Blitar
Pemuda itu tampak gelisah. Berkali- kali ia merubah posisi duduknya seraya sebentar-sebentar merapihkan poni lemparnya. Dari Earphone yang dipasang di telinganya, terdengar lagu 'Diari Depresi ku' yang dibawakan oleh Last Child. Sebuah band yang kini sedang digandrungi 'para remaja lintas lapisan'. Itulah pemandangan yang terpaksa harus saya saksikan selama hampir 4 jam ketika duduk di sebelahnya menuju kota Blitar. Sesampainya disana, atas instruksi dari pak Handoko, saya pun menemui pak Budi. SMS dari pak Handoko mengatakan bahwa, untuk menemui pak Budi, saya harus mencari toko jam dan kacamata di depan stasiun Blitar. "Alamak, bagaimana pula saya bisa menemui orang yang benama Budi? Bukankah ada jutaan orang yang bernama Budi di negara ini?" pikir saya. Seturunnya di terminal, saya langsung meminta ojek untuk mengantar saya ke stasiun Blitar. Dan ternyata, di depan stasiun Blitar terdapat puluhan toko yang menjual jam dan kacamata. Sungguh sulit sekali mencari orang yang benama Budi diantara puluhan toko serupa. "Mas, kenal yang namanya pak Budi?" tanya saya pada seorang mas-mas yang menunggu pelanggan di tokonya. "Wah,. Budi yang mana nih mas? Ada tiga orang yang namanya Budi disini". Dengan spontan saya pun langsung menjawab, " Oh.. Pak Budi yang sudah Tua". Sudah tentu pak Budi yang saya maksudkan, pasti sudah sepuh. "Ohh.. Itu mas tokonya" sambil menunjuk sebuah toko yang terletak beberapa belas meter dari tokonya. Ketika saya temui, beliau sedang melayani pelanggannya. Pak Budi tampak sedang memasang lensa kacamata yang baru selesai di buatnya.
" Kamu Agan yaa? Saya sudah tunggu kamu. Duduk saja dulu disitu."
Pak Budi adalah seorang ahli kacamata dan jam tangan. Selesai melayani pelanggan, kami mengobrol sebentar seputar maksud dan tujuan saya datang ke kotaBlitar.
Dengan mengendarai sepeda motor, kami berdua menuju rumah pak Yatman yang berada di sebuah desa di Blitar Selatan. Cukup jauh jarak yang harus kami tempuh untuk mencapai rumah pak Yatman. Kurang lebih sekitar 1 jam berkendara menuju arah selatan Blitar.
Rumah pak Yatman yang menjadi 'base camp' saya selama di Blitar Selatan |
Bapak Suyatman atau biasa dipanggil dengan nama pak Yatman |
Pada masa itu penduduk Blitar Selatan berkurang drastis. Dan yang lebih menyedihkan, bahwa sebagian yang ditangkap dan dibunuh adalah para guru ( terkait dengan PGRI Kongres dan PGRI Non Vaksentral). Sehingga banyak siswa yang terlantar karena tidak adanya tenaga guru pengajar. Tidak hanya guru, namun para pejabat aparatur desa pun mengalami nasib yang sama. Ditangkap, ditahan dan hilang begitu saja.
Sebagai tindak lanjutan dalam rangka re-stabilisasi, tentara pun menunjuk seseorang yang dinamakan 'caretaker', untuk menjaga ketertiban di daerah itu. Pada prakteknya, caretaker, yang notabene adalah seorang perwira tentara, dapat bertindak sewenang-wenang terhadap penduduk. Bibi dari mantan pacar pak Yatman pada waktu itu, terpaksa harus rela menikah dengan caretaker setelah suaminya dibunuh. Namun cerita belum selesai sampai disitu. Rupanya sang caretaker itupun menikahi keponakan istrinya yang notabene adalah kekasih pak Yatman pada masa itu. Singkat cerita Pak Yatman yang mengaku hanya sebagai simpatisan pada masa itu ikut di tangkap dan dipenjarakan di penjara Kali Sosok, Surabaya. Kami terus berbincang sampai dini hari ditemani kacang rebus dan kopi panas.
Kami berboncengan bertiga mengelilingi Blitar Selatan |
Keesokan
paginya, setelah mandi dan sarapan kami pun berkendara menuju lokasi
kuburan massal dengan menyewa ojek. Karena saya dan pak Yatman tidak bisa mengendarai motor
kopling, maka kami pun berboncengan bertiga menuju ke sebuah daerah
perbukitan perkebunan tebu. Jarak yang harus kami tempuh cukup jauh,
sementara kondisi jalan yang kami lalui begitu buruk. Tidak jarang kami
pun harus turun dulu supaya motor bisa menanjak membelah jalan setapak
menuju perkebunan tebu itu. Sesampainya disana, saya tidak melihat
adanya tanda-tanda bekas kuburan massal. Hanya ribuan pohon tebu yang
tumbuh dengan subur.
"Masuk saja dik ke dalam, lurus saja" ujar pak Yatman. Saya yang bersemangat langsung saja menerobos kerimbunan pohon-pohon tebu itu. "Bah, tau gitu gue pakei jeket" ujar saya dalam hati setelah tangan saya lecet-lecet tergores pinggiran daun tebu yang memang cukup tajam. Setelah berjalan beberapa meter, saya menemukan sebuah 'kandang' (adapun kandang disini merupakan sebuah kuburan yang diberi atap sebagaimana layaknya rumah kecil). Setelah memotret dan berjalan lebih dalam lagi, saya menemui beberapa nisan dan kandang lain. Rupanya, inilah lokasi yang diceritakan oleh pak Yatman. Saya pun lansung dengan sigap memotret komplek kuburan massal tersebut. Menurut cerita seorang buruh tebu yang kami temui disana, dalam satu lubang, bisa diisi antara 10-15 jenazah. Dengan berdasarkan cerita itu, saya kalkulasikan kurang-lebih ada sekitar 70 an orang yang dibantai di tempat itu.
Cukup 'puas' dengan lokasi tadi, kamipun melanjutkan perjalanan menuju tempat yang cukup 'legendaris'. Tempat itu bernama Gua Tikus. Adapun sejarah Gua Tikus itu sendiri dimulai ketika ada hama tikus yang menyerang daerah Blitar Selatan sehingga memusnahkan hampir seluruh hasil panen di daerah tersebut. Warga pun secara bergotong royong membasmi tikus-tikus itu. Ketika dikejar dan dibasmi, tikus-tikus itu lari dan menghilang di bawah batu besar. Dan ketika batu besar itu digeser, ternyata terdapat gua kecil yang menjadi sarang dari tikus-tikus tersebut. Itulah asal-muasal kenapa tempat itu dinamakan Gua Tikus.
Jarak yang harus di tempuh untuk menuju gua Tikus itu cukup jauh dan kondisi jalan tidak kalah buruknya ketika kami pergi ke ladang tebu tadi. Terkadang kami harus turun dari motor untuk sekedar berbasa-basi dengan penduduk sekitar yang sedang mencari kayu atau berladang. Pak Yatman nampaknya cukup dikenal di daerah yang terpencil ini.
Setelah turun dari motor, kami harus berjalan kaki cukup jauh menembus ladang dan menyeberangi sungai kecil untuk mencapai Gua Tikus itu. Di atas gua itu tampak pohon bambu yang besar sekali. Konon pohon bambu itu sengaja ditanam sebagai penanda agar tidak ada orang atau ternak yang terjerembab masuk ke dalam lubang itu.
Gua itu sangat kecil. Dengan diameter kira-kira 1,5 - 2 meter namun dalam sekali. Saya tidak bisa melihat dasar gua itu. Di dasar gua itu terdapat aliran sungai bawah tanah. Kembali menurut penuturan pak Yatman, para tersangka anggota atau simpatisan PKI yang di 'bon dari rumah-rumah tahanan sekitar, digiring ke gua itu pada subuh dini hari kemudian disuruh berjongkok di mulut gua itu lalu dipukul dengan besi di belakang kepalanya sehingga para korban secara otomatis jatuh ke dasar gua.
Beberapa tahun yang lalu rupanya telah ada LSM dan mahasiswa pecinta alam yang sudah melakukan evakuasi. Mereka turun ke dasar gua dengan tali, memotret dan mengangkat tulang belulang manusia untuk dikuburkan secara normal. Saya tidak berlama-lama di lokasi itu, selain udara yang cukup panas, saya pun tidak bisa memotret banyak karena harus menghemat memory card.
"Masuk saja dik ke dalam, lurus saja" ujar pak Yatman. Saya yang bersemangat langsung saja menerobos kerimbunan pohon-pohon tebu itu. "Bah, tau gitu gue pakei jeket" ujar saya dalam hati setelah tangan saya lecet-lecet tergores pinggiran daun tebu yang memang cukup tajam. Setelah berjalan beberapa meter, saya menemukan sebuah 'kandang' (adapun kandang disini merupakan sebuah kuburan yang diberi atap sebagaimana layaknya rumah kecil). Setelah memotret dan berjalan lebih dalam lagi, saya menemui beberapa nisan dan kandang lain. Rupanya, inilah lokasi yang diceritakan oleh pak Yatman. Saya pun lansung dengan sigap memotret komplek kuburan massal tersebut. Menurut cerita seorang buruh tebu yang kami temui disana, dalam satu lubang, bisa diisi antara 10-15 jenazah. Dengan berdasarkan cerita itu, saya kalkulasikan kurang-lebih ada sekitar 70 an orang yang dibantai di tempat itu.
Cukup 'puas' dengan lokasi tadi, kamipun melanjutkan perjalanan menuju tempat yang cukup 'legendaris'. Tempat itu bernama Gua Tikus. Adapun sejarah Gua Tikus itu sendiri dimulai ketika ada hama tikus yang menyerang daerah Blitar Selatan sehingga memusnahkan hampir seluruh hasil panen di daerah tersebut. Warga pun secara bergotong royong membasmi tikus-tikus itu. Ketika dikejar dan dibasmi, tikus-tikus itu lari dan menghilang di bawah batu besar. Dan ketika batu besar itu digeser, ternyata terdapat gua kecil yang menjadi sarang dari tikus-tikus tersebut. Itulah asal-muasal kenapa tempat itu dinamakan Gua Tikus.
Jarak yang harus di tempuh untuk menuju gua Tikus itu cukup jauh dan kondisi jalan tidak kalah buruknya ketika kami pergi ke ladang tebu tadi. Terkadang kami harus turun dari motor untuk sekedar berbasa-basi dengan penduduk sekitar yang sedang mencari kayu atau berladang. Pak Yatman nampaknya cukup dikenal di daerah yang terpencil ini.
Setelah turun dari motor, kami harus berjalan kaki cukup jauh menembus ladang dan menyeberangi sungai kecil untuk mencapai Gua Tikus itu. Di atas gua itu tampak pohon bambu yang besar sekali. Konon pohon bambu itu sengaja ditanam sebagai penanda agar tidak ada orang atau ternak yang terjerembab masuk ke dalam lubang itu.
Gua itu sangat kecil. Dengan diameter kira-kira 1,5 - 2 meter namun dalam sekali. Saya tidak bisa melihat dasar gua itu. Di dasar gua itu terdapat aliran sungai bawah tanah. Kembali menurut penuturan pak Yatman, para tersangka anggota atau simpatisan PKI yang di 'bon dari rumah-rumah tahanan sekitar, digiring ke gua itu pada subuh dini hari kemudian disuruh berjongkok di mulut gua itu lalu dipukul dengan besi di belakang kepalanya sehingga para korban secara otomatis jatuh ke dasar gua.
Beberapa tahun yang lalu rupanya telah ada LSM dan mahasiswa pecinta alam yang sudah melakukan evakuasi. Mereka turun ke dasar gua dengan tali, memotret dan mengangkat tulang belulang manusia untuk dikuburkan secara normal. Saya tidak berlama-lama di lokasi itu, selain udara yang cukup panas, saya pun tidak bisa memotret banyak karena harus menghemat memory card.
Kandang/ penanda kubur yang berbentuk seperti rumah kecil di tengah ladang tebu |
Sebuah makam yang berisi 10-15 jenazah tersembunyi di tengah-tengah ladang tebu |
Gua Tikus |
Pusara yang tersembunyi di tengah ladang milik pak Markus Talam |
Kami
pun meneruskan perjalanan untuk beristirahat dan makan siang di monumen Trisula yang hanya
berjarak setengah jam dari lokasi Gua Tikus tadi. Sesampainya disana,
lokasi itu terlihat sepi. Hanya ada beberapa anak sekolah yang sedang
belajar merokok. Saya pun mendengarkan penjelasan pak Yatman tentang
nama-nama 'pahlawan' yang terukir di monumen itu. Menurut penuturan beliau, beberapa nama anggota
TNI yang meninggal disana, ternyata bukan mati terbunuh akibat kontak
senjata dengan PKI. Melainkan mati tenggelam ketika sedang terjadi
musibah banjir besar pada waktu itu. Sementara ada seorang anggota tentara lagi yang meninggal
karena sakit. Saya pun hanya tertawa kecil setelah mendengarkan
penjelasan pak Yatman yang cukup menggelikan itu.
