Sabtu, 24 Desember 2011
Senin, 19 Desember 2011
MONEY CULTURE
Behind The Scene : The Revenge of King Kong
The Idea :
Saya membuat karya ini dalam rangka merespon tema pameran "Money Culture" yang diadakan di Garis Art Space.
Setelah selama sekian waktu saya berpikir, entah kenapa tiba-tiba saya teringat akan film King Kong yang sempat marak beberapa tahun yang lalu. Pada adegan terakhir, King Kong, raksasa primitif itu tewas di tengah-tengah kota megapolitan.
Saya lantas menganalogikan adegan ini dengan hubungannya dengan tema pameran itu.
Kekuatan fisik (otot) adalah bentukan primitif dan bukan lagi menjadi tolak ukur akan kekuasaan. Sementara uang adalah bentuk kekuatan absolut. Segalanya dapat diraih dengan uang. Jodoh,kecantikan sampai nyawa, semua dapat dibeli dengan uang.
Makin kuat jumlah nominal uang yang dimiliki, makin besar pula kekuatan dan kekuasaan yang dapat diraih.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka saya membuat lakon 'pembalasan King Kong' yang kembali ke kota megapolitan dengan 'kekuatan baru-nya'.
The Process :
Setelah tau bahwa Willy Jonjot, (tetangga apartemen saya) ternyata mempunyai 'tabungan' uang logam yang cukup banyak (1 ember), maka saya meminjamnya untuk membuat kostum si king kong.
Dengan dibantu sahabat saya, Angga, maka selama 2 hari kami sibuk merangkai uang-uang itu. Setelah melalui berbagai percobaan, akhirnya kami menemukan cara yang cukup efektif untuk menempelkan koin-koin itu. Alhasil, koin-koin itu melekat secara sempurna dan permanen ( Sorry yah mas Jot).
GRACIAS!
Saya membuat karya ini dalam rangka merespon tema pameran "Money Culture" yang diadakan di Garis Art Space.
Setelah selama sekian waktu saya berpikir, entah kenapa tiba-tiba saya teringat akan film King Kong yang sempat marak beberapa tahun yang lalu. Pada adegan terakhir, King Kong, raksasa primitif itu tewas di tengah-tengah kota megapolitan.
Saya lantas menganalogikan adegan ini dengan hubungannya dengan tema pameran itu.
Kekuatan fisik (otot) adalah bentukan primitif dan bukan lagi menjadi tolak ukur akan kekuasaan. Sementara uang adalah bentuk kekuatan absolut. Segalanya dapat diraih dengan uang. Jodoh,kecantikan sampai nyawa, semua dapat dibeli dengan uang.
Makin kuat jumlah nominal uang yang dimiliki, makin besar pula kekuatan dan kekuasaan yang dapat diraih.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka saya membuat lakon 'pembalasan King Kong' yang kembali ke kota megapolitan dengan 'kekuatan baru-nya'.
The Process :
Setelah tau bahwa Willy Jonjot, (tetangga apartemen saya) ternyata mempunyai 'tabungan' uang logam yang cukup banyak (1 ember), maka saya meminjamnya untuk membuat kostum si king kong.
Dengan dibantu sahabat saya, Angga, maka selama 2 hari kami sibuk merangkai uang-uang itu. Setelah melalui berbagai percobaan, akhirnya kami menemukan cara yang cukup efektif untuk menempelkan koin-koin itu. Alhasil, koin-koin itu melekat secara sempurna dan permanen ( Sorry yah mas Jot).
Kami pun memulai sesi pemotretan. Lagi-lagi Angga memegang peran yang cukup besar sebagai asisten sekaligus model dalam pembuatan karya ini. Selama lebih dari setengah jam tersiksa dalam kepanasan dan aroma aibon, maka sang model menyerah dan menyatakan dirinya mabuk aibon. (Konon, mabuk lem adalah kasta terendah dalam ajang permabukan). hahaha...
The Result:
Inilah hasil dari perjuangan kami selama ini : " The Revenge of King Kong".
Karya ini dapat disaksikan di Garis Art Space sampai dengan tanggal 23 Desember mendatang.
Karya ini dapat disaksikan di Garis Art Space sampai dengan tanggal 23 Desember mendatang.
GRACIAS!
Senin, 05 Desember 2011
Selasa, 08 November 2011
Melbourne, Oktober 2011
Saya dan beberapa kawan dari Mes56 Jogja, berkesempatan untuk memamerkan karya-karya kami di Centre for Contemporary Photography (CCP) Melbourne. Ini adalah sebagian foto-foto dari lawatan dakwah fotografiyah kami ke Melb tempo hari. Selamat menikmati!
Rumah Di Negeri Kangguru
Untuk 6 hari pertama, kami tinggal di sebuah hotel yang cukup mewah dengan pemandangan lansekap kota Melbourne yang menakjubkan.
Akibat 'kesalahan teknis', maka kami terpaksa harus menumpang untuk tinggal semalam di rumah Georgia Sedgwick, kurator kami yang baik hati dan 'untungnya' teramat fasih berbahasa Indonesia. Jadi kami sama sekali tidak susah-susah memakai 'bahasa tarzan' dalam berkomunikasi dengannya.
Casey's House
Hari berikutnya, kami pun pindah ke sebuah rumah tua. Casey's House. Rumah ini termasuk salah satu bangunan tertua di kota Melbourne. Menurut buku yang tak sengaja saya temui disana, rumah itu adalah bekas kediaman seorang tokoh Australia: Richard Casey.
Interior dan beberapa bagian rumah tetap di pertahankan seperti aslinya. Bahkan di dalam lemari pun masih terdapat berbagai peralatan make-up dsb yang tetap dibiarkan sebagaimana aslinya.
Rumah ini kini diperuntukkan untuk seniman yang berkunjung di Melb dengan tarif yang cukup yang terjangkau.
Gertrude Contemporary
Adalah tempat pameran dan kumpulan dari belasan studio residensi yang memproduksi karya-karya seni mutakhir dari berbagai seniman kekinian. Kami berkesempatan melawat salah satu 'situs suci' ini.
Tralala- trilili bersama teman-teman
One Day With Danius Kesminas
Enerjik dan lincah. Itulah kata-kata yang saya rasa paling tepat untuk menggambarkan sosok kawan baru ini. Danius adalah pengagas dan pendiri band 'punk fenomenal' bernama Punkasila
Food And Drink
Untuk sebagian orang, adalah kampungan apabila memamerkan foto-foto makanan dan minuman. Tapi buat saya (sebagai orang yang gemar makan dan minum), ini adalah bentuk 'penghormatan' saya kepada apa yang telah saya telan yang memberikan kekuatan dan kesehatan dalam melangsungkan hari-hari dalam kehidupan saya.
Jamuan makan malam yang sangat mengesankan di rumah Saskia Schut.
Berikut jajanan kami sehari-hari
MELBOURNE & BLABLABLA
Demikianlah lawatan singkat dalam rangka 'dakwah fotografiyah' saya di negri kangguru. Terimakasih untuk MES56, CCP, Georgia Sedgwick, Kristi Monfries, Adri Gunawan, Esti Nurjadin, Vivi Yip dan teman-teman lain yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu.
*photos by Agan Harahap dan Angki Purbandono
PS : I Want to Believe!
Berikut adalah foto 'penampakan' yang tak sengaja saya tangkap di pesawat ketika pagi menjelang di ketinggian sekian ribu meter di atas Sumatera. Dua cahaya benderang tampak berada beberapa puluh meter di bawah sayap pesawat dan segera melesat cepat dan menghilang ditelan langit.
Langganan:
Postingan (Atom)