Apakah garis, bidang,
bentuk dan warna masih memiliki arti bagi Sakrip,
Surtiningsih, Rudi, dan siapa pun
mereka, yang tinggal di
panti tunanetra itu? Sejak lahir atau jauh
ketika masih kecil, karena
gangguan pada indera
pengelihatan, mereka telah masuk ke dunia yang lain.
Sebuah dunia yang samasekali
berbeda dari yang kita
miliki.
Tapi terlalu gegabah
rasanya untuk mengatakan mereka buta dan hidup dalam
kegelapan. Tokh mereka tetap bisa membangun visualisiasi
atau gagasan yang khas tentang berbagai fenomena yang
ada dalam kehidupan ini. Mereka memiliki pemahaman yang
tersendiri tentang "garis","bidang",
"bentuk" dan "warna". Dan gagasan itu mereka bangun lewat kepekaan
indera-indera lain yang masih tersisa pada mereka.
Bagi Sakrip gagasan
tentang "ibu" boleh jadi adalah kain batik yang
lamat-lamat berbau apak dan usapan
tangan penuh mesra pada
kepalanya. (Sementara atas "kain batik"
dan "tangan" ia juga punya gagasan yang
tersendiri) .
Bagi Surtiningsih gagasan
tentang "jakarta" boleh jadi adalah suara
lalulintas yang hiruk-pikuk dan bau
tidak sedap yang menguap
dari dalam got. (Sementara atas
"lalulintas" dan "got" ia juga punya gagasan yang tersendiri).
Bagi Rudi--yang tak
pernah meraba buaya, tapi pernah meraba sebuah tas dari
kulit buaya--maka gagasan
tentang "buaya"
boleh jadi adalah sebuah kotak persegi, memiliki
cantelan di kedua sisinya dan
terbuat dari kulit yang
memiliki bidang-bidang berkilat seperti bekas
koreng di kakinya.
Tentu saja mereka
memiliki "garis", "bidang", "bentuk" dan "warna"
tersendiri atas gagasan atau fenomena yang mereka hadapi. Tidak ada
yang salah dengan semua itu. Bukankah atas berbagai
fenomena yang tidak bisa kita tangkap secara kasatmata,
maka kita pun membangun"garis",
"bidang", "bentuk" dan "warna" yang tersendiri? (Apa yang
kita visualisasikan tentang gagasan
"tuhan", "cinta", "kesepian" atau
"pengkhianatan"?
Sama seperti mereka, kita memiliki visualisasi yang
berbeda-beda. Tapi, sama seperti
mereka, perbedaan
itu juga memperkuat dan memperkaya komunikasi kita).
Sakrip, Surtiningsih,
Rudi dan siapa pun mereka, yang tinggal di panti
tunanetra itu, memang memiliki
gagasan tentang
"garis", "bidang", "bentuk" dan "warna" yang
tersendiri. Tapi mereka juga sadar bahwa
mereka hidup di tengah
kita yang tidak mengalami masalah dengan indera
pengelihatan. Mereka sadar bahwa komunikasi dengan kita
juga perlu dibangun lewat "garis",
"bidang", "bentuk" dan "warna" sebagaimana yang kita pahami.
Peristiwa memangkas
rambut agar kelihatan seperti kebanyakan orang,
menghias kelas taman kanak-kanak
tunanetra dengan lukisan
warna-warni, memakai baju dengan mode seperti yang
sedang laris di pasar, memang merupakan suatu hal yang
ironis. Tapi janganlah hal itu dimaknai sebagai
sebuah kekenesan atau olok-olok. Semua ini adalah upaya
dari sekelompok manusia untuk berkomunikasi dengan
kelompok manusia lainnya lewat simbol-simbol, yang oleh
kelompok pertama dipahami sebagai bahasa kelompok
yang kedua.
Hal yang sama jugalah
seyogyanya yang terjadi pada kita. Komunikasi
"visual" kita kepada mereka seyogyanyalah melibatkan
simbol-simbol yang bisa mereka pahami.
Simbol-simbol itu adalah rasa, bunyi, dan bau. Dan dengan rasa,
bunyi dan bau itu, biarlah mereka membentuk garis,
bidang dan warnanya sendiri.
Betapa kaya dan
berwarna-warninya kehidupan bila berbagai kelompok manusia
mau berkomunikasi; mau
membuat dirinya lebih
difahami oleh kawan di hadapannya.
Mula Harahap
Jakarta, 12 Juli 2004
* Ini adalah tulisan almarhum ayah saya pada 2004 dalam rangka merespon karya serial foto saya yang pertama yang berjudul 'Dunia Gelap Yang Penuh Warna'. Adapun serial ini saya buat demi tugas akhir saya sebagai mahasiswa DKV di STDI Bandung. Selama beberapa minggu saya kerap menghabiskan waktu saya di SLB-A jalan Pajajaran mengamati dan memotret segala kegiatan mereka yang menarik bagi saya. Sebetulnya ada 12 karya foto yang saya sertakan dalam ujian tugas akhir saya waktu itu. Tapi hanya 6 foto yang masih bisa saya temukan setelah mencari-cari di internet. Dan setelah 14 tahun berlalu, akhirnya baru sekarang saya bisa menyandingkan karya saya dengan tulisan almarhum ayah saya.