Sabtu, 16 Maret 2013

SING FEST #3 ( Tribute To WAK UTEH)




Setelah menghasilkan kompilasi screen capture lagu-lagu karaoke yang terdiri dari  SING FEST 1 dan SING FEST 2 , kegemaran saya berkaraoke dan 'memotret' dengan menggunakan media youtube belumlah padam dan masih terus berlangsung hingga hari ini. Tanpa terasa SING FEST sudah memasuki edisi ke 3.

Pada kali ini saya akan memfokuskan kepada salah satu grup musik andalan saya saat ini yang bernama WAK UTEH.  Pada awalnya saya hanyalah mendengarkan dan mendendangkan lagu-lagu melayu populer yang banyak tersebar di Youtube. Ketertarikan saya pada Wak Uteh diawali secara tak sengaja ketika saya menemukan lagu Minyak Naek. Sebuah lagu yang bernuansakan kritik sosial dengan lirik yang lugas dan langsung menohok kedalam hati sanubari saya. Dengan rentak yang riang gembira dipadukan dengan lirik yang menyuarakan penderitaan yang dialami rakyat kecil, justru menimbulkan kesan satir yang cerdas. Belum lagi dengan video klip yang menggunakan liputan kunjungan Presiden SBY (yang mungkin entah diambil darimana), membuat saya ingin mencari tau lebih banyak tentang grup musik ini.
Wak Uteh dalah sebuah grup musik Melayu yang dimotori oleh Djalaut Agustinus Hutabarat ini terdiri dari banyak personel yaitu Tok Laut, Syafii Panjaitan, Azlina, Azum, Darwin Sitinjak, Atoen Soraya, Ika, Sima, Rita, Ratna Hasibuan, dan Syawal DM. Walaupun Djalaut Hutabarat adalah seorang yang beretnis Batak, namun kecintaannya kepada musik Melayu dapat menghasilkan karya-karya yang cukup meresap dan menakjubkan bagi saya.

Tidak begitu banyak lagu-lagu Wak Uteh yang tersebar di Youtube, namun secara garis besar dapat saya simpulkan bahwa lagu-lagu Wak Uteh jelas memotret kehidupan sosial masyarakat nelayan di kawasan Tanjung Balai Sumatera Utara dan secara otomatis, lagu-lagu ini jelas menggambarkan potret kehidupan sosial masyarakat Indonesia pada umumnya. Sebagai contoh, dapat disaksikan di dalam lagu Bajudi, lagu ini diawali dengan percakapan yang berdurasi cukup panjang di sebuah warung kopi menyoal soal kematian seorang penjudi besar yang pemakamannya dihadiri oleh para pejabat teras kota dan desa yang disimbolkan dengan kode-kode togel.
" Kepada yang saya hormati 77 ( wali kota) dan 80 ( kepala desa), Kawan kami telah menjadi 03 ( mati) dan sebentar lagi akan dimasukkan ke 22 (liang kubur), dan seterusnya, dan seterusnya.."
Sementara liriknya sendiri menceritakan tentang kegiatan orang berjudi dan tak lupa Wak Uteh pun memberikan nasihat-nasihat agar jangan menjauhi kegiatan berjudi karena mendatangkan dosa dan petaka.

Hampir di dalam setiap lagu-lagunya, Wak Uteh seringkali menyisipkan dialog yang dilakukan antar penyanyi-penyanyinya dan dialog yang merakyat itupun semakin mengena dengan lirik yang polos apa adanya. Seperti dalam lagu Batongkar 3, diawali dengan dialog seorang pemuda 'playboy' yang sedang merayu gadis idamannya di depan sebuah mobil sedan dan dilanjutkan dengan pertengkaran di tengah keramaian, sampai pada akhirnya sang pria menyesali kelakuannya. Selalu saja ada muatan positif yang disampaikan Wak Uteh baik dalam lirik, maupun dalam dialog di hampir setiap lagu-launya.

Berbicara tentang video klip, sekilas kita dapat langsung menyimpulkan bahwa semua video klip Wak Uteh terlihat asal jadi dan jauh dari kesan profesional. Namun apabila kita cermati secara lebih mendalam, justru dengan teknik yang terkesan sederhana dan apa adanya inilah letak kekuatan video-video Wak Uteh. Pengambilan angle yang datar, tata cahaya bergantung matahari dan proses editing yang minim, membuat video klip Wak Uteh dapat terasa lebih realistis menggambarkan realitas kehidupan keseharian masyarakat Indonesia.

Di tengah berbagai gempuran musik-musik kekinian yang hampir selalu menghadirkan 'potret kaum urban salah kaprah', Wak Uteh dengan caranya sendiri telah berhasil mengingatkan saya akan kesederhanaan dalam berkarya sekaligus memberi cara pandang positif dalam menghadapi berbagai terpaan yang mendera dalam menjalani kehidupan ini






SING FEST #3 ( tribute to WAK UTEH )


Peringatan Wak Uteh akan bahaya merokok

Menu makanan sehari-hari

Masih berbicara tentang menu makanan keseharian

Tentang terasi
Sudah kerja sekuat tenaga, namun nasib belum berubah..
Susah senang silih berganti dalam mengarungi bahtera kehidupan

Realitas kehidupan nelayan

Kegiatan keseharian seorang penjudi. Segala sesuatunya dijadikan kode.
Pesan Syafi'i Panjaitan tentang bahaya berjudi
Bila penampilan mu sekarang seperti ini, entah bagaimana pulak kehidupan masa muda mu dulu kawan...

Percaya diri adalah hal yang utama

Entah wanita macam mana yang hendak kau pikat dengan dandanan seperti ini

Motorpun dipinjam demi menjemput kekasih pujaan hati

AADC versi Wak Uteh
Realitas keseharian dalam kehidupan berumah tangga
Masalah finansial selalu saja menjadi penyebab utama pertengkaran kita yank..

Sang suami capek pulang kerja tak ada makanan karena si isteri sibukasyik bersolek
Masalah lain dalam keretakan hubungan rumah tangga karena adanya pihak ketiga

Bersyukur atas istri yang tetap setia menjalani berbagai kesukaran dalam hidup
Doa Wak Uteh untuk para pemimpin bangsa

Walau bagaimanapun juga sulitnya hidup, tetap percaya bahwa siapa tahu kelak nasib akan berubah
Sampai jumpa lagi dalam Sing Fest edisi mendatang


Agan Harahap (pengamat musik tradisional dan penggemar musik Melayu)



Senin, 18 Februari 2013

Pendapat Saya Tentang Sejarah 65


Beberapa waktu yang lalu, tanpa sengaja saya menemukan sebuah link untuk mendowload film "Pengkhianatan G-30-S/PKI". Saya pun mendownload dan menonton lagi film ini. Dan tanpa disangka, saya sukses tertidur dengan pulas ketika menyaksikan film ini. Mungkin karena durasinya yang terlalu lama saya rasa.

Pengalaman ini tentu jauh berbeda ketika saya menonton film ini untuk pertama kalinya. Saya sampai tidak bisa tidur karena menonton film tersebut. Suasana horor dan teror di film ini jauh melebihi film-film horor alla Hollywood. Adegan bibir hitam yang tak putus merokok, adegan penculikan yang slow motion, sungguh teramat menghantui saya. Belum lagi adegan ketika penembakan Jenderal DI Panjaitan. Lagu-lagu klasik dan jerit tangis serta adegan mengusap darah di wajah merupakan hal yang sungguh mengerikan bagi saya yang masih duduk di sekolah dasar. Sedikit saja ada bunyi di luar pagar, membuat saya dengan sigap memeriksa keadaan di luar. "Yah, mana tau ada truk yang datang yang akan menculik bapak saya". Pikir saya waktu kecil dahulu.

Kemarin pagi, saya iseng kembali menonton film tersebut. Kali ini saya tidak tertidur.  Dan atas nama 'nostalgia masa kecil" dan ditambah lagi karena kemarin memang saya tidak ada kegiatan, maka saya memutuskan untuk pergi ke Lubang Buaya.
Saya tidak bisa mengingat, kapan terakhir kali saya berkunjung ke Museum Kesaktian Pancasila. Entahlah. Mungkin SD atau SMP. Tapi yang jelas, pengalaman berkunjung ke lubang buaya ketika kecil, adalah sama mencekamnya ketika saya menonton film "Pengkhianatan G-30-S/PKI" di TVRI jaman dulu.

