"Well,.. I'm sorry sir. Your luggage must be somewhere around Guangzhou or Beijing. We'll promise your luggage will be at your hotel in 24 hours". Begitu ucapan mas-mas kemayu yang bertugas melayani urusan koper-koper yang tersesat seraya menutup pembicaraan.
Itulah kesan pengalaman pertama saya ketika pertama kali berkunjung ke Belanda. Maskapai Southern China nampaknya kurang sigap dan tanggap dalam menangani urusan bagasi pesawat. Setelah perjalanan yang hampir memakan waktu 24 jam, terpaksa saya harus bertahan dengan pakaian yang melekat di badan. Setelah urusan pendataan perihal koper yang hilang itu selesai, saya langsung bergegas keluar dari bandara Schipol untuk merokok.
Udara pagi itu cukup dingin menusuk tulang. Saya yang hanya berbekal selembar jacket tipis jelas cukup sulit untuk beradaptasi dengan iklim yang jauh berbeza dari negara saya. Setelah 2 batang rokok, saya pun kembali masuk ke bandara karena masih ada urusan yang belum selesai. Saya masih harus membeli tiket untuk segera menuju ke Groningen, 2 jam dari Amsterdam. Singkat kata, dengan berbekal jacket tipis dan tas kamera, akhirnya sampailah saya di kota Groningen. Kota kecil di utara Belanda tempat dilaksanakannya perhelatan akbar fotografi itu.
Sesampainya di hotel, saya langsung disambut Alexander Supartono, sang kurator yang rupaya sudah cemas menanti kedatangan saya. Dan berkat kebaikan hatinya pula, saya bisa mengganti kaus kaki yang sudah saya kenakan semenjak dari Jogja. Bayangkan saja, dari Jogja, saya ke Surabaya untuk mengambil visa, lalu langsung meneruskan perjalanan ke Jakarta dan akhirnya tiba di Belanda setelah 2x transit di China tanpa mengganti kaus kaki.
Buat saya, Groningen adalah tempat yang istimewa. Setelah pengalaman yang kurang mengenakkan perihal koper yang hilang, saya langsung disuguhi dengan pemandangan cityscape yang cantik dan wanita-wanita yang bersepeda dengan mengenakan celana pendek yang ketat. Dalam urusan celana ketat dalam berkendara, pemandangan seperti itu langsung mengingatkan saya terhadap Kemayoran. Tentu saja, Groningen tidak bisa disamakan dengan Kemayoran. Hahaha
Keesokan harinya, koper saya belum juga tiba di hotel. Alex yang baik hati pun meminjamkan t-shirtnya. Entah apa pulak kata istri saya ketika menyaksikan saya mengenakan t-shirt v-neck ketat berwarna oranye. Tapi saya tidak peduli. Setidaknya kaos cerah itu terasa lebih nyaman dikenakan di badan ketimbang kaos yang sudah 3 hari melekat di badan saya. Groningen adalah kota kecil. Sebagian besar penduduk menggunakan sepeda untuk transportasi kesehariannya. Sementra saya, dan beberapa kawan lain yang tidak kebagian pinjaman sepeda, memutuskan untuk berkeliling kota dengan berjalan kaki. Sebetulnya saya sama sekali tidak keberatan dengan jalan kaki. Tapi mengingat hanya ada sepasang kaos kaki pinjaman yang tersedia, maka ada sedikit rasa gundah yang muncul di hati saya. Belum lagi sepatu yang saya kenakan sudah mulai menganga. Ahh.. Urusan koper yang tertinggal ini lama-lama jadi menjengkelkan. Malam harinya, sebelum pulang ke hotel, bersama Papa Shabani, seorang fotografer dari Uganda kami memutuskan untuk mengunjungi Noorderzon, sebuah festival performance art yang di adakan di sebuah taman di pinggiran kota.
Menjelang acara pembukaan, koper saya belum juga tiba. Padahal pihak panitia Noorderlicht Photo Festival sudah ikut campur tangan. Namun pihak bandara melemparkan tanggung jawabnya terhadap maskapai. Entahlah. Sementara kaos pinjaman berwarna cerah itu sudah mulai mengeluarkan aroma yang kurang sedap. Begitu pula halnya dengan kaos kaki. Akhirnya, dengan berat hati saya terpaksa harus membeli baju, boxer dan kaos kaki. Mencari pakaian yang sesuai dengan budget saya, tidaklah mudah. Setelah berkeliling beberapa blok, akhirnya saya menemukan juga toko pakaian yang murah meriah. Agak kesal juga ketika harus mengeluarkan uang membeli perlengkapan yang sebetulnya tidak perlu, mengingat persediaan saya selama beberapa hari ke depan sungguh terbatas. Tapi apa boleh buat, terpaksa juga saya mengeluarkan €50 untuk perintilan-perintilan yang 'penting' itu.