Setelah memotret dan beristirahat di monumen itu, kami pun melanjutkan perjalanan dengan memutar kembali menuju daerah Tambak Rejo. Disana pak Yatman mempertemukan saya dengan temannya, sesama eks tapol yang bernama Markus Talam. Adapun pak Markus ini dulu bekerja di dinas perkebunan di daerah Blitar. Dan tanpa sebab yang jelas, pak Markus pun di tangkap dan di buang ke pulau Buru. Setelah bercerita tentang pengalamannya, pak Markus pun mengantar kami menuju lokasi kuburan massal berikutnya.
Ladang itu cukup asri, pohon-pohon jagung dan singkong terlihat ditata dengan rapih. Sekitar 30 meter di belakang ladang itu, terdapat rerimbunan semak dan pepohonan yang oleh pak Markus, sang empunya ladang dibiarkan begitu saja. Di pinggiran ladang, tampak 2 buah nisan tanpa nama yang saling berdekatan. Menurut cerita pak Markus, para anggota/simpatisan yang tertangkap dalam operasi Trisula, dibawa dan dihabisi di lokasi ini yang dulunya adalah hutan. Jumlah korban pun kurang lebih sama seperti di tempat-tempat lain. Antara 10-15 orang dalam 1 lobang. Setelah memotret kuburan itu, kami pun berpamitan karena pak Markus harus segera pergi ke Jakarta karena ada adiknya yang sedang sakit keras.
Menjelang maghrib, kami pun kembali tiba di rumah kediaman pak Yatman. Setelah mandi dan makan malam, saya pun berkenalan dengan anak pak Yatman yang baru datang dari desa sebelah. Anak pak Yatman itu bernama sama dengan nama saya, Yohanes. Walaupun dia beragama Islam. Beliau menamai anaknya Yohanes, untuk mengingat nama seorang sahabatnya semasa dipenjara dahulu.
Setelah memotret dan beristirahat di monumen itu, kami pun melanjutkan perjalanan dengan memutar kembali menuju daerah Tambak Rejo. Disana pak Yatman mempertemukan saya dengan temannya, sesama eks tapol yang bernama Markus Talam. Adapun pak Markus ini dulu bekerja di dinas perkebunan di daerah Blitar. Dan tanpa sebab yang jelas, pak Markus pun di tangkap dan di buang ke pulau Buru. Setelah bercerita tentang pengalamannya, pak Markus pun mengantar kami menuju lokasi kuburan massal berikutnya.
Ladang itu cukup asri, pohon-pohon jagung dan singkong terlihat ditata dengan rapih. Sekitar 30 meter di belakang ladang itu, terdapat rerimbunan semak dan pepohonan yang oleh pak Markus, sang empunya ladang dibiarkan begitu saja. Di pinggiran ladang, tampak 2 buah nisan tanpa nama yang saling berdekatan. Menurut cerita pak Markus, para anggota/simpatisan yang tertangkap dalam operasi Trisula, dibawa dan dihabisi di lokasi ini yang dulunya adalah hutan. Jumlah korban pun kurang lebih sama seperti di tempat-tempat lain. Antara 10-15 orang dalam 1 lobang. Setelah memotret kuburan itu, kami pun berpamitan karena pak Markus harus segera pergi ke Jakarta karena ada adiknya yang sedang sakit keras.
Menjelang maghrib, kami pun kembali tiba di rumah kediaman pak Yatman. Setelah mandi dan makan malam, saya pun berkenalan dengan anak pak Yatman yang baru datang dari desa sebelah. Anak pak Yatman itu bernama sama dengan nama saya, Yohanes. Walaupun dia beragama Islam. Beliau menamai anaknya Yohanes, untuk mengingat nama seorang sahabatnya semasa dipenjara dahulu.
Jari saya yang melepuh karena tidak terbiasa mengupas jagung. |
Nasi pecel, dan tahu goreng yang menjadi sarapan kami pagi itu. |
Sekitar
pukul 9 malam Yohanes kembali ke rumahnya. Di ruang tamu terdengar
suara acara talkshow yang ditayangkan di televisi swasta. Saya lebih
memilih untuk duduk di halaman depan menemani pak Yatman dan istri untuk
mengupas jagung yang baru selesai dijemur siang tadi. Saya lebih
tertarik untuk mengobrol untuk menggali secara lebih dalam tentang
peristiwa Trisula 68 serta kehidupan keseharian keluarga pak Yatman.
