SAKSI MATA
Kelebat
pohon dan aspal tampak begitu cepat saat kendaraan yang membawaku
melaju tanpa kuketahui tujuannya. Terik matahari Bali semakin membuatku
tidak berselera untuk berbasa-basi membuka obrolan dengan anak-anak lain
yang juga berhimpitan dan terhuyung-huyung bersamaku. Kami sibuk dengan
pikiran masing-masing. Hanya suara mesin yang terdengar.
"Kepanasan
yah?" tanya seorang anak di sebelahku akhirnya memecah keheningan.
Dengan meringis aneh, ia tampak sibuk menyeka ingusnya yang terus
menerus keluar.
Tanpa
berkata-kata, aku hanya menjawabnya dengan anggukan kecil. Seraya
memberi tanda bahwa aku tidak berminat melanjutkan obrolan lebih jauh.
Kamipun kembali diam dan terhuyung-huyung di atas mobil itu.
Sepintas
teringat saat-saat terakhir ketika petugas-petugas berseragam memaksa
kami untuk keluar dari panti asuhan itu untuk segera menaiki kendaraan
yang telah disediakan.
"Ayo
lekas, itu satu lagi belum naik. Cepat sedikit, nanti keburu sore!"
seru bapak petugas berseragam saat menaikkan kami. Sedikit terkejut, aku
hanya bisa diam dan menurut. Beberapa anak lain mulai menangis,
sementara satu-dua anak lain mulai bergumam khawatir.
Dan sejurus kemudian, disinilah kami saat ini, berhimpitan dan terhuyung-huyung.
---
Panti
asuhan itu terletak di belakang rumah. Asri dan teduh. Terlindung dari
teriknya matahari Sanur yang seakan menusuk kulit. Kami sungguh merasa
beruntung, ibu asuh kami adalah seorang wanita yang penyayang. Ibu
menanam pokok-pokok pisang dan beberapa pohon besar untuk melindungi
kami bermain. Pepohonan itu juga memagari kami dari bagian depan rumah,
mungkin karena ibu tidak mau terganggu dengan celoteh kami saat menerima
tamu-tamunya. Belakangan, beberapa orang terpandang memang kerap
mengunjungi ibu di rumah bagian depan.
Bukan
bermaksud menyombongkan diri, aku merasa mendapat perhatian yang lebih
dibandingkan anak-anak lainnya. Ibu memang lebih sering menghampiriku
untuk bercerita atau sekadar mengobrol tentang berbagai hal. Dengan
beberapa keistimewaan yang kuterima ini, aku merasa menjadi anak
kesayangan ibu.
Berbeda
dengan panti asuhan lain yang mengajarkan soal kedisiplinan dan
kemandirian, di tempat ini kami merasa sangat bebas. Bermain,
berceloteh, semua bebas kami lakukan. Bahkan kami nyaris tidak pernah
melakukan pekerjaan berat. Ada seorang kakak perempuan yang cantik
selalu siap sedia mengurusi kami. Segala keperluan sehari-hari kami
diatur oleh kakak cantik itu. Mulai dari menyediakan makanan hingga
membereskan kamar, kakak yang mengerjakan. Inilah yang membuatku merasa
senang dan betah tinggal di panti asuhan ini.
"Gimana
sih kamu? Itu belum selesai, mau dipukul lagi?" bentak ibu kepada kakak
di suatu pagi. Ya, hardikan ibu kepada kakak memang seakan sudah
menjadi rutinitas di pagi hari. Ibu memang sangat keras terhadap kakak.
Terkadang aku risih melihat perlakuan ibu yang berlebihan itu. Hal-hal
kecil yang lalai kakak lakukan bisa menjadi sebuah bencana bagi kakak.
Kalau sudah begitu, kakak hanya bisa menangis sesegukan tanpa suara
sambil meneruskan pekerjaannya. Aku memang tidak pernah mengenal kakak
secara pribadi. Kakak memang cenderung pendiam, ia lebih banyak
bersenandung sendiri saat bekerja. Walaupun demikian, aku kerap iba
melihat perlakuan ibu yang tidak segan-segan memarahinya di depan kami.
Aku sendiri tidak tahu, mengapa kakak mendapat perlakuan yang sangat
berbeda dengan kami.
---
Anak di sebelahku masih sibuk mengelap ingusnya. Semakin lama terhuyung-huyung dan berhimpitan di mobil ini. Aku merasa mual.
---
Bau
busuk yang datang dari tumpukan sampah di sebelah kamarku semakin
menyengat. Awalnya memang tidak terlalu mengganggu, karena biasanya
sampah akan segera dibakar atau dibuang. Namun entah mengapa, kali ini
dibiarkan begitu saja. Sudah beberapa hari ini kakak cantik yang biasa
mengurusi kami tidak terlihat. Aku ingat terakhir kali aku melihatnya,
ia pergi bersama salah satu pengurus rumah yang lain. Sementara ibu,
yang sangat menyayangi kami, memang cukup cekatan mengurusi rumah. Namun
seiring faktor usianya yang semakin bertambah, kekuatannya pun
berkurang.
Semakin
hari bau busuk itu semakin menyengat. Aku dan beberapa anak lain sudah
mencoba protes tentang hal ini. Kami menjadi tidak leluasa bermain
dengan bau ini. Makan pun menjadi tidak selera. Walaupun beberapa hari
lalu ada beberapa orang yang berseragam turut membantu membersihkan
rumah, namun tumpukan sampah di sebelah kamarku tetap tidak tersentuh.
Hingga
seminggu yang lalu, saat aku bermain dengan teman-temanku yang lain,
orang-orang berseragam kembali datang. Kali ini mereka datang lebih
banyak lagi, dan gundukan sampah bau yang menyengat itupun tidak luput
diangkut. Ah, akhirnya. Mungkin ibu juga sudah sedemikan terganggu
dengan baunya sehingga harus membayar orang lebih banyak untuk mengurusi
sampah.
Namun
dengan hilangnya gundukan sampah itu, aku merasakan sedikit keanehan.
Rumah semakin sepi. Kakak cantik tidak kunjung pulang. Ibu pun tidak
tampak. "Oh, mungkin ibu sedang ke Bekasi," aku mencoba untuk berpikir
positif. Ibu memang kerap bercerita tentang Bekasi. Terkadang ia
terlihat riang saat bercerita tentang itu. Ya, mungkin ia sedang ke
Bekasi.
---
Tidak
berselang lama, keanehan lain pun terjadi. Pagi ini rumah kembali ramai
dengan orang-orang berseragam. Kali ini bukan untuk membersihkan
sampah, melainkan untuk membawa kami pergi. Dengan bingung kami dipaksa
naik ke mobil ini.
Saat
keluar dari panti, aku semakin bingung dengan banyaknya orang
berkerumun. Semakin banyak pertanyaan yang tidak bisa kujawab. Karangan
bunga. Lilin. Mainan. Kertas dengan berbagai tulisan. Ada apa ini?
Sekilas ada foto kakak cantik itu diantara tumpukan bunga dan lilin.
Apakah ada hubungannya dengan kepergian kakak? Dimana ibu?
Kami
semua terdiam saat mobil melintas pelan keluar dari pagar. Beberapa
orang yang berkerumun terlihat sedih, beberapa bahkan berdoa di depan
foto kakak. Akupun mencoba merasionalisasi keadaan ini. Berbagai ingatan
akan ibu, kakak dan panti asuhan itu berkelebat di pikiranku. Namun
dengan cepat menghilang. Aku terhenyak saat menyadari apa yang
sesungguhnya telah terjadi.
Sekuat
tenaga aku mencoba berteriak. "Aku tahu! Aku tahu!" Namun anak-anak
lain memarahiku. "Aku tahu! Aku tahu! Dengarkan aku!" Aku terus
berteriak dan mulai menangis. Namun tidak ada yang peduli. Orang-orang
berseragam, kerumunan di depan pagar, mereka tetap diam.
---
Mobil
membelok perlahan. Aku semakin mual. Saat mobil berhenti aku tak kuasa
berdiri. Dengan lemah aku mengangkat kepala, "Rumah Pemotongan Hewan Denpasar Bali".
Pengarang: Agan Harahap
Editor: Andries S Pandia