Hari memang masih terang benderang, namun jam sudah menunjukkan pukul 7 malam dan acara seremonial pembukaan festival itu berlangsung dengan meriah. Berkat beberapa botol bir dan wine yang dihidangkan di acara pembukaan, saya yang tadinya cukup berkecil hati karena urusan penampilan, akhirnya bisa turut larut dalam sukacita menyambut dibukanya perhelatan akbar fotografi itu. Jujur saja, Karya-karya fotografi dokumenter yang dipamerkan disana, membuat saya terkesima dan sekaligus merasa minder. Betapa tidak, sebagian dari mereka masih menggunakan kamera film dan tanpa editing photoshop. Memang 'perbedaan kasta' seperti ini kerap saya temui dalam beberapa pagelaran fotografi sebelumnya. Tapi lagi-lagi, berkat beberapa botol bir dan wine, saya jadi tidak begitu mempedulikan lagi soal 'perbedaan kasta' itu. Malam itu kami akhiri dengan berbincang dengan sesama peserta festival di bar hotel.
Kunjungan di Amsterdam bukannya tanpa sebab. Karena saya masih harus mencari beberapa bahan untuk project kedepan yang akan saya jalankan bersama Alex. Maka hari-hari saya di kota itu disibukkan dengan berkunjung ke museum-museum dan perpustakaan-perpustakaan. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan terkait dengan kunjungan-kunjungan maha penting ini, karena project saya masih bersifat rahsia.
Untuk urusan kuliner, sebetulnya Amsterdam lebih menggoda. Namun, sebagai kota besar, harga makanan di kota ini pun bisa beberapa kali lipat ketimbang di Groningen. Bayangkan, untuk sebuah roti yang berisi dengan ikan harring, di Groningen bisa saya dapati dengan harga 3€ saja. Sementara di Amsterdam, untuk hidangan yang kurang lebih sama, saya harus merogoh 8€.
Kawasan turis di seputar Kanal ataupun di daerah dekat Rijks Musseum, banyak dipenuhi cafe-cafe dan restoran-restoran yang menghidangan berbagai macam hidangan mulai dari masakan Belanda, Mexico sampai Nepal. Saya pun tidak mau ketinggalan untuk mencicipi makanan di daerah itu. Dengan perut yang lapar sehabis berjalan kaki, saya langsung segera melangkahkan kaki ke restoran Burger King yang letaknya masih bersebelahan dengan restoran steak khas Argentina. Maklumlah, dengan kondisi yang serba nge-pas, saya harus berhemat supaya bisa membeli oleh-oleh buat anak dan istri di Indonesia.
Rumah Janneke dan Jacob yang saya tinggali berada di tengah kota Amsterdam, tidak jauh dari Central Station dan dikelilingi oleh kanal-kanal yang tampak serupa. Alhasil, saya pun terpaksa 2 kali tersesat di kawasan Keizerstracht dan Princenstracht. Namun tersesat di kawasan Central Station adalah pengalaman yang cukup berkesan untuk saya. Karena selain hujan lebat yang membuat baju dan jacket saya basah kuyup, ditambah kondisi sepatu yang sudah menganga, rupa-rupanya tempat tinggal saya bisa dikata cukup dekat dengan kawasan red light district. Selama ini saya berpikir bahwa 'lampu merah' hanyalah bahasa kiasan tertentu dalam menunjukkan lokasi prostitusi. Ternyata kawasan 'lampu merah' di Amsterdam adalah kawasan yang benar-benar dipenuhi dengan etalase-etalase dengan lampu-lampu yang berwarna merah. Alih-alih berisi dengan gadis-gadis kaukasian nan molek, saya malah melihat nenek-nenek dengan topeng dan latex khas BDSM. Takzim dan terkeseima akan pemandangan itu, namun beberapa jagoan lokal yang sudah nampak mabuk, memaksa saya menyudahi pemandangan itu dan mempercepat langkah untuk pulang. Selain red light district, Amsterdam pun terkenal akan coffee shop nya. Namun, selain saya tidak begitu suka 'hidangannya', kondisi keuangan yang semakin hari semakin memprihatinkan, membuat saya tidak bisa menikmati berbagai hidangan yang tersedia di 'warung kopi' itu. Bayangkan, untuk bisa menikmati 'hidangannya', saya harus merogoh 13 €, sementara bir sudah bisa dinikmati dengan hanya 2,5 € saja. Yaa maklumlah, dengan kondisi keuangan yang terbatas terpaksa memaksa saya untuk meredam segala keinginan-keinginan yang bergejolak dalam hati.
Jadwal kepulangan saya ke Indonesia adalah jam 4 sore waktu setempat. Namun karena pasangan Janneke dan Jacop ada keperluan, maka dari jam 9 pagi, saya sudah berpamitan dan meninggalkan kawasan Keizerstracht. Dengan tas yang penuh dengan oleh-oleh dan pakaian-pakaian yang belum dipakai, saya menuju restoran terdekat sekedar untuk menikmati pagi dan wanita-wanita yang bersepeda mengenakan celana ketat seraya membuang waktu sebelum menuju Schipol.