Kamis, 02 Februari 2017

‘KAWAN LAMA’ DARI AMERIKA






Konser Metallica di Indoor Stadium Singapura baru saja usai. Beberapa penonton yang masih tersisa di dalam ruangan terlihat sibuk mencari-cari di pojok-pojok ruangan konser berharap menemukan pick gitar yang sengaja dibagi-bagikan kepada penonton sebagai gimmick dari encore di penghujung acara tadi. Sementara kami yang berada di sisi depan panggung masih menunggu antrian dari belasan ribu  pengunjung lain yang berdesakan keluar dari tempat itu.

Rizal memberi kode supaya kami bergegas untuk keluar melalui belakang panggung. Rizal Tanjung, seorang peselancar ternama tanah air yang juga merupakan teman dari Kirk Hammett dan RobertTrujillo, mendapat undangan untuk ‘nongkrong bareng’ dengan para personel Metallica di Crowne Plaza Hotel tempat mereka menginap. Ya, hari itu saya yang kebetulan tengah menempuh program residensi seni di negara ini, sangat beruntung karena Rizal turut mengajak saya untuk menyaksikan konser itu.

Hujan yang turun dengan deras menyambut kami di pintu keluar. Sementara taxi bukanlah pilihan transportasi yang bijaksana untuk mengantar kami ke lokasi tujuan. Pilihan lainnya adalah MRT namun kami harus berjibaku bersama ribuan penumpang lain untuk bisa naik kedalam kereta bawah tanah itu sementara kami berempat hanya memiliki dua buah tiket. Baiklah, nampaknya saya harus menggunakan sedikit cara yang ‘Indonesiawi’ agar bisa bercengkerama dengan musisi idola pujaan hati. Saya pun menganjurkan untuk Rizal dan istrinya, Chandra agar berdiri rapat dengan saya, sehingga ketika tiket digesek dan pintu terbuka, mereka bisa cepat masuk tanpa harus mengantri untuk mendapatkan tiket MRT. Singkat cerita kami pun tiba di tengah kota, dan segera melanjutkan perjalanan dengan taxi menuju Changi.

Kedatangan kami disambut oleh dua orang crew Metallica yang memang sudah menanti kami sambil merokok di pintu lobi. Bayangan saya tentang suasana hotel yang hiruk pikuk dipenuhi oleh para metalhead buyar. Nampaknya kami adalah satu-satunya pengunjung konser yang diizinkan untuk hadir di lokasi yang memang dirahasiakan itu. Setelah berbasa-basi seraya menghabiskan sebatang rokok, kamipun menuju ke sebuah bar di lantai atas.

Suasana bar itu nampak sepi. Hanya satu-dua pengunjung yang masih nampak menghabiskan waktu sambil menyaksikan pertandingan bola malam itu. Sejujurnya, saya cukup merasa canggung di tengah-tengah mereka. Saya yang kurang pandai dalam beramah-tamah, ditambah dengan bahasa Inggris saya yang kacau balau, tiba-tiba saja bisa saja bergabung dalam kumpulan yang berbahagia itu.
Belum lagi baju saya yang lembab karena keringat dan bercampur air hujan mulai mengeluarkan aroma yang kurang sedap, semakin membuat saya jadi tidak percaya diri untuk berjumpa dengan mereka. Namun untungnya suasana canggung itu tak berlangsung lama. Seorang pelayan datang dengan membawa beberapa gelas bir dingin yang langsung menyegarkan tenggorokan saya yang kering sejak konser tadi.

Segelas bir sudah habis, namun Kirk Hammet dan kawan-kawannya belum juga hadir dan bergabung dengan kami. Oh,.. Mungkin saja dia sedang mandi atau mungkin dia sedang skype dengan anak-istrinya di Amerika sana, pikir saya. Saya hanya berusaha untuk tetap fokus menikmati malam itu sambil sesekali ber-whatsapp menanyakan kabar istri saya di Jogja demi mengalihkan rasa canggung. Anak-anak saya rupanya sudah tidur dari tadi. Hanya istri saya yang masih setia menanti foto-foto perjumpaan saya dengan Metallica agar bisa dapat diuploadnya di Path.  

Sejurus kemudian Robert Trujillo Nampak memasuki ruangan. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai dan dengan disertai senyum lebar langsung bergabung dengan kami. Tidak seperti Rizal dan Chandra, mereka yang memang sudah cukup lama kenal dengan Robert bisa langsung bercengkerama tentang berbagai hal. Sementara saya adalah orang yang cukup sadar diri. Setelah berkenalan dan beramah-tamah, saya pun hanya diam di pojok seraya mencoba untuk mengabadikan momen ini dengan kamera smartphone saya yang baterenya sudah menunjukkan angka 5%.


 Robert Trujillo dan Kirk Hammett tampak tertawa-tawa melihat editan foto-foto saya


“Hey man, you should see Agan’s works! He make a series of your photos and make all the metalhead in Indonesia got angry with him. Hahaha.. “ Ujar Rizal kepada Robert. Saya yang tengah mencuri-curi memotretnya langsung kaget dan gelagapan. Dengan kikuk dan terbata-bata saya mencoba menunjukkan karya-karya saya kepadanya. Saya memang pernah membuat satu serial fotografi dalam merespon konser Metallica di Jakarta 3 tahun lalu. Saya pun beberapa kali menyertakan mereka dalam meme-meme yang saya buat pada masa pilpres lalu. “Wait a minute.. I don’t remember when you take this photo, And who is this old man?” Ujar Robert keheranan sambil menunjuk fotonya yang saya sandingkan dengan foto Jusuf Kalla. Dan dikarenakan perbendaharaan kata saya yang buruk, maka Rizal dan Chandra pun membantu saya menjelaskan karya-karya saya kepada Robert Trujillo.

Tak lama berselang, Kirk Hammett yang muncul dengan ditemani seorang crew menghampiri dan menyapa kami dengan ramah. Trujillo yang masih tertawa-tawa  langsung saja memperlihatkan karya-karya saya kepada Kirk. Namun dikarenakan rambutnya yang keriwil-keriwil, sehingga susah untuk diseleksi di photoshop, maka saya tidak pernah memuat sosok Kirk Hammet kedalam karya-karya saya. Tapi Kirk nampaknya cukup senang dan tertawa-tawa melihat bagaimana saya memperlakukan rekan-rekannya yang lain.

“You’re very dangerous man.. I’m serious dude!” Ujar Kirk Hammett sambil diikuti derai tawa kawan-kawan yang lain. Kesan garang dan menyeramkan dari Kirk Hammet dan Robert Trujillo yang sebagaimana mereka tampilkan di panggung sirna seketika. Saya pun mulai merasa nyaman dan bisa lebih percaya diri untuk berbincang dan bersenda gurau dengan mereka. Sayapun sempat menanyakan kepada Trujillo hal ikhwal gitar bass yang dihadiahkan kepada Presiden Jokowi. Menurut penuturannya, beberapa tahun lalu ada seorang temannya yang memintanya untuk menandatangani gitar bass miliknya. Karena itu merupakan permintaan seorang teman, maka tanpa ragu dia langsung memenuhi permintaan itu. Trujillo malah kaget ketika saya beritahu bahwa gitar bass itu tidak jelas dimana keberadaannya sekarang. Karena sempat disita oleh pemerintah di masa kampanye pilpres dulu.

Beberapa kawan mereka, sesama surfer dari Bali yang dari tadi juga turut menonton konser bersama kami akhirnya sampai dan bergabung bersama kami. Suasana semakin ramai dipenuhi dengan canda gurau. Pelayan bar cukup sibuk berulang kali mengantarkan bir ke meja kami yang tak henti minum. Sementara Robert Trujillo tetap bertahan dengan segelas red wine yang dari tadi tak lepas dari genggamannya.

Saat itu hanya Kirk Hammett dan Robert Trujillo yang hadir dalam ‘jamuan ramah-tamah’ itu. Sementara James Hetfield dan Lars Ulrich sedang bertemu dengan kawan-kawan mereka yang lain di suatu tempat lain. Suasana di bar semakin hiruk-pikuk. Beberapa kawan nampaknya sudah mabuk dan mereka mulai berbicara dan bercanda dengan istilah-istilah yang sulit saya mengerti sehingga membuat saya seolah ‘terpinggirkan’ dalam acara yang berbahagia itu. Saya yang tadinya duduk di tengah-tengah, perlahan tergeser ke pojok karena saya harus mengecas kamera karena saya saya tidak mau momentum ini hilang begitu saja tanpa terabadikan.

Sambil memperhatikan mereka di kejauhan, tiba-tiba Jhonny, salah seorang kru mereka menghampiri saya dan berkata apakah saya mau menemaninya untuk keluar dari tempat itu untuk berburu oleh-oleh bagi keluarganya karena besok pagi, mereka sudah harus kembali ke Amerika. Saya langsung mengiyakan ajakannya. Saya pikir, tak apalah menemaninya berbelanja sebentar karena untuk kembali ke daerah Bencoolen, tempat saya tinggal, cukup memakan biaya yang tidak sedikit.
Setelah berpamitan dengan Rizal dan Chandra, kamipun menuju basement karena mobil yang sedianya akan membawa kami ke tengah kota sudah menanti disana.

Pintu mobil dibuka dan betapa terkejutnya saya ketika mendapati Robert Trujillo sudah berada di jok belakang. “I promised my wife and kids to buy something good, man. And this is my last change”. Sebagai catatan, konser mereka di Singapura ini merupakan penutup dari rangkaian tur Asia mereka dan karena jadwal yang padat, mau-tidak mau, mereka harus menyempatkan diri untuk berburu oleh-oleh di Singapura. Sebagai suami dan ayah dari seorang putri dan seorang putra, saya tahu persis beban yang dirasakan oleh Robert Trujillo. Bahwa ‘sogokan’ berupa oleh-oleh sangat bernilai penting demi kelancaran hidup berumahtangga.

Di tengah perjalanan, Robert menelpon James Hetfield, untuk menanyakan keberadaannya. Tanpa disangka-sangka James dan Lars Ulrich yang nampaknya sudah lelah, memutuskan untuk bergabung dengan kami. Merekapun ternyata harus memenuhi ‘kewajiban’ yang sama demi membahagiakan orang-orang tercintanya. . Malam ini saya merasa sungguh beruntung. Tak henti-hentinya ucap puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan YME karena anugerahNya sehingga dalam waktu yang tidak lama lagi saya bisa berkumpul dengan ‘kawan-kawan lama’ saya dari Amerika.

“Yes.. Me too! Hey man, do you know any local restaurant that still open tonight? “  Tanya Trujillo tiba-tiba kepada saya sehingga memutuskan doa syukur yang saya panjatkan.
“Err.. I know one 24 hours restaurants near my apartment.. But it’s Indian-Malay restaurant..” Ucap saya terbata-bata.
“Is it good??” Ucap Robert menimpali seraya masih tersambung di telepon.
“Well.. For me, it’s ok lah..” Sejujurnya restoran yang bercitarasa khas India dan Malay yang saya maksudkan adalah sebuah restoran yang cukup murah yang memang cukup akrab bagi mahasiswa-mahasiswa yang berkulah di Nanyang maupun La Salle. Dan bagi lidah Indonesia saya, menu-menu yang disajikan di restoran tersebut cukup lezat.
“Ok then.. So we meet at Al.. Al.. What man?? “ Tanya Robet.
“Al Jilani in Bencoolen Street” tungkas saya dengan nada bicara yang mungkin meragukan baginya.

Singkat kata sampailah kami ber-3 di restoran Al Jilani di jalan Bencoolen. Restoran itu nampak tidak terlalu ramai seperti biasa. Mungkin karena menjelang waktu Tahun Baru Cina, pikir saya. Setibanya disana, atas petunjuk saya, Robert yang nampaknya sudah kelaparan langsung memesan nasi goreng seafood dan John memesan mutton curry. Adapun alas an saya menyarankannya untuk mencoba nasi goreng seafood karena rasanya cukup netral dan bersahabat. Saya teringat akan sebuah lagu Belanda  lama yang berkisah tentang keistimewaan nasi goreng. Menurut saya, citarasa lidah Belanda dan lidah Amerika tentulah mirip, sehingga saya berkesimpulan bahwa Robert akan bisa menikmati nasi goreng seharga $ 4.5 itu.

 
Robert Trujillo nampak kesulitan untuk menghabiskan nasi goreng seafood pesanannya

John, sang crew yang selama dalam perjalanan sukses menahan rasa lapar yang melanda, dengan sekejab sukses menghabiskan kari kambing pesanannya. Sementara Robert nampaknya agak kesulitan untuk ‘bertoleransi’ dengan nasi goreng seafood pilihan saya. Jujur saja, saya merasa tidak enak atas saran saya itu. Tapi saya terlalu gengsi untuk berkata, biarlah makanan itu saya saja yang habiskan.. :p

Restoran itu tidak terlalu ramai. Beberapa pengunjung tempat itu nampaknya tidak menyadari akan kehadiran salah satu personel band legendaris yang hanya berjarak beberapa meja dihadapan mereka. Ketika Robert Trujillo sedang berkutat untuk menelan sendok terakhir nasi gorengnya, tiba-tiba sebuah mobil sedan hitam berhenti begitu saja tepat disebelah saya yang sedang asik merokok.

“Hey man,. Are you finished yet?” Saya segera mengenali suara yang berat dan serak itu. Dan begitu saya menoleh, James Hetfield sudah turun dari pintu belakang dan disusul kemudian oleh Lars Ulrich langsung menghampiri Robert Trujillo yang masih menyelesaikan makanannya. Robert pun memperkenalkan saya kepada kedua rekannnya itu. Dan sambil mengunyah nasi goreng seafood, Robert menjelaskan tentang apa yang sudah saya perbuat dengan Metallica 3 tahun lalu. Saya ingin menunjukkan karya-karya saya kepada mereka, namun apa mau dikata, rupanya Tuhan berkendak lain. Batre handphone saya habis. Namun di luar dugaan, Lars yang memang menaruh minat yang cukup besar terhadap perkembangan seni, rupa rupa-rupanya bisa mengerti dan setelah saya memberi penjelasan singkat tentang apropriasi foto Metallica sebagai ‘icon zaman’ dan korelasinya dalam ranah seni kontemporer dia pun mengangguk senang.

“Hey Agan, took my picture with him..” Ujar Lars Ulrich ketika Robert berhasil menyelesaikan nasi goreng seafood pesanannya.

Kelakuan seorang James Hetfield di depan restoran Al-Jilani 


Restoran Al Jilani sebetulnya cukup dipenuhi oleh para pengunjung yang menghasbiskan malam di tempat itu. Tapi entah kenapa, mereka rasanya ‘cuek-bebek’ akan kehadiran Metallica dihadapan mereka. Saya tidak mengerti apakah berbagai peraturan ketat dari pemerintah yang sedemikian bisa merubah perangai seseorang terhadap band legendaris ini ?
Ataukah mungkin jangan-jangan para mahasiswa di negara ini malah justru tidak tau akan sepak terjang mereka dalam kancah permusikan dunia? Entahlah..


Kami bergabung dalam satu mobil. Patrick, sang supir mobil yang keturunan China ini cukup menyenangkan. Sambil memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, ia pun kerap mengeluarkan joke-joke rasis yang mengundang tawa kami semua. Dia bercerita tentang pertengkaran yang terjadi karena salah paham akibat pelafalan bahasa Inggris yang kacau balau. Malam semakin larut dan Patrick mengarahkan kami ke China Town. Menurutnya China Town adalah tempat yang tepat untuk berbelanja oleh-oleh. Disamping itu, karena menjelang Tahun Baru China, maka hampir semua tempat disana buka sampai larut malam.

Sesampainya di China Town, kami langsung membaur dengan ribuan orang yang berdesak-desak memenuhi daerah itu. Karena cukup banyak turis bule yang berada disana, maka Lars, Robert dan James tidak sulit untuk menyamarkan identitas mereka sebagai seorang rockstar. Waktu terus berlalu dan mereka belum juga menemukan barang yang cocok untuk diberikan kepada anak istri mereka. Sebagai seorang ayah, saya pun mengalami kesulitan yang sama. Namun biasanya saya mudah saja untuk berbelanja di dutyfree di bandara namun nampaknya, sebagai seorang rockstar berbelanja di bandara merupakan kesulitan tersendiri bagi mereka. 

Robert nampaknya tidak begitu peduli dengan urusan oleh-oleh, ia justru lebih tertarik dengan makanan. Dia bahkan membeli beberapa potong ikan asin untuk dihadiahkan kepada sanak familinya di Amerika. 'I'm still hungry man..' Ujarnya pelan kepada saya seraya menatap nanar pada dendeng babi yang tergantung di etalase toko. 
Satu pengalaman unik yang terjadi adalah ketika Robert untuk pertama kalinya berkenalan dengan buah durian. Saya dan Patrick, supir kami berulangkali mencoba meyakinkan Robert untuk mencicipi durian itu. 
"C'mon man,.. You are a personel of Metallica, How come you affraid of this fruit?!?" Tanya Patrick seraya meledek Robert yang nampaknya ingin mencoba namun enggan. 
"Oh man.. I dont know if I can eat this.." Ujarnya sambil tersenyum getir melihat saya dan Patrick yang bisa lahap menyantap durian itu. 
 Akhirnya setelah cukup lama menimbang, Robert memakan juga buah durian itu.
"Oh my God!!.. This fruit taste like old socks!!" Tapi buah itu tetap dimakannya juga, mungkin karena dia menaruh respect kepada kami yang sangat menggemari durian.

Setelah puas makan durian, kami bergegas menghampiri Lars dan James yang masih berburu berbagai pernak-pernik untuk dihadiahkan kepada keluarganya di Amerika. James nampak heboh dengan berbagai motif daster dan berbagai kaos yang bertuliskan 'I love SG'. Sementara Lars Ulrich memborong berbagai pernak pernik Pokemon untuk dihadiahkan kepada sanak familinya. 

"You know what man, I'm a big fan of Pokemon Go" Katanya bersemangat. 

Siapa yang mengira bahwa dibalik gebukan drumnya yang gahar dan penampilannya yang sangar, ternyata Lars Ulrich adalah seorang penggila Pokemon Go. Dia bercerita bahwa dia sebetulnya sudah berjanji kepada kawan-kawannya untuk mengurangi kebiasaannya bermain Pokemon Go. Namun karena sudah dalam kondisi kecanduan akut dalam memainkan game itu, Lars menyempatkan diri secara sembunyi-sembunyi untuk bermain Pokemon Go beberapa saat menjelang konser. Menurutnya Indoor Stadium adalah lokasi yang baik untuk berburu pokemon. 

Robert Trujillo di depan kios penjual durian

James Hetfield terlihat sibuk memilih beberapa daster untuk istrinya

Lars Ulrich berpose di tengah-tengah China Town yang padat pengunjung

James juga membeli beberapa t-shirt 'I love SG' untuk dihadiahkan kepada sanak familinya

Lars memborong pernak-pernik Pokemon

Setelah semua berhasil mendapatkan oleh-oleh, kami bergegas meninggalkan lokasi padat wisatawan itu. Di tengah jalan sebelum kembali ke hotel, Robert berkata bahwa dia harus makan.. 

"I'm hungry man. Can we stop to eat somthing before back to the hotel?" Ujarnya lemah seraya mengelus-elus perutnya.
"Hell yeah! Me too! Let's try something local arround here" Timpal Lars Ulrich tanpa melepaskan pandangannya dari smartphone. 
Hmm.. Nampaknya Lars sedang berburu pokemon.. Pikir saya.

Sementara di bangku paling belakang,  James nampak sudah tertidur lelap. Wajar saja, di usianya yang tidak lagi bisa dibilang muda, 2 jam lebih bernyanyi tanpa henti, ditambah berbelanja di China Town yang penuh sesak, nampaknya membuat James Hetfield lelah. 
Sementara Patrick, sang supir tetap saja bersemangat dengan lelucon-leluconnya yang berbau rasis. Namun karena sudah letih dan lapar, maka kami menanggapinya dengan tertawa sekedarnya saja. 

"Aaa.. You must like this food haa.. This is the very famous Singaporead traditional food" Ujarnya dengan logat Mandarin yang cukup kental seraya membelokkan kendaraan ke arah sebuah restoran Bak Kut Teh. 

Kami turun memasuki restoran itu dan meninggalkan James yang tertidur pulas sambil diiringi lagu-lagu Mandarin yang mengalun lembut dari tape mobil. Sebetulnya restoran itu sudah tidak lagi menerima pengunjung. Namun setelah Patrick melakukan 'diplomasi kebudayaan', akhirnya kami bisa duduk dan memesan menu yang tersedia disana. Semua menu di restoran itu tampak lezat. Namun kami tidak mengerti apa yang tertera di menu karena kendala bahasa. Akhirnya kami memasrahkan pilihan menu di tangan Patrick yang dengan sigap langsung memesan menu-menu andalan restoran itu. 

Cakwe dan kacang yang datang sebagai hidangan pembuka denga ncepat langsung berpindah tempat ke perut Robert yang nampaknya memang sangat kelaparan. Padahal dia baru saja menghabiskan sepiring nasi goreng seafood di Al-Jilani. Sementara Lars tidak banyak berkata-kata. Ia hanya sibuk menatap smartphonenya sambil sesekali mengarahkannya ke kanan dan ke kiri. 

"Hey. Are you playing Pokemon Go again, Lars ?" Tanya Robert Trujillo sambil mengunyah cakwe. 
"No.. No.. I'm just try to find signal. It's hard to get some signal in here.. " Ujar Lars berdalih sambil tetap menatap layar smartphone.

Sementara saya hanya berdiri di pinggiran sambil merokok seraya memperhatikan tingkah polah kedua legenda rockstar itu. Sebenarnya saya sangat ingin untuk segera pulang. Selain kondisi fisik yang memang sudah lelah, saya pun ingin segera menge-cas hp saya untuk mengupload foto-foto bersama Metallica ini ke sosial media. "Ah.. Mungkinkah followers saya mempercayai foto-foto pasti ini?.. Ataukah mereka akan mengira bahwa ini adalah Hoax.. Pikir saya seraya mematikan rokok yang tinggal setengah. 
Setelah memasukkan puntung rokok ke kantong celana, saya pun bergegas untuk kembali ke meja karena bak kut teh sudah menanti. (Saya memang punya kebiasaan menyimpan puntung rokok di kantong celana untuk cadangan).

Robert Trujillo dan cakwe
Lars Ulrich berpose di depan rumah makan Ya Hua yang menjual bak kut teh

Setelah perut kenyang kami pun pulang. Sesampainya di hotel, James masih tertidur dengan lelap. Suara dengkurnya keras membahana dan menyerupai growl. Wajar saja, namanya juga musisi metal, pikir saya. Kami meninggalkan Patrick, sang supir, yang terlihat kesulitan membangunkannya. 
Sambil terus menatap layar hp, Lars bergegas masuk lift menuju kamarnya. Ia berkata bahwa ia sudah lelah dan harus segera tidur. Namun Robert berkata bahwa Lars adalah seorang yang mengidap insomnia akut. 

"I believe he want to continue to play Pokemon in his room.." Ujarnya setengah berbisik kepada saya. 

Robert dan saya berpisah di pintu lobi. Robert berkata bahwa dia akan mandi sejenak dan akan segera bergabung dengan teman-teman yang masih menanti di bar.

Di dalam bar, suasana nampak serius. Saya yang baru datang, segera mengambil posisi duduk di pojok sambil menyimak pembicaraan itu. Rizal Tanjung dan teman-teman yang lain nampak fokus menyimak pemaparan Kirk Hammett tentang pandangannya terhadap perpolitikan di Amerika, Indonesia dan dunia. Menurutnya Donald Trump bukanlah tipe pemimpin yang arif dan bijaksana serta sopan dalam tutur kata. Donald Trump bahkan terlibat dalam banyak skandal selama kariernya. Tak hanya itu,ia juga percaya bahwa suatu saat kelak, Donald Trump bisa saja memicu perang dunia ke tiga. 
Kirk Hammet bahkan sempat menyatakan, bahwa andaikata FPI dan Habib Rizieq tinggal di Amerika, tentu Donald Trump tidak akan sejumawa ini dalam menjalankan roda pemerintahannya. 

Di pojokan, sambil mengecas hp, saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mendengarkan pendapat seorang gitaris dari band legendaris yang ternyata juga mempunyai bakat sebagai seorang pengamat politik. Luar biasa, hanya dalam beberapa kali kunjungan ke Jakarta dan Bali, Kirk Hammett bisa dengan cepat membaca peta perpolitikan tanah air dan menghubungkannya dengan kondisi di negaranya.

Tak lama kemudian, Robert Trujillo yang tampak segar karena baru selesai mandi kembali bergabung. Suasana yang tadinya serius berubah menjadi lebih ceria. Tidak seperti Kirk, Robert bukanlah seorang yang gemar akan perbincangan politik. Ia nampak bersemangat bercerita tentang pengalamannya mencoba buah durian dan oleh-oleh ikan asin yang dibeli untuk keluarganya. Rupanya Robert Trujillo memang gemar mengkonsumsi ikan asin. Rizal menambahkan, bahwa sebagaimana negara-negara lain di Asia, Indonesia juga terkenal akan ikan asinnya. 

Waktu sudah hampir pagi dan kami harus segera berpisah. Kami menyempatkan diri untuk berfoto bersama seraya mengucapkan salam perpisahan. 

Taxi yang saya tumpangi melaju kencang membelah jalanan Singapura yang sepi pada malam itu. Saya mencoba menghubungi istri saya untuk menceritakan momen-momen yang tak terlupakan dan yang mungkin hanya terjadi sekali dalam hidup saya ini. Tapi nampaknya dia sudah tidur. 
Lampu-lampu jalan yang berkelindan cepat di balik jendela mobil yang berembun dan alunan musik mandarin dari speaker tua taxi itu mengantar saya pulang ke rumah dengan sejuta kenangan yang tak terlupakan. 

Robert Trujillo, Chandra, Rizal Tanjung dan Kirk Hammett

Saya bersama kawan-kawan baru dari Metal





Singapura, 22 Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar