Senin, 25 Agustus 2014

Sepenggal Cerita Dari Jalan Pondasi



Barbershop tua yang berada di Jl. Pondasi dekat Pasar Ampera, Pulomas

Aroma wewangian pria merk 'Brut' cukup santer memenuhi ruangan itu. Seorang bapak yang sudah tua duduk terkantuk-kantuk di meja kasir dan musik boleros dari Trio Los Panchos lamat-lamat terdengar dari kaset tape tua di pojok ruangan. Sore itu 4 kursi di barbershop Pondasi sudah terisi penuh. Sambil menunggu giliran, ayah saya bercerita tentang 'sejarah' barbershop.  "Dulu, tukang pangkas dipercaya bisa menyembuhkan luka seperti bisul dan koreng dengan memotongnya dengan pisau cukurnya yang maha tajam itu. Maka dari itu, upayakanlah agar tidak terlalu banyak bergerak, supaya pisau itu tidak melukai mu". Ujar ayah saya menjelaskan. Saya cukup tercekat mendengarkan penjelasan dari ayah saya tadi. Entah benar atau tidak cerita ayah saya tadi, tapi cerita itu langsung membuat saya bertekad untuk berusaha untuk duduk diam dan tenang ketika prosesi pangkas itu berlangsung. Saya tidak mau kehilangan nyawa di tempat  itu.
"Silakan dik" ujar seorang tukang pangkas yang berkepala plontos sambil menyeringai dengan ramah seraya mempersiapkan papan kecil yang diletakkannya di antara pegangan kursi supaya saya bisa duduk cukup tinggi dan agar lebih nyaman ketika rambut saya dipotongnya.
"Kress.. Kress.." Dan sedikit demi sedikit rambut ikal saya yang tebal itu jatuh kelantai. Sampai pada akhirnya, tukang pangkas itu mengoleskan sabun dingin di sekujur pipi dan punuk leher saya. Ya Tuhan, ini adalah saat yang mendebarkan, ketika tukang pangkas itu akan memainkan pisau cukurnya untuk membabat habis rambut-rambut tipis yang tidak mungkin terpotong oleh gunting. Tukang pangkas itu nampaknya bisa merasakan ketegangan saya. Dia pun mulai mencairkan keadaan dengan bertanya seputar studi di sekolah sambil mengasah pisaunya diselembar kulit yang menjuntai di samping kursi. Mengingat cerita ayah saya sewaktu menunggu giliran tadi, sayapun diam membatu tak bergerak sedikitpun. Pisau yang dingin terasa dibelakang leher saya. "Kreettt... Kreett.." Suaranya begitu mencekam seolah-olah siap mencabut nyawa saya setiap saat. Namun hal itu tak pernah terjadi. Setelah rambut selesai dipotong, saya bahkan merasa lebih hidup, seolah baru dilahirkan kembali.
Beres giliran saya, ayah gantian menempati kursi yang saya duduki tadi. Tentu saja, dengan badan yang tinggi besar itu, ia tidak memerlukan kayu untuk menambah ketinggian posisi duduknya. Ayah saya adalah pelanggan setia barber shop itu semenjak dia masih menumpang tinggal di rumah opung saya di Jalan Mutiara. Jauh sebelum saya 'diciptakan' atau bahkan di 'rencanakan'.
Sebagai orang yang sudah lama kenal, mereka langsung terlibat dalam pembicaraan yang cukup akrab. Pembicaraan mereka cukup ringan namun terus mengalir. Tukang pangkas itu bercerita bahwa kalau setelah barbershop itu tutup, maka ia harus menumpang omprengan untuk pulang ke daerah Bogor. Tapi saya tidak tertarik untuk mendengarkan pembicaraan mereka. 
Saya lebih tertarik untuk mencermati suasana tempat itu. Di atas meja kasir, terdapat kepala rusa yang diawetkan. Di bawahnya terdapat lukisan repro tentang suasana barbershop alla Eropa. Di kursi tunggu, terdapat majalah-majalah lama namun saya pun tidak tertarik untuk membukanya. Di belakang barbershop itu ada sebuah pintu alla saloon cowboy yang menghubungkan tempat itu ke rumah belakang yang tampak gelap. Bosan dengan ruangan itu, saya pun berjalan keluar. Di sebelah barberhop itu, terdapat toko penyewaan video dan laser disc. Dan poster film yang tertempel di kaca etalasenya adalah film "Akibat Kanker Payudara" yang dibintangi oleh Cok Simbara dan Chintami Atmanegara. Saya cukup lama memperhatikan poster itu seraya membayangkan payudara montok Chintami Atmanegara. Maklum saja, waktu itu saya belum mengerti ganasnya penyakit kanker sehingga kata 'payudara' lebih mendominasi imajinasi saya. Tidak banyak hal yang bisa saya nikmati di luar. Saya kembali masuk ke dalam barbershop itu. Rupa-rupanya ayah saya telah selesai memotong rambutnya dan kini beliau sedang menikmati pijitan tukang pangkas yang berkepala plontos tadi. Saya terus mengamat-amati tiap sudut dari ruangan barershop itu sambil perlahan menikmati lantunan suara merdu dari Trio Los Panchos.

Cerita di atas, adalah sepenggal memori yang masih melekat di benak saya akan tempat pangkas rambut (barbershop) di jalan Pondasi Kampung Ambon, Pulomas. Memori ketika saya masih duduk di Sekolah Dasar. Lebih dari 25 tahun yang lalu.



Minggu yang lalu, sewaktu berlibur ke Jakarta, saya menyempatkan diri berkunjung ke tempat itu untuk memangkas rambut yang sudah mulai meng-kribo. Barbershop Pondasi cukup ramai pengunjung. Dan sambil mengantri, saya pun melayangkan ingatan saya ke beberapa puluh tahun lalu.
Rupanya barbershop itu sudah bergeser 1 toko ke sebelah pojok. Barbershop itu kini berdiri di tempat yang dulunya adalah garasi mobil. Sementara bangunan lama sudah berubah menjadi warung pecel lele.  Interior barbershop itu tidak banyak berubah. Meja dan kaca utama tampak mengkilap sepertinya memang masih baru dan tentu saja, suara merdu Trio Los Panchos itu sudah tidak terdengar lagi. Berganti dengan suara cempreng penyiar Gen FM yang mencoba melucu dengan lawakan-lawakan menghujat fisik khas jaman sekarang. Selebihnya interior barbershop itu masih terlihat sama seperti dulu. Kepala rusa awetan itu masih tergantung dengan gagah di atas meja kasir. Dan lukisan repro suasana baerbershop alla eropa masih tergantung di bawahnya.
Tapi tukang pangkas yang berkepala plontos dulu sudah tidak ada. Begitupun juga dengan bapak yang selalu terkantuk-kantuk di balik meja kasir. Hampir semua personel barbershop itu adalah anak-anak muda yang usianya rata-rata di bawah saya. Kecuali seorang bapak berbadan bungkuk dengan rambut yang sebagian besar sudah memutih. Ya, saya ingat bapak ini. Dulu bapak ini adalah 'junior' yang kerap menyapu membersihkan sisa-sisa rambut yang berceceran di lantai. Giliran saya tiba. Dan bapak itu tersenyum ramah mempersilakan saya untuk duduk di kursi. Tentu saja, saya tidak lagi duduk di atas papan kayu.
Saya sengaja untuk tidak bertanya apapun kepada bapak tua itu. Saya masih 'memegang teguh' cerita ayah saya dulu, bahwasannya kita harus duduk diam ketika sedang dipangkas supaya tidak terjadi suatu hal yang tidak diinginkan. Saya hanya duduk dengan diam sambil terus mengingat-ingat keadaan barbershop itu puluhan tahun yang lalu. Rupanya saya adalah 'pasien' terakhir untuk saat itu. Sebentar lagi azan Maghrib akan berkumandang sehingga wajar saja kalau barbershop itu sepi. Setelah membayar di kasir, saya mencoba berbincang dengan bapak bungkuk tadi tentang tempat itu. Tak disangka, walaupun bapak itu tidak mengenali saya, namun beliau masih ingat bahwa ada seorang laki-laki gondrong dan brewokan yang sampai empat tahun yang lalu, hampir sebulan sekali selalu mengunjungi tempat itu. Ya, dia masih ingat dengan almarhum bapak saya. Beliau kaget dan mengucapkan belasungkawanya setelah tahu bahwa pelanggan setianya kini telah tiada. Dia pun bercerita bahwa tukang pangkas berkepala botak dan kasir yang biasa duduk terkantuk-antuk itupun juga kini telah meninggal dunia. Cukup lama kami berbincang-bincang. Dia tampak tersenyum senang ketika saya bisa dengan fasih menceritakan apa yang masih saya ingat terhadap tempat itu. 

Hari sudah mulai gelap. Satu demi satu pengunjung mulai berdatangan memenuhi barbershop itu. Bapak bungkuk itu pamit karena harus kembali menunaikan tugasnya. Saya masih berdiri merokok di depan sambil memandang takzim ke arah barbershop itu. Mengingat umurnya yang sudah melampaui 2 generasi, saya yakin bahwa ada puluhan atau bahkan ratusan orang lain yang juga punya kenangan tersendiri terhadap tempat itu. Sebuah pesan dari istri masuk menanyakan keberadaan saya. Waktunya untuk pulang dan menyudahi segala cerita sentimentil ini. Saya mengayuh sepeda menuju ke rumah. Angin malam yang dingin bertiup perlahan menyebarkan semilir wangi  aroma 'Brut' di kepala saya.