Pak Yatman kembali bercerita tentang operasi Trisula serta penangkapan tokoh-tokoh PKI di Blitar. Sebagian petinggi-petinggi dan simpatisan PKI melarikan diri dan bersembunyi di gua-gua kapur selatan Blitar. Para petinggi dan simpatisan itu menggunakan taktik ngalah, ngalih, ngalas dan ngantem yang kurang lebih artinya, mundur, pindah, mengalah, masuk hutan, lalu kemudian melawan. Menurut pemaparan beliau, para anggota dan simpatisan PKI yang bertahan masih beberapa kali mengadakan perlawanan dan kontak senjata sebelum akhirnya kalah akibat kekuatan yang tidak seimbang. Para petinggi yang tertangkap dan dibunuh antara lain adalah Ir. Surahman dan Oloan Hutapea. Pak Yatman pun bercerita tentang penangkapan ibu Putmainah yang pada saat itu menjabat sebagai ketua Gerwani. Menurutnya, ibu Putmainah merupakan salah satu 'kloter terakhir' yang ditangkap tentara dari perbukitan kapur Blitar Selatan.
Selain sejarah 65 dan 68, pak Yatman bercerita tentang keistimewaan telur di daerah Blitar Selatan. Menurutnya, telur ayam yang di produksi di daerah itu kulitnya cukup keras dan lebih bergizi karena air dan makanan ayam-ayam itu mengandung kadar mineral yang tinggi. Hari semakin larut dan kami pun mulai mengantuk. Saya izin untuk beristirahat karena keesokan paginya saya harus segera menuju stasiun Blitar untuk pulang ke Jakarta.
Pagi itu udara cukup dingin, tapi saya memberanikan diri untuk mandi ala kadarnya, sebab hari itu akan menjadi hari yang cukup panjang dan membosankan. Yak, saya akan kembali ke Jakarta. Setelah menyantap sarapan nasi pecel yang sudah dibuat oleh bu Yatman, saya pun berpamitan dan mengucapkan terimakasih atas segala 'materi kuliah sejarah' yang sudah saya terima dari pak Yatman.
Pak Yatman kembali bercerita tentang operasi Trisula serta penangkapan tokoh-tokoh PKI di Blitar. Sebagian petinggi-petinggi dan simpatisan PKI melarikan diri dan bersembunyi di gua-gua kapur selatan Blitar. Para petinggi dan simpatisan itu menggunakan taktik ngalah, ngalih, ngalas dan ngantem yang kurang lebih artinya, mundur, pindah, mengalah, masuk hutan, lalu kemudian melawan. Menurut pemaparan beliau, para anggota dan simpatisan PKI yang bertahan masih beberapa kali mengadakan perlawanan dan kontak senjata sebelum akhirnya kalah akibat kekuatan yang tidak seimbang. Para petinggi yang tertangkap dan dibunuh antara lain adalah Ir. Surahman dan Oloan Hutapea. Pak Yatman pun bercerita tentang penangkapan ibu Putmainah yang pada saat itu menjabat sebagai ketua Gerwani. Menurutnya, ibu Putmainah merupakan salah satu 'kloter terakhir' yang ditangkap tentara dari perbukitan kapur Blitar Selatan.
Selain sejarah 65 dan 68, pak Yatman bercerita tentang keistimewaan telur di daerah Blitar Selatan. Menurutnya, telur ayam yang di produksi di daerah itu kulitnya cukup keras dan lebih bergizi karena air dan makanan ayam-ayam itu mengandung kadar mineral yang tinggi. Hari semakin larut dan kami pun mulai mengantuk. Saya izin untuk beristirahat karena keesokan paginya saya harus segera menuju stasiun Blitar untuk pulang ke Jakarta.
Pagi itu udara cukup dingin, tapi saya memberanikan diri untuk mandi ala kadarnya, sebab hari itu akan menjadi hari yang cukup panjang dan membosankan. Yak, saya akan kembali ke Jakarta. Setelah menyantap sarapan nasi pecel yang sudah dibuat oleh bu Yatman, saya pun berpamitan dan mengucapkan terimakasih atas segala 'materi kuliah sejarah' yang sudah saya terima dari pak Yatman.
Dalam perjalanan pulang |
Sesampainya di kota Blitar, saya pun segera memesan tiket ke Jakarta. Karena jadwal keberangkatan kereta masih lama, saya pun mampir ke kios pak Budi yang terletak di depan stasiun.
Seperti biasa, pak Budi sedang sibuk melayani pelanggan yang hendak membuat kacamata ataupun hendak membeli jam. Cukup lama saya menemani beliau. Diusianya yang tidak lagi muda, dengan kacamata tebalnya ia tampak masih tangkas dan kecekatan membuka dan memasang mur-mur kecil untuk pengunci lensa kacamata. Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Saya berpamitan dan segera bergegas menaiki kereta.
Kereta yang menuju Jakarta sangat ramai. Saya dikelilingi oleh serombongna keluarga dari Malang yang hendak menghadiri pernikahan di daerah Keramat Jati, Jakarta. Alih-alih bisa tertidur, saya terpaksa melayani obrolan mereka yang duduk di sekeliling saya.
Menjelang pagi, saya beranjak ke bordes untuk mencari kesempatan supaya bisa merokok. Rupanya sudah tidak boleh lagi merokok di sambungan kereta itu. Tapi saya tidak peduli. Sekian jam tanpa asap rokok rasanya sungguh menyiksa buat saya. Saya membuka pintu bordes dan segera menyulut sebatang rokok.
Matahari sudah mulai menampakkan dirinya. Nampaknya saya sudah berada di Jawa barat, dan beberapa saat lagi saya akan tiba di Jakarta.
Dari pintu bordes yang terbuka, saya melihat sekelebatan tampak anak-anak yang hendak berangkat ke sekolah. Sepintas saya teringat akan pelarangan dan pembakaran buku-buku pelajaran sejarah yang tidak mencantumkan kata PKI di peristiwa G30S. Dan entah apapula yang dikatakan oleh guru-guru sekolah terhadap murid-muridnya seputar peristiwa 65. Entah sampai kapan kebohongan ini akan terus berlanjut. Semoga di masa-masa yang akan datang masyarakat perlahan-lahan mulai bisa membuka diri dan menerima fakta-fakta yang terjadi tentang G30S dan 65 supaya kebenaran dapat terkuak dan keadilan dapat ditegakkan.
Pemandangan sawah dan gunung pagi itu tampak seperti fragmen-fragmen yang terlihat samar berjalan dengan cepat seiring laju kereta. Saya menghisap asap rokok terakhir, menutup pintup pintu bordes dan kembali ke tempat duduk.
Agan Harahap
Seperti biasa, pak Budi sedang sibuk melayani pelanggan yang hendak membuat kacamata ataupun hendak membeli jam. Cukup lama saya menemani beliau. Diusianya yang tidak lagi muda, dengan kacamata tebalnya ia tampak masih tangkas dan kecekatan membuka dan memasang mur-mur kecil untuk pengunci lensa kacamata. Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Saya berpamitan dan segera bergegas menaiki kereta.
Kereta yang menuju Jakarta sangat ramai. Saya dikelilingi oleh serombongna keluarga dari Malang yang hendak menghadiri pernikahan di daerah Keramat Jati, Jakarta. Alih-alih bisa tertidur, saya terpaksa melayani obrolan mereka yang duduk di sekeliling saya.
Menjelang pagi, saya beranjak ke bordes untuk mencari kesempatan supaya bisa merokok. Rupanya sudah tidak boleh lagi merokok di sambungan kereta itu. Tapi saya tidak peduli. Sekian jam tanpa asap rokok rasanya sungguh menyiksa buat saya. Saya membuka pintu bordes dan segera menyulut sebatang rokok.
Matahari sudah mulai menampakkan dirinya. Nampaknya saya sudah berada di Jawa barat, dan beberapa saat lagi saya akan tiba di Jakarta.
Dari pintu bordes yang terbuka, saya melihat sekelebatan tampak anak-anak yang hendak berangkat ke sekolah. Sepintas saya teringat akan pelarangan dan pembakaran buku-buku pelajaran sejarah yang tidak mencantumkan kata PKI di peristiwa G30S. Dan entah apapula yang dikatakan oleh guru-guru sekolah terhadap murid-muridnya seputar peristiwa 65. Entah sampai kapan kebohongan ini akan terus berlanjut. Semoga di masa-masa yang akan datang masyarakat perlahan-lahan mulai bisa membuka diri dan menerima fakta-fakta yang terjadi tentang G30S dan 65 supaya kebenaran dapat terkuak dan keadilan dapat ditegakkan.
Pemandangan sawah dan gunung pagi itu tampak seperti fragmen-fragmen yang terlihat samar berjalan dengan cepat seiring laju kereta. Saya menghisap asap rokok terakhir, menutup pintup pintu bordes dan kembali ke tempat duduk.
Agan Harahap