Sesampainya di Lubang Buaya, saya menjumpai banyak anak-anak sekolah yang sedang melakukan studi wisata disana. Anak-anak terlihat sibuk mencatat sambil mendengar penjelasan dari seorang guide. Dari ceritanya, seolah-olah guide itu benar-benar hadir dan menyaksikan peristiwa penyiksaan dan pembunuhan tersebut sehingga dia bisa menjelaskan setiap ditel yang terjadi pada masa itu. Sungguh berlebihan.
Sementara anak-anak mendengarkan penjelasan dari guide yang lebay itu, ibu-ibu guru nampak bergantian untuk berfoto di bawah monumen. Bahkan ibu-ibu guru tersebut meminta tolong kepada saya untuk mengambil foto mereka.

Di lokasi itu, ada sebuah bangunan yang konon dijadikan tempat "penyiksaan" bagi para jenderal. Di dalam bangunan itu terdapat manekin-manekin tentara, pemuda rakyat dan gerwani yang sedang melakukan adegan penyiksaan. Tampak disana mereka sedang menginterogasi Jend S Parman yang berdarah-darah sementara beberapa lainnya sedang menunggu untuk disiksa. Belum lagi dari speaker terdengar suara yang menceritakan kronologi pembunuhan tersebut. Beberapa siswa yang menyaksikan ini tampak begitu tegang dan serius. Berbeda dengan saya yang dalam hati sibuk mengomentari warna cat rumah yang kuning mencolok (entah kenapa saya berpikir tentang Golkar), boneka-boneka yang sudah usang dan berdebu, serta berbagai pertanyaan 'penting' lainnya.

Adegan penyiksaan yang mencekam


Sumur dengan darah buatan dan nama museum yang sungguh provokatif


Setelah dari lokasi penyiksaan itu, saya pun melangkahkan kaki ke sumur. Sumur tersebut berada dalam sebuah bangunan semacam pendopo kecil. Dari jauh, bangunan ini terlihat cukup megah walau sedikit berlebihan dengan ukiran-ukirannya. Tapi ada satu hal yang sangat mengusik saya. Di bibir sumur, terlihat ada cat berwarna merah (artifisial). Mungkin saja pengelola gedung sengaja memberi efek darah agar suasana terasa lebih mencekam. Tapi, kenapa sampai harus berlebihan seperti itu?
Bosan dengan keadaan 'mencekam' itu, saya pun melangkahkan kaki menuju bangunan museum. Nama bangunan itu cukup provokatif "Museum Pengkhianatan PKI. (komunis). Bayangkan,  (dalam tanda kurung), Komunis".  Bangunan itu lumayan sepi. Anak-anak sekolah nampaknya sudah masuk ke ruang auditorium untuk 'didoktrinisasi' oleh film 'horor' itu. Bangunan itu tidak terawat dengan baik. Tapi syukurlah, pendingin ruangan bekerja dengan baik. Di dalam bangunan itu nampak diorama-diorama yang dibuat secara menditel. Cukup menarik untuk disaksikan. Diorama-diorama itu menceritakan tentang 'sepak terjang' PKI. Mulai dari pemberontakan Muso sampai penangkapan (pembunuhan) PKI di Blitar. Secara keseluruhan, menyaksikan diorama-diorama ini lumayan menjemukan. Belum lagi ditambah dengan penataan cahaya yang jelek. Tetapi kalau kita lihat secara menditel, diorama-diorama ini jelas menggambarkan teror-teror berdarah yang di sebabkan PKI pada masa itu. Penonton tak henti-hentinya disuguhi dengan berbagai adegan pembunuhan yang kejam dan berdarah-darah.





 Diorama-diorama provokatif yang tak henti-hentinya mempertontonkan terror sebagai sejarah


Merasa 'kenyang' dengan teror berdarah dalam bentuk diorama ini, saya pun menelusuri jalan mengikuti tanda petunjuk untuk keluar dari bagian musem ini. Alangkah terkejutnya saya setelah menemukan dan membaca papan petunjuk yang bertuliskan "Pakaian Dan Bekas Darah". Oh no.. teror itu belum selesai nampaknya. Rupanya masih ada lagi 'darah' yang harus disaksikan dalam mempelajari sejarah negeri ini. 
Saya berjalan memasuki sebuah ruangan yang berisi peninggalan-peninggalan para jenderal dan perwira yang terbunuh dalam peristiwa gestapu ini. Mulai dari peninggalan semasa mereka hidup, sampai kepada pakaian dan barang-barang terakhir yang mereka kenakan sewaktu menghadapi ajal. Tiap jenderal dan perwira yang terbunuh mendapat satu space khusus sebagai representasi personal mereka. Belum lagi space khusus yang diperuntukkan oleh Sukitman, seorang polisi yang menjadi saksi peristiwa pahit ini. (Untuk yang nama yang terakhir ini, saya sempat menyaksikannnya di sebuah talkshow bodoh dan alm.Sukitman tampak menangis ketika membeberkan kesaksiannya).
Ada berbagai pertanyaan yang hinggap di kepala saya ketika saya menyaksikan barang-barang dan pakaian dengan noda darah yang dipamerkan disana. Apakah pentingnya memamerkan baju-baju dengan noda darah? Apakah pentingnya memamerkan hasil visum dokter di tiap jenazah? Apakah pentingnya memamerkan foto-foto jenazah yang membusuk? Apakah dari pihak keluarga tidak ada yang protes ketika foto jenazah ayah dan suami mereka yang sudah membusuk di pamerkan?
Andai saja ayah saya seorang pahlawan sekalipun, tentu saya akan protes ketika foto jenazah ayah saya yang membusuk dipamerkan. Karena sebagai anak, tentu saya ingin agar masyarakat mengingat hal-hal baik tentang almarhum semasa hidup.
Alangkah lebih masuk akal, apabila yang dipamerkan disana adalah bintang-bintang jasa, kiprah mereka di kemiliteran, cerita-cerita tentang almarhum dari orang-orang terdekat dan hal-hal positif lainnya. Tentu saja kita ingin mengenang jasa-jasa baik dari mendiang. Bukannya malah mengenang segala teror proses penyiksaan, pembunuhan dan kondisi jenazah.
Melewati ruangan 'bekas darah' tadi, ada satu ruangan kecil terakhir yang berisi tentang dokumentasi foto-foto pengangkatan jenazah dari lubang sumur itu. Walaupun masih 'bertema darah', namun di ruangan itu lebih menonjolkan sosok Mayor Jenderal (pada saat itu) Soeharto sebagai penyelamat bangsa. Saya tidak berlama-lama di ruangan itu. Saya merasa sudah cukup 'puas akan darah' siang hari itu. Dan saya segera menuju kantin terdekat untuk merokok sekedar merasionalkan pikiran.


Peningalan para jenderal

Foto-foto jenazah yang rusak beserta visum dokter

Beberapa Hari Kemudian..

Sebenarnya tulisan di atas adalah dibuat sekitar 4-5 hari yang lalu, namun saya belum sempat mempostingnya karena setelah tuisan awal dibuat, saya langsung sibuk membaca berbagai artikel tentang 'perbaikan sejarah' tentang seputar G30S dan PKI di berbagai website yang saya temukan. Salah satunya adalah link-link di bawah ini :

http://www.marxists.org/indonesia/index.htm
http://www.marxists.org/indonesia/indones/index.htm
http://www.analisadaily.com/news/read/2011/12/20/26995/lim_joe_thay_meluruskan_sejarah_penyiksaan_pahlawan_revolusi/#.USIsIujrZ5E
http://id.wikipedia.org/wiki/Pembantaian_di_Indonesia_1965%E2%80%931966
http://www.lensaindonesia.com/2012/07/30/inilah-detik-detik-pembantaian-massal-1965-1966.html
dan ini
http://www.marxists.org/indonesia/indones/sudisman.htm
(untuk link terakhir, saya sungguh merasa sangat tersentuh ketika membacanya).

Selain tulisan, ada ratusan video yang diunggah seputar peristiwa kelam ini
Soeharto Dalam Kenangan
Soeharto Dalam Kenangan 2

Serta beberapa ratus link sejenis lagi.

Setelah 5 hari membaca, meneliti, berpikir dan berdiskusi, sejujurnya saya merasa sedih dan kehilangan. Sedih bahwa bangsa kita harus kehilangan orang-orang hebat seperti Soekarno, Amir Sjarifoeddin Harahap, Dipa Nusantara Aidit, Njoto, Sudisman, Tan Malaka, dan jutaan lagi orang-orang pintar nasionalis dan berpikiran maju yang dengan sengaja dihilangkan demi sebuah 'bentuk penjajahan baru' yang dampaknya saat ini ( atau entah sampai kapan), harus kita tanggung bersama (hutang luar negeri, ekonomi carut-marut, 'pemerkosaan' terhadap hasil bumi ibu pertiwi, ketergantungan pada modal asing, dsb dsb).

Maka dapat saya simpulkan, apa yang terjadi pada 47 tahun yang lalu adalah sebuah pemutar balikkan fakta dan kekejian luar biasa yang dilakukan oleh rezim yang berkuasa selama 32 tahun itu. Sebuah rezim tirani tamak yang hanya mementingkan kesejahteraan golongannya sendiri tanpa mempedulikan kepentingan bangsa.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa sejarah adalah berasal dari pihak pemenang. Dan bila kita menilik dari bentuk-bentuk provokasi di film, di museum Lubang Buaya serta pada pelajaran-pelajaran yang kita serap selama ini, nyatalah sudah bahwa kesemuanya itu hanyalah sebuah sinetron fiksi dari episode panjang yang disusun dengan begitu rapi dan cermat sehingga kita otomatis berpikir bahwa sang pemenang telah berhasil membela kebenaran dan (kesaktian?) pancasila, serta menumpas golongan antagonis. Dan museum yang saya kunjung beberapa hari kemarin, tak lebih hanya sebagai salah satu 'pelengkap penderita' atau 'unsur pendukung' dari sinetron fiksi 'kejar tayang' selama ini.

Bicara tentang sistem pendidikan (doktrinisasi usia dini), beberapa waktu belakangan ini tersiar kabar bahwa di beberapa daerah telah terjadi pembakaran buku-buku pelajaran sejarah yang tidak mencantumkan PKI di peristiwa G30S. Ini sebagai bukti bahwa dogma atau doktrin palsu yang ditanamkan oleh orde baru benar-benar luar biasa menancap, bertumbuh dan berakar sampai saat ini.
Entah karena doktrin yang begitu mengakar atau karena ada motif lain yang sengaja membiarkan sejarah palsu itu tetap berlangsung hanya demi menutupi dosa-dosa masalalu yang telah mereka perbuat (pelanggaran HAM berat)? Entahlah..
Saya rasa, sudah menjadi kewajiban bagi saya dan kita sekalian untuk mengkaji ulang dan meluruskan sejarah kelam yang pernah terjadi di bumi Indonesia ini.


Penutup:

Saya kembali mengenang 5 hari yang lalu, ketika saya mengunjungi museum itu. Ketika anak-anak sekolah bersemangat untuk menelan bulat-bulat apa yang dikatakan si guide yang berapi-api itu, ketika mereka melihat segala bentuk 'provokasi artifisial' itu (Entah ada berapa ribu atau juta lagi anak-anak Indonesia yang harus percaya dengan monumen dan museum yang penuh drama itu).
Semoga kelak (saya rasa tidak akan lama lagi), bahwa kita (sebagai bangsa) mampu untuk berani membuat satu 'pelurusan sejarah' sehingga tidak akan ada lagi cerita simpang-siur serta stigma negatif terhadap saudara-saudara kita yang ber-afiliasi dengan PKI beserta anak cucu mereka.
Dan ketika keponakan-keponakan saya  (Gisella dan Karissa), kelak sudah cukup umur untuk berpikir logis, maka saya, sebagai pamannya (atau kalian), jelas harus bertanggung jawab untuk menjelaskan tentang bahwa adanya argumen-argumen (link2 tadi di atas), yang secara otomatis menghadirkan 'perbandingan terbalik akan situasi nasional pada saat itu' yang kelak akan menentukan sikap keberpihakan politik kalian tentang pergolakan bangsa kita pada masa itu pada generasi-generasi di bawah kita, dan seterusnya. Bahwa apa yang mereka dengar dari guru di sekolah, bukanlah sebuah kebenaran mutlak yang harus mereka percaya dan 'terapkan' dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air mereka kelak.


Biarkanlah monumen itu tetap berdiri, sebagai pengingat bahwa terhitung dari 30 September 1965, pernah terjadi suatu 'pemutar balikkan fakta' yang telah mengakibatkan hilangnya ratusan ribu bahkan jutaan nyawa rakyat patrotik bangsa Indonesia karena sebuah kemunafikkan dan keserakahan rezim yang telah membuat bangsa kita terpuruk dalam kebutaan sejarah dan terbuai dengan 'euforia entah' sampai hari ini.

Biarkanlah telunjuk Jend Achmad Yani di monumen itu tetap mengarah ke dalam lubang itu, sehinga dapat kita artikan secara berbeda. Bahwa: "Disanalah tempat kami meregang nyawa atas tindakan 'artifisial/manipulatif' yang membuat bangsa kita salah kaprah dalam memandang sejarah seperti sekarang.." 


Agan Harahap