Sebagai seorang laki-laki yang hidup bersama dua orang ibu-ibu (kebetulan ibu saya sedang berlibur Jogja), tentu saja saya tidak bisa menghindar dari yang namanya infotainmen. Berita seputar selebriti adalah topik yang selalu menarik untuk dibahas oleh istri dan ibu saya. Ibu saya yang memang sangat fasih dalam melahap berita-berita seputar selebriti, seolah mendapat kawan bicara yang sepadan ketika berbincang dengan istri saya. Dan berita paling hangat minggu ini adalah peristiwa minta maaf Mulan Jameela yang marak beredar di seantero media. Saya yang tadinya tidak pernah mau tau soal urusan rumah tangga orang, perlahan mulai bisa 'menikmati' prahara ini. Tapi terus terang saya tidak sanggup menyaksikan video wawancara Mulan dan Deddy Corbuzier yang penuh dengan cengangas-cengenges dan derai air mata. Selain juga durasinya yang menurut saya terlalu lama. Saya lebih tertarik untuk menyaksikan komentar-komentar orang baik di Youtube maupun di postingan-postingan lain di dunia maya.
Mencermati drama wanita asal Malangbong ini, tiba-tiba saya teringat akan Thenzara Zaidt, atau yang lebih dikenal sebagai Ibu Subangun, tokoh antagonis di sinetron TVRI 80an 'Keluarga Rahmat' yang pernah benar-benar ditampar orang ketika sedang berbelanja di pasar hanya karena peran antagonisnya di film itu. Sangat mungkin terjadi bahwa pada zaman itu ada sebagian orang yang begitu terpukau dalam melihat teknologi layar kaca, sehingga tidak mampu lagi membedakan antara fiksi dan realita. Dan memang sangat disayangkan bila Ibu Subangun mendapat tamparan dari orang yang logikanya telah terbutakan oleh tayangan televisi.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa salah satu imbas utama dari kemajuan teknologi adalah timbulnya perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Dan bagi sebagian orang yang tidak siap menerima percepatan teknologi dan dampak sosialnya, teknologi selalu saja dianggap sebagai kambing hitam penyebab terjadinya segala degradasi moral di masyarakat. Walau memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada begitu banyak tayangan-tayangan yang tidak mendidik yang dibuat demi mengejar rating dan iklan, yang semakin melenakan dan membutakan akal sehat pemirsanya. Tapi bagaimanapun juga, kita tidak bisa melulu menyalahkan teknologinya.
Kembali kepada cerita Mulan Jameela yang sampai hari ini masih marak berlalu lalang di berbagai media tanah air. Mulan dan para pembencinya jelas tidak mampu lagi membedakan realitas yang terjadi di dunia nyata dan di dunia maya. Media sosial yang kerap dijadikan media pelampiasan demi mengukuhkan eksistensinya di jagat hiburan, malah akhirnya menjadi bumerang bagi dirinya yang terlalu larut dalam drama yang dibuatnya sendiri. Kisah Mulan Jameela beserta ribuan polisi-polisi moral beserta 'petuah-petuah bijaknya' yang dilayangkan tak lain hanyalah potret suram kehidupan masyarakat kita hari ini yang sibuk menenggelamkan diri dalam realitas semu di berbagai sosial media. Dan saya hanya bisa berharap agar para polisi moral itu tidak buta logika dan gelap mata, supaya Mulan Jameela tidak mengalami nasib serupa seperti yang dialami Ibu Subangun.
Agan Harahap
* Sengaja menggunakan terminologi 'gagal paham' untuk mengikuti tren bahasa hari ini