“ Anjrit.. kok yang dateng alay-alay semua gini ?!!? “
Demikian sebuah pertanyaan yang terlontar dari sesosok perempuan cantik nan wangi ( entah siapa) yang tidak sengaja saya dengar ketika sibuk memotret di sebuah ‘pagelaran ajang pemilihan presenter muda masa kini dari sebuah program ternama dari sebuah perusahaan tv swasta’.
.
Hari itu, seperti biasa saya dan
Tidak seperti beberapa tahun sebelumnya, ketika ajang ini begitu mendapat posisi special di hati remaja-remaja pecinta musik tanah air.
Kali ini, entah dikarenakan program ini sudah ‘mulai uzur’ dan tidak sesuai lagi dengan trend yang berlaku di kalangan remaja penggiat musik, namun acara yang sempat menjadi fenomena itu, kini terkesan hambar dan kurang menggigit,
( Bagaimanapun juga, itu hanyalah pandangan subyektif saya yang juga sudah mulai uzur untuk hadir dalam acara-acara semacam ini).
Tapi tidak untuk ‘remaja-remaja pemerhati musik masa kini’. Mereka tampak antusias untuk hadir dan turut ambil bagian dalam ajang yang ‘bergengsi’ ini. Sebagian dari mereka bahkan menirukan dandanan, atribut bahkan potongan rambut dari grup musik idola mereka.
Dikarenakan ‘adanya sedikit kesalahpahaman’, maka saya tidak membawa lensa tele. Dan oleh sebab itu, saya pun terpaksa bergabung di barisan depan, berdesakkan bersama dengan remaja-remaja masa kini yang dengan gegap gempita ingin menyambut pujaan mereka.
suasana di bawah panggung
Di bawah panggung mereka berdansa, semerbak bau keringat dan bau ketiak bercampur menjadi satu seiring dengan joke-joke garing yang dibawakan mc ( yang mungkin kurang menguasai ilmu pengetahuan), sukses menambah siksaan saya pada malam itu.
Namun, bagaimana dengan pemuda-pemudi itu ? mereka tetap saja bersemangat dan dengan antusias setia menunggu artis pujaannya bernyanyi mengiringi mereka untuk bergoyang bersama walau hanya sejenak.
Suasana semakin tidak kondusif ketika panitia terus menambah jumlah penonton di barisan depan.
Ketika remaja-remaja yang baru saja bergabung, dengan semangat merangsek ke baris depan agar bisa lebih dekat dengan pujaannya, sementara sebagian penonton yang sudah kelelahan dan mungkin saja mulai bosan dengan acara yang semakin ‘renyah’ itu, memohon kepada petugas / panitia untuk bisa membuka barikade, agar bisa keluar dari tempat itu..
“ Pak, permisi,.. saya lapar, mau keluar..di sono penuh banget..udeh mau pingsan nih pak..“ . Ujar seorang remaja putri berkacamata besar dengan hiasan di kepala yang bisa menyala.
Tak disangka -sangka sosok berkumis yang sok berwibawa itu, tidak mengijinkan satu pun orang untuk bisa keluar dari tempat itu.
Beberapa remaja yang makin tidak tahan, berkali-kali memohon agar dapat diizinkan untuk keluar. Namun dasar mentalitas minus ( menelan bulat-bulat perintah atasannya tanpa mempertimbangkan nalar dan hati nurani ), lagi-lagi sosok berkumis itu dengan semakin ketus dan kasar menolak permintaan mereka yang sudah kelelahan dan bersimbah keringat.
Yeahh.. Mungkin saja panitia dan petugas sudah diperintahkan untuk mencegah penonton keluar dari gedung oleh bos mereka yang takut kehilangan muka akibat ditinggal audience.
Sembari menonton pertikaian yang kian ramai, tiba-tiba saya teringat perkataan wanita cantik nan wangi di depan
Menurut seorang sumber yang enggan disebut namanya, alay adalah akronim dari anak layangan. Remaja- remaja tanggung yang selalu wara- wiri di tiap pagelaran acara musik di televisi sembari memperagakan ‘tarian –tarian masa kini ‘dengan gerakan seragam.
Ia pun berkata, bahwa remaja-remaja yang hadir di berbagai acara televisi itu berada di bawah satu komando. Mereka bukan datang dengan sukarela, melainkan penonton –penonton professional yang menerima bayaran.
Sementara sumber lain ada yang mengatakan, alay bukan lagi hanya ada di barisan penonton di acara musik, tetapi sudah menjadi semacam trend atau
Ini terlihat dari
penuh percaya diri dengan kacamata hitam
Dan, karena sosok tampilan mereka sering berkelebatan di layer kaca, maka tak ayal lagi,
Belum lagi bila di spesifikasikan dengan
Sumber itu melanjutkan, bahwa kata alay mungkin saja sudah mengalami pergeseran makna. Mulai dari ‘remaja-remaja tampil’ , yang wara- wiri di layar kaca, sampai menjelma menjadi 1 kata yang kira-kira bisa diartikan atau sama dengan norak atau kampungan.
“ Pak, kita datang jauh-jauh nih dari Priuk, ntar kalo kemaleman, ga ada bis lagi ! “ teriak lantang seorang remaja pria berkacamata alla rayban.
“ Lah?!? kalo begitu, kenapa kamu dateng kesini ?!!? “ jawab sang petugas sambil memasang muka sangar seraya membusungkan dadanya seolah ingin mengajak berkelahi..
“ Hmm.. jawaban petugas yang sangat bodoh “ ujar saya dalam hati..
bernyanyi dan menari bersama dengan diiringi musik yang dibawakan oleh idola tercinta
Musik kembali berdentam dan suasana di bawah panggung semakin heboh. Beberapa remaja berdiri membentuk lingkaran dan menarikan ‘tarian kontemporer masa kini’ dengan diiringi oleh musisi tersayang mereka. Sementara beberapa remaja yang sudah muak, semakin berani menentang petugas agar bisa diijinkan keluar.
Dorong mendorong tak terelakkan lagi. Saya pun akhirnya memilih untuk mundur kebarisan belakang yang agak renggang. Mahluk-mahluk tegap dan berkumis bodoh itu semakin kasar dengan mendorong remaja-remaja cilik itu untuk tetap berada di dalam sampai acara selesai.
Di pojok panggung, saya kembali merenung.. Apa yang salah dengan alay ? Bukankah dengan adanya mereka, maka acara musikalitas di berbagai stasiun tv menjadi lebih meriah ? Lantas, bagaimana pula dengan mereka yang datang dengan sukarela, jauh -jauh dari berbagai daerah demi sekedar melihat idola mereka ? Bukankah penyelenggara yang sudah diuntungkan miliaran rupiah oleh berbagai sponsor dan iklan sudah sepantasnya memperlakukan mereka dengan lebih baik ?
Apalagi jika menyangkut dengan trend dan
hal biasa yang kerap terjadi dalam sebuah pagelaran musik
Tiba-tiba saya teringat sewaktu saya masih remaja. Dengan penggunaan Mandom secara berlebihan demi memaksakan rambut saya yang kribo ini agar dapat terlihat seperti
Saya pun teringat masa-masa dimana badan saya yang kurus kerempeng, memakai baju super longgar dan celana gombrong agar dapat terlihat seperti Anfernee Hardaway atau Muhammad Rifky,
Lantas dengan terpatah-patah mengikuti celotehan cepat Iwa K.
“ Sepertianakkecilyangberlaribertelanjangbulat, keluarkansuara-suaracandatawadan senyumpuas…blah,,blah..blah.. dan sampai sekarang pun saya tidak bisa mengikuti ucapan dedengkot hiphop
( sengaja tidak diberi spasi, untuk menandakan pelafalan dengan tempo cepat ).
Yeahh.. saya pun kerap melakukan ‘hal-hal yang memaksakan diri’ seperti itu di usia remaja.
“ Kurang alay apa coba ?!? ”
Lantas, apa yang salah dengan alay-alay itu ? Apakah semasa remaja, anda tidak pernah mengikuti trend yang berlaku pada jamannya? Sehingga anda memandang rendah perilaku ‘remaja-remaja’ saat ini ?
“ Yahh..mas.. namanya juga anak-anak. Siapa sih, yang dulu ngga pernah gaya-gayaan ? “ Besok kalok udah gede juga bakalan malu sendiri sama kelakuannya dulu..hahaha “ Demikian jawaban bijak dari mas Lanteng, tukang ojek yang setia mengantarkan saya berpergian setiap hari ketika saya tanyakan tentang alay.
dengan sabar beranjak untuk meninggalkan tempat yang penuh sesak itu
Acara yang memuakkan itu pun akhirnya selesai, para petugas-petugas bodoh yang menjijikkan itu pun, akhirnya mengizinkan para penonton untuk keluar dari tempat pagelaran itu.
:)
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Tanpa beban, tanpa pusing harus memikirkan hari esok, mereka tertawa senang. Berjalan beriringan menyusuri bahu jalan menuju halte bis terdekat.
Agan Harahap