Tadi malam @ Equal Park jalan Jaksa
Hujan turun cukup deras tidak lama setelah bercengkrama dengan kawan-kawan dari ifmedia. Saya dan Andries terpaksa bergerak menuju ke dalam ruangan cafe yang cukup sempit itu.
Tampak rombongan pace-pace Papua sedang bernyanyi sembari diiringi gitar dan tifa.
Mungkin saja mereka sedang berkunjung ke Jakarta dan menginap di hotel sebelah.. Saya pun tidak tau pasti..
"Ah.. alangkah menyenangkannya.. Gitar, tifa, dengan sedikit alkohol..
Hmm..Sudah lama saya tidak menikmati 'komposisi' yang menyenangkan itu". Ujar saya dalam hati.
Saya memberanikan diri untuk bergabung dengan 'kelompok yang berbahagia' itu.
Entah mungkin karena wajah saya yang cukup 'didominasi oleh nuansa ketimuran', atau mungkin karena pengaruh bir, mereka pun nampaknya sangat welcome dengan kehadiran saya ditengah-tengah mereka.
Setelah saya, Andries dan beberapa orang lain juga turut bergabung bersama-sama kami.
Tembang-tembang lawas mengawali jalinan keakraban itu. Nomor-nomor dari Pance Pondaag, Edi Silitonga,Rinto Harahap sampai tembang-tembang 'radikal' semacam Sasidere Kubiri, sukses dilantunkan dengan gegap gempita.
Malam semakin larut, botol-botol bir terus berdatangan.
Entah karena rasa chauvinisme atau 'rindu kampung halaman', lagu-lagu dari Indonesia Timur ( Manado/Ambon/Papua) pun mulai didendangkan dan sang gitaris nampaknya agak mengalami kesulitan dalam mengiringi paduan suara yang bersemangat itu. Saya pun lantas berinisiatif untuk memainkan gitar itu.
gitaris yang tampak kewalahan
sang pemain tifa
Sejenak saya teringat akan kawan saya Yohannes Liliweri nun jauh di Kupang. Dulu kami sering bermain gitar dan menyanyikan lagu-lagu timur bersama.
Pernah suatu kali saya menginap di kontrakan Yopie, kebetulan ada saudara sepupunya yang baru di sidi. Sepulangnya dari gereja, saya bersama belasan kerabat Yopie dari Kupang pun bernyanyi bersama, duduk mengelilingi ember besar yang berisi campuran berbagai jenis alkohol murah.
Nuansa yang kurang lebih sama saya rasakan tadi malam. Dengan gitar dan bintang-bintang merah, kami sukses menjalin persatuan dan kesatuan Indonesia.
" Sampai fajar pun terbit di Wondiboiii..kupandang raseiii tanjung kubiariii..dst dst.." Yeahh!! suara 1 suara 2, dan kami pun bernyanyi dengan lantang!
Entah mengapa, gelas saya yang tadinya kosong mulai terisi kembali. Kawan-kawan baru dari Timur itu nampaknya senang dengan 'pengetahuan musik' saya.
Haha..Ternyata ada untungnya juga saya tidak pernah melewatkan rilisan-rilisan terbaru dari Trio Ambisi walau banyak kawan-kawan yang mencibir akan kebiasaan saya itu.
Berbicara tentang musik Timur, tentu saja kami tidak mungkin lupa untuk memainkan lagu-lagu dari Black Brother.
"Manadooo.. berawal kisah iniii.. aku dan dia jatuh cintaaa... dst dst"
Lagu November Yang Biru Di Hati, Oh Sonya, serta Hari Kiamat dan belasan lagu-lagu lain kami mainkan.
" Bung, bung asli orang mana? " tanya seorang om-om Papua itu kepada saya.
" Oh,. Papa saya orang Batak dan mama orang Ambon" jawab saya
" Oh..Batam.." katanya sambil tertawa
"Batam ?? " tanya saya
" Batak-Ambon " jawabnya
Dan kami pun tertawa dan kembali bernyayi bersama.
beat master
ada yang merenung, ada pula yang bersemangat
andries terlihat begitu bergembira
Hari sudah larut malam dan suasana semakin semarak. Beberapa pelayan dan karyawan yang bekerja di dapur turut serta bernyanyi bersama-sama kami. Namun badan saya sudah lelah dan saya masih harus ke kantor esok hari.
Hari yang ceria ini nampaknya harus segera berakhir.
Setelah berpamitan, saya dan Andries pun melangkahkan kaki keluar dari Equal Park meninggalkan kawan-kawan baru kami dari Timur yang masih berapi-api.
Sesampainya di rumah, di kepala saya masih terngiang-ngiang:
"Kuserai, kusaserai rai rai rai raiiii...
Inamgo mikim ye pia sore, piasa soreeee ye yee.. "
Walaupun saya tidak mengerti sama sekali arti lirik lagu Sajojo, Namun lagu itu terus terngiang-ngiang dalam kepala dan akhirnya saya pun tertidur dengan lelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar