapas wanita di Tangerang selama beberapa waktu. Namun setelah berbagai peninjauan hukum dilakukan, akhirnya Prita dibebaskan dari segala tuntutan.

Belum lagi bila kita bicara soal kasus Florence Sihombing, yang dianggap menghina masyarakat Yogyakarta dari statusnya di media sosial Path. Walaupun memang Florence bersalah, namun harusnya, sang pengedar/penyebar status yang dilayangkan Florence tersebut juga sepatutnya dikenakan hukuman karena provokasi. Ya, Path adalah sebuah media sosial yang sifatnya semi privat. Artinya, hanya orang-orang pilihan tertentu yang mampu melihat, menanggapi dan menyebarkan status/foto/video/dll dari oknum yang bersangkutan. Lantas bagaimana konsekuensinya? Florence menerima sanksi sosial yang dikenakan masyarakat terhadapnya. Bagi saya, Florence dan penyebar statusnya adalah bagian dari generasi yang gamang dan gagap dalam memperlakukan teknologi. Mereka tidak bisa membedakan mana yang pantas dituliskan dan disebarkan di media sosial, dan mana yang hanya sebaiknya dimaklumi dan disimpan di dalam hati saja.

Lalu bagaimana lagi dengan berbagai status, artikel, foto/video hujatan dan fitnahan sejenis yang terus terjadi dan berkembang sampai hari ini? Cuitan Jonru, Trio Macan dan berbagai artikel, foto, video dari kelompok radikal yang isinya kerap menghasut dan menghujat pemerintah dan golongan agama dan etnis tertentu, yang jelas-jelas (kalau ditinjau dengan logika) justru lebih membahayakan ketimbang 'hal remeh-temeh' dari Prita dan Florence, malah justru didiamkan. Lagi-lagi masyarakat kita menjadi 'terbiasa' dengan hal-hal seperti ini dan (seperti yang sudah-sudah) pemerintah nampaknya belum dapat menemukan 'formula yang tepat' untuk membentuk landasan hukum yang jelas untuk bertindak.

Demikian pula halnya yang terjadi dalam fotografi hari ini. Transisi fotografi dari era film ke era digital ternyata tidak melulu memberi dampak pada berkembangan teknis semata. Tapi lebih jauh daripada itu, fotografi digital bahkan telah berkontribusi dalam merubah  logika, sistem, serta berbagai tatanan sosial dan moral yang selama ini berlaku dalam kehidupan kita. Terlebih lagi bila kita bicara dalam keterkaitannya dengan sosial media.

Saya teringat tentang cerita Agus Mulyadi, seorang pegawai warnet asal Magelang yang terpaksa sempat menerima sanksi sosial karena menjual jasa edit foto bersama personel JKT48 seharga 20 ribu rupiah per foto. Lagi-lagi masyarakat menjelma menjadi polisi moral yang sibuk berteriak-teriak di lini masa soal pelanggaran hak cipta dalam fotografi yang dilakukan oleh Agus Mulyadi. Mustinya, yang berhak marah dalam kasus Agus ini adalah para editor foto (digital imaging artist) yang dengan segala keahlian dan waktunya yang bernilai belasan atau puluhan juta ini, 'dilecehkan' begitu saja oleh Agus dengan seharga 20ribu Rupiah. Hahaha tapi itu soal lain..
Menurut saya, apa yang dilakukan oleh Agus Mulyadi adalah sebuah terobosan kreatif dalam menyikapi tuntutan ekonomi di tengah maraknya percepatan teknologi digital hari ini. Namun lagi-lagi, masyarakat kita nampaknya cenderung lebih senang menghakimi seorang maling sendal di mesjid-mesjid, ketimbang menghakimi para koruptor 'yang mulia' penghancur bangsa di sana.

Dan tentu saja, masih terlalu dini apa bila kita mau bicara soal hukum/ ganjaran yang pantas bagi oknum (yang katanya) melanggar hak cipta fotografi dalam kaitannya dengan distribusinya di dunia maya, selama hal-hal mendasar seperti yang sudah saya paparkan di atas belum mampu dibenahi secara norma sosial, hukum dan perundang-undangan.
Secara logika, mustinya tidak akan ada undang-undang atau hukum yang bisa diberlakukan selama teknologi digital dan peranti distribusinya masih terus berkembang. Atau dengan kata lain, dalam menyikapi perkembangan fotografi dan video digital dan distribusinya di berbagai sosial media yang terus berkembang sampai hari ini, kita tentu saja tidak bisa lagi semena-mena dalam menggunakan logika, hukum atau bahkan memberikan sanksi sosial dengan menggunakan standarisasi hukum dan moral yang lama. Intelektualitas, pemahaman serta perilaku masyarakat serta hukum dan perundang-undangan yang berlaku hari ini, seharusnya bisa terus berkembang seiring sejalan dengan percepatan teknologi digital yang tidak pernah akan berhenti berinovasi.



Agan Harahap


Rabu, 21 Oktober 2015

(Album Kenangan) Mencermati Nuansa Tarling Dalam Lagu-Lagu Pharrell Williams



Pharrell Williams bersama psikolog anak, Seto Mulyadi

 Mengetahui minat dan bakat anak adalah salah satu hal penting yang perlu diketahui orang tua sejak sang anak masih berusia dini. Ketidaktahuan tentang tumbuh kembang anak baik secara jasmani maupun rohani dapat berakibat buruk pada masa depan si anak. Selain minat dan bakat yang harus terus dipupuk dan diarahkan, para orang tua juga harus bisa mengatasi atau paling tidak meminimalisir akan trauma masa kecil yang pernah dialami anak.
Hampir semua orang pernah memiliki trauma semasa kecilnya. Dalam hal ini, orang tua jelas memegang peranan penting dalam membimbing dan membantu anak mengatasi trauma.

Hal serupa juga yang terjadi pada seorang Pharrell Williams. Siapa yang pernah menyangka bahwa Pharrell yang terkenal dengan kemampuan menyanyi dan koreografi, ternyata pernah memiliki trauma akan tari-tarian. Trauma ini diawali ketika Pharrell bersama teman-teman diminta untuk membawakan tari Saman pada sebuah pentas di sekolahnya. Sebagaimana kita ketahui, bahwa tarian khas Aceh itu adalah tarian yang membutuhkan koordinasi koreografi secara presisi dari antara penarinya. Sementara Pharrell yang pada waktu itu belum bisa membedakan kanan dan kiri, tanpa sengaja malah membentur-benturkan kepalanya dengan kepala anak-anak lain yang berada di sebelahnya. Tarian  itu pun berantakan dan Pharrell harus menanggung malu akibat ditertawakan penonton. Permasalahan ternyata berlanjut sampai beberapa tahun kemudian. Pharrell menjadi trauma akan semua bentuk tari-tarian. Ia kerap menangis ketakutan setiap melihat tarian. Tidak hanya itu, Pharrel berubah menjadi sosok yang pemurung dan penyendiri.

Perubahan pada diri Pharrell jelas menimbulkan rasa khawatir pada kedua orang tuanya sehingga mereka terpaksa mengkonsultasikan masalah ini pada seorang psikolog anak. Menurut sang psikolog, trauma ini harus segera diatasi karena bisa berdampak buruk pada masa depan anak. Metode terapi yang digunakan cukup sederhana, yakni mengenalkan Pharrell dengan musik. Menurut sang psikolog, ketika mendengarkan musik ada syaraf-syaraf tertentu di otak yang bisa langsung merespon anggota tubuh yang lain untuk bergoyang mengikuti irama. Disini, pemilihan genre musik mengambil peranan penting untuk mengatasi rasa trauma akan tarian yang dialami Pharrell. Setelah melalui masa orientasi yang cukup panjang, maka disepakati bahwa Pharrell harus mendalami musik Tarling. Karena menurut sang psikolog, musik Tarling memiliki efek tertentu yang menimbulkan sensasi untuk bergoyang yang cukup dominan dibanding dengan genre musik lain.


Pharrell Williams dalam sebuah sesi latihan tari dan koreografi untuk persiapan salah satu konsernya

Masa-masa terapi pun mulai dijalani dandari waktu ke waktu Pharrell mulai menunjukkan perubahan yang signifikan. Lagu-lagu berirama Tarling seperti 'Sewulan Maning', 'Waru Doyong', Mong Diwayu', 'Padang Bulan' dll mulai akrab ditelinganya. Tidak hanya itu, dinding kamarnya pun mulai ramai dipenuhi oleh poster-poster penyanyi-penyanyi Tarling seperti Aas Rolani dan Cucun Novia yang kini menjadi idola barunya. Perlahan namun pasti, Pharrell mulai bisa mengatasi rasa traumanya akan tari-tarian yang kerap menghantuinya. Pharrell juga mulai membuka dirinya dan kembali bisa bergaul dengan teman-temannya. Menurut salah seorang teman sekolahnya, Pharell menjadi panutan murid-murid lain karena dianggap tahu banyak soal musik cutting edge.
Tak hanya berkembang secara musikalitas dan tarian, ternyata Pharrel juga semakin menunjukkan minat dan bakatnya dalam bidang sastra dan literatur. Tercatat ada ratusan puisi dan lirik-lirik romantis yang ia ciptakan dalam masa terapi penyembuhannya. Menurut pengakuan Djasimin Sihaloho, guru olahraganya di sekolah, tidak sedikit gadis-gadis yang menaruh hati kepadanya karena puisi-puisinya yang mampu meluluhkan hati banyak wanita.

Kenangan ning laut eretan.. Wong loro, nyawang ombak lautan..
Ngucap janji, sehidup semati.. Angin laut, sing dadi saksi..
Ana lintang ana ulan.. Jejer-jejer ring ndhuwuran..
Ati bungah sing karuan.. Ndeleng riko liwat ngarepan..


Wanita mana yang tak akan tergetar hatinya ketika mendengarkan sebait puisi di atas, hasil gubahannya. Gaya flamboyan Pharrell ditambah dengan tutur bahasa yang unik, sontak membuatnya menjadi idola baru bagi kaum hawa, baik tua maupun muda.

Sampai menjelma menjadi seorang mega superstar yang dipuja jutaan penggemar dari seantero jagad, kita masih bisa merasakan sentuhan warna-warna musik Tarling di beberapa lagunya. Menurut pengamat musik David Tarigan, semenjak dari album pertamanya (tahun 2006), setidaknya ada 8 lagu yang kental akan nuansa Cirebonan. David melanjutkan, bahwa aransemen lagu 'Happy' juga terasa sangat kental akan nuansa Pesisir Utara. Dalam sebuah artikel wawancara di majalah musik Trax, Pharell sempat bersikeras memasukkan suara kendang untuk menggantikan bunyi tepukan tangan di lagu 'Happy'. Namun setelah perdebatan yang cukup panjang dengan rekan-rekan sejawatnya, akhirnya Pharrell terpaksa mengalahkan ego dan idealismenya sebagai seorang musisi demi pertimbangan pasar.

David Tarigan juga menambahkan, selain referensi musik, pengalaman hidup seseorang juga secara tidak langsung akan turut berimbas dan memberi kontribusi tersendiri pada estetika yang dimiliki seorang musisi. Latar belakang serta perjalanan musikalitas Pharrell Williams yang penuh warna dan lika-liku itulah yang akhirnya membentuk pribadi seperti yang kita kenal sekarang ini.



Pharrell terpaksa harus menanggalkan idealismenya atas nama pasar





Minggu, 18 Oktober 2015

(Album Kenangan) Leonardo Dicaprio Dan Falsafah Tahu Gejrot


Masa remaja Leonardo Dicaprio di Tanah Pasundan


Dalam usianya yang masih sangat belia, Leonardo Dicaprio harus menerima kenyataan pahit akan perceraian orang tuanya. Namun tidak banyak diketahui publik, bahwa ketika kedua orang tuanya sedang sibuk mengurus harta gono-gini mereka, dan demi menghindari dampak buruk pada psikologi anak mereka, maka Leonardo Dicaprio terpaksa 'diungsikan' selama beberapa waktu ke rumah salah satu kerabat keluarganya di pinggiran kota Bandung, Jawa Barat.

Berikut adalah petikan pembicaraan singkat saya dengan Leonardo Dicaprio melalui Skype perihal masa 'pengasingannya' di Bandung dulu. Saya cukup terhenyak ketika di tengah perbincangan, samar-samar saya mendengar lagu "Mawar Bodas'  yang diputar di itunesnya.

AH : " Hi Leo, What are you listening man ? "
LD  : " Oh.. I don't know man. My Itunes randomly playing this music"
AH  : " Do you know Darso? Legendary musician from West Java ? "
LD  : " Dare..So..? No.. I don't know him. Is he famous ?"

Entah mengapa saya mendapatkan kesan bahwa Leo, yang sekarang menjadi salah satu selebriti dunia dengan bayaran termahal, sedang mencoba menutup-nutupi kegemarannya akan musik-musik Sunda. Namun berkat ilmu interogasi yang saya pelajari sewaktu masih aktif di Resimen Mahasiswa, sedikit demi sedikit saya bisa mengorek keterangan perihal masa lalunya di Tanah Pasundan.


Tidak banyak yang bisa diingat oleh pemeran Jack Dawson dalam film Titanic itu tentang Indonesia karena waktu kunjungannya yang terbilang singkat. Masa-masa awal kedatanganya di kota kembang dihabiskan dengan menangis seorang diri di dalam kamar. Kerinduannya akan sosok ibu yang sedang mengurus perceraiannya di Amerika Serikat tak pelak membuatnya depresi. "I don't have an appetite, I Can't sleep well and oh.. I can't stop thinking about her.. " (Makan ku tak enak, tidur ku pun tiada nyenyak, selalu teringat oh diri mu..)

Leo yang sedang berbincang dengan saya melalui Skype
Merasa bosan akibat terus menerus bermuram durja di dalam kamar, Leo memutuskan untuk keluar sekedar mencari udara segar dan mulai bersosialisasi dengan lingkungan barunya. Dalam keadaan serba tak menentu akibat perceraian orang tuanya, tiba-tiba ia melihat seorang penjual tahu gejrot dan segera menghampirinya.
"Aa, meser siji A. Cengek na nu loba nya..' ujarnya kepada mamang tahu gejrot itu dengan bahasa Sunda yang terbata-bata bercampur logat Inggris yang kental.  "Yeah bro.. I do learn some Sundanese but its a long time ago.." Ujarnya berkilah.

"In that time, I feel there's some connection between me and tahu gejrot, bro..."
 
Menurut pengakuannya, setelah membayar dan memasukkan tahu gejrot itu kedalam mulutnya, seketika itu juga, seperti mendapatkan wahyu llahi, ia seolah menemukan jawaban dari segala problematikanya dalam tahu gejrot. "In that time, I feel there's some connection between me and tahu gejrot bro..." Dengan sedikit berfalsafah Leo menerangkan bahwa saat itu ia merasa ada kesamaan nasib antara dirinya dan tahu gejrot yang hanya bisa pasrah dipotong-potong dan diberi kuah pedas. "The spicy taste in the tahu gejrot is the representation of my feeling. I feel like mashed tofu, bro.." (Aku tak ubahnya seperti tahu gejrot, mas).

Keputusan untuk menjadikan tahu gejrot sebagai pelarian justru memberi dampak buruk pada kesehatannya. Alih-alih merasa senang dan terhibur, Leo malah terserang diare akut sehingga membuatnya terpaksa dirawat selama beberapa hari di RS Hassan Sadikin. Namun suasana rumah sakit yang kusam dan sepi malah membuatnya semakin merasa depresi. Sehingga dalam sebuah kesempatan, Leo memutuskan untuk lari diri dari rumah sakit itu.

"I had to run far far away from the hospital until I saw a boat on the side of the road, and suddenly I was hit by a green car. And before I passed out, I remember someone yelling about coconut .." Entah karena bahasa Inggris saya yang jelek,ditambah lagi dengan koneksi Speedy di rumah saya yang kurang baik sehingga saya tidak dapat menangkap jelas arti dari cerita-cerita surealisnya yang penuh dengan bahasa kiasan. Istri saya yang asli Bandung dan kebetulan juga mendengarkan percakapan kami, mencoba mengartikan kata-kata absurdnya tadi. Istri saya berpendapat, bahwa saat itu Leonardo lari tidak begitu jauh dari RSHS sampai Perahu Jeans, Cihampelas. Dan tertabrak oleh angkot Kalapa -Ledeng. Saya mencoba mengkonfirmasikan penjelasan istri saya kepadanya. Namun Leo sudah tidak nampak lagi di layar.

AH : " Is that true Bro? That you hit by the angkot Kalapa -Ledeng? " Leo? Are You Still there? Hello.?? "

Tidak ada jawaban sama sekali dari Leonardo Dicaprio. Sosoknya menghilang dari layar skype. Entah mungkin ada kesibukan mendadak atau menghindar karena merasa malu akan masa lalunya. Sebelum memutuskan sambungan skype, sayup-sayup saya masih mendengarkan lantunan lagu-lagu Sunda yang diputar di itunesnya.

  
Is is ulah kitu is is.. Ulah bendu is is.. Ulah belikan..







Jumat, 16 Oktober 2015

(Album Kenangan) Rihanna: Masa Lalu Dan Makanan Favorit


Masa kecil Rihanna dalam sebuah pentas menyambut Hari Kartini, 1994


Siapa yang menyangka, Rihanna, sang pelantun lagu 'Umbrella' yang hidup dengan bergelimang kemewahan serta ketenaran, ternyata pernah mengalami masa-masa sulit dalam kehidupannya. Berada dalam keadaan serba kekurangan, memaksa Rihanna harus turut bekerja sepulang sekolah demi membantu keluarganya. Namun segala kesusahan itu tak membuatnya larut keadaan. Rihanna justru makin semangat mengejar impiannya sebagai seorang diva.

Lagu Umbrella yang sukses menghantar dirinya ke tangga popularitas, justru tercipta pada masa-masa sulit itu. Rihanna sempat terdiam cukup lama ketika saya menanyakan inspirasinya ketika menciptakan lagu Umbrella. "Mergo kahanan aku kepekso nyambut gawe nggo keluargaku mas.. Nek musim udan, aku dadi ojek payung.." Ujarnya dengan mata berkaca-kaca, terkenang masa lalunya. Di lagu tersebut, Rihanna bercerita tentang seorang sahabatnya sesama pengojek payung yang tersambar petir dan demi kesembuhannya, sahabatnya tersebut terpaksa harus menjalani terapi di sebuah klinik pengobatan alternatif.

( Wawancara sempat terhenti sejenak karena Rihanna menangis terkenang akan masa lalunya).

Agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan, saya pun mencoba mengalihkan pembicaraan seputar menu diet dan kiat-kiat menjaga kebugaran tubuh di tengah aktivitasnya yang padat. Bagi seorang Rihanna, menjaga kebugaran tubuh adalah sebuah kewajiban. Sebab menurutnya, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat.

Rihanna kembali terdiam, larut akan kenangan masa lalunya ketika saya menanyakan tentang makanan favoritnya.  "Bali sekolah aku dodolan kacang rebus  neng terminal Giwangan  mas....." Ujar Rihanna kembali menangis sambil meraung-raung sehingga saya terpaksa harus segera menyudahi sesi wawancara ini.

Seraya membereskan alat rekam, saya memberikan sebuah pertanyaan terakhir terkait dengan persiapan-persiapan menjelang peluncuran album barunya, "Kabeh ikhlas tak lakoni sing penting halal mas.." Ujarnya setengah berbisik sembari menyeka air matanya yang masih mengalir di pipi.


Rabu, 14 Oktober 2015

(Album Kenangan) Illuminati Dalam Kancah Musik Dunia


Dave Grohl dengan t-shirt yang menggambarkan 'Eye of Horus'. Di sebuah studio rekaman. Seattle 1994




Illuminati seolah menjadi bahasan yang tak pernah lekang dimakan jaman. Illuminati seolah terlibat di hampir semua peristiwa besar yang terjadi di dunia mulai dari bencana alam, perang, krisis, sampai kematian tokoh politik dan selebriti, kerap dikaitkan dengan kelompok ini.

Bukan suatu hal yang baru bila ada beberapa teori yang mengatakan bahwa kelompok ini ingin menanamkan pengaruhnya kepada anak-anak muda melalui musik dan dunia hiburan. Banyaknya bukti-bukti yang mengarah kepada sejumlah musisi akan keterlibatannya dalam illuminati, seolah semakin memperjelas keberadaan kelompok ini. Walau masih dalam wujud yang samar-samar.

Kematian Michael Jackson pada 2009 lalu masih menyisakan kabut misteri akan latar belakang dan motif kematiannya. Tidak sedikit pula orang yang mengatakan bahwa illuminati berada dibalik kematian sang raja pop itu. Beberapa media sempat melansir, bahwa sesaat sebelum kematiannya, MJ sedang berada dalam keadaan depresi dan penuh tekanan. Bahkan MJ juga sempat mengatakan bahwa ada sebuah kekuatan besar yang ingin menjatuhkannya dengan menjatuhkan nama baik dan popularitasnya. Michael Jackson meninggal dunia pada 25 Juni 2009.

Begitu juga yang terjadi dengan  legenda musik grunge, Kurt Cobain, yang masih menyisakan sejumlah pertanyaan akan kematiannya. Dalam keterkaitannya dengan kelomok Illuminati,  beberapa pendapat mengatakan bahwa Kurt pada awalnya adalah anggota dan merupakan salah satu motor propaganda dari illuminati. Namun entah kenapa beberapa saat menjelang kematiannya, Kurt memutuskan untuk keluar dari kelompok ini karena semakin tidak kuat memikul beban dan tanggung jawab sebagai konsekuensi dari kepopularitasannya. Hengkangnya Kurt dari Illuminati jelas dianggap sebagai sebuah bahaya laten yang bisa membahayakan kelompok ini sehingga dibutuhkan sebuah tindakan tegas untuk mengakhiri ancaman ini. Kurt Cobain diketemukan tewas pada 8 April 1994.

Kematian tragis Kurt Cobain secara otomatis mengakhiri perjalanan band legenda musik grunge, Nirvana. Di tahun yang sama, sang drummer, Dave Grohl, juga membentuk sebuah band yang bernama Foo Fighters. Sebuah band yang juga melegenda dalam kancah rock dunia.

Foto Dave Grohl di atas diambil pada medio 1994 di sebuah studio rekaman di Seattle, beberapa minggu setelah kematian Kurt Cobain. Foto di atas seolah menjadi bukti yang mempertegas keberadaan kelompok Illuminati dibalik nama besar Nirvana dan Foo Fighters. Dalam foto, nampak Dave Grohl sedang mengenakan t-shirt yang menggambarkan sebuah mata. Dalam sejarah mitologi Mesir kuno, mata itu dikenal sebagai 'Eye of Horus' yang melambangkan kekuatan dalam satu kepemimpinan, yang juga menjadi salah satu ciri pokok dari kelompok Illuminati, selain jangka, obelisk dan piramida. Gambar Eye of Horus tersebut juga dapat ditemui dalam berbagai bentuk dan perwujudan seperti mata uang Dollar Amerika Serikat, album Dangerous Michael Jackson dan masih banyak lagi.

Sampai saat ini, keberadaan kelompok illuminati seolah masih menjadi misteri. Begitu juga halnya akan keterlibatan kelompok ini dalam berbagai peristiwa dunia yang juga masih menyisakan sejumlah tanya yang tak terjawab. Apakah kelompok ini akan menjadi ancaman bagi peradaban manusia? Entahlah.

Sebagai manusia biasa, kita tentu kerap dihantui oleh berbagai kekhawatiran akan kehidupan kita di dunia fana ini. Namun hendaknya, sebagai orang yang beriman, seyogyanya kita dapat terus meningkatkan kadar keimanan serta ketaqwaan kita, sambil terus memohon kepada Yang Kuasa agar senantiasa berada dalam lindunganNya.

Selasa, 13 Oktober 2015

(Album Kenangan) Kiprah Deddy Dores Di Panggung Hiburan Internasional


Deddy Dores bersama Ryan Gosling. Jakarta 1993



Nama Deddy Dores tentu sudah tidak asing lagi di jagad hiburan tanah air. Sebut saja Nike Ardilla, Nafa Urbach dan beberapa nama lain lagi yang sukses menorehkan tinta emas di blantika musik nasional berkat sentuhan tangan dinginnya.

Tidak banyak diketahui publik bahwa di awal tahun 90an, Deddy Dores pernah mencoba mengorbitkan seorang bintang idola cilik asal Canada. Kerap terlibat perselisihan dengan rivalnya, Papa T Bob dan Jefry Bule, Deddy Dores pun tidak mau ketinggalan untuk merambah ke jalur musik pop anak-anak. Namun kiprahnya di musik pop anak tidaklah secemerlang di jalur pop dewasa. Mencoba membuat breakthru dengan mengangkat tema-tema sosial, Album perdana "Ayah Kawin Lagi" yang bernuansa dangdut menuai kritik keras karena tidak sesuai dengan program pemerintah yang sedang gencar-gencarnya menggalakkan Keluarga Berencana. 

Seolah tak jera dengan album pertama, Deddy Dores bersama bocah Canada itu kembali mencoba menggebrak blantika musik tanah air dengan album keduanya yang berjudul "Malam Satu Suro" yang sekaligus juga merupakan judul single dari album tersebut. Tak berbeda jauh dengan album perdananya, album kedua  yang kental dengan unsur misteri itu ternyata tidak banyak menarik minat pembeli. Walau sempat hendak dirilis ulang oleh sebuah perusahaan rekaman dari Brunei Darussalam, namun album tersebut batal dipasarkan di Brunei karena Deddy tak rela bila judul dan lirik lagu 'Malam Satu Suro' harus diganti dengan bahasa Melayu.

Gagal di dua albumnya, penyanyi cilik asal Canada itu dikabarkan banting stir ke dunia akting. Setelah membintangi iklan obat nyamuk bakar dan iklan minyak gosok, karier bocah tampan itu semakin meredup dan perlahan menghilang dari ranah hiburan tanah air. Menurut sumber terpercaya, bocah tampan itu terpaksa pulang ke negaranya karena terkait masalah finansial.

Roda hidup memang tak selamanya berhenti di bawah. Kembali ke negara asalnya, bocah malang itu justru meraih sukses besar. Kariernya semakin bersinar di jagad perfimlan internasional. Film-film seperti The Note Book, Blue Valentine, Crazy Stupid Love, Drive, Gangster Squad dan puluhan film layar lebar lainnya telah sukses ia bintangi sehingga melambungkan namanya menjadi salah satu aktor dengan bayaran termahal di dunia.

Sebagai salah satu orang yang pernah berkiprah mengasah bakat serta akhlak si bocah tampan tersebut, nasib Deddy Dores justru berbanding terbalik dengan kesuksesan si bocah pelantun tembang 'Ayah Kawin Lagi' itu. Banyaknya artis-artis pendatang baru semakin menenggelamkan nama besarnya di kancah percaturan musik Indonesia.Menanggapi pertanyaan perihal artis cilik asuhannya yang kini menuai sukses di panggung internasional, Deddy Dores hanya menjawab pendek bahwa beliau turut bangga serta selalu mendoakan agar bocah tampan yang pernah diasuhnya itu bisa selalu berada dalam lindungan Yang Maha Kuasa, serta dijauhkan dari perbuatan-perbuatan yang melanggar perintah agama.


Senin, 12 Oktober 2015

(Album Kenangan) Selembar Foto Dari Dunia Fantasi


Bitney dan Christina berfoto di depan maskot Dunia Fantasi, Ancol. 1994

Beberapa hari yang lalu saya menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah ibu saya di bilangan Kampung Ambon, Pulomas. Ketika sedang membuka2 lemari pakaian, saya menemukan album-album foto lama keluarga kami. Kebetulan ibu adalah wanita yang sangat teliti dalam mengumpulkan arsip keluarga.
Dari sekian banyak foto yang terdapat di album itu, ada sebuah foto yang menarik perhatian saya.
Foto ini saya ambil di Dufan, Ancol th 94. Waktu itu saya masih siswa kelas 2 di SMP 1 PSKD. Ibu saya sengaja membekali saya kamera poket untuk mengabadikan momen2 bahagia bersama teman-teman.

Berbeda dengan kami yang masih terlihat takut-takut ketika ingin menaiki wahana Kora-Kora, saat itu ada sekelompok anak-anak bule yang terlihat sangat antusias dan bersemangat. Mereka berteriak-teriak kegirangan dan bahkan berani melepas tangan ketika perahu Kora-Kora sedang meluncur kencangnya. Diantara anak-anak bule itu, ada seorang anak perempuan yang mencuri perhatian saya. Wajahnya yang cantik dan senyumannya yang menawan membuat saya tidak bisa berhenti meliriknya.

Sebenarnya saya ingin sekali untuk berfoto berdua dengannya tapi sebagai anak kelas 2 SMP, tentu saja saya tidak berani mengutarakan maksud saya kepadanya. Selain juga saya takut ditertawakan oleh kawan-kawan saya yang lain. Akhirnya dengan berat hati saya membuang jauh-jauh keinginan saya untuk berfoto bersamanya. Dan gadis cantik itupun menghilang di tengah kerumunan.

Menjelang malam, rombongan kami pun bergerak ke arah pintu keluar untuk pulang. Tanpa sengaja saya kembali berpapasan dengannya. Tidak mau kehilangan momen untuk yang kedua kalinya, saya segera menghampirinya. Dengan bahasa Inggris yang terkontaminasi dengan bahasa Tarzan, saya beranikan diri untuk mengajaknya untuk berfoto berdua.

Syukurlah dia tidak marah atau takut, mengingat perawakan saya pada waktu itu cukup memprihatinkan. Gadis cantik itu hanya mengangguk dan tersenyum manis seolah paham akan maksud saya. Namun rupanya si gadis manis itu salah mengerti. Dia malah merangkul temannya dan langsung berpose di depan saya yang gemetar memegang kamera. Tanpa banyak pikir panjang, saya langsung saja memotretnya. Sesudah memotretnya, diluar dugaan gadis cantik itu malah merangkul saya dan menyuruh temannya untuk memotret kami. Tapi sayang seribu sayang, foto tadi adalah jepretan terakhir dari film Fuji isi 36 itu berikut bonusnya. Seolah mengerti akan kekecewaan saya, gadis itu mengulurkan tangannya mengajak saya berkenalan. Setelah berkenalan, gadis itu mengucapkan selamat tinggal dan berlari menyusul kawan-kawannya yang sudah menantinya di pintu keluar.

Masih jelas teringat dalam benak saya ketika gadis itu menyibakkan rambut pirangnya, menoleh kembali ke arah saya seraya melemparkan senyuman manis untuk yang terakhir kalinya sebelum menghilang di pengkolan jalan. Meninggalkan saya yang masih terkesima dibuatnya.


Agan Harahap

Selasa, 06 Oktober 2015

KATAKAN DENGAN BUNGA





"Selamat berbahagia"
- Dari aku yang masih mencintaimu

Demikian tulisan yang tertera di atas karangan bunga di sebuah resepsi pernikahan.

Memberi bunga untuk maksud/tujuan tertentu sudah menjadi hal yang biasa dan sering kita temui di hampir semua budaya di dunia. Mulai dari ucapan selamat, sampai ucapan turut berdukacita, semua di sampaikan dengan bunga. Tapi entah kenapa selalu saja bunga yang disertakan sebagai penyerta dalam berbagai ucapan. Saya rasa kayu atau batu tentu tidak kalah puitisnya bila dijadikan sebagai penyerta dalam berbagai ucapan selamat. Tapi apa hendak dikata, memberi bunga untuk penyerta ucapan atau maksud-maksud lain sudah menjadi konvensi global sejak jaman dahulu.

Bagi beberapa kalangan, bunga atau karangan bunga menjadi ajang tersendiri untuk menunjukkan posisi dan kedudukan dalam strata sosial tertentu. Banyaknya karangan bunga yang dipajang sampai jauh di luar dari lokasi resepsi, seoalah menunjukkan bahwa sang penerima karangan bunga tadi menduduki posisi tertentu dalam masyarakat sampai menerima ucapan selamat yang begitu banyaknya. Belum lagi bila kita bicara soal orang yang mengirim karangan bunga. Dalam bebagai kesempatan, kita sering kali menjumpai karangan bunga yang nama pengirimnya justru lebih menonjol ketimbang kata-kata ucapannya maupun nama orang yang dituju. Dan tentu saja, gelar/ jabatan/ predikat tertentu dari sang pengirim bunga seringkali menjadi alasan untuk mengesahkan tindakan diskriminatif terhadap karangan-karangan bunga.

Pada upacara kematian opung boru (nenek) saya beberapa tahun yang lalu, nampak sebuah karangan bunga yang cukup mentereng di bandingkan karangan-karangan bunga lainnya. Karangan bunga yang diletakkan tepat di depan pintu masuk rumah duka bertuliskan: 'Turut berduka cita atas berpulangnya Ny. H. Harahap Br Hutabarat' dari MENTRI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA: JERO WACIK. Saya tidak habis pikir, kenapa bisa-bisanya karangan bunga dari orang yang sama sekali tidak kami kenal malah ditempatkan tepat di depan pintu masuk, hanya karena orang itu menjabat sebagai mentri. Kenapa justru karangan-karangan bunga dari handai taulan dan kerabat dekat yang jelas mengenal baik opung kami malah diletakkan dipinggir. Inilah yang saya maksudkan dengan tindakan diskriminatif terhadap bunga. Tapi sebagai cucu, tentu saja saya tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima dan memakluminya. Untung saja waktu itu Jero Wacik belum ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Andaikan waktu itu dia sudah menjadi posisi tersangka korupsi, apakah karangan bunga darinya itu masih diletakkan di posisi mentereng itu? Saya rasa tidak.

Tentu saja, karangan bunga dengan ucapan selamat dari sang mantan tadi jauh terasa lebih tulus dan syahdu ketimbang karangan bunga pemberian pejabat atau presiden sekalipun. Dan sudah sepantasnya karangan bunga yang jujur dan syahdu tadi mendapat tempat khusus melebihi segala ucapan-ucapan dari mentri dan apartur negara walaupun hanya di dalam hati.


Agan Harahap

Selasa, 29 September 2015

Hari Hoax Nasional






Hoax/ Sebuah pemberitaan palsu, adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu. Salah satu contoh pemberitaan palsu yang paling umum adalah mengklaim sesuatu barang atau kejadian dengan suatu sebutan yang berbeda dengan barang/kejadian sejatinya. 


Mungkin karena terlalu sering menggunakan photoshop dalam berkarya, sehingga apapun yang saya posting atau bahkan yang saya tuliskan, terlanjur dianggap hoax oleh followers saya di sosial media. Bahkan beberapa kerabat dekat sampai keluarga saya juga kerap meragukan apapun yang saya sampaikan kepada mereka.
Tapi tentu saja, (gambar dan narasi) hoax yang saya hasilkan selama ini berbeda secara praktik dan tujuannya dengan segala macam hoax yang dilancarkan oleh saudara-saudara dari Piyungan dan Trio Macan, misalnya. Tapi bagaimanapun juga hoax adalah hoax. Apapun bentuknya itu.

Sama halnya dengan hal-hal lain yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak, saya rasa kita sebagai bangsa yang besar, perlu membuat satu hari agar dirayakan (diperingati) sebagai Hari Hoax Nasional. Dan waktu yang tepat untuk memperingati Hari Hoax Nasional adalah tanggal 1 Oktober. Ya, hari yang sama dengan Hari Kesaktian Pancasila yang setiap tahunnya digelar berbagai ritual (upacara)  guna mengenang wafatnya 7 pahlawan revolusi sekaligus mengikrarkan kebulatan tekad agar terus waspada akan berbagai bahaya laten yang mengancam kepentingan orang-orang tertentu di pemerintahan yang sudah merugikan negara demi kepentingannya sendiri.

Omong-omong, entah kenapa mereka malah mencantumkan kata 'kesaktian'. Yaa memang sih tidak bisa dipungkiri bahwa kita adalah bangsa penggemar klenik. Tapi ada sedikit rasa kurang nyaman di hati saya ketika harus mengakui dan mempercayai kesaktian dari sebuah paham atau ideologi yang menjadi dasar negara kita. Sebab bagi saya, kata sakti atau kesaktian itu kesannya lebih pantas bila disandangkan dengan praktik-praktik klenik dan ritual-ritual magis dari seorang dukun. Buat saya, kata kesaktian itu juga erat kaitannya dengan tokoh-tokoh fiksi superhero yang memiliki kemampuan supranatural diluar nalar.

Setelah reformasi, dan keruntuhan rezim Orde Baru, rangkaian peristiwa seputar 65 yang selama ini diselimuti kabut misteri, secara perlahan namun pasti mulai terungkap. Bahwa pada tanggal 1 Oktober, 50 tahun yang lalu, adalah hari dimulainya tahapan kudeta terhadap pemerintahan Soekarno dengan serangkaian hoax. Ya, hoax dengan skala dan efek yang jauh lebih besar dan dahsyat dari hoax-hoax yang saya atau saudara-saudara Piyungan itu pernah lakukan (da aku mah apa atuh..). Hoax yang mengakibatkan menurunnya populasi bangsa ini secara drastis dalam waktu singkat. Hoax yang membutakan hati nurani dan akal sehat selama puluhan tahun. Hoax yang menyebabkan bangsa kita terpuruk dalam belitan hutang luar negeri yang efeknya masih kita rasakan dengan jelas sampai hari ini. Tapi saya tidak akan berpanjang lebar perihal hoax tentang kesaktian mandra guna serta efeknya maha dahsyat itu dalam tulisan ini.

Intinya, kita tidak butuh embel-embel kesaktian atau ungkapan lebay lain untuk mempertahankan dasar dan ideologi negara. Itu malah hanya akan membuat kita terdengar semakin pandir. Hoax, bagaimanapun bentuknya, hanya akan bisa diretas dengan menggunakan nurani dan akal sehat. Apakah kita akan tetap merayakan hoax itu sembari berikrar untuk tetap membenci dan membasmi saudara-saudara kita sendiri sampai ke akar-akarnya? Ataukah kita akan mulai menggunakan hati nurani dan akal sehat untuk bergerak membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik? Nah! Selagi kamu memutuskan pilihan mu, ijinkan saya mengucapkan selamat Hari Hoax Nasional! Semoga Tuhan memberkati.







Yogyakarta, 30 September 2015


Agan Harahap
 

Sabtu, 12 September 2015

Noorderlicht Photo Festival @ Groningen, NL



"Well,.. I'm sorry sir. Your luggage must be somewhere around Guangzhou or Beijing. We'll promise your luggage will be at your hotel in 24 hours". Begitu ucapan mas-mas kemayu yang bertugas melayani urusan koper-koper yang tersesat seraya menutup pembicaraan.
Itulah kesan pengalaman pertama saya ketika pertama kali berkunjung ke Belanda. Maskapai Southern China nampaknya kurang sigap dan tanggap dalam menangani urusan bagasi pesawat. Setelah perjalanan yang hampir memakan waktu 24 jam, terpaksa saya harus bertahan dengan pakaian yang melekat di badan. Setelah urusan pendataan perihal koper yang hilang itu selesai, saya langsung bergegas keluar dari bandara Schipol untuk merokok.

Udara pagi itu cukup dingin menusuk tulang. Saya yang hanya berbekal selembar jacket tipis jelas cukup sulit untuk beradaptasi dengan iklim yang jauh berbeza dari negara saya. Setelah 2 batang rokok, saya pun kembali masuk ke bandara karena masih ada urusan yang belum selesai. Saya masih harus membeli tiket untuk segera menuju ke Groningen, 2 jam dari Amsterdam. Singkat kata, dengan berbekal jacket tipis dan tas kamera, akhirnya sampailah saya di kota Groningen. Kota kecil di utara Belanda tempat dilaksanakannya perhelatan akbar fotografi itu.

Sesampainya di hotel, saya langsung disambut Alexander Supartono, sang kurator yang rupaya sudah cemas menanti kedatangan saya. Dan berkat kebaikan hatinya pula, saya bisa mengganti kaus kaki yang sudah saya kenakan semenjak dari Jogja. Bayangkan saja, dari Jogja, saya ke Surabaya untuk mengambil visa, lalu langsung meneruskan perjalanan ke Jakarta dan akhirnya tiba di Belanda setelah 2x transit di China tanpa mengganti kaus kaki.

Buat saya, Groningen adalah tempat yang istimewa. Setelah pengalaman yang kurang mengenakkan perihal koper yang hilang, saya langsung disuguhi dengan pemandangan cityscape yang cantik dan wanita-wanita yang bersepeda dengan mengenakan celana pendek yang ketat. Dalam urusan celana ketat dalam berkendara, pemandangan seperti itu langsung mengingatkan saya terhadap Kemayoran. Tentu saja, Groningen tidak bisa disamakan dengan Kemayoran. Hahaha





Keesokan harinya, koper saya belum juga tiba di hotel. Alex yang baik hati pun meminjamkan t-shirtnya. Entah apa pulak kata istri saya ketika menyaksikan saya mengenakan t-shirt v-neck ketat berwarna oranye. Tapi saya tidak peduli. Setidaknya  kaos cerah itu terasa lebih nyaman dikenakan di badan ketimbang kaos yang sudah 3 hari melekat di badan saya. Groningen adalah kota kecil. Sebagian besar penduduk menggunakan sepeda untuk transportasi kesehariannya. Sementra saya, dan beberapa kawan lain yang tidak kebagian pinjaman sepeda, memutuskan untuk berkeliling kota dengan berjalan kaki. Sebetulnya saya sama sekali tidak keberatan dengan jalan kaki. Tapi mengingat hanya ada sepasang kaos kaki pinjaman yang tersedia, maka ada sedikit rasa gundah yang muncul di hati saya. Belum lagi sepatu yang saya kenakan sudah mulai menganga. Ahh.. Urusan koper yang tertinggal ini lama-lama jadi menjengkelkan. Malam harinya, sebelum pulang ke hotel, bersama Papa Shabani, seorang fotografer dari Uganda kami memutuskan untuk mengunjungi Noorderzon, sebuah festival performance art yang di adakan di sebuah taman di pinggiran kota.

Menjelang acara pembukaan, koper saya belum juga tiba. Padahal pihak panitia Noorderlicht Photo Festival sudah ikut campur tangan. Namun pihak bandara melemparkan tanggung jawabnya terhadap maskapai. Entahlah. Sementara kaos pinjaman berwarna cerah itu sudah mulai mengeluarkan aroma yang kurang sedap. Begitu pula halnya dengan kaos kaki. Akhirnya, dengan berat hati saya terpaksa harus membeli baju, boxer dan kaos kaki. Mencari pakaian yang sesuai dengan budget saya, tidaklah mudah. Setelah berkeliling beberapa blok, akhirnya saya menemukan juga toko pakaian yang murah meriah. Agak kesal juga ketika harus mengeluarkan uang membeli perlengkapan yang sebetulnya tidak perlu, mengingat persediaan saya selama beberapa hari ke depan sungguh terbatas. Tapi apa boleh buat, terpaksa juga saya mengeluarkan €50 untuk perintilan-perintilan yang 'penting' itu.

Hari memang masih terang benderang, namun jam sudah menunjukkan pukul 7 malam dan acara seremonial pembukaan festival itu berlangsung dengan meriah. Berkat beberapa botol bir dan wine yang dihidangkan di acara pembukaan, saya yang tadinya cukup berkecil hati karena urusan penampilan, akhirnya bisa turut larut dalam sukacita menyambut dibukanya perhelatan akbar fotografi itu. Jujur saja, Karya-karya fotografi dokumenter yang dipamerkan disana, membuat saya terkesima dan sekaligus merasa minder. Betapa tidak, sebagian dari mereka masih menggunakan kamera film dan tanpa editing photoshop. Memang 'perbedaan kasta' seperti ini kerap saya temui dalam beberapa pagelaran fotografi sebelumnya.  Tapi lagi-lagi, berkat beberapa botol bir dan wine, saya jadi tidak begitu mempedulikan lagi soal 'perbedaan kasta' itu. Malam itu kami akhiri dengan berbincang dengan sesama peserta festival di bar hotel.








Noorderlicht Photo Festival adalah salah satu perhelatan fotografi internasional terpenting di Eropa yang diikuti 76 fotografer dari 36 negara. Festival ini dibagi menjadi 3 bagian yang berlokasi di 2 tempat. Ruang pamer utama berlangsung di sebuah bekas pabrik gula yang berada di pinggiran kota Groningen, sementara saya dan beberapa fotografer lain berpameran di Noordelicht Photo Gallery yang berada di pusat kota. Dalam berpameran, saya biasanya tidak terlalu begitu bermasalah dalam urusan display. Namun kali ini berbeda, karena karya foto saya yang jumlahnya cukup banyak (100 karya), maka untuk menata foto-foto itu di tembok supaya terlihat apik, butuh ketekunan sendiri. Yak, hari pertama saya di Groningen, saya habiskan untuk mendisplay karya.

Beberapa saat sebelum kami check out, resepsionis hotel membawa kabar gembira, bahwa koper yang selama ini saya nantikan akhirnya datang juga. Setelah berbasa-basi sejenak, saya, Alex dan Mintio segera bergegas menuju Amsterdam. Sesampainya di Central Station, kami pun berpisah. Mintio tinggal di rumah kawannya, sementara saya menumpang tinggal di rumah kenalan Alex. Janneke dan Jacob De Jonge pasangan pensiunan kurator fotografi dan video dari Tropenmuseum. Rupa-rupanya sewaktu masih sibuk menyusun tesis untuk keperluan akademisnya, Alex pernah lama tinggal bersama keluarga yang baik hati ini.

Kunjungan di Amsterdam bukannya tanpa sebab. Karena saya masih harus mencari beberapa bahan untuk project kedepan yang akan saya jalankan bersama Alex. Maka hari-hari saya di kota itu disibukkan dengan berkunjung ke museum-museum dan perpustakaan-perpustakaan. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan terkait dengan kunjungan-kunjungan maha penting ini, karena project saya masih bersifat rahsia.



Untuk urusan kuliner, sebetulnya Amsterdam lebih menggoda. Namun, sebagai kota besar, harga makanan di kota ini pun bisa beberapa kali lipat ketimbang di Groningen. Bayangkan, untuk sebuah roti yang berisi dengan ikan harring, di Groningen bisa saya dapati dengan harga 3€ saja. Sementara di Amsterdam, untuk hidangan yang kurang lebih sama, saya harus merogoh 8€.
Kawasan turis di seputar Kanal ataupun di daerah dekat Rijks Musseum, banyak dipenuhi cafe-cafe dan restoran-restoran yang menghidangan berbagai macam hidangan mulai dari masakan Belanda, Mexico sampai Nepal. Saya pun tidak mau ketinggalan untuk mencicipi makanan di daerah itu. Dengan perut yang lapar sehabis berjalan kaki, saya langsung segera melangkahkan kaki ke restoran Burger King yang letaknya masih bersebelahan dengan restoran steak khas Argentina. Maklumlah, dengan kondisi yang serba nge-pas, saya harus berhemat supaya bisa membeli oleh-oleh buat anak dan istri di Indonesia.

Rumah Janneke dan Jacob yang saya tinggali berada di tengah kota Amsterdam, tidak jauh dari Central Station dan dikelilingi oleh kanal-kanal yang tampak serupa. Alhasil, saya pun terpaksa 2 kali tersesat di kawasan Keizerstracht dan Princenstracht. Namun tersesat di kawasan Central Station adalah pengalaman yang cukup berkesan untuk saya. Karena selain hujan lebat yang membuat baju dan jacket saya basah kuyup, ditambah kondisi sepatu yang sudah menganga, rupa-rupanya tempat tinggal saya bisa dikata cukup dekat dengan kawasan red light district. Selama ini saya berpikir bahwa 'lampu merah' hanyalah bahasa kiasan tertentu dalam menunjukkan lokasi prostitusi. Ternyata kawasan 'lampu merah' di Amsterdam adalah kawasan yang benar-benar dipenuhi dengan etalase-etalase dengan lampu-lampu yang berwarna merah. Alih-alih berisi dengan gadis-gadis kaukasian nan molek, saya malah melihat nenek-nenek dengan topeng dan latex khas BDSM. Takzim dan terkeseima akan pemandangan itu, namun beberapa jagoan lokal yang sudah nampak mabuk, memaksa saya menyudahi pemandangan itu dan mempercepat langkah untuk pulang. Selain red light district, Amsterdam pun terkenal akan coffee shop nya. Namun, selain saya tidak begitu suka 'hidangannya', kondisi keuangan yang semakin hari semakin memprihatinkan, membuat saya tidak bisa menikmati berbagai hidangan yang tersedia di 'warung kopi' itu. Bayangkan, untuk bisa menikmati 'hidangannya', saya harus merogoh 13 €, sementara bir sudah bisa dinikmati dengan hanya 2,5 € saja. Yaa maklumlah, dengan kondisi keuangan yang terbatas terpaksa memaksa saya untuk meredam segala keinginan-keinginan yang bergejolak dalam hati.

Jadwal kepulangan saya ke Indonesia adalah jam 4 sore waktu setempat. Namun karena pasangan Janneke dan Jacop ada keperluan, maka dari jam 9 pagi, saya sudah berpamitan dan meninggalkan kawasan Keizerstracht. Dengan tas yang penuh dengan oleh-oleh dan pakaian-pakaian yang belum dipakai, saya menuju restoran terdekat sekedar untuk menikmati pagi dan wanita-wanita yang bersepeda mengenakan celana ketat seraya membuang waktu sebelum menuju Schipol.