-->
Sebuah tulisan dari seorang sahabat baik tentang serial foto saya terdahulu.
Apa yang dilakukan oleh
Agan Harahap kali ini adalah fotografi sebenar-benarnya. Setelah beberapa seri
karyanya ia bereksplorasi tanpa atau dengan sangat minim melakukan pekerjaan
memotret, kali ini ia hadir dengan kamera dan lampu studio. Namun Agan tetap
konsisten pada jalurnya, yang saya sebut sebagai komedi satir fotografi.
Yang dihadirkan Agan kali ini
adalah hasil eksplorasinya selama menjadi fotografer di sebuah majalah musik. Selama
enam tahun bekerja sebagai seorang fotografer majalah ia berkesempatan untuk
memotret baik artis papan atas, papan tengah, papan bawah, maupun artis yang
memaksa untuk masuk papan. Sebagai fotografer ia mempunyai kekuasaan penuh
untuk mengatur bagaimana hasil foto itu nantinya. Memang disana ada peran stylist, make up artist, dan asisten fotografer. Tetapi bagian mereka adalah
para model, sang selebritis. Sang fotograferlah yang berkuasa atas kamera dan
hasil fotonya. Dan selama rentang waktu enam tahun, Agan seperti sudah memahami
bagaimana pakem-pakem agar sebuah foto dapat dimuat dalam majalah tersebut.
Dengan sendirinya timbul sebuah standarisasi bagaimana ‘seharusnya’ sebuah foto
itu layak untuk diterbitkan.
Mungkin banyak orang akan
bertanya-tanya, dimanakah kekuatan sebuah karya foto artis terkenal ketika
semua fotografer dan media sebenarnya sudah mampu untuk membuat karya yang
sejenis. Kita dapat menemukan dengan mudah foto-foto selebritis di media massa.
Kita sudah tidak asing lagi dengan wajah-wajah artis, penyanyi, model terkenal
itu. Lalu apa keistimewaan serial ini dibandingkan dengan karya
fotografer lain?
Seri Agan kali ini bisa dibilang istimewa
karena sang fotografer berani untuk publish
the unpblished. Anda tidak akan menemukan foto-foto dari artis yang sama
dengan keadaan yang “dicuri” Agan pada karyanya kali ini. Ya, disini Agan
seakan-akan ‘mencuri’. Ia mencuri pose, mencuri momen, dan mencuri kesempatan.
Foto-foto ini bukanlah suatu ketidaksengajaan. Foto-foto ini lebih merupakan
‘tembakan peringatan’ yang dilakukan oleh fotografer untuk menandai dimulainya
sebuah sesi pemotretan. Ini adalah foto-foto yang menurut ‘standar’ penerbitan
majalah atau media tidak layak untuk dipublikasikan.
Tidak hanya mencuri momen dan
kesempatan, Agan juga mencuri mimik dan gesture dari sang selebritis. Tidak
usah repot-repot untuk menginterpretasikan mimik atau gesture dalam karya ini
melalui analisis semiotika ala Roland Barthes, Ferdinand de Saussure, atau para
pakar semiotik media visual lainnya. Silakan Anda menjadi pakar untuk diri Anda
sendiri dalam menginterpretasikan karya ini. Interpretasi saya adalah seperti
yang sudah dituliskan di atas, karya foto ini adalah ‘tembakan peringatan’ dari
sang fotografer kepada model atau selebritis yang sedang dibidiknya.
Apa yang dihasilkan dari tembakan
peringatan ini ternyata luar biasa dan mencengangkan. Anda tidak akan menemukan
foto-foto dengan model atau selebritis yang sama di media manapun dengan pose,
mimik, gesture pada karya foto Agan. Eksklusif. Namun sekali lagi ini bukanlah
ketidaksengajaan. Setidaknya dari sisi fotografer. Lihat saja bagaimana
pengaturan lampu di studio maupun setting lokasi pemotretan. Contoh, pada foto
Tiga Diva (Titi DJ, Ruth Sahanaya, Krisdayanti) Anda akan menemukan settingan
lampu yang apik dan tertata rapi. Begitu pula dengan foto Sandi Sandoro, Giring Nidji, Sheila Marcya. Semua menunjukkan kesiapan dari sang fotografer. Agan sudah
mempersiapkan semuanya. Ini bukanlah tes foto atau tes lampu. Ia tidak sedang
mencari-cari settingan exposure,
memilih lensa, atau mencari settingan teknis lainnya. Ia sudah siap.
Sang artis pun sebenarnya sudah
siap. Tengok saja dandanan mereka. Tiga Diva (lagi-lagi) sudah siap,
Ahmad Dhani dengan kostum jenderalnya. Sandi sudah siap dengan gitarnya. Stylist dan make up artist sudah melakukan
pekerjaannya dengan baik. Lalu siapa yang belum siap? Tidak ada, semua sudah
siap. Dan tidak ada yang salah. Ini adalah frame pertama dari sesi foto saat
itu. Sebagai reaksi atas tembakan peringatan dari fotografer, mereka lantas
menampilkan mimik dan gesture yang tidak biasa. Itu saja. Reaksi atas aksi
tembakan peringatan Agan.
Tidak layak untuk dipublikasi di
majalah tempatnya bekerja bukan berarti karya-karya foto ini adalah ‘foto
gagal’. Tidak ada foto gagal dalam seri ini. Justru reaksi atas tembakan
peringatan itulah keberhasilan Agan dalam memotret mereka sang selebritis.
Beberapa reaksi memang terlihat lucu atau menggemaskan, ada pula artis yang
ternyata menampilkan tingkah laku yang bertolak belakang dari yang biasanya
ditampilkan di media massa.
Lantas apakah citra artis-artis
yang ditampilkan dalam karya ini menjadi tercoreng? Menurut saya para
selebritis ini tidak usah khawatir dengan citra mereka di mata publik dengan
adanya karya ini. Publik sendiri sudah mengenal mereka lewat penampilan mereka
di tempat-tempat umum, konser yang mereka lakukan, atau wawancara mereka di
infotainment. Dengan kata lain, publik sudah cukup cerdas dengan penilaian
mereka sendiri-sendiri. Agan hanya menampilkan sebagian kecil dari sisi lain
mereka, para selebritis.
Seri foto ini kembali menegaskan
Agan adalah salah seorang fotografer yang pemikirannya nyeleneh,
mbeling, dan jelas berbeda dari pakem fotografi seperti biasanya. Ketika
fotografer lain berlomba-lomba menampilkan dan memamerkan foto-foto tokoh
penting, selebritis, atau siapapun dalam keadaan terbaik sang model (settingan
lampu, settingan properti, pose, busana, dan teknis lainnya), Agan justru
mengajak kita untuk melihat sisi lain dari selebriti yang biasa dilihat publik.
Jakarta, 12 April 2012
Andries S. Pandia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar