Tadi sore, saya dan istri menyempatkan diri untuk menyanyikan lagu anak-anak dalam upaya menenangkan anak saya yang sedang rewel seharian karena habis diberi vaksin. Rasa-rasanya sudah hampir semua lagu anak-anak yang kami tahu, sudah kami nyanyikan. Namun Merdu, nama anak kami, masih saja rewel. Tiba-tiba saja saya teringat akan sebuah lagu anak-anak yang dulu pernah hits di masa saya masih kecil. Sebuah lagu yang berjudul 'Anak Jalanan' yang dipopulerkan oleh penyanyi cilik bernama Fadly di era awal 90-an.
"Di jalan ku dicaci dimaki, ku hanya bagai sampah kota ini.. Hujan panas kuberatap langit
Siang malam kemana ku pulang.. " dst dst..
Siang malam kemana ku pulang.. " dst dst..
Lagu itu bercerita tentang seorang anak jalanan yang hanya bisa menatap sedih ketika melihat kawan-kawannya bersekolah, karena dia harus segera berjualan koran demi untuk sesuap nasi. Saya lupa-lupa ingat dengan liriknya. Hanya beberapa lirik bridge dan reffrainnya yang masih saya ingat. Pokoknya, ini adalah sebuah lagu dengan lirik yang 'cukup berat' untuk dinyanyikan seorang anak yang masih berusia dini.
Dengan bantuan Youtube, saya berhasil menemukan lagu tersebut dan menyanyikannya dengan lantang di depan anak saya yang baru berusia 2 bulan.
Setelah lagu 'Anak Jalanan' itu selesai, saya pun langsung tergoda untuk memutar lagu-lagu lain sejenis yang ditawarkan oleh situs itu. Lagu dengan judul 'Selamat Tinggal Lampu Merah' yang juga dinyanyikan oleh Fadly menjadi pilihan saya.
" Di sudut jalan ini, di bawah lampu merah.. Bermandi peluh membasah tubuh, ku meringankan beban orang tuaa.." dst dst..
Istri saya, Itta S Mulia, yang sejak tadi diam saja melihat kelakuan suaminya, langsung menyatakan keberatannya terkait
lirik yang terlalu sedih untuk dinyanyikan di depan anak kami. Tapi
bagaimanapun juga, itu adalah lagu anak -anak yang saya pelajari dan
saya nyanyikan sewaktu saya masih kecil dulu. Dengan balutan nuansa rock yang kental, sang penyanyi cilik mengisahkan kebulatan tekadnya untuk meninggalkan kegiatannya mencari nafkah di lampu-lampu merah demi masa depan. Walau di lagu itu tidak dijelaskan bagaimana upayanya untuk keluar dari kehidupan jalanan itu.
Merdu nampaknya makin gelisah mendengar bapak-nya bernyanyi. Rupanya lagu-lagu bertemakan realisme sosial itu tak mampu menenangkan hatinya. Saya pun keluar kamar dan menuju komputer guna meneruskan nostalgia musikalitas saya. Saya terpancing untuk membuka sebuah link video yang menampilkan Charly ST12. Ah.. Rupa-rupanya Charly pun mengalami masa anak-anak yang sama dengan saya. Di video itu tampak Charly dengan lancar menyanyikan lagu 'Selamat Tinggal Lampu Merah' dan diapun mengutarakan bahwa inilah lagu anak-anak yang menyertai pertumbuhannya masa kecilnya.
Menurut penyelidikan saya, rupa-rupanya lagu 'Anak Jalanan' dan 'Selamat Tinggal Lampu Merah' berada dalam satu album yang berjudul sama. Selain itu terdapat juga lagu 'Asongan', 'Balada Anak Desa' dan lagu-lagu lain dalam besutan nada dan lirik yang begitu menyayat-nyayat bagi seorang anak kecil.
Setelah puas bernostalgia dengan Fadly, saya pun berselancar ke era yang lebih lawas lagi. Era 80-an.
Ini adalah era-nya Julius Sitanggang. Saya memang tidak begitu akrab dengan lagu anak-anak yang dinyanyikan Julius Sitanggang karena saya baru mulai mendengarkan, menghafal dan menyukai musik anak-anak, justru di era 90an. Era dimana sang penyanyi cilik bersuara emas itu telah beranjak menjadi remaja dan mulai meniti karier dengan menyanyikan lagu-lagu cinta. Maka wajar saja, ketika menyebut nama Julius Sitanggang, yang langsung teringat oleh saya adalah lagu 'Maria'. Saya rasa, hampir semua orang pada masa itu pasti tau lirik maha sedih lagu itu :
" Mariaa.. Akhirnya Tuhanpun memanggilmuuu.. Walau kau tlah tiadaa.. pergi untuk slamanyaa..dst dst.. "
Maaf, saya terkadang suka menjadi sentimentil kalau mendengarkan lagu Maria. Sebab saya ingat ketika pertama kali mendengar lagu Maria di radio (saya masih SD), tanpa sengaja air mata saya pun menetes tanpa sebab yang pasti. Padahal saya tidak punya satu pun kawan yang bernama Maria. Hanya karena nada dan lirik lagu yang terlalu sedih bagi saya pada waktu itu. Walaupun ketika saya mendengarkannya lagi, ada sedikit tanya yang timbul dalam hati. Kok bisa-bisanya dulu saya sampai menangis mendengar lagu Maria?
Ehemm.. Ok. Mari kita kembali ke pokok bahasan tentang 'lagu-lagu berat' anak-anak 80-90an.
Pilihan saya berikutnya jatuh pada lagu 'Doa Penyemir Sepatu'. Suara Julius Sitanggang yang begitu jernih, serta ditambah lagi dengan lirik yang membius tentang kisah seorang anak yang mencari nafkah di sebuah terminal tua dengan menggantungkan harapan pada setiap pendatang yang mau menyemirkan sepatunya. Walaupun di awal lagu sekilas terdengar mirip Ebiet G Ade, dan di bagian reffrain mirip Deddy Dores, tapi saya suka lagu ini.
"Dalam kesibukan dan bisingnya kota..Matamu sibuk mencari pendatang.
Sepasang sepatu suatu harapan bagi dirimu.. dst dst.."
Sepasang sepatu suatu harapan bagi dirimu.. dst dst.."
Di akhir lirik lagu tersebut, terdapat kata-kata,
" Sebait doa ku ucapkan, semoga cerah masa depan mu nanti.."
Ah.. Manis sekali. Setidaknya di lirik penghabisan itu mengajak anak-anak kita agar bisa lebih berempati terhadap orang lain.
Saya pun beralih kepada playlist berikutnya. Masih dengan suara jernih Julius Sitanggang. Lagu kedua berjudul : 'Balada Anak Nelayan'. Lagu ini bercerita tentang kehidupan keseharian anak-anak nelayan. "Seharian ini telah kulewati dengan bubu dan kail ditanganku".Saya kagum bahwa keranjang bubu pun dimasukkan kedalam lirik lagu ini. Saya teringat tahun 80-90an, ketika saya masih tinggal di Cempaka Putih, saya dan kawan-kawan membuat bubu dengan menggunakan botol bekas dan tempat cat untuk menangkap ikan di empang-empang. Dan alangkah 'cupu-nya' bila pada saat itu, kami tidak bisa merangkai kail untuk mencari belut di got. Saya rasa tidak mungkin lagi anak-anak sekarang tahu tentang keranjang bubu. Bahkan istri saya pun tidak tau keranjang bubu untuk menangkap ikan.
Ah, sungguh beruntung saya melewati masa kanak-kanak saya di era itu. Ketika kami masih bisa bermain dengan bebas di kolam dan kebun. Dan jujur saja saya terkadang iri hati dengan kawan-kawan yang melewatkan masa kecilnya di laut, desa bahkan di hutan sekalipun.
Playlist terus berputar secara otomatis menemani saya melanjutkan tulisan ini. Lagu-lagu sejenis seperti : 'Cita-Cita Anak Petani', 'Doa Untuk Mu Kawan', dst terus mengalun pelan seraya membangkitkan memori saya pada kehidupan masa kecil saya.
Tiba-tiba terdengar lagu yang cukup familiar di telinga saya. Saya pun segera mengecek siapa yang menyanyikannya. Rupa-rupanya Janter Simorangkir lah sayang empunya suara emas itu. Lagu berjudul 'Katakan Mama' bercerita tentang kepedulian seorang anak kecil yang bertekad untuk membatu ibu nya bekerja.
"Ingin ku membantu Mamaaa.. Menyemir pun mau.. Sambil ku menjual koraann.. Sepulang sekolah..dst dst".
Dan sayapun kembali terlena dan tenggelam dalam lirik-lirik humanis yang menyayat hati tersebut.
Setelah Julius Sitanggang beranjak remaja dan menjelma menjadi penyanyi pop dewasa, Janter Simorangkir nampaknya sukses meneruskan kiprah 'senior'nya dalam menyanyikan lagu anak-anak dengan lirik yang 'berat' itu. Namun ada satu lagu dari Janter Simorangkir yang bagi saya cukup 'wow' yaitu lagu berjudul 'Kanker Ganas'. Saya tidak menemukan data apapun tentang lagu ini di internet. Hanya ada 1 link lagu ini di youtube. Walaupun kualitas rekaman digitalnya buruk sehingga liriknya tidak terdengar jelas, tapi sungguh mengejutkan bagi saya ketika ada lagu anak-anak yang berkisah tentang kanker ganas. Mungkinkah tema kanker pada waktu itu tengah menjadi momok di masyarakat kita? Karena pada era yang kurang lebih sama, seorang penyanyi senior, Tommy J Pisa menyanyikan lagu serupa dengan judul 'Akibat Kanker Ganas'. Dan rupa-rupanya di dunia film, ada pula sebuah film 'hits' yang berjudul 'Akibat Kanker Payudara' yang dibintangi Cok simbara dan Chintami Atmanegara. Tapi seorang anak kecil seperti Janter menyanyikan lagu 'Kanker Ganas' ? Entahlah..
Dan setelah Fadly, Julius Sitanggang dan Janter Simorangkir, saya pun menemukan beberapa lagu-lagu anak-anak dengan lirik-lirik yang berat namun realistis dari periode yang acak.
Ada Ben Silitonga yang memposisikan dirinya sebagai 'Aku Anak Orang Tak Punya'. Penyanyi cilik Jachri Fisher ikut mewarnai 'era kegelapan lagu anak-anak' ini dengan lagunya yang berjudul 'Tanah Merah', yang bercerita tentang kematian kedua orang tuanya. John Tanamal, muncul dengan lagu berjudul 'Katakan Papa' yang menceritakan tentang perpisahan kedua orang tuanya.
Belum lagi Abiem Ngesti yang populer dengan lagu 'Pangeran Dangdut', tak ketinggalan menyanyikan lagu-lagu bertema 'berat' ini dengan lagunya yang berjudul 'Tirai Kehidupan'
Saya rasa, di tiap beberapa lagu yang muncul dalam satu periode, tentu punya beberapa kemiripan yang mewakili era-nya sendiri. Sehingga kita bisa menarik sebuah benang merah yang menggambarkan suatu gejolak sosial yang terjadi dalam satu periodisasi zaman. Kemiripan-kemiripan tadi tidak hanya melulu dari nada, tema atau lirik semata. Tapi bisa juga dilihat dari jenis musiknya sendiri.
Bila kita
mendengarkan lagi lagu anak-anak pada era Adi Bing Slamet, Ira Maya
Sofa, Cicha Koeswoyo dll. Hampir di tiap lagu pada era tersebut nuansa
pop yang ceria mulai terasa. Lagu-lagu seperti 'Mak Inem Tukang Latah', 'Hely', 'Sepatu Kaca', 'Bebek-Bebek Ku' dan sebagainya, dipenuhi nuansa ceria dengan pemakaian efek sound yang jenaka pada era itu. Bahkan untuk musik dengan tempo yang lebih pelan, seperti 'Aku Sedih Duduk Sendiri', kita masih bisa mendapatkan nuansa positif yang menggambarkan keceriaan seorang anak ketika kedua orang tua yang pulang ke rumah setelah kembali dari bepergian. Entah gejolak sosial apa yang terjadi di tanah air pada waktu itu, mungkinkah pertumbuhan perekonomian serta meningkatnya daya beli di masyarakat secara tidak langsung turut berperan serta dalam warna musik anak-anak pada era itu? bisa saja.. Sebab konon, Operet Cinderella yang dibintangi oleh Ira Maya Sopha dengan Dina Mariana mendulang kesuksesan yang luar biasa dengan membludaknya penonton-penonton cilik yang harus mengeruk uang dari kantong orang tua mereka dengan jumlah yang tidak sedikit pada waktu itu untuk bisa menyaksikan pagelaran atau membeli kasetnya.
Ciri lain yang bisa terbaca dengan cukup jelas adalah bila kita menarik mundur beberapa puluh tahun sebelum Adi Bing Slamet dkk lahir. Lagu anak-anak ciptaan Ibu Soed, Ibu dan Pak Kasur, Koesbini, sedikit-banyak kita bisa merasakan 'warna-warna patriotik' di tiap lagunya. Mungkin warna patriotik ini tidak tergambarkan melalui lirik-lirik di lagu-lagu itu. Tetapi nada dan irama lagu-lagu tersebut mengingatkan saya pada jenis musik march yang bersemangat yang biasa dipakai dalam lagu-lagu perjuangan. Coba kita perhatikan, lagu 'Menanam Jagung', 'Naik Kereta Api', 'Tik Tik Tik Bunyi Hujan' dll, tempo atau ketukan lagu-lagu tersebut mirip dengan lagu-lagu Berkibarlah Bendera Ku, Bangun Pemudi Pemuda, Maju Tak Gentar dan lainnya.
Sementara pada lagu anak-anak yang berirama lambat seperti 'Kupu-Kupu Yang Lucu', 'Oh Amelia', 'Ambilkan Bulan Bu' dll, mengingatkan saya pada lagu-lagu hymne seperti 'Indonesia Tanah Air Beta', 'Padamu Negeri' dsb.
Lalu, apa yang terjadi pada lagu anak-anak era 80-90an ? Apa yang membuat pencipta-pencipta lagu anak-anak pada masa itu malah menciptakan lagu-lagu tentang kematian, perceraian, serta berbagai kesulitan hidup untuk dibawakan oleh penyanyi-penyanyi ciliknya?
Mungkin saja tema-tema gelap itu adalah titipan pemerintah yang pada era itu sedang gencar-gencarnya menggalakkan program Keluarga Berencana, agar para orang tua bekerja lebih keras demi kesejahteraan anaknya. Atau mungkin juga masyarakat pada era itu sudah letih dengan segala keceriaan-keceriaan semu dan ingin agar anak-anaknya lebih realistis dalam menghadapi kehidupan.
Ataukah jangan-jangan ini adalah upaya propaganda bangsa asing yang bertujuan untuk merusak generasi bangsa kita?
Entahlah, saya tidak bisa menemukan sebab musabab terciptanya lirik-lirik nan menyayat hati itu.
Namun setidaknya saya bisa menemukan nilai-nilai positif dari lagu anak-anak yang 'realistis' itu. Dengan mendengarkan lagu 'Selamat Tinggal Lampu Merah', 'Anak Jalanan', 'Doa Penyemir Sepatu' dll atau bahkan lagu anak-anak yang berjudul 'Kanker Ganas' sekalipun, saya bisa belajar untuk lebih realistis dalam menyikapi kehidupan ini serta bisa lebih menaruh empati terhadap sesama.
Bila sejak tadi sudah membicarakan panjang lebar tentang lagu anak-anak dari jaman ke jaman, lantas bagaimana pula dengan lagu anak-anak era 2000-an sampai sekarang? Bagaimana dengan lagu-lagu hits dari Puput Melati, Enno Lerian, Trio Kwek-Kwek, Agnes Monica, Joshua Suherman, Tasya dan ribuan lagi pendatang baru lain di blantika musik anak tanah air? Entahlah, sebab ketika mereka mulai bermunculan, saya sudah menyibukkan diri dengan menabung agar bisa membeli kaset Iwan Fals.
Agan Harahap
*Pemerhati musik anak dan bukan penggemar Papa T Bob
PS: Lalu bagaimana pendapat mu tentang lagu anak-anak masa kini?
Tambahan : Menurut Denny Sakrie, pengamat musik, 'realisme kelam' dalam lagu anak-anak era 80-90an itu disebabkan karena dipengaruhi oleh lagu-lagu balada yang memang pada saat itu tengah booming di Tanah Air. Kemunculan 'Power Ballads' dan diikuti dengan slow rock Melayu, yang ditandai dengan hits Isabella dari Search dan Suci Dalam Debu dari /Iklim sedikit banyak juga memberi kontribusi dalam 'realisme' lagu anak-anak di era itu.
Tambahan : Menurut Denny Sakrie, pengamat musik, 'realisme kelam' dalam lagu anak-anak era 80-90an itu disebabkan karena dipengaruhi oleh lagu-lagu balada yang memang pada saat itu tengah booming di Tanah Air. Kemunculan 'Power Ballads' dan diikuti dengan slow rock Melayu, yang ditandai dengan hits Isabella dari Search dan Suci Dalam Debu dari /Iklim sedikit banyak juga memberi kontribusi dalam 'realisme' lagu anak-anak di era itu.