Kamis, 29 Agustus 2013

METALLICA - Kebon Kosong, Kemayoran 2013



Seperti kata peribahasa lama, " Ada uang, abang disayang. Tak ada uang, abang ditendang". Kurang lebih seperti itulah yang saya alami.

Saya teringat pada masa-masa kejayaan saya dahulu, ketika uang bukanlah suatu masalah bagi saya. Ketika uang menjadi kekuatan utama saya, maka secara otomatis saya pun terseret masuk ke dalam dunia selebritas yang gemerlapan dan terkadang menyilaukan banyak mata. Musisi, bintang film, atlet, sampai para politikus kelas dunia pun rasa-rasanya hampir tidak ada yang tidak saya kenal.

Awal perkenalan saya dengan Metallica, dimulai pada medio 2009.  Seorang model yang kebetulan dekat dengan saya, mengajak saya untuk menemaninya menghadiri sebuah party yang diadakan oleh Lars Ulrich (drummer Metallica). Sebagaimana yang kita ketahui, selain penggebuk drum di band nomor 1 dunia, Lars pun seorang kolektor karya seni rupa. Wajar saja kalau saya dan Lars lekas menjadi seorang karib. Bisa dikata, di tiap party yang saya hadiri, pasti akan ada Lars.
Teman-teman Metallica yang lain, James Hetfield, Kirk Hammett dan Robert Trujillo sudah menganggap saya seperti saudaranya sendiri.
Apapun kesulitan yang mereka alami, baik itu dari segi keuangan sampai masalah-masalah pribadi, saya selalu siap untuk mendampingi dan membantu mereka.

Kedekatan saya dengan para personel Metallica secara otomatis membawa saya ke dalam kancah pertemanan yang lebih luas dan brutal lagi. Alkohol, narkoba sampai seks bebas sudah menjadi konsumsi sehari-hari bagi saya. Akibatnya, saya menjadi tidak konsisten dalam bekarya dan ini berdampak buruk pada keuangan saya. Pertemanan serta gaya hidup jetset yang saya jalani, mau-tidak mau menguras segalanya. Harta kekayaan yang saya kumpulkan dari hasil memotret selama ini, habis begitu saja dalam sekejap.
Teman-teman dari Metallica menyatakan kesediannya untuk membantu saya dengan menjadikan saya sebagai oficial fotografer mereka. Bahkan Lars Ulrich sempat meminta saya secara pribadi untuk menjadi art advisor baginya. Namun saya tidak mau merepotkan dan membebani mereka. Saya tahu bahwa kapasitas saya bukanlah disitu. Dan saya berprinsip tidak mau hidup dari rasa iba dan belas kasihan orang lain. Maka walaupun pedih, saya secara perlahan-lahan pun menarik diri dari dunia musik dan hiburan yang selama ini turut membantu karier saya.
Di tengah beban perekonomian yang semakin menghimpit, maka saya memutuskan untuk kembali ke Tanah Air dan mencoba untuk memulai lagi kehidupan saya dari awal.

Saat ini saya tinggal di sebuah apartemen sederhana di bilangan Kebon Kosong, Kemayoran. Sudah beberapa tahun belakangan ini saya mulai kembali menata kehidupan saya yang sempat carut-marut.
Bagi beberapa sahabat karib yang sempat berkunjung ke apartemen saya, mungkin merasa bingung  dan heran akan 'perbedaan' hidup yang saat ini saya jalani. Hampir tidak ada perabot mewah di apartemen saya. Hanya ada sebuah kompor kecil, lemari, 1 kasur tanpa tempat tidur dan sebuah komputer sederhana untuk menunjang pekerjaan saya. Oiya, dan saya baru saja membeli kulkas.

Bersama James Hetfield dan Lars Ulrich  - circa 2010
Waktu menunjukkan pukul 00.17 WIB. Saya yang baru saja selesai menyantap indomie masih memantau sosial media seputar konser akbar Metallica di GBK yang baru saja usai. Menurut beberapa praktisi musik tanah air, konser itu merupakan konser termegah yang pernah berlangsung di negara ini. Walaupun punya keinginan yang cukup menggebu-gebu untuk kembali menyaksikan sahabat-sahabat saya beraksi di atas panggung, namun saya tidak dapat hadir di pagelaran akbar tersebut karena (jujur saja) keterbatasan biaya. Sebatang rokok saya nyalakan guna mengusir bosan dan gelisah yang bergemuruh di dada.

" Ndrrttt..ndrttt.." Handphone saya bergetar tanda ada SMS yang masuk. Di layar monitor tampak sebuah nomor yang tidak saya kenal. Biasanya saya selalu mengacuhkan SMS dan tidak pernah mau mengangkat telepon dari nomor yang tidak dikenal. Maklum saja, saya pernah punya pengalaman traumatis karena diterror oleh debt collector guna mempertanggung jawabkan segala hutang piutang saya.

Selamat malam mas Agan, saya G*n*w*n  (sengaja namanya saya samarkan) dari B*l*k R**k E*t*rt*i*n*e*t. Saya diminta oleh James Hetfield dari Metallica untuk meminta alamat mas. Karena beliau hendak berkunjung. 

Di bawah kalimat dalam SMS itu ternyata terdapat sebuah foto. Sebuah foto dari seorang sahabat lama yang jauh-jauh dari negri Paman Sam hendak berjumpa dengan saya.
Sejujurnya, ada setitik rasa curiga ketika saya membaca SMS dan melihat fotonya. Sempat terlintas apakah ini perbuatan dari orang-orang yang menaruh dendam atas perbuatan saya dahulu. Ataukah ini hanya perbuatan dari handai taulan yang iseng. Setelah bergumul dalam hati, akhirnya sayapun membalas sms tersebut dengan memberikan alamat apartemen saya beserta ancer-ancernya

James Hetfield beserta pesan singkatnya untuk saya

SMS yang saya kirimkan ke nomor yang tidak dikenal itu tidak berbalas. Satu jam lebih saya gelisah menunggu di apartemen. Satu-satunya sms yang masuk adalah dari ibu saya yang mengucapkan selamat tidur dan agar saya jangan lupa berdoa.
Walaupun kehidupan saya jauh dari kesan religius, namun saya pernah dibesarkan dalam keluarga Kristen yang cukup taat. Ditambah lagi dengan berbagai kesulitan yang saya hadapi belakangan ini, maka sebagai seorang ibu, sudah sewajarnya beliau kerap kali menasihati saya agar tetap berserah diri dan sabar menghadapi segala cobaan ini.

Pukul 01.55 suara bel apartemen saya berbunyi. Orang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. James datang ditemani oleh seorang crew dari B*l*k R**k E*t*rt*i*n*e*t  yang memegang sebah kamera pocket guna mendokumentasikan kegiatan Mettalica selama di Jakarta. James yang memang sudah menganggap saya sebagai saudaranya sendiri tampak berkaca-kaca melihat kenyataan hidup yang saya alami kini.  Tak lupa James menyampaikan salam dari rekan-rekan sejawatnya di Metallica yang kebetulan berhalangan hadir. Sebuah pertemuan yang cukup mengharukan.
Tangis haru segera berganti dengan keceriaan ketika saya dan James mulai bercerita tentang kegilaan-kegilaan masa lalu yang pernah kami lewati bersama. Namun kini itu semua hanya tinggal cerita saja. Baik saya maupun James udah berubah, kami tidak bisa dibilang muda lagi. Kami sudah memulai untuk hidup lurus, menjauhi narkoba dan pesta pora serta lebih mendekatkan diri pada Sang Khalik.

Perjumpaan antara dua sahabat yang sempat terpisah lama


Banyak hal yang kami perbincangkan dalam kesempatan yang berbahagia itu.  Mulai dari pawai FPI yang baru saja berlangsung siang tadi, suasana panggung politik di Senayan, sampai pada musisi lokal tanah air.
Tanpa disangka  James ternyata memiliki ketertarikan yang cukup besar pada geliat musik dalam negeri. Wajar saja, namanya juga musisi. James, yang notabene seorang penggemar musik country, punya rasa ingin tahu yang cukup besar terhadap band-band tanah air yang setia mengusung musik country.

JH: 'Dude, please tell me more about Coboy Junior! Are they good? Because i love country music! And I'm a big fan of Willie Nelson, Dolly Parton and Shania Twain! Ucapnya antusias..

Setelah saya menjelaskan lebih lanjut tentang grup musik Coboy Junior dan sepak terjangnya di blantika musik Tanah Air, James hanya terdiam kecewa sambil menatap kosong.
Kekecewaannya berlanjut ketika saya bercerita tentang grup vokal Coboy ( boyband 90-an yang digawangi oleh Ali Mustafa, Gilbert, Ponco, dan Fery) ternyata tidak membawakan musik country. 

JH: 'Dude, do you have something to drink? I'm thirtsy man.. I haven't drink anything since the concert'. Ucapnya memotong penjelasan saya.

Me: 'Well, Im sorry man, I dont know you would come. And I don't prepare something good for you. I only have a vodka.

Saya lalu mengeluarkan beberapa botol vodka gepeng Mansion House yang sengaja saya simpan untuk moment-moment khusus seperti ini. Maklum saja, dengan keadaan ekonomi seperti sekarang, saya hanya mampu untuk membeli yang vodka murah namun cukup ampuh untuk menceriakan hidup.
James nampak sejenak agak terlihat enggan untuk meminum vodka gepeng yang saya suguhkan. Namun dengan didasari oleh rasa persahabatan dan masa lalu, maka kami pun meminum air api itu.



Ekspresi James ketika saya menghidangkan vodka gepeng

Gelas-demi gelas meluncur mulus membasahi tenggorokan kami. Didasari oleh rasa penasaran yang begitu tinggi terhadap band Coboy Junior, maka James memohon kepada saya untuk memutarkan lagu-lagu mereka.

"Kenapaa De lagi de lagi de lagi.. Kok gak er er.. Er er.."
( adapun D dan Rr adalah kode yang menunjukkan sudah dibacanya atau belum dalam sebuah pesan blackberry messenger)

Lagu 'Kenapa Mengapa' dari Coboy Junior menghentak keras dari komputer di kamar saya. Dan James yang sudah mulai oleng tampang ber-headbang mengikuti irama musik pop anak-anak itu.
James ternyata sangat kagum dengan sistematika penggunaan gadget (blackberry) dalam lirik lagu itu. Menurutnya, ini adalah lagu yang cukup kontemporer, ketika anak-anak sedini mungkin dapat berkenalan dan bersahabat dengan teknologi yang dapat memudahkan kehidupan ini.

JH: 'Dude, this is not a country music! But they're awesome man!'

Katanya sambil tetap menggoyang-goyangkan kepalanya (headbang).

Menurut James, andai saja Coboy Junior memulai karier mereka di Amerika, tentu nasib mereka akan berbeda dari sekarang. James yang sudah mulai melantur berbicara banyak seputar lirik melayu yang menurut nya cukup puitis dalam menyampaikan pesan dalam musikalitasnya. Dalam satu kesempatan di malam yang berbahagia itu, James pun menyatakan keinginan terdalam dari dasar lubuk hatinya untuk berkolaborasi dengan musisi tanah air. Sambungnya lagi, dalam beberapa pagelaran beberapa tahun lalu, Metallica pernah mencoba membawakan lagu berbahasa Indonesia, dan mereka pun menuai tanggapan positif dari para penggemar dan kritikus musik dunia.

Waktu sudah menunjukkan pukul 4 pagi kurang. James harus segera berangkat untuk pulang ke negaranya.

"James, We should stop this alcohol..It's not good for our health. And we're not young anymore". Saya mencoba untuk menyadarkan James akan bahaya alkohol bagi orang-orang yang seusia dia. James yang sudah mabuk berat dengan sengit menanggapi nasihat saya " Like I caree..?!?!  Bring me that f*ckin vodka!! "
Atas nama pertemanan, saya dengan berat hati kembali membuka botol ketiga. Botol terakhir dari persediaan saya di lemari. Sepengetahuan saya, James sudah berhasil mengurangi kecanduannya terhadap alkohol dan narkoba serta sudah memulai kehidupan yang menyehatkan. Saya tidak mau dicap sebagai orang yang menjerumuskannya kembali ke dalam bahaya mirasantika dan maksiat.
Sembari menemaninya minum, saya berupaya untuk kembali membawanya ke jalan yang lurus sekaligus menyadarkannya dengan siraman rohani semampu saya.
Saya mencoba mengingatkannya tentang hakikat kita hidup di dunia fana ini, serta tanggung jawab kita pada Sang Pencipta saat ajal kelak akan menjemput kita.
James Hetfield yang walaupun sudah mabuk berat, sesekali menganggukkan kepalanya tanda setuju.


James pun akhirnya mabuk tertidur setelah menghabiskan 3 botol vodka gepeng

" Sio mama e....beta rindu mau pulang'e
Sio mama e....mama su lia...kurus lawang'e
Beta balom balas mama...
Mama pung cape sio dolo'e
Sio Tete Manis'e, jaga beta pung mama eeeee... " 

Tanpa sengaja playlist lagu di komputer saya memutar lagu Sio Mama. Lagu yang berbahasa Maluku itu menceritakan tentang kerinduan terhadap ibunda yang jauh di desa. James dengan terbata-bata tampak mengikuti lagu yang cukup cathcy itu..
Setelah saya menjelaskan isi dari lagu tersebut, saya melihat setitik air mata yang jatuh dari sudut matanya yang terpejam..

JH  : " Dude, this song is killing me softly..  I miss my mommy,.. I wanna go home.. " ujarnya pelan.
Me : " Relax James, you can stay here for a while until you get sober.. "

James yang sudah sangat mabuk, membuka sedikit kelopak matanya dan menatap saya dalam-dalam.
"Hey dude,.. Torang samua basudara.. "  ucapnya perlahan dengan logat Inggrisnya yang kental. Lalu James pun kembali tertidur.
Saya cukup kaget mendengar ucapan yang keluar dari mulutnya itu. Entah darimana pula dia bisa-bisanya berucap dengan bahasa Maluku. Memang ada-ada saja hal ajaib yang terjadi ketika kita sedang mabuk.

Langit sudah mulai terang dan James masih tertidur di meja makan. Saya hanya dapat duduk diam menghela nafas panjang sambil berdoa dalam hati agar kedatangan Metallica di Jakarta serta perjumpaan kami malam ini setidaknya tidak berdampak buruk pada karier musikalitas mereka di masa yang akan datang..

Amin..

Kamis, 11 Juli 2013

KUOTA #4 : Kepingan



Karya seni rupa di sekitar kita – setidaknya sejak dekade 70an- makin tampak sebagai tanda kehadiran atau presentasi yang jamak. Ungkapan rupa tidak melulu menampilkan diri sebagai yang utuh atau tunggal, yang tak terbagi. Sebaliknya, seniman kerapkali menampilkan strategi artistik yang mengesankan rupa himpunan bagian, kepingan atau penggalan. Presentasi yang satu atau yang amung, yang cenderung mengesankan kehadiran yang serba-singular menjauh dari penglihatan kita. Presentasi yang tunggal digantikan oleh rangkaian yang saling terhubung, fragmentaris, yang sambung-putus, mengesankan tata ungkapan rampak (selaras).
Melalui ungkapan rupa yang jamak, tampillah karya-karya yang mengandung ungkapan baru, seperti misalnya karya rangkaian atau serial, perulangan, sebagai himpunan acak kepingan-kepingan atau serangkaian salinan. Kepingan-kepingan sebuah karya menunjukkan relasi analogis (menampilkan segi-segi kesamaan dan kebedaan), sekaligus setara-makna, atau merepresentasikan satuan makna di dalam kepaduan mata-rantai makna-makna. Pokok soal karya tidak lagi tampak sebagai satuan yang cukup diri, tetapi mengandaikan faktor pembagi. Bagian diperlukan untuk keseluruhan, tapi bagian seolah-olah bisa dibaca sebagai keseluruhan. Agaknya, presentasi tidak sekadar soal bagaimana sesuatu ditampilkan, tetapi menyangkut asosiasi dan mediasi pemaknaan. Dengan kata lain, strategi presentasi mirip dengan tata bahasa yang memungkinkan hadirnya makna pada tuturan atau bahasa.
Apakah dilatari oleh ungkapan subjek-kedirian traumatis, kesadaran reproduksi-mekanik, pendayagunaan efek-efek simulakra, karya-karya kepingan menuntut cara melihat kita yang baru.
Melalui cara pandang itu, Langgeng Art Foundation/ LAF mengundang sejumlah seniman untuk menampilkan karya-karya mereka pada pameran “Kuota #4 -Kepingan”.
“Kuota” adalah sebuah proyek kilas balik, sebuah pameran tentang pameran, untuk mengamati kecenderungan tertentu karya-karya seniman Indonesia dalam dua tahun terakhir ini (2011-2013). Proyek ini diinisiasi oleh Langgeng Gallery sejak 2005 dan kini “Kuota #4 – Kepingan” diselenggarakan dan didukung oleh Langgeng Art Foundation (LAF).


SENIMAN
Agan Harahap
Albert Yonathan
Aminuddin TH Siregar
Anang Saptoto
FX Harsono
Maria Indria Sari
Nasirun
Theresia Agustina Sitompul
Tromarama

KURATOR
Hendro Wiyanto



Senin, 24 Juni 2013

#JRL 2013



Selama kurun waktu 6 tahun terakhir, hampir tidak ada festival musik yang saya lewatkan. Maklum saja, profesi saya sebagai pewarta foto menuntut saya untuk selalu hadir dan mengabadikan hingar-bingar pagelaran-pagelaran musik di tanah air. Tapi saya tidak pernah bisa benar-benar menikmati sajian-sajian musik itu. Karena setelah maksimal 3 lagu yang dimainkan, saya harus bergegas pergi menuju panggung berikut untuk memotret musisi lain.
Kemarin, atas kemurahan hati seorang kawan, saya pun mendapatkan tiket untuk menonton Java Rocking Land di Ancol. Tapi tujuan saya bukanlah bekerja. Saya sudah meninggalkan profesi saya sebagai pewarta foto semenjak 2 tahun yang lalu. Kali ini, dengan berbekal sebuah kamera renta saya benar-benar 'bertamasya' menikmati nada dan irama serta terlarut dalam suasana di bawah kerlap-kerlip lampu panggung.





















Selasa, 04 Juni 2013

..

They said, that humans are the most highest rank of all other creatures on earth. 
Human with all of their superiority can do anything and act upon all things in this earth.
 
The relationship between humans and animals has been going on since a long lone time. Besides the 'primitive' relationship as the use of animals to be both energy consumption and meat, employer-pets, etc., animals are often used as a symbol of social status in life or human.
Animals are hunted, killed on the basis of hobbies and preferences, and preserved to be a killer display of a symbol of superiority.

This project tries to give physically respond and  'tribute' to the animals that have been killed and preserved to become a symbol of social status in humans








* This is my artwork for Harpers Bazaar 13th Anniversary Edition

Minggu, 19 Mei 2013

Beyond Boundaries - When Collectors Curate A Show



Curators usually hold a pivotal role in an art exhibition.
They choose the artists to participate in the exhibition, review and select their works and invite notable collectors to attend the opening night.
Yet, that precept is turned on its head at a new exhibition in Jakarta.
No curators are involved in “Beyond Boundaries,” a contemporary photography and art installation exhibition at the Umahseni Gallery in Menteng, Central Jakarta.
The exhibition, which lasts until May 25, has been curated by local art collectors.
“I noticed some dissatisfaction among Indonesian collectors towards curators,” Umahseni Gallery owner Leo Silitonga said.
“So I thought, why don’t I offer the [curatorial] job to the collectors [for this exhibition]?”
Leo offered three Indonesian collectors, Arif Suherman, Paula Dewiyanti and Wiyu Wahono, the opportunity to curate an exhibition — a role they all happily accepted.
According to the senior art collector, Indonesian curators tend to write long and complicated texts only a few people understand and in doing so, they were losing opportunities to educate the people about art.
As part of this exhibition, each collector selected their own favorite artists to collaborate with to create new artworks. They also wrote their own curatorial texts to introduce the artist and the works they are presenting.
“We don’t want to show that we’re better than [curators] with this exhibition,” Wiyu said.
“We just want to have fun.”
Young collector Arif Suherman chose his good friend and famous Indonesian photographer Davy Linggar to take part in this exhibition.
“I’ve known Davy as a photographer for a long time, but I only saw his paintings in 2010,” Arif said.
Arif said he found Davy’s paintings thought-provoking straight away.
“But Davy’s never painted again since then,” Arif said. “With this exhibition, I hope to be able to encourage him to pick up his paintbrush again.”
Davy, who was born in Jakarta in 1974, learned to paint from his father during his early childhood.
After finishing high school, Davy studied fine arts at the Bandung Institute of Technology (ITB) but he dropped out and moved to Germany.
In Germany, he studied photography at the Universitaet Gesamthochschule Essen.
Davy, who is currently one of Indonesia’s most notable fashion photographers, secretly yearns to paint in his spare time.
“I’ve always loved painting,” he explained. “But lately, I’ve become much too busy to paint.”
In this exhibition, Davy presents an art installation themed “Conferring Life to A Space,” featuring 10 of his new paintings.
The artist chose the whitewashed warehouse of the Umahseni Gallery to present his art installation and new paintings.
“When I came to the gallery, I saw the warehouse that was being renovated,” he said.
“It got me thinking what it must be like to be an empty space.”
Davy fills the five-by-five-meter warehouse with paintings of people and daily objects, making the otherwise empty space alive and personal.
Art collector Paula Dewiyanti invited her good friend and up-and-coming photographer and videographer from Yogyakarta, Wimo Ambala Bayang, to take part.
“From the start, we both realized she’s not a curator,” Wimo said. “So, we discussed and worked together as friends. It’s been a fun process for both of us.”
Wimo, who was born in Magelang, Central Java, in 1976, studied interior design at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta (ISI Yogyakarta).
The photographer is currently the director of Ruang MES 56 — an artist collective and gallery of Indonesian contemporary photography in Yogyakarta.
In this exhibition, Wimo and Paula presented a unique art installation “Untitled.”
Wimo presents his art installation in a makeshift room at the front of the gallery. A whitewashed bench stands in front of the room, on top of which sits a white book containing Paula’s tweets.
Some of the texts are provocative: “I got an invitation to an exhibition. It says: panties required. :(
The small room itself has a wall opening too narrow to enter. From the slit, visitors are able to see a series of black-and-white photographs of a bride and groom standing on the beach.
Two acrylic pillars stand at the wall opening. A visitor can look at Wimo’s photographs through these acrylic pillars and see distorted images.
“The installation is based on the concept of invisibility that I’m developing,” Wimo said.
According to Wimo, modern technology and social media have allowed people to “see” things they don’t actually perceive in person.
“And it causes a lot of reality distortions,” he added.
Wiyu chose Yohanes Paganda Halasan Harahap, also known as Agan Harahap, as his favorite artist of the exhibition.
“I’ve collected Agan’s works for some time, although I didn’t know him personally,” Wiyu said. “I had a concept in my mind [for the exhibition] and I believed only Agan can do it for me.”
Wiyu’s concept is that photographs are actually the chosen reality of the artist, as well as the beholder.
“People generally think that photographs present objective reality, while, on the other hand, paintings are very subjective to the artists and beholders,” Wiyu said.
“Well, it’s not true. Photographs are actually the chosen reality of the photographer and we all see them from our own points of view.”
Agan, who was born in Jakarta in 1980, studied graphic design at the Indonesia Design College (STSI) in Bandung.
After graduating from college, Agan worked for a short while as a digital imaging artist and photographer at photo studios and magazines in Jakarta, before deciding to become a full-time contemporary photography artist in September 2011.
In the exhibition, Agan presents “Project Mercury,” a series of photographs of Tangkuban Parahu, an active volcano in West Java.
Each of Agan’s large-scale photographs can be rotated in four directions.
When the pictures are rotated upwards, the bluish crater of the volcano can be perceived as the skies.
“Even the artist himself is not sure which is which anymore,” Wiyu said with a laugh.


Professor Oh Soon-Hwa, a photographer, curator and lecturer at Nanyang Technological University in Singapore, attended the opening of the exhibition and said he was surprised by Agan’s works.
“Agan’s works are the most surprising ones,” Oh said. “His previous works are nothing like this.”
Agan’s works are usually a satirical parody of human life; a combination between fantasy and reality.
In this exhibition, Agan’s main objects are mostly on the rugged cliffs of the volcano and its fuming craters.
Yet, with his photography Agan has successfully brought the old volcano back to life.
Visitors will be wowed by the grandeur of the volcano, as well as feel the terrors of its rumbling crater through his pictures.
The professor, who met and interviewed each artist for a research project funded by the Singapore’s ministry of education last year, labeled Davy’s works as “interesting” and Wimo’s works as “having a sense of humor as all of his other works are.”
“[In this exhibition] they make us see different things through their art,” Oh explained.
“That’s the success of this exhibition.”
In spite of the success of this exhibition, the professor commented that it is “a very interesting and unique situation.”
“I’ve never seen any collectors being involved so much in the artworks,” she said, adding that to her knowledge, artists usually only dealt with the galleries to feature their works.
“So, the galleries act as a gatekeeper,” she said. “In this way, the artists are protected in their own world.
“They’d never have collectors directly coming in to them.”
But in this exhibition, the Umahseni Gallery has encouraged these three collectors to engage directly with the artists.
“In some parts, it’s good,” she said. “It encourages more people to take part and be involved in art exhibitions.”
Nevertheless, according to the professor, the collaboration also poses a danger of the collectors influencing the artist.
“If [artists] are influenced too much, it can actually ruin their creativity,” she said.
“They may lose their character. And collectors don’t want that [to happen] eventually.”
Riksa Afiaty, an in-house curator at the Umahseni Gallery, thinks the collaborations in this exhibition are positive.
“This collective exhibition encourages a healthy interaction between artists and collectors,” Riksa said. “It’s something that rarely happens in art.”
A number of art lovers, who attended the opening night of the exhibition, also appreciated the efforts of Umahseni Gallery for presenting this exhibition.
Irawan, an art lover from Surabaya, for example, came especially to Jakarta to attend the opening night.
“It’s something that never happened before, in which three Indonesian collectors curated an exhibition together,” Irawan said.
“We should really appreciate it.”
Rudy Kosasih, an art lover and writer from Jakarta, also enjoyed the event.
“Two thumbs up for the exhibition,” Rudy said. “It’s a major breakthrough in the Indonesian art scene.
“Hopefully, these collaborations will give birth to fresh creativity and new forms of art.”

By : Sylviana Hamdani @ Jakarta Globe