Selasa, 06 Oktober 2015

KATAKAN DENGAN BUNGA





"Selamat berbahagia"
- Dari aku yang masih mencintaimu

Demikian tulisan yang tertera di atas karangan bunga di sebuah resepsi pernikahan.

Memberi bunga untuk maksud/tujuan tertentu sudah menjadi hal yang biasa dan sering kita temui di hampir semua budaya di dunia. Mulai dari ucapan selamat, sampai ucapan turut berdukacita, semua di sampaikan dengan bunga. Tapi entah kenapa selalu saja bunga yang disertakan sebagai penyerta dalam berbagai ucapan. Saya rasa kayu atau batu tentu tidak kalah puitisnya bila dijadikan sebagai penyerta dalam berbagai ucapan selamat. Tapi apa hendak dikata, memberi bunga untuk penyerta ucapan atau maksud-maksud lain sudah menjadi konvensi global sejak jaman dahulu.

Bagi beberapa kalangan, bunga atau karangan bunga menjadi ajang tersendiri untuk menunjukkan posisi dan kedudukan dalam strata sosial tertentu. Banyaknya karangan bunga yang dipajang sampai jauh di luar dari lokasi resepsi, seoalah menunjukkan bahwa sang penerima karangan bunga tadi menduduki posisi tertentu dalam masyarakat sampai menerima ucapan selamat yang begitu banyaknya. Belum lagi bila kita bicara soal orang yang mengirim karangan bunga. Dalam bebagai kesempatan, kita sering kali menjumpai karangan bunga yang nama pengirimnya justru lebih menonjol ketimbang kata-kata ucapannya maupun nama orang yang dituju. Dan tentu saja, gelar/ jabatan/ predikat tertentu dari sang pengirim bunga seringkali menjadi alasan untuk mengesahkan tindakan diskriminatif terhadap karangan-karangan bunga.

Pada upacara kematian opung boru (nenek) saya beberapa tahun yang lalu, nampak sebuah karangan bunga yang cukup mentereng di bandingkan karangan-karangan bunga lainnya. Karangan bunga yang diletakkan tepat di depan pintu masuk rumah duka bertuliskan: 'Turut berduka cita atas berpulangnya Ny. H. Harahap Br Hutabarat' dari MENTRI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA: JERO WACIK. Saya tidak habis pikir, kenapa bisa-bisanya karangan bunga dari orang yang sama sekali tidak kami kenal malah ditempatkan tepat di depan pintu masuk, hanya karena orang itu menjabat sebagai mentri. Kenapa justru karangan-karangan bunga dari handai taulan dan kerabat dekat yang jelas mengenal baik opung kami malah diletakkan dipinggir. Inilah yang saya maksudkan dengan tindakan diskriminatif terhadap bunga. Tapi sebagai cucu, tentu saja saya tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima dan memakluminya. Untung saja waktu itu Jero Wacik belum ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Andaikan waktu itu dia sudah menjadi posisi tersangka korupsi, apakah karangan bunga darinya itu masih diletakkan di posisi mentereng itu? Saya rasa tidak.

Tentu saja, karangan bunga dengan ucapan selamat dari sang mantan tadi jauh terasa lebih tulus dan syahdu ketimbang karangan bunga pemberian pejabat atau presiden sekalipun. Dan sudah sepantasnya karangan bunga yang jujur dan syahdu tadi mendapat tempat khusus melebihi segala ucapan-ucapan dari mentri dan apartur negara walaupun hanya di dalam hati.


Agan Harahap