Rabu, 31 Maret 2010
Japan, Nov 1928
During his coronation ceremony, dressed in the robes of the high priest of State Shinto, 10 Nov 1928
Jumat, 26 Maret 2010
Profile Photo Jason Mraz @ Twitter
Rabu, 24 Maret 2010
60 4L@y G0 !!
“ Anjrit.. kok yang dateng alay-alay semua gini ?!!? “
Demikian sebuah pertanyaan yang terlontar dari sesosok perempuan cantik nan wangi ( entah siapa) yang tidak sengaja saya dengar ketika sibuk memotret di sebuah ‘pagelaran ajang pemilihan presenter muda masa kini dari sebuah program ternama dari sebuah perusahaan tv swasta’.
.
Hari itu, seperti biasa saya dan
Tidak seperti beberapa tahun sebelumnya, ketika ajang ini begitu mendapat posisi special di hati remaja-remaja pecinta musik tanah air.
Kali ini, entah dikarenakan program ini sudah ‘mulai uzur’ dan tidak sesuai lagi dengan trend yang berlaku di kalangan remaja penggiat musik, namun acara yang sempat menjadi fenomena itu, kini terkesan hambar dan kurang menggigit,
( Bagaimanapun juga, itu hanyalah pandangan subyektif saya yang juga sudah mulai uzur untuk hadir dalam acara-acara semacam ini).
Tapi tidak untuk ‘remaja-remaja pemerhati musik masa kini’. Mereka tampak antusias untuk hadir dan turut ambil bagian dalam ajang yang ‘bergengsi’ ini. Sebagian dari mereka bahkan menirukan dandanan, atribut bahkan potongan rambut dari grup musik idola mereka.
Dikarenakan ‘adanya sedikit kesalahpahaman’, maka saya tidak membawa lensa tele. Dan oleh sebab itu, saya pun terpaksa bergabung di barisan depan, berdesakkan bersama dengan remaja-remaja masa kini yang dengan gegap gempita ingin menyambut pujaan mereka.
suasana di bawah panggung
Di bawah panggung mereka berdansa, semerbak bau keringat dan bau ketiak bercampur menjadi satu seiring dengan joke-joke garing yang dibawakan mc ( yang mungkin kurang menguasai ilmu pengetahuan), sukses menambah siksaan saya pada malam itu.
Namun, bagaimana dengan pemuda-pemudi itu ? mereka tetap saja bersemangat dan dengan antusias setia menunggu artis pujaannya bernyanyi mengiringi mereka untuk bergoyang bersama walau hanya sejenak.
Suasana semakin tidak kondusif ketika panitia terus menambah jumlah penonton di barisan depan.
Ketika remaja-remaja yang baru saja bergabung, dengan semangat merangsek ke baris depan agar bisa lebih dekat dengan pujaannya, sementara sebagian penonton yang sudah kelelahan dan mungkin saja mulai bosan dengan acara yang semakin ‘renyah’ itu, memohon kepada petugas / panitia untuk bisa membuka barikade, agar bisa keluar dari tempat itu..
“ Pak, permisi,.. saya lapar, mau keluar..di sono penuh banget..udeh mau pingsan nih pak..“ . Ujar seorang remaja putri berkacamata besar dengan hiasan di kepala yang bisa menyala.
Tak disangka -sangka sosok berkumis yang sok berwibawa itu, tidak mengijinkan satu pun orang untuk bisa keluar dari tempat itu.
Beberapa remaja yang makin tidak tahan, berkali-kali memohon agar dapat diizinkan untuk keluar. Namun dasar mentalitas minus ( menelan bulat-bulat perintah atasannya tanpa mempertimbangkan nalar dan hati nurani ), lagi-lagi sosok berkumis itu dengan semakin ketus dan kasar menolak permintaan mereka yang sudah kelelahan dan bersimbah keringat.
Yeahh.. Mungkin saja panitia dan petugas sudah diperintahkan untuk mencegah penonton keluar dari gedung oleh bos mereka yang takut kehilangan muka akibat ditinggal audience.
Sembari menonton pertikaian yang kian ramai, tiba-tiba saya teringat perkataan wanita cantik nan wangi di depan
Menurut seorang sumber yang enggan disebut namanya, alay adalah akronim dari anak layangan. Remaja- remaja tanggung yang selalu wara- wiri di tiap pagelaran acara musik di televisi sembari memperagakan ‘tarian –tarian masa kini ‘dengan gerakan seragam.
Ia pun berkata, bahwa remaja-remaja yang hadir di berbagai acara televisi itu berada di bawah satu komando. Mereka bukan datang dengan sukarela, melainkan penonton –penonton professional yang menerima bayaran.
Sementara sumber lain ada yang mengatakan, alay bukan lagi hanya ada di barisan penonton di acara musik, tetapi sudah menjadi semacam trend atau
Ini terlihat dari
penuh percaya diri dengan kacamata hitam
Dan, karena sosok tampilan mereka sering berkelebatan di layer kaca, maka tak ayal lagi,
Belum lagi bila di spesifikasikan dengan
Sumber itu melanjutkan, bahwa kata alay mungkin saja sudah mengalami pergeseran makna. Mulai dari ‘remaja-remaja tampil’ , yang wara- wiri di layar kaca, sampai menjelma menjadi 1 kata yang kira-kira bisa diartikan atau sama dengan norak atau kampungan.
“ Pak, kita datang jauh-jauh nih dari Priuk, ntar kalo kemaleman, ga ada bis lagi ! “ teriak lantang seorang remaja pria berkacamata alla rayban.
“ Lah?!? kalo begitu, kenapa kamu dateng kesini ?!!? “ jawab sang petugas sambil memasang muka sangar seraya membusungkan dadanya seolah ingin mengajak berkelahi..
“ Hmm.. jawaban petugas yang sangat bodoh “ ujar saya dalam hati..
bernyanyi dan menari bersama dengan diiringi musik yang dibawakan oleh idola tercinta
Musik kembali berdentam dan suasana di bawah panggung semakin heboh. Beberapa remaja berdiri membentuk lingkaran dan menarikan ‘tarian kontemporer masa kini’ dengan diiringi oleh musisi tersayang mereka. Sementara beberapa remaja yang sudah muak, semakin berani menentang petugas agar bisa diijinkan keluar.
Dorong mendorong tak terelakkan lagi. Saya pun akhirnya memilih untuk mundur kebarisan belakang yang agak renggang. Mahluk-mahluk tegap dan berkumis bodoh itu semakin kasar dengan mendorong remaja-remaja cilik itu untuk tetap berada di dalam sampai acara selesai.
Di pojok panggung, saya kembali merenung.. Apa yang salah dengan alay ? Bukankah dengan adanya mereka, maka acara musikalitas di berbagai stasiun tv menjadi lebih meriah ? Lantas, bagaimana pula dengan mereka yang datang dengan sukarela, jauh -jauh dari berbagai daerah demi sekedar melihat idola mereka ? Bukankah penyelenggara yang sudah diuntungkan miliaran rupiah oleh berbagai sponsor dan iklan sudah sepantasnya memperlakukan mereka dengan lebih baik ?
Apalagi jika menyangkut dengan trend dan
hal biasa yang kerap terjadi dalam sebuah pagelaran musik
Tiba-tiba saya teringat sewaktu saya masih remaja. Dengan penggunaan Mandom secara berlebihan demi memaksakan rambut saya yang kribo ini agar dapat terlihat seperti
Saya pun teringat masa-masa dimana badan saya yang kurus kerempeng, memakai baju super longgar dan celana gombrong agar dapat terlihat seperti Anfernee Hardaway atau Muhammad Rifky,
Lantas dengan terpatah-patah mengikuti celotehan cepat Iwa K.
“ Sepertianakkecilyangberlaribertelanjangbulat, keluarkansuara-suaracandatawadan senyumpuas…blah,,blah..blah.. dan sampai sekarang pun saya tidak bisa mengikuti ucapan dedengkot hiphop
( sengaja tidak diberi spasi, untuk menandakan pelafalan dengan tempo cepat ).
Yeahh.. saya pun kerap melakukan ‘hal-hal yang memaksakan diri’ seperti itu di usia remaja.
“ Kurang alay apa coba ?!? ”
Lantas, apa yang salah dengan alay-alay itu ? Apakah semasa remaja, anda tidak pernah mengikuti trend yang berlaku pada jamannya? Sehingga anda memandang rendah perilaku ‘remaja-remaja’ saat ini ?
“ Yahh..mas.. namanya juga anak-anak. Siapa sih, yang dulu ngga pernah gaya-gayaan ? “ Besok kalok udah gede juga bakalan malu sendiri sama kelakuannya dulu..hahaha “ Demikian jawaban bijak dari mas Lanteng, tukang ojek yang setia mengantarkan saya berpergian setiap hari ketika saya tanyakan tentang alay.
dengan sabar beranjak untuk meninggalkan tempat yang penuh sesak itu
Acara yang memuakkan itu pun akhirnya selesai, para petugas-petugas bodoh yang menjijikkan itu pun, akhirnya mengizinkan para penonton untuk keluar dari tempat pagelaran itu.
:)
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Tanpa beban, tanpa pusing harus memikirkan hari esok, mereka tertawa senang. Berjalan beriringan menyusuri bahu jalan menuju halte bis terdekat.
Agan Harahap
Hay,.Liat kamera dikit dong?!? Yaakk.. tahann.. Nahh!!
Lenka
Dulu, saya amat begitu antusias ketika mendapat tugas memotret pertunjukan.
Berdesak-desakan di dalam photographer pit membuat adrenalin saya bergejolak. Belum lagi kalau ada performer yang hanya mengijinkan memotret penampilannya hanya dalam 3 lagu bahkan 1 lagu pertama.
Tapi sekarang, gejolak adrenalin itu sudah tidak seperti dulu lagi. Mungkin karena sudah terlalu sering saya memotret panggung.
Saya tidak lagi merasa antusias dan merasa 'istimewa' ketika sukses menghasilkan foto panggung yang baik.
Buat saya, siapapun yang memiliki kesempatan yang sama, pasti dapat menghasilkan foto-foto panggung yang bagus. Masalah peralatan, skill dan teknik, itu urusan belakangan. Yang terpenting adalah bagaimana anda melihat dan dengan sigap menangkap momen - momen yang terjadi.
Alicia Keys
Rosa
Setelah melihat foto-foto ini, mungkin saja anda akan berpikir kalau saya adalah fotografer yang norak.
Yahh..tapi tidak apa lah.
Sebab jujur saja, ada sedikit perasaan senang yang timbul ketika performer yang sedang tampil di atas panggung bertepatan melihat ke arah anda.
Katie White - The Ting Tings
Untuk saya, foto tatapan mata ini merupakan sebuah momentum yang cukup saya nanti-nantikan. Bayangkan, dari antara ribuan penonton dan puluhan bahkan ratusan kamera yang sibuk memotret aksi sang bintang, namun mata sang bintang memilih dan tertuju pada anda.
Rebecca
Pinkan and Tika
Ketimbang bersusah-payah untuk mengejar komposisi, lighting, speed, diafragma dan tetek bengek lainnya, jujur saja saya lebih senang mengejar momentum-momentum tatapan mata ini.
Andien
Namun entah kenapa, saya tidak pernah mendapatkan moment seperti ini ketika sedang memotret performer pria..
Entah lah..
Mulan Jameela
Senin, 15 Maret 2010
CRASH PROJECT: IMAGE FACTORY ( the exhibition)
Rabu, 10 Maret 2010
CRASH PROJECT: IMAGE FACTORY
a group exhibition by 20 artists.
Curated by Asmudjo Jono Irianto.
SIGIarts Gallery
13-28 March 2010
Saturday, March 13th 2010,
Lunch gathering & Artist Talk start at 12 noon until end.
Ade Darmawan
Agan Harahap
Agung Nugroho Widhi
Anang Saptoto
Angki Purbandono
Aqiq AW
Davy Linggar
Deden Hendan Durahman
Dimas Arif Nugroho
Edwin Roseno
Hafiz
Hendry Foundation
Indra Ameng
Indra Leonardi
Jim Allen Abel
Julia Sarisetiati
Mateus Bondan
Muhammad Akbar
Oom Leo
Reza Afisina
Tromarama
Wimo Ambala Bayang
Selasa, 02 Maret 2010
IWAN FALS - KESEIMBANGAN
Heri ( H ) : " Gan, mau foto buat cover Iwan Fals gak ? "
Agan ( A ) : " Kapan ? "
H : " Lusa pagi di Leuwinanggung "
A : " hah?? dadakan amat?!?! "
Heri lalu menjelaskan soal konsep dan blablabla..
A : " Siap !! sampai ketemu nanti !! "
Di hari yang telah disepakati, saya bersama Angga Hadilaksananto berangkat menuju Leuwinanggung dengan diiringi hujan deras.
Sesampainya di Leuwinanggung, masih terlalu cepat.. Saya dan Angga memutuskan untuk mencari Indomaret atau Alfa mart terdekat untuk sekedar mencari bir.
Yeahh.. untuk pemotretan kali ini, jujur saja saya cukup tegang. Karena semuanya begitu mendadak. Jujur saja saya kurang persiapan.
Setibanya di depan Indomaret, kaleng yang dicari tidak ada.. " Arghhh!! menyebalkan sekali.."
Akhirnya saya membeli cocacola, sementara Angga sibuk bercerita tentang hubungan cintanya dengan seorang wanita..
Waktu menunjukkan jam 2 siang, dan telah tiba waktunya untuk bekerja. Memotret seorang idola Indonesia.
Suasana pemotretan :
photo by Angga Hadilaksananto
Sedikit sekali musisi atau selebriti yang bisa menggetarkan nyali saya ketika memotretnya.
Untuk kali ini, segalanya begitu berbeda..
Dengan sedikit gugup, saya memulai sesi pemotretan itu.
Iwan Fals tampak santai dan sesekali berkelakar. Suasana yang sedikit tegang pun perlahan cair cair.
Pemotretan berlangsung sampai menjelang malam. Dan kami pun pulang dengan tersenyum senang.
Yahh..begini lah..
Photo by Heri
*konsep memang mengalami perubahan dari rancangan awal, namun pengembangan konsep adalah hal yang wajar dalam dunia